Powered By Blogger

Sabtu, 28 September 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (115)

Ngilu rasanya pangkal paha saya pada persendiannya. Hal ini terjadi beberapa hari setelah saya menerima koktail obat kemoterapi saya yang baru yang dimasukkan dengan cara disuntikkan memakai alat yang lebar di paha. Selain itu mulai dari lutut kaki saya pun seperti kehilangan sebagian dayanya membuat lemah. Saya mengira merupakan hal yang biasa, karena saya tidak lagi menggunakan herbal Cina sebagai penguat kondisi tubuh saya. Selain itu saya belum punya bahan perbandingan dengan pengguna lain obat ini disebabkan sifatnya masih berupa penelitian. 

Keadaan ini sudah sempat saya laporkan kepada dokter ahli kemoterapi saya, yang kemudian juga melaporkannya kepada koordinator penelitian waktu saya memenuhi jadwal pemeriksaan hari Rabu kemarin dulu. Beliau lalu memberi vitamin dan obat yang bisa dipakai untuk mengurangi keluhan saya tapi tak banyak menolong. Karena itu saya putuskan untuk tidak berangkat ke Instalasi Rehabilitasi Medik (IRM) pada hari ini, sekali pun saya terjadwal untuk difisioterapi seminggu tiga kali. Saya putuskan untuk mengistirahatkan kaki saya di rumah menunggu esok jadwal praktek onkologis saya di Bogor. Saya akan berkonsultasi kepada beliau, berharap semoga saya mendapat pencerahan atau saran yang menolong.


***

Tapi tadi pagi ketika sedang menikmati sarapan pagi di muka layar televisi sambil menonton berita saya menerima SMS dari koordinator penelitian yang menyiratkan ingin menemui saya seandainya hari ini saya pergi ke IRM. SMS yang terlambat saya baca itu, tentu saja terlambat saya balas sehingga balasan dari beliau belum juga saya terima meski jam sudah menunjukkan pukul sembilan pagi. Padahal sambil minta maaf dan mengeluhkan keadaan kaki saya, saya pun bertanya apa kiranya yang bisa saya bantu dari rumah untuk kelangsungan penelitian itu.

Lama menunggu, menjelang pukul sepuluh datang juga balasan itu. Saya diminta datang memeriksakan diri terlebih dulu ke klinik dokter ahli kemoterapi sebelum hari Rabu yang sudah dijadwalkan sebagai hari pelaksanaan kemoterapi saya yang kedua dalam siklus yang sekarang. Waktu saya menghadap dokter ahli kemoterapi kemarin dulu, bu Lita koordinator penelitian itu tidak ikut menerima saya. Beliau hanya dihubungi dokter lewat telepon. Kedengaran dokter melaporkan hasil pemeriksaan darah saya yang bisa dianggap cukup untuk pelaksanaan kemoterapi. Kemudian perawat lah yang ditugasi menjadwalkan dan mempersiapkan kemoterapi saya. Dari zuster Yani, perawat senior itu disepakati Rabu (02/10) sebagai hari kemoterapi. Artinya saya dinyatakan tak perlu kontrol sekali lagi, melainkan bisa langsung datang ke klinik rawat singkat membawa hasil pemeriksaan laboratorium terbaru saya satu-dua hari sebelum Rabu itu. Tapi agaknya gagasan ini tak sejalan dengan metoda penelitian sehingga kini saya diminta datang ke klinik dokter ahli kemoterapi dulu sebelum Rabu. Hati saya setuju meski diliputi kecemasan takut jadwal kemoterapi saya tertunda terganjal entah oleh faktor apa. Padahal kemoterapi selalu terjadwal tiap tiga minggu sekali.

Alih-alih menduga-duga, saya lalu memutuskan untuk berkunjung ke klinik onkologis saya secepatnya yang akhirnya terlaksana Sabtu sore (28/09). Dokter ini memang lama tak bertemu saya meski semua kondisi saya terpantau beliau baik melalui forum rapat dewan dokter yang diselenggarakan di kantornya maupun lewat SMS bahkan E-mail yang tak pernah lupa saya kirimkan ketika saya mengalami sesuatu hal yang berkaitan dengan kondisi kesehatan saya. Dokter onkologis saya memang simpatik, termasuk sedikit di antara dokter yang mau berkomunikasi terbuka dengan pasiennya. Empatinya pun kuat, sebagaimana penilaian keluarga pasien yang kebetulan merupakan staf RS pada instalasi yang berbeda dengan tempat beliau berdinas.

Sore itu suasana di muka klinik cukup ramai. Agaknya banyak pasien yang membutuhkan jasa onkologis termasuk pasien baru. Di antaranya putri ibu guru yang sempat berkenalan dengan saya beberapa minggu lalu. Konon kata ibunya, gadis itu juga ditumbuhi benjolan kecil di payudaranya tetapi seperti cairan. Meski tak mengeluh sakit, namun sang ibu tetap menaruh kewaspadaan sebab pada sejumlah kasus kanker payudara bersifat diturunkan dalam satu keluarga (genetis). Contohnya di keluarga saya selain saya, kakak kandung saya juga pengidap kanker payudara. Sedangkan kakak lainnya yang sehat mempunyai putri yang pernah dioperasi pengambilan kista payudara sebanyak dua kali. Kemarin kakak saya menjalani kemoterapinya yang kedua dengan koktail obat yang tidak pernah menolong saya. Tapi saya berharap kakak saya sembuh menggunakan itu karena sakit yang sama penyebabnya belum tentu persis sama meski faktor pendorong timbulnya sama.

Ketika saya jenguk di ruang kemoterapi, zuster Shinta yang bertugas masih mengenali saya tapi tak tahu bahwa pasien yang sedang ditanganinya kali ini adalah saudara kandung saya. Bu Shinta nyaris mencegah saya masuk ke bilik kakak saya, bilik satu-satunya yang tertutup karena dikhususkan untuk pasien privat atau Askes kelas I. Tetapi begitu saya menjelaskan bahwa dia kakak saya, dengan ramah perawat itu mempersilahkan saya masuk bahkan kemudian ikut mengobrol. Sempat dipertanyakannya keberadaan saya yang saya jawab seketika dengan foto-foto kemoterapi saya yang terbaru. Tentu saja dia belum pernah melihat prosedur kemoterapi semacam itu, karena saya sendiri masih dalam taraf percobaan penggunaan meski isi obatnya sudah lama dikenal efektif dalam melumpuhkan Her-2 sejenis virus penyebab kanker payudara yang berasal dari dalam tubuh pasien sendiri. "Ibu nggak kangen sama pojokan situ?" Pancing bu Shinta seraya memandang kubikel favorit saya selama dikemoterapi di tempat tugasnya. "Ya kangen lah bu, kangen juga ngobrol dengan perawat-perawat cantik hatinya di sini. Tapi apa boleh buat, koktail saya nggak didanai Jamkesda," jawab saya sambil menggigit bibir. "Terus di Jakarta dapat dana dari mana?" Tanyanya ingin tahu. "Dari Jamkes Kasiho.......... dikasihani orang. 'Kan dokter saya yang mengupayakan supaya saya bisa diikutkan penelitian di kantornya," terang saya yang membuahkan ucapan bahwa dokter onkologi saya memang simpatik dan terkenal punya kasih sayang kepada pasiennya yang betul-betul tak berdaya. Wah, rasanya ini kali kesekian saya mendengar alasan mengapa ruang prakteknya selalu diincar pasien meski tak tentu jadwalnya.

Di muka klinik ketika saya tiba kembali untuk mengetahui giliran saya tersua sebuah brankar yang biasa ada di setiap ambulans. Di atasnya seorang perempuan separuh baya merintih sambil meringkuk memegangi kakinya. Kelihatan benar dia kesakitan meski tak jelas apa yang jadi sumber sakitnya. Menyaksikan yang demikian saya tersadar bahwa sakit saya tidaklah hebat. Ada orang yang jauh lebih parah dan menderita hingga tak mampu bangun. Untung saya tak perlu berlama-lama memandangnya karena tak berselang lama dia dipanggil zuster Umi masuk klinik. Namun justru giliran saya dengan tangan bengkak yang terbalut verband tebal mulai dari ujung jari yang menimbulkan rasa ingin tahu serta komentar orang. Saya layani keingintahuan mereka dengan jawaban apa adanya. Bahwasannya kanker pada kelenjar getah bening di ketiak saya mengakibatkan kelenjar itu diambil sebanyak-banyaknya hingga menimbulkan pembendungan cairan getah bening yang berakibat bengkak di tangan. Reaksi mereka semua cuma ungkapan "o......." sama seperti yang saya lakukan dulu.

Saya masuk juga tak lama kemudian, diikuti perempuan di atas kursi roda yang nampak begitu lemah seperti perempuan di atas brankar dua giliran sebelum saya. Sedangkan posisi saya menggantikan pasien yang berjalan dibimbing suaminya yang nampaknya juga tidak bugar dalam keadaan kaki bengkak terseok-seok. Sungguh semuanya kasus serangan kanker yang berat, yang membuat saya makin yakin tentang kemampuan dan kekuatan saya melawan si ganas yang amat mencintai saya ini. 

"Assalamu'alaikum dok. Maaf ini pasien kurang penting," sapa saya disambut senyum lebar onkologis simpatik di hadapan saya. "Apa kabar bu?" Sapanya seraya mengulurkan tangan dan bangkit sejenak dari duduknya. Kemeja putih bergaris-garis biru yang dikenakannya membuat pria ini jadi tak menyeramkan.

Saya kemudian langsung melaporkan jalannya kemoterapi saya yang memang belum pernah diketahuinya. Dari ponsel saya muncul foto alat suntik model baru yang saya gunakan memasukkan obat penelitian itu. Para perawat yang tengah bertugas beramai-ramai mengelilingi dokter ikut menyaksikan dengan antusias. "Oh......, alat suntiknya bundar ya? Mana jarumnya? Tanya mereka. Saya menjelaskan semua yang saya ketahui dan alami membuat mereka tersenyum dan mengangguk-angguk paham. "Hanya lima menit Trastuzumabnya masuk semua," tutur saya meyakinkan tapi sekaligus mengeluhkan sebagai akibatnya kaki saya yang disuntik itu kini menjadi lemas. Dokter mencatatnya dengan baik termasuk obat apa yang diberikan dokter ahli kemoterapi untuk mengatasinya. Lalu saya tekankan bahwa efek ini tak pernah terjadi ketika saya menggunakan koktail obat yang dulu bersama-sama dengan jamu herbal Cina yang sekarang saya stop demi komitmen saya ikut penelitian.

"Ah, bukan efek Trastuzumab bu, Taxotere pun bisa begitu tergantung kondisi pasiennya," bantah dokter saya. Tapi beliau cuma tersenyum ketika saya kemukakan bahwa saya menyesal tak lagi menggunakan jamu herbal. Namun ujung-ujungnya beliau tak melarang saya nanti menggunakannya kembali. Sambil mencermati laporan saya beliau membenarkan fitnya kondisi saya dulu.

Kemudian saya laporkan juga bahwa lusa saya akan menghadap dokter ahli kemoterapi untuk persiapan kemoterapi kedua di hari Rabu. Kepadanya sekaligus saya sodorkan fakta hasil pemeriksaan darah rutin saya dua minggu terakhir teramasuk angka perbaikannya setelah saya mendapat suntikan untuk meningkatkan kadar sel darah putih saya. Saya katakan saya ingin Rekam Medis saya di kedua RS sama lengkapnya hingga fakta-fakta yang terkecil guna mengantisipasi andaikata terjadi insiden saya tiba-tiba memburuk dan perlu dilarikan ke Instalasi Gawat Darurat. "Oke kalau begitu, lembaran-lembaran ini masuk di sini dong ya? Mudah-mudahan ibu sehat-sehat saja," ujar dokter saya seraya mengakhiri pertemuan kami. Beginilah diri saya, selalu tak pernah punya persoalan yang perlu dikhawatirkan bukan?! Alhamdulillah!

(Bersambung)

Kamis, 26 September 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (114)

Putus asa kini terkadang menghampiri diri saya. Bagaimana pun juga saya mulai jenuh dengan pengobatan saya yang tak kunjung selesai ditambah rutinitas rumah tangga yang tak lagi bisa saya jalani. Sebab hari-hari saya cuma diisi ratapan dan rintihan dari atas ranjang di dalam rumah kami belaka. Tak bisa lain. Kanker ini telah melumpuhkan daya kekuatan saya serta menggelitik syaraf kesabaran saya. Akibatnya hal-hal sepele kerap mewarnai suasana hubungan saya dengan anak-anak lalu menorehkan perselisihan paham yang sesungguhnya tak penting.

Kanker memang menyakitkan raga serta jiwa. Luka batin yang konon menjadi dasar suburnya sel ganas di dalam tubuh saya  pun tak mudah pupus begitu saja. Meski banyak nasehat orang termasuk orang-orang penting seperti dokter paliatif yang meminta saya untuk berdamai dengan masa lalu menyentil telinga saya, tetapi entah mengapa kepedihan itu tak bisa sirna. Saya tetap dibayang-bayangi gambaran buruk itu yang selalu saja muncul di minda bak gerakan-gerakan pelan yang minta dicermati selamanya. Hidup dengan kanker itu memang tidak indah.

Kemarin dalam sesi penyuluhan yang rutin diselenggarakan pihak RS Kanker Dharmais, mata dan telinga saya bertumbukan dengan sosok dr. Maria Astheria Witjaksono, MPALLC direktur Unit Paliatif yang kebetulan teman saya. Sambil menuju ke meja kantin di seberang tempatnya berdiri menyuluh, kami bertatapan barang sejenak dari kejauhan. Namun gerak bahasa tubuh dan mata serta senyumnya mencirikan bahwa mbak Ria, begitu saya menyapanya melihat serta menyapa saya. Beliau memang begitu lembut, luar biasa halus layaknya putri-putri keraton Jawa sehingga cocok dengan profesinya sebagai dokter yang menangani pasien-pasien yang berada dalam keputus asaan dan ketiada berdayaan.

Tajuk penyuluhan yang dibawakannya adalah seputar mengatasi rasa sakit pada penderita kanker. Beliau sendiri pernah mengatakan bahwa menderita kanker itu sakitnya luar biasa, sakit secara fisik sekaligus juga sakit yang tak tergambarkan. Karena itu peran keluarga sebagai pendamping pasien merupakan hal yang paling penting sebagai "pengalih" rasa sakit itu. Dulu beliau mengucapkannya untuk meminta anak-anak saya tahan dan bersabar di dalam merawat saya. Tapi kini rasanya saya justru sedih dan ingin menangis menyaksikan mereka tersiksa sendiri oleh kegiatan di dalam rumah seputar pekerjaan rumah tangga yang terpaksa sepenuhnya beralih ke pundak mereka. Sungguh amat menyiksa batin saya jadinya.

Bulan lalu di saat kami kebingungan mencari dana pengobatan saya, sambil menerima saya di kantornya mbak Ria menasehati anak saya hal yang sebaliknya. Dia diminta untuk ke luar rumah menyelesaikan urusan akademisnya yang tertunda agar bisa segera mencari pekerjaan. Dinasehatinya untuk sejenak meninggalkan saya dan membiarkan saya melakukan kegiatan harian saya sendiri semampunya.

Waktu itu saya menyetujui sepenuhnya. Tapi, itu ketika stamina saya masih jauh lebih baik dibandingkan sekarang. Yakni ketika saya masih punya daya untuk melawan rasa sakit dan lesu lemah dengan asupan herbal Cina. Namun kini ketika saya harus rela berkomitmen meninggalkannya, mungkinkah kami melaksanakannya? Kanker itu memang selalu pahit menyakitkan.

Terlalu pahit rasanya menjadi penderita kanker. Itu sebabnya saya sering diliputi kecemasan jangan-jangan kepahitan saya akan dimanfaatkan orang untuk hal-hal yang tak sesuai dengan hati nurani saya. Akibatnya saya sering dicap aneh, sebab hidup susah tapi pilih-pilih bantuan.

Perasaan ini tercipta ketika pada mulanya saya diminta teman-teman saya mengurus SKTM untuk mendanai pengobatan. Saya tidak segera melakukannya, karena saya tak ingin mempermalukan diri sendiri di hadapan pejabat pemerintah yang saya mintai bantuan itu. Pasalnya jika dilihat secara kasat mata saya bukanlah tipe warga tidak mampu yang hidup di bawah garis kemiskinan. Hanya saja saya memang pengangguran yang juga menumpang hidup pada anak-anak saya yang menganggur. Jadi meski pengangguran, saya masih punya rumah sendiri dengan keadaan yang kukuh untuk sekedar tidak dikatakan bagus apalagi mewah. Sedangkan sehari-hari kami masih tetap dapat menghidupi diri dengan pemasukan yang tidak menentu yang kami usahakan sendiri. Dengan begitu saya perlu memikirkan lebih rinci alasan apa yang mungkin saya pakai mengetuk hati pemerintah. Ini memakan waktu lama meski kemudian menghasilkan SKTM juga. Alasan ini yang sempat membuahkan cap "terlalu gengsian". :-(

Satu peristiwa lagi terjadi bulan lalu ketika saya masih kebingungan mencari uang pembeli obat-obatan kemoterapi saya. Teman-teman lama saya sibuk mencari informasi tentang badan sosial yang bersedia membantu penderita kanker selain Yayasan Kanker Indonesia.Tersebutlah sebuah SMS berantai yang menuliskan diri merupakan sebuah lembaga nirlaba yang bergerak untuk menolong penderita kanker dari jenis apa saja berobat seringan-ringannya. Melalui alamat E-mail seseorang yang dicantumkan di situ, penderita kanker atau keluarganya yang berminat minta bantuan diharuskan mengirim data diri pasien, kasus penyakitnya berikut SKTM yang wajib dimiliki. Selanjutnya pembuat SMS itu juga menuliskan PIN BB pengurusnya yang bisa dihubungi. Rasa-rasanya sih semua masuk di akal. Tak ada yang janggal. Jadi pasien yang betul-betul butuh biaya akan merasa sangat tertarik menghubunginya. Tapi tidak demikian halnya dengan saya.

Saya justru ragu dan menolaknya mentah-mentah. Saya tak percaya semudah itu orang mengulurkan bantuan tanpa batas bagi penderita penyakit berat yang tak pernah ada kaitan dengan dirinya. Kalau pun memang ada orang berhati emas, tentu mereka tak memanfaatkan jejaring sosial begini untuk beramal. Mereka pasti tahu keberadaan Yayasan Kanker Indonesia yang beroperasi secara resmi di mana-mana. Maka tentu melalui lembaga resmi ini lah keinginan mulia mereka disalurkan agar tak repot-repot mengurus pembentukan lembaga sendiri dan mencari masyarakat sasarannya. Itu kata hati dan pikiran sempit saya yang tak terlalu mudah mengemis bantuan. Saya tak peduli dilabeli sombong dan semacamnya.

Kemudian saya mencari tahu lebih dulu latar belakang lembaga itu melalui mesin pencari Google agar yakin bahwa mereka memang bergerak di bidang sosial membantu orang sakit. Tapi ternyata saya tak menemukan apa-apa. Selanjutnya saya mencari sosok yang namanya dijadikan alamat E-mail. Untung saya bisa menemukannya. Tapi tetap tak sesuai harapan karena nama itu merujuk kepada situs seorang pedagang on-line yang jualannya merupakan alat kecantikan. Terjawab sudah keraguan saya. Tinggal minta tolong teman saya menghubunginya lewat BB Group. Undangan pertemanan segera diulurkan, yang hasilnya persis dugaan saya, tak berjawab. Saya kini menarik nafas lega karena merasa menjadi orang beruntung. Terbayang jika saya terlanjur mengirimkan data diri saya kepadanya, sangat mungkin saya tak akan beroleh bantuan apa pun kecuali menyumbang nama dan kasus saya untuk mereka pergunakan sesuai keinginan mereka. Kasarnya, diri saya dipinjam untuk mengemis bantuan ke sana-sini tanpa ikut menikmati hasilnya. Saya pun tersenyum kecut jadinya sambil mengelus dada menghela nafas lega. Waspada adalah jiwa saya daripada menjadi pengemis yang tak tahu diri.


Kini meski sakit saya masih tersenyum bahagia, sebab saya sudah mampu berobat ke RS. Tinggal saya menekuninya agar mencapai hasil yang maksimal, sebab nyawa tetaplah di tangan Tuhan. Semoga itikad baik saya menyumbangkan diri guna penelitian farmakologi obat akan menguntungkan tak hanya diri saya sendiri melainkan banyak pihak. Terbayang di mata saya prevalensi angka kesembuhan penderita kanker payudara yang meningkat di kemudian hari. Dan saya adalah satu di antaranya meski untuk sampai ke sana saya mesti jalan beringsut dengan kaki saya yang kini menjadi lemah bekas pengobatan.


(Bersambung)

Sabtu, 21 September 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (113)

Saya beruntung karena urusan pendanaan pengobatan saya di Dinas Kesehatan Kota (DKK) tidak sulit. Anak saya berhasil memperoleh persetujuan pembelian obat peningkat sel darah putih (leukosit) saya sesuai permintaan dokter ahli penyakit dalam konsulen kemoterapi onkologis saya. Bahkan surat pernyataan yang sudah saya persiapkan sebelumnya dari rumah tak jadi diperlihatkan karena pejabat yang melayani sudah mengenali anak saya. Tak perlu lagi ada perdebatan di meja beliau seperti yang sering terjadi..

Ini artinya besok saya bisa segera disuntik sehingga hari Rabu ketika menghadap dokter ahli kemoterapi saya di RSKD kondisi saya sudah membaik, siap untuk dijadwalkan menerima kemoterapi kedua nantinya. Saya memang cukup terpukul dengan kondisi saya sekarang setelah saya sempat meninggalkan herbal sinshe yang dulunya saya gunakan untuk menjaga stamina saya selama sakit juga saat dikemoterapi. Sebab saya kini mengalami lemah-letih-lesu ditambah buang air besar yang tidak normal. Lebih susah lagi karena buang air besar saya mulai berdarah. Hal yang sama sekali baru pernah saya alami sepanjang kemoterapi saya berlangsung lebih kurang enam bulan.

Dengan keadaan begini kelihatannya besok pagi saya harus konsultasi di klinik penyakit dalam dulu, begitu batin saya. Hal ini tertangkap pikiran anak saya yang mencermati kegelisahan gerak bahasa tubuh saya. Dia lalu menenangkan saya dengan cara mencari tahu apakah perdarahan itu merupakan efek kemoterapi juga. Mujurnya dia segera menemukan reportase penyuluhan efek kemoterapi yang pernah disampaikan dokter ahli kemoterapi saya beberapa tahun yang lalu. Dugaannya benar, kemoterapi yang membuat terganggunya produksi darah (sel darah merah/haemoglobin, sel darah putih/leukosit dan thrombosit) bisa berakibat macam-macam keluhan. Di antaranya perdarahan termasuk ketika buang air besar maupun kecil.

Meski temuan penjelasan dokter ahli kemoterapi saya cukup jelas, tetapi tak urung saya khawatir juga. Jadi sepanjang malam saya upayakan untuk melantunkan doa mohon perlindungan kepada Allah. Sambil di dalam hati saya menyesali mengapa saya tak lagi bisa menggunakan herbal Cina. 

Sebagai subjek penelitian, saya menghadapi dilemma berat. Menerima persyaratan menghentikan penggunaan herbal Cina dengan jaminan mendapat obat kemoterapi gratis selama setahun, atau tidak memperoleh sama sekali karena mengabaikan peraturan ini. Bagaikan makan buah simalakama, saya ingin menggunakan kedua-duanya tapi pasti berbuah celaka. Maka inilah akibatnya, saya harus menanggung rasa tidak nyaman dan sakit yang bertubi-tubi seperti para pasien lain pada umumnya. Untung saja pendarahan tak berlarut-larut sehingga saya bisa berangkat ke RS dengan tenang pagi harinya.

Direncanakan saya akan mengonsultasikan keluhan saya lebih dulu ke dokter ahli penyakit dalam sebelum melakukan penyuntikan untuk meningkatkan kualitas sel darah putih saya. Tapi apa daya, dokter ahli penyakit dalam itu sendiri ternyata sakit sehingga menutup kliniknya. Begitu pun dengan onkologis saya yang saya tahu memang tidak akan membuka klinik karena berkegiatan di Jakarta. Akhirnya sebelum ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) yang akan menyuntik saya, saya putuskan menghubungi onkologis saya lewat pesan singkat menanyakan mengenai penyebab kondisi saya.

Sambil makan pagi yang juga tak pernah lagi bisa saya habiskan di kantin RS segera saya terima jawaban onkologis saya. Barangkali karena akhir pekan, beliau jadi punya waktu luang di pagi hari untuk segera menjawab pertanyaan pasiennya, saya tersenang-senang sendiri. Penjelasan beliau membenarkan dugaan saya soal turunnya kadar thrombosit di dalam darah saya. Sekaligus mengatakan ada kemungkinan lain, penyebabnya adalah karena trauma mekanik saat buang air besar (mengejan). Jika sudah berhenti tidak perlu risau, itu pesannya. Alangkah melegakan membuat saya tak lagi terlampau berkecil hati meski rasa lemah dan lesu saya semakin menjadi-jadi saja.

Di IGD kebetulan hanya ada satu pasien yang sedang ditangani. Perawat yang banyak dengan dua orang dokter jaga segera mengenali saya waktu saya katakan saya mau minta tolong disuntik dengan obat leucogen. Bahkan perawat perempuan yang masih gadis mungil itu tertawa-tawa mengingat episode penyuntikan saya yang sama tiga bulan yang lalu. Dia dan partner kerjanya yang sama-sama belia makin tertawa waktu saya jawab bahkan saat ini pun saya masih akan ketakutan lalu meronta-ronta seperti dulu. Memang, episode penyuntikan di perut ini untuk saya "menyeramkan" karena saya berhadapan langsung dengan jarum suntiknya. Meski ketika diambil darah di laboratorium toch mata saya melihat jarumnya juga, tapi entah mengapa saya merasa lebih bisa tenang. Barangkali karena faktor sudah terbiasa saja.

Setelah menyelesaikan administrasi saya diminta berbaring di salah satu kubikel yang boleh saya pilih sendiri. Kemudian datanglah dokter jaga, lelaki setengah tua yang rambutnya "memerak" indah. Tak terbayangkan seandainya guguran bunga jambu jatuh di atas rambut itu, tentu semakin kemilau jadinya. Beliau menanyai kasus saya, dan siapa dokter yang mengirim saya kepadanya. Setelah itu perawat diminta mengukur tekanan darah saya serta suhu tubuh. Alangkah anehnya, tekanan darah saya cenderung rendah tak lebih dari 100/70 mmhg saja membuat saya bertanya-tanya sendiri apa yang terjadi. Tak lama kemudian dokter sendiri yang memeriksa kondisi saya dengan rabaan tangannya diikuti perintah untuk mengambil contoh darah saya guna pemeriksaan di laboratorium karena hasil pemeriksaan yang saya sodorkan kepada beliau adalah hasil lima hari yang lalu. Dalam pada itu saya mengeluhkan mengenai kondisi perut saya tadi. Beliau meminta saya untuk segera menghubungi dokter saya setelah saya selesai dari situ. Tapi manakala saya katakan kedua dokter saya tidak berada di klinik mereka, maka beliau mencoba menjawabnya. Pada dasarnya beliau sepakat dengan jawaban onkologis saya. Kadar thrombosit yang rendah memang bisa mengakibatkan perdarahan. Sayang beliau sudah terlanjur hanya memerintahkan pemeriksaan kadar sel darah putih dan sel darah merah saya saja, sehingga kadar thrombosit tak bisa diketahui saat itu. Rasanya saya ingin bangkit menyusuli teknisi laboratorium yang tadi melayani saya untuk minta pemeriksaan thrombosit sekalian, tapi kata hati saya mengatakan pasien tak punya hak untuk melancangi dokternya. Saya sadar diri dan mengurungkan niatan itu dengan malu hati.

Teknisi laboratorium yang melayani saya tertakjub-takjub sewaktu melihat rambut saya yang mulai tumbuh lebat lagi. Katanya dia sudah lama tidak melihat saya. Sekali pun melihat tentu saja saya berkerudung tidak seperti saat itu ketika sedang berbaring di meja pemeriksaan IGD. Patutlah kalau dia tak tahu seperti apa rambut saya sesungguhnya. Menurutnya rambut saya indah, meski saya katakan pasti akan segera habis lagi karena kemoterapi saya diulang dari awal. Dia menatap wajah saya sambil membulatkan bibirnya, "oh....," serunya membuat saya mengangguk-angguk membeberkan kisah "menghilang"nya saya dari RS itu sekian lama. Tak urung dia mendoakan semoga pengobatan saya berhasil. Katanya sekarang susah mendapatkan vena saya yang masih bagus. Semua sudah mengeras sehingga sulit ditusuk. Saya membenarkannya sambil menyeringai. Terbayang dalam dua hari lagi vena ini sudah harus siap ditusuk lagi. Ngilu rasanya menghadapi saat itu.

***

Kesakitan sesungguhnya merupakan suatu hal yang wajar untuk penderita kanker. Tak hanya karena pada sebagian penderita tumornya menimbulkan luka terbuka ~contohnya pada tumor payudara saya~, tetapi efek kemoterapi pun sering menimbulkan rasa sakit. Sariawan yang banyak dikeluhkan orang, itu salah satunya. Meski dulu saya tak pernah mengalaminya, tetapi kini setelah melepas herbal Cina luka-luka pada lidah, gusi dan bagian-bagian lain mulut saya mulai menyatakan dirinya. Untung tidak parah, namun tak pelak menimbulkan rasa tidak nyaman ketika tersentuh makanan. Inilah yang kemudian membuat pasien jadi semakin malas makan hingga kurus.

Saya pun sudah kehilangan satu kilogram bobot tubuh dalam tiga hari belakangan ini. Tak pelak lagi hilangnya nafsu makan dan pedih di mulut menjadikan lima-enam suap makanan sudah tak mau ditambah lagi. Tapi saya amat menyadari pentingnya makan makanan yang bergizi dalam jumlahnya yang cukup. Oleh karena itu, saya ikuti anjuran yang saya terima dar RS, yakni sering makan dalam porsi kecil-kecil makanan apa saja.

Saya menjabarkannya dengan cara saya sendiri, yakni makan tidak selalu berarti makanan padat dan berat. Susu yang dulunya amat tidak saya sukai rasanya, kini jadi menu wajib untuk selingan pukul sepuluh pagi serta sore. Saya campurkan ke dalam bubuk coklat lalu saya teguk bersama makanan ringan kering semisal cheese stick, kaktus, crackers maupun kacang. Selain itu juice yang dulu jadi menu wajib saya tapi kini tak mampu lagi saya telan banyak-banyak, saya ganti dengan buah segar yang saya makan nyaris terus-menerus sedikit demi sedikit. Hal ini terbukti membantu menghilangkan mual yang terkadang seperti hendak muncul juga.

Sebetulnya sedih juga saya memikirkan diri sendiri. Saya masih ingin kembali sehat, tetapi tak berdaya untuk melawan "kejahatan" kemoterapi yang kini mengganggu saya. Maka saya cermati lembar hasil pemeriksaan darah saya kemarin di RS diperbandingkan dengan hasil empat hari sebelumnya. Barangkali saya bisa menarik kesimpulan tentang apa yang terjadi ketika tubuh saya menolak makanan. Yang amat menyolok adalah merosotnya bilangan sel darah putih saya, dari 2.420/mm3 ke bilangn terendah hanya 1.500/mm3. Padahal pada orang sehat angka normalnya berkisar pada 5.000-10.000/mm3. Menurut dugaan saya, inilah yang membuat sariawan mulai timbul. Juga pencernaan yang berulah. Tapi soal pusing kepala dan letih-lemah-lesu bagaimana? Saya mencurigai tekanan darah saya yang tiba-tiba rendah sebagai penyebabnya. Semoga perkiraan saya tidak keliru. Saya menghela nafas menunggu hari berganti. Tak sabar rasanya saya menunggu hari Rabu, saatnya saya berkonsultasiu dengan dokter ahli kemoterapi saya. Semoga saya membaik di hari itu setelah kemarin perut saya "dimasuki" obat suntik. Mari, lihat perawat bilang apa besok........

(Bersambung)

Kamis, 19 September 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (112)


Lemah-lesu-tak bertenaga, inilah keadaan saya seminggu ini. Nyaris tak terbayangkan kemoterapi siklus kedua dengan obat yang konon sangat kuat dan ampuh untuk membasmi penyebab kanker saya telah merobohkan benteng pertahanan tubuh saya. Saya pun benar-benar kehilangan selera untuk melakukan aktivitas apa pun bahkan termasuk makan yang merupakan kebutuhan pokok terlebih-lebih bagi orang sakit. 

Saya memang tidak muntah-muntah, tapi jelas makan pun saya tak bernafsu. Sedangkan perut saya mulai terasa aneh, antara konstipasi dan diare. Mengakibatkan saya tak mampu beranjak dari pembaringan, tak seperti ketika saya masih menggunakan herbal Cina sebagai obat pendukung pengobatan medis empiris saya. Dulu secara terang-terangan saya menggunakannya karena saya tak terikat dengan peraturan apa pun. Tapi kini ketika saya dihadapkan pada pilihan sulit antara menerima pengobatan cuma-cuma sebagai subjek penelitian perusahaan obat atau tak mampu membeli obat sama sekali, maka saya berkomitmen untuk menghentikan asupan herbal Cina tersebut. Sebab saya ingin mendapatkan hasil yang murni dari penggunaan obat-obatan barat ini. Mendapatkan obat secara cuma-cuma itu sendiri menjadi sesuatu yang patut saya syukuri, jadi apa boleh buat. Saya terima semua persyaratan yang mereka kehendaki apa pun konsekuensinya.

Memang sungguh sulit jadi pasien kanker. Sebab penyakit ganas ini membutuhkan perhatian, pengobatan dan penanganan yang sangat serius dari semua pihak. Itu sebabnya saya segera mematuhi jadwal pasca kemoterapi saya tepat seminggu sesudahnya ke dokter ahli kemoterapi. Belum-belum saya sudah mencurigai merosotnya kadar sel darah merah atau darah putih saya sebagaimana yang selama ini terjadi pada pasien-pasien lain. Benar saja, sel darah putih saya amat rendah. Tentu saja saya menjadi lemah seperti sekarang dan cenderung mudah terjangkit infeksi. 

Untuk itu saya harus disuntik dengan obat Leucogen yang harganya terbilang mahal, satu juta lima ratus ribu rupiah seampul. Sungguh menjadi beban berat bagi kantung kami. Apalagi sejak dokter onkologi saya menyatakan hanya sanggup mengobati saya di kantornya di Jakarta yang tak punya nota kesepahaman kerja sama dengan Dinas Kesehatan Kota (DKK) Bogor, maka biaya pengobatan saya menjadi tanggungan pribadi. Saya menghela nafas panjang, menggigit bibir memeras otak demi untuk mendanainya.

Terus terang saya sudah bertekad untuk melawan penyakit saya sekuatnya. Di balik itu saya kasihan melihat pengorbanan anak-anak saya yang tanpa pamrih didukung oleh dokter-dokter saya yang penuh belas kasih. Mereka rela bekerja keras demi terwujudnya sukses misi pengobatan saya yang saya tahu sangat tak mudah ini. Karena itu saya pun mesti ikut mencari dana pembeli obat suntik ini secara mandiri. Meski begitu saya tak boleh dipusingkan oleh urusan ini.

Saya bertekad akan minta bantuan lagi kepada pemerintah seperti dulu, sebab SKTM saya masih boleh diperpanjang. Soalnya saya menjadi semakin risau ketika mendengar kisah seorang perawat di RS yang kebetulan mantan penderita kanker ovarium. Sama halnya dengan kakak saya, setiap habis menjalani kemoterapi beliau yang berusia sedikit lebih tua dibandingkan saya selalu terpaksa harus menginap seminggu di RS. Pasalnya beliau kehilangan selera makan sehingga muntah-muntah, pusing dan lemah. Menurut ceritanya di kantin RS pagi itu, beliau terpaksa berobat di RSUP dr. Tjipto Mangunkusumo, Jakarta karena dokter yang tepat untuk menangani kasusnya berada di sana. Karenanya beliau sering meninggalkan pekerjaannya. Untunglah pekerjaan itu berkaitan dengan orang sakit juga sehingga teman-teman sepekerjaan dan para pimpinannya bisa mengerti. Sedangkan beliau didanai PT Askes selama sakitnya. Begitu juga dengan kakak sulung saya seorang pensiunan PNS. Jika tanpa bantuan asuransi, saya tak bisa membayangkan ongkos-ongkos perawatannya yang pasti tak murah itu. Itulah yang memicu tekad saya untuk mengurus SKTM lagi.

***

Jika saya amat-amati banyak pengunjung blog saya ini yang mencari informasi mengenai pengurusan SKTM atau pun Jamkes. Meski tak meninggalkan tanya atau komentar, tapi entri mengurus SKTM dan Jamkes nyaris ada setiap beberapa hari sekali menyaingi banyaknya orang yang mencari tahu dokter onkologi saya. Berawal dari situ saya beranggapan bahwa masyarakat masih banyak yang belum paham soal pengurusan dan penggunaan Jamkes. Sama dengan rasa penasaran masyarakat akan dokter onkologi yang bagus di kota kami yang boleh dikata jumlahnya sedikit. Inilah juga persoalan yang dimiliki warga kami yang kekurangan tenaga dokter profesional. Meski menjadi persoalan nasional berdasarkan pengamatan saya selama berobat di RSKD, tetapi untuk masyarakat kota penyangga metropolitan Jakarta hal ini jadi terasa menyedihkan.

Dokter onkologi saya pun pernah menyampaikan kegundahannya soal tenaga dokter ini. Pasalnya waktu praktek para onkologis di Bogor sangat terbatas, mengingat tugas utama mereka tidak semuanya di RS itu. Padahal dari hari ke hari penderita kanker terus bertambah menimbulkan penggelembungan yang luar biasa. 

Apalagi pasien kanker itu sendiri adalah orang-orang yang sangat lemah secara fisik. Jadi dengan sendirinya mereka membutuhkan tempat berobat dekat tempat tinggalnya. Mengingat ongkos pengobatan yang sangat mahal, tentu pasien membutuhkan dukungan finansial pemerintah melalui Jaminan Kesehatan seperti misalnya yang akhirnya saya pergunakan berkat dorongan dan petunjuk dokter onkologi saya. Tak terbayangkan bukan jika pasien harus berobat ke Jakarta nyaris setiap hari seperti yang saya jalani sekarang?

Pengobatan di Jakarta ini akhirnya jadi solusi terakhir yang mau tak mau harus saya tempuh meski tanpa dukungan dana Jamkesda. Ini pun sudah selayaknya saya syukuri benar karena dokter onkologi saya banyak mengorbankan kepentingan pribadinya untuk pasien semacam saya. Dapat dimengerti sebab masa kini sulit mendapat dokter yang bekerja dengan sepenuh hati dilandasi semangat murninya untuk mengabdi kepada masyarakat.

Tapi dokter juga manusia. Di sisi lain mereka punya kehidupan sendiri sebagaimana kita. Menghadapi persoalan beban pekerjaan yang demikian ini tak bisa disalahkan jika sifat manusiawi dokter pun terkadang timbul. Dokter kelelahan sehingga tak bisa diajak bicara dengan santai panjang lebar meski pasien ingin tahu banyak soal penyakitnya. Dalam situasi seperti itu pasien cuma diterima selama beberapa menit dengan agenda pemeriksaan yang penting-penting saja. Adakalanya itu tak mencakup pemeriksaan fisik yang diharapkan pasien. 

Ini terjadi pada diri saya ketika memenuhi jadwal kontrol seminggu pasca kemoterapi siklus kedua saya kemarin dulu. Dokter ahli kemoterapi cuma mengambil data berdasarkan laporan saya, hasil laboratorium serta pemeriksaan fisik tensi serta penimbangan berat badan yang dilakukan perawat terlebih dulu. Ketika saya sodorkan kesempatan untuk melihat tumor saya, beliau menolak dengan mengatakan belum perlu memeriksanya. Padahal ternyata beliau agak kaget sewaktu saya katakan tumor saya berada pada dua lokasi yang berbeda, meski bukan penyebaran. Tumor itu kini dicurigai dokter ahli rehabilitasi medik sebagai penyebab semakin membengkaknya lengan bagian atas dari pangkalnya. 

Belum lagi dokter di daerah yang kerap saya dengar diprotes pasien yang terpaksa menunggu nyaris seperempat hari di ruang tunggu klinik RS karena ketibaannya yang tak pernah tepat waktu bahkan sering tak praktek klinik. Ini disebabkan waktu praktek dokter yang cuma dua hari seminggu harus berbagi dengan jadwal operasi yang tingkat kesulitannya rendah sehingga bisa dilakukan di RS setempat. Jadwal operasi ini jelas mesti didahulukan, mengingat sifatnya sering tak bisa ditunda. Lain halnya jika tingkat kesulitan operasi tinggi, ada dokter yang memilih membawa pasiennya ke RS lain yang lebih lengkap untuk ditangani di sana. Contohnya pada diri saya yang didanai secara pribadi oleh dokter onkologi saya dengan alasan agar segera tertolong.

Dokter itu memang manusia. Karenanya seringkali saya bingung menyaksikan ketangguhan stamina mereka yang pontang-panting dari satu tempat ke tempat lainnya melayani masyarakat. Ini saya lihat dan kagumi sejak tahun '70-an ketika di Bogor sangat jarang ada ahli penyakit dalam. Dokter ibu saya waktu itu adalah seorang perwira kesehatan TNI AU yang berdinas di Jakarta tapi membuka prakteknya di Bogor pada sore hingga malam hari. Sebab itu bisa dibayangkan bagaimana kondisi beliau lewat pukul sepuluh malam ketika menjenguk para pasien rawat inapnya di RS yang banyak jumlahnya. Jalannya sudah terseok-seok cenderung gontai, barangkali juga dengan mata separuh terpejam.

Sekarang hal yang sama nyaris terulang pada dokter saya. Di tengah-tengah komunikasi kami beliau pernah menceritakan bahwa seringkali beliau pulang pukul setengah dua belas malam disebabkan pasiennya meluap. Tak ada seorang pun yang bisa disalahkan, sebab jumlah dokter memang sangat sedikit sedangkan kebutuhan pasien tinggi. Pada pasien-pasien tertentu yang "fanatik" kendala apa pun yang terjadi tak membuatnya mundur mencari dokter lain. Sebab sebagian besar di antaranya adalah pasien lama, sedang sebagian lagi mereka yang terlanjur percaya pada mantan pasien atau keluarga mereka yang mengatakan bahwa berobat ke dokter ini amat menyenangkan. Lagi-lagi contohnya saya.

Untuk saya berat rasanya berpindah dokter meski ke seorang profesor sekali pun seperti anjuran pihak DKK ketika tak dapat mengabulkan permohonan dokter saya untuk mendanai pengobatan saya di RS tempat beliau bertugas sebagai PNS. Saya khawatir kasus penyakit saya harus diulang dari awal sehingga potensial merubah dan merusak rencana penanganan penyakit saya yang selama ini tertata dengan baik. Untunglah dokter mendukung sikap saya meski harus mengorbankan uang pribadinya. Tanpa kebaikan jasa beliau tak tahu sekarang di alam mana saya berada.

Hari ini Jumat (20/09) kami kembali mengurus bantuan pemerintah. Berbekal surat keterangan dokter ahli penyakit dalam konsulen kemoterapi onkologis saya di Bogor saya akan minta bantuan pembelian obat-obatan yang mahal. Sudah barang tentu alasan kami adalah tak ingin terus-menerus membebani dokter saya yang budiman itu. 


Untuk itu saya membuat surat permohonan berisi pernyataan bahwa setelah berhasil dioperasi dokter saya tanpa dibiayai pemerintah saya kini kembali kesulitan keuangan. Saya ingatkan penolakan lisan pejabat yang berwenang di DKK dulu yang isinya tak mungkin mendanai operasi saya di RS yang tak mereka tunjuk, tapi mengizinkan saya berobat dengan dana sendiri. Untuk selanjutnya setelah itu saya diizinkan minta bantuan lagi untuk proses pengobatan selanjutnya. Hati saya harap-harap cemas. Terbersit pikiran bahwa mereka mencoba menolaknya karena saya tak mau berganti dokter. Tapi, ah, lihat saja nanti sore. Ketika anak saya kembali dari mengurus masalah ini, akan kah pembelian obat saya didanai pemerintah? Wah kalau tidak, pusing juga ya.......... :-(

(Bersambung)

Jumat, 13 September 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (111)


Angka yang sedap dipandang mata, 111 menjangkau hari-hari penulisan catatan harian semasa saya sakit pada hari ini. Saya bayangkan bentuknya yang menyerupai pagar adalah alat yang berfungsi untuk mengganjal pertumbuhan atau serangan sel kanker itu lebih jauh lagi ke dalam tubuh saya. Sebab saya berkeinginan sembuh dan bertekad menggapainya meski tak mudah. Saya pun tahu saya harus gigih berjuang untuk itu, apalagi dengan dukungan dana dan suntikan semangat dari banyak pihak. Sebab ibarat pepatah, dalam hidup saya "banyak jalan menuju ke Roma".

Sehari setelah kemoterapi siklus kedua saya berlangsung mulailah ketidak nyamanan itu mengganggu saya. Meski sangat ringan tapi tetap membuat saya merasa tidak enak badan. Tubuh saya terasa lesu, nafsu makan saya tiba-tiba menghilang. Tapi saya sama sekali tidak mual atau pun muntah. Pun diare yang biasanya muncul sama sekali tak mengganggu. Yang terasa amat menyakitkan adalah kekakuan pada lengan saya yang bengkak dan sakit itu. Selain nyeri, lengan itu terasa seperti papan yang sulit dilengkungkan membuat saya menjerit-jerit. Persis seperti nyeri kejang pada panggul saya ketika penyakit saya baru mengganggu di bagian alat reproduksi saya. Terpaksa saya memberdayakan tangan anak saya untuk memijatnya sambil minta diambilkan air panas sebagai pengompres. Saya langgar saja aturan yang ditetapkan dokter ahli rehabilitasi medik untuk tak menggunakan alat atau air panas di bagian yang sakit itu. Ah, nyatanya berangsur-angsur nyeri itu berkurang, ketegangannya mereda dan saya pun jatuh terlelap tanpa mimpi.

Berikutnya saya mulai kesulitan buang air besar. Hal ini memang kerap terjadi berganti-ganti dengan diare. Hanya kali ini yang muncul adalah konstipasi itu meski tidak seberat yang sering dikeluhkan orang. Akibatnya perut saya terasa penuh dan malas menerima makanan maupun minum. Tak mampu saya menghindarinya. Karena itu saya tetap memaksakan diri makan seperti biasanya, hanya dalam jumlah yang sangat sedikit. Sebab saya telah mengambil pelajaran dari kasus kakak sulung saya yang dirawat di RS seminggu pasca kemoterapinya yang pertama disebabkan mogok makan sama sekali sehingga berakibat dehidrasi serta gejala halusinasi dan kehilangan kesadaran.

Apa jadinya kalau saya sampai mengalami hal serupa kakak saya? Menurut saya itu adalah kebodohan yang luar biasa karena menyiksa orang-orang yang setia dan telaten merawat saya terutama kedua anak-anak saya. Saya sadari mereka begitu banyak berkorban untuk saya. Waktu mereka untuk melaksanakan kewajiban hidup mereka dan bersenang-senang dikorbankan hanya demi perawatan saya sehari-hari. Tak kuasa saya menahan sedih jika mengenangkannya. Mereka lah pejuang sejati yang sesungguhnya bagi hidup saya. Tanpa mereka, sulit bagi saya tetap dapat berdiri tegak hingga sekarang.

Efek kemoterapi memang menyiksa dan menimbulkan keluhan bermacam-macam. Isi video yang diputarkan untuk saya di RS kemarin dulu pun menggambarkan itu. Karenanya bersifat penyuluhan. Pasien dianjurkan untuk melawan rasa malas makannya sedemikian rupa. Porsi-porsi makan dibagi menjadi kecil kira-kira untuk lima-enam kali makan. Isinya bisa disesuaikan dengan kesukaan pasien sebab tak ada pantangan sama sekali. Di sela-selanya pasien dianjurkan makan makanan ringan apa saja termasuk kacang jika suka. Pokoknya pada prinsipnya pasien harus mengisi perutnya dengan sesuatu yang bergizi. Sebab makanan itu dibutuhkan untuk melawan penyakit melalui stamina yang prima. Karenanya tak heran jika selama ini saya dipandang aneh oleh kebanyakan orang disebabkan kegemukan badan. Pasalnya selama sakit saya selalu giat makan buah-buahan dan membuat sendiri jus kental sebagai sarana mengisi perut dengan sesuatu yang bermanfaat.

Video yang saya tonton juga menganjurkan pasien untuk makan beramai-ramai dengan orang lain seandainya mungkin, supaya nafsu makannya terbangkit. Lalu dia pun dianjurkan berolah raga ringan semampunya walau sebentar. Inilah yang tak kuasa saya lakukan karena tubuh saya selalu terasa lemah, mudah lelah dan nafas pun terasa pendek-pendek. Itu semua memang gangguan yang ditimbulkan oleh obat kemoterapi. 

***

Pagi ini pagi ketiga sehabis dikemoterapi. Tubuh saya terasa melayang karena kepala saya agak sedikit pening ("light headed"). Tapi saya tak mau memanjakan diri. Saya mandikan tubuh dengan sejuknya air sumur, lalu menyantap beberapa suap nasi dengan ikan ditutup seiris besar pepaya. Alhamdulillah saya tidak mual apalagi muntah. Cemas yang sempat melanda hati saya pelan-pelan berkurang. saya hanya merasa kecewa pada lengan dan tangan kiri saya yang tak kuat mengangkat apa-apa termasuk sepiring nasi yang sesungguhnya amatlah ringan. Saya perhatikan di cermin, tumor di tulang selangka saya sudah membukit besar sekali sehingga saya perlu menjahitkan baju-baju baru lagi seperti perintah dokter ahli rehabilitasi medik minggu lalu. Kini tak ada lagi pakaian yang nyaman di tubuh saya. 

Sesungguhnya saya ingin mengeluhkan keadaan ini kepada onkologis saya, meski saya tahu beliau tak bisa mengoperasinya karena tumor itu bersarang di pembuluh darah. Itu juga alasan yang membuat beliau dulu mendesak agar kemoterapi saya segera dilangsungkan. Sayang saya sadari bahwa hari ini beliau sedang di Sumatera untuk sesuatu hal yang berkaitan dengan tugasnya hingga nanti malam. Apa boleh buat, saya hanya bisa menggigit bibir menahan ketakutan dan rasa sakit saya seorang diri. Saya telan saja obat-obatan yang dibekalkan kepada saya. Saya berharap sakit saya mereda.

Keadaan tak nyaman ini membuat saya enggan melangkah ke luar rumah sekalipun hanya ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) untuk memenuhi undangan pemilihan walikota kami. Rasanya saya hanya ingin menyepi di rumah seraya mendendangkan dzikir. Saya yakin Allah itu ada dan Maha Mendengar. Karenanya saya berharap dzikir-dzikir saya didengarNya sebagai bentuk terima kasih saya atas ujian berat ini sehingga Allah akan kembali membimbing saya untuk melalui tahapan rasa sakit ini dengan tenang. Tiba-tiba Tangan dingin itu serasa membelai-belai tubuh saya mengalirkan ketenteraman dalam nadanya yang abadi.

Tiba-tiba juga saya teringat "bayaran" tidak murah yang telah saya setorkan di RS berupa serangkaian tindakan medis demi menebus kesehatan dan kesembuhan saya. Urat nadi yang pecah dan membiru, itu salah satunya : 




Lalu tindakan suntik yang diupayakan untuk mengurung sel kanker saya agar bisa segera digempur habis di tempatnya semula :


Dan infus-infus itu yang mengalir tenang menjalari aliran darah saya untuk menyikat sel-sel kanker yang kemungkinan ada bersembunyi di bagian tubuh lain. Lihatlah isi botol infus yang di dasarnya berupa gelembung-gelembung kecil nan nampaknya seperti lembut untuk diraba :



Saya telah berhasil melaluinya dengan baik. Maka kini saya mesti mempertahankannya bertugas melawan sel kanker saya. Perang baru saja dimulai kembali. Saya berharap amunisi baru ini akan jadi sarana untuk menyembuhkan diri saya. Maaf saja, saya belum ingin mati. Masih banyak tugas kemanusiaan yang mesti saya lakukan. Berjuang itu wajib, bukan?!

(Bersambung)

Kamis, 12 September 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (110)

"Ah, kamu lagi, kamu lagi. Kanker, kamu balik lagi. Kemoterapi, kamu menyambung nyawaku lagi. Dan hari ini, Rabu (10/09) aku harap menjadi gerbang awal dari perjalananku menuju kesembuhan serta hidup sehat selamanya. A road to victory!" Itulah kalimat yang saya gaung-gaungkan terus di dalam jiwa saya. Sebab saya masih ingin hidup, saya tak rela mati sekarang ini.

Maka Rabu pagi (10/09) saya sambut adzan kaji subuh dengan gembira. Saya pun melangkah ringan membasuh tubuh di kamar mandi dengan air sumur yang sejuk, lalu membangunkan anak-anak saya yang sejak sehari sebelumnya sudah sama senangnya dengan saya. Sebab hari ini kami akan ke RSKD untuk sesi kemoterapi yang baru. Siklus kedua dengan koktail obat yang berbeda yang diprediksi akan manjur menjerat pertumbuhan sel ganas di tubuh saya yang selama ini tak habis oleh obat-obat kemoterapi.

Sebelum pukul enam kami sudah berada di jalanan dengan maksud supaya bisa tiba pukul setengah sembilan pagi, sebab perjalanan ke Jakarta selalu serba tak menentu. Untung semuanya lancar belaka mempermudah mang Arifin adik kelas saya di SMP melajukan kendaraan pinjamannya untuk saya. Hari kebahagiaan ini kebetulan tak bisa disaksikan pak Jamil temannya yang setia mengantar saya, karena dia punya kegiatan lain yang tak mungkin ditinggalnya.

Tepat pukul delapan sosok gedung RSK Dharmais sudah menyapa mata saya membuncahkan secercah kebahagiaan. Banyak pasien di dalamnya menandakan aktivitas RS berjalan normal. Anak saya menuju meja pendaftaran pasien disertai pertanyaan saya mengapa dia tak menuju meja pasien rawat inap. Katanya peraturan di situ mengumpulkan pasien rawat singkat menjadi satu dengan pasien rawat jalan. Saya mengangguk-angguk mengerti. Lain RS lain aturan, begitu kesimpulan saya seraya mencoba menghubungi ibu Lita koordinator tim penelitian. Ternyata beliau belum tiba di kantornya atau masih sibuk mengisi absensi, sehingga saya langsung menuju bagian luar RS tempat pintu masuk ruang rawat singkat berada.

Saya disambut perawat lelaki berseragam biru muda yang ramah. Setelah menyebut identitas saya beliau langsung mengerti kemudian meminta berkas Rekam Medik saya kepada temannya. Sambil dicarikan saya dimintai hasil pemeriksaan laboratorium saya yang terakhir. Saya katakan sudah tercakup di RM dicantumkan oleh spesialis bedah onkologi saya. Agaknya lagi-lagi lain RS lain peraturan, padahal saya tak mendapat penjelasan lebih dulu. Di sini setiap pasien masuk ruang kemoterapi harus membawa kopi hasil pemeriksaan laboratorium di tangannya seakan-akan sebagai tanda masuk. Belakangan baru saya ketahui bahwa ternyata sebagian pasien dianggap tidak sehat dan harus ditransfusi darah dulu untuk meningkatkan sel darah merahnya. Itulah sebabnya lembar pemeriksaan laboratorium tidak saja harus disimpan di RM melainkan juga dibawa tangan.

Saya kemudian dipersilahkan masuk ke ruang perawatan 215 yang terletak di tengah-tengah dengan 7 tempat tidur di dalamnya. Di muka sekali ruang-ruang rawat kanak-kanak yang pada pintunya berhiakan tulisan "SELAMAT DATANG" dengan karakter huruf khas bocah yang memikat. Mereka mendapat kursi malas serupa kursi favorit saya di RS di kampung halaman yang sering saya pakai melaksanakan "ritual" kemoterapi saya. Ruangan itu baru terisi seorang pasien. Setelah menyapanya saya memosisikan diri di muka kamar mandi merangkap toilet sebab biasanya pasien kemoterapi sering sekali buang air kecil.

Zuster menyusul masuk menanyai identitas saya, dan lagi-lagi meminta hasil laboratorium. Darinya saya peroleh penjelasan bahwa berhubung banyaknya pasien, maka rekam medis pasien sering bertumpuk sehingga menyulitkan perawat untuk mencari dengan segera. Itu sebabnya dibuat peraturan pasien diminta menyerahkan hasil laboratorium yang terbaru dengan tangannya sendiri. Lagi-lagi saya mengangguk mengerti. Kemudian tekanan darah saya diukur. Untungnya normal tak seperti kekhawatiran saya penderita tekanan darah tinggi. Setelah itu suhu tubuh saya pun diambil, yang juga normal. Berdasarkan pengalaman saya, hanya tinggal menunggu pemeriksaan tubuh oleh dokter jaga saja supaya saya bisa segera dikemoterapi.

Tak lama infus dipasangkan perawat ke tangan saya yang walau sudah membaik tetapi venanya terlanjur pecah-pecah dan memang tipis serta bengkok. Peristiwa pemasangan jarum infus ini memang selalu mengerikan saya karenanya. Kepada perawat yang akan mulai saya berpesan agar berhati-hati. Dia membenarkan seraya mencari di sana-sini di bagian mana kiranya saya bisa ditusuk mengingat lengan kiri saya sudah cacat dan sedang sakit. Dia menemukan sebuah titik yang paling saya takuti. Celakanya, titik di bagian samping tangan saya justru saya tarik sendiri secara tak sengaja ketika jarum mulai menusuknya membuat vena itu tak lagi bisa dipakai. Sambil memperingatkan saya untuk tidak lagi berulah seperti itu, perawat menepuk-nepuk bagian-bagian lain tangan saya hingga dia kewalahan sendiri. Akhirnya dia meminta tolong perawat yang lebih senior untuk menangani saya. Untung perawat ini berpengalaman banyak sehingga dia cuma perlu sekali tusuk saja untuk membuat jarum infus menancap sempurna. Lalu melajulah cairan garam yang biasa dipakai untuk membilas darah pasien dengan lancar. Dan saya sadari lagi perbedaan di RS ini dengan RS di kampung saya. Cairan pembilas yang digunakan sangatlah sedikit, kira-kira sepertiga botol saja. Bandingannya, dengan sebotol penuh yang biasa masuk ke tubuh saya di kampung sini.

Selanjutnya dokter jaga masuk diiringi perawat. Setelah memperkenalkan diri dan menanyai saya, beliau memeriksa tubuh saya. Tak ada bedanya dengan dokter di kampung saya. Catatan perawat pun dibacanya dengan cermat. Sejenak saya duduk menunggu datangnya ibu Lita serta dokter peneliti itu yang akan memulai kemoterapi. Duduk menyenangkan untuk saya, karena saya tidak merasa sebagai orang sakit. Berbeda rasanya jika saya terbaring, seluruh tubuh saya akan terasa lunglai jadinya. Meski begitu saya perhatikan pasien-pasien yang mulai berdatangan mengisi ruangan semua langsung membaringkan diri. Seorang nenek yang rambutnya sudah memutih semua serta habis tergerus obat kemoterapi bahkan terus berbaring seorang diri hingga sore ketika saya pulang. Namun meski begitu luar biasa sekali semangatnya. Beliau berjalan cepat dan gagah setiap akan menggunakan toilet. Sama seperti pasien-pasien lain kecuali saya yang tak bisa menggunakan kedua belah tangan saya karena kondisi yang tak layak. 

Saya dengar dokter mengomentari para pasien yang tak semuanya fit. Ada yang harus ditransfusi terlebih dulu, membuat saya menyukuri keadaan saya yang alhamdulillah sehat saja. Untuk mereka ini kemoterapi harus ditunda dulu sampai menmbaik.

Kira-kira pukul sepuluh barulah dokter datang bersama seorang dokter muda yang tak dinyana ternyata pernah tinggal di perumahan saya semasa SMP dulu. Dokter yang memperkenalkan dirinya bernama Fira ini tak menyebalkan karena keramah tamahannya. Entah posisi dan tugasnya di RS sebagai apa, yang jelas beliaulah yang menyuntikkan obat yang tengah diteliti itu disertai petunjuk penggunaannya disaksikan dokter saya. Agaknya meski peneliti utama, tetapi dokter saya masih cukup asing dengan peralatan suntik yang bentuknya lain daripada biasanya itu sehingga saling melengkapi bersama dokter Fira. Alat bundar itu mempunyai jarum suntik halus yang tersembunyi yang dijalankan secara mekanis dengan tenaga baterai. Tapi jarum suntik di mana pun sama rasanya, menimbulkan nyeri yang berusaha saya tahan sekuatnya. Kemoterapi memang demikian, selalu melibatkan jarum suntik.

Suntikan itu berlangsung singkat, lima menit saja. Tapi terasa lama karena saya cenderung cengeng dan penakut. Tapi kami menyelesaikannya sambil mengobrol. Dan di antara obrolan tim medis saya itu tertangkap kesan bahwa dokter puas terhadap saya. Sebab ada peneliti lain yang hingga saat itu belum mendapatkan pasien yang cocok terkait dengan kegagalan test kesehatan pada hatinya. Lagi-lagi saya merasa harus bersyukur karenanya.

Dokter ahli kemoterapi saya sekarang memang sudah melimpahkan saya kepada sejawatnya, sang peneliti utama. Ini terlambat saya sadari. Ibu Lita lah yang mengungkapnya ketika menunjuk dokter lelaki itu sebagai pihak yang berhak memeriksa saya seminggu pasca kemoterapi nanti. Tapi dengan pesan untuk membahas hal-hal yang bersifat kewanitaan saya dipersilahkan tetap berkunjung ke klinik bu Doktor. Lagi-lagi kini saya menemukan perbedaan sistem berobat di kedua RS yang saya datangi. Di RS besar dan khusus ini tentu saja setiap penyakit memiliki para pakar masing-masing yang didukung oleh tenaga-tenaga spesifik yang handal guna saling melengkapi. Jadi selain mempunyai dokter utama seorang dokter spesialis bedah onkologi, juga dokter ahli jantung dan penyakit dalam yang bertugas memantau kesiapan fisik pasien, ada lagi dokter lainnya. Yakni ahli kemoterapi dan juga ahli radioterapi bagi pasien yang harus menjalani program pengobatan dengan penyinaran. Bagi pasien-pasien tertentu yang membutuhkan terapi fisik disediakan jasa dokter ahli rehabilitasi medik. Maka bertambah luaslah pengetahuan saya berobat kini.

Diselingi makan siang saya menghabiskan waktu hingga sore seperti biasanya. Bahkan satu-dua jam lebih singkat karena pemasukkan obat ke tubuh saya dipotong dengan metoda baru yang sedang dicobakan dan diteliti itu, yang jelas mengurangi stress pada penderita.

Ya, faktor stressor untuk penderita kanker menyumbang depresi terbesar bagi kami. Penyebabnya selain masalah pembiayaan pengadaan obat dan perawatan juga adalah ketakutan menjalani proses dan efek kemoterapi. Sebab seperti umum diketahui, kemoterapi mendatangkan sakit fisik seperti mual-muntah-diare dan pusing kepala serta sariawan di rongga mulut hingga kerongkongan. Untuk itulah dunia medis terus mengupayakan untuk membantu meringankan kami melalui berbagai studi.

Siang itu datanglah seorang gadis perawat yang tengah menyelesaikan pendidikan sarjana II nya di luar negeri ke tempat saya dan satu dua orang pasien lainnya. Dia membawa lembar kuesioner yang diminta untuk kami jawab sejujurnya. Intinya dia ingin mengukur tingkat kecemasan pasien. Dia terpana ketika melihat tingkah dan sikap saya yang ceria mirip gadis yang sedang menerima hadiah ulang tahunnya yang ketujuh belas. Ya, bagi saya kemoterapi dengan obat baru ini adalah rizki tak terkira yang membawa saya kembali memperpanjang nyawa saya. Insya Allah. Karenanya menjelang pulang sore itu dia menghadiahi saya sebuah mug sederhana yang dikemas cantik setelah sebelumnya memutarkan video yang meredakan ketegangan syaraf. Dalam video itu dipertontonkan pula bagaimana sikap yang benar di dalam menangani serangan sel ganas ini. Kuncinya pasien harus menanamkan niat untuk sembuh dan menjalani hari-harinya seperti biasa sebelum sakit namun disesuaikan dengan tingkat kemampuan fisiknya. Lalu saya pun berharap bisa memetik kesembuhan saya. Saya terus berdoa serta berjuang.

(Bersambung)





Rabu, 11 September 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (109)



Seumur-umur saya belum pernah merasakan bahwa tanda tangan saya begitu berharga. Apalagi dikaitkan dengan segenggam nyawa. Sebab saya hanyalah insan biasa, pengangguran yang menyandang status tak lebih dari sekedar seorang ibu rumah tangga. Namun itulah kenyataannya. Kemarin siang Senin (09/09) saya menandatangani "Form of Consent Informed" (Persetujuan Perjanjian) saya dengan pihak RS yang menjadi penyelenggara penelitian obat yang akan diberikan kepada saya. Perjanjian itu membawa saya kepada harapan baru bahwasannya saya akan sembuh asal saya bersungguh-sungguh menata diri dan gaya hidup saya selanjutnya. Maka rasanya perjuangan babak baru akan segera saya mulai kembali, membuat saya amat menghargai setiap detik dan langkah dalam kehidupan saya.

Mendapat obat terbaik dan tercocok untuk kondisi saya adalah impian yang sulit untuk diwujudkan. Saya harus melalui serangkaian pemeriksaan fisik terlebih dulu, selain mematuhi keinginan para dokter yang bertanggung jawab terhadap pengobatan ini. Untuk itu dibutuhkan modal yang tak sedikit serta tekad yang kuat menggapainya. Dengan menggalang dana dari berbagai pihak saya berhasil membayar test medis yang mahal-mahal itu sambil menutup muka menahan malu. Sebab bayangkan saja, uang yang saya pakai ikut test ini tidaklah sedikit bagi kalangan kami. Tapi berhubung saya menjanjikan untuk gigih merebut kembali kesempatan mendapat perpanjangan nyawa, maka mereka yang menaruh belas kasihan kepada saya akhirnya datang mengulurkan bantuan dengan sendirinya.

Foto roentgent, ultrasonografi, pemindaian tulang (bone scanning), roentgent kepala (fluoroscopy) hingga Magnetic Reonance Imaging (MRI) yang mahal itu sudah berhasil saya lalui dengan bantuan dana teman-teman serta kerabat. Untungnya semua menampilkan hasil baik. Bagaimana jadinya seandainya ada kecenderungan buruk yang bisa menggagalkan raihan perolehan obat itu?

Setelah kondisi saya dinyatakan prima, dokter kembali memeriksa fisik saya dengan rabaan untuk memastikan bahwa tumor saya tidak menyebar ke organ tubuh lainnya. Ini pun alhamdulillah berhasil saya capai dengan sempurna, sehingga saya mendapat lampu hijau untuk dikemoterapi. Namun dengan satu syarat lagi, yakni saya dinyatakan memiliki kondisi jantung yang sehat oleh konsulen dokter ahli jantung.

Celakanya, kondisi jantung itulah dulu hambatan saya. Saya dinyatakan lemah jantung karena kena dampak dari obat-obat kemoterapi yang pernah saya terima sebelumnya. Untung dokter segera memperbaiki keadaan ini dengan memberikan obat-obatan yang sesuai sehingga saya bisa mengulang pemeriksaan jantung kembali segera. Lebih beruntung lagi saya diberi lampu hijau untuk memeriksakan diri ke RS Jantung dan Kardiovaskular oleh dokter ahli kemoterapi saya, sehingga saya bisa mendapat pemeriksaan ulangan yang teliti dan akurat. Hasilnya amat menggembirakan, membawa saya duduk sebagai pemenang menyisihkan banyak pasien yang juga berminat mendapat kesempatan menerima obat yang tengah diteliti itu.

Kemenangan ini tentunya merupakan kemenangan untuk banyak pihak. Tak hanya untuk keluarga saya, tetapi juga untuk tim medis yang memperjuangkan kesembuhan saya dan segala terapi yang mungkin saya coba. Juga bagi sahabat-sahabat yang sigap memantau kondisi saya lalu menyodorkan bantuan di saat diperlukan.

Sampai kemarin pagi kami masih berkutat dengan pemikiran bahwa saya harus menyediakan sejumlah besar dana untuk membeli obat-obatan kemoterapi yang tidak diteliti pihak Kementerian Kesehatan. Jadi karena berangkat ke RS dengan kantung kosong, tenang dan senangnya hati saya akan menerima persetujuan mulai kemoterapi tidaklah membuncah. Kelebat ingatan akan Yayasan Kanker Indonesia yang saya dengar bisa membantu kesulitan penderita kanker serta pesan singkat tentang bantuan serupa yang saya terima dari dua orang teman mewarnai pagi beraroma hiruk pikuk itu. Dua nama yayasan sosial itu tercatat baik-baik di memori saya. Ke sana nanti saya harus minta bantuan untuk membeli obat-obatan saya, begitu pikir saya. Meski terus terang saja yayasan lain yang namanya saya peroleh secara tidak terduga itu bagi saya keberadaannya meragukan. Pasalnya nama pengurus yayasan yang tertera di pemberitahuan itu ketika saya telusuri di internet menunjuk ke situs seorang pedagang.

Antrian kendaraan yang mengular dan berjalan melambat di kilometer 8 tol Jagorawi menyadarkan saya bahwa semalam sebelumnya di lokasi itu telah terjadi kecelakaan yang mewrenggut nyawa 6 orang serta mencelakai 9 lainnya. Penyebabnya adalah tabrakan yang diakibatkan seorang anak kecil yang lepas dari pengawasan orang tuanya lalu membawa mobil di jalan raya. Agaknya mobil-mobil yang lewat di situ penasaran menyaksikan bekas-bekasnya. Maklum bocah penabrak itu putra artis ternama. Jadi tak heran jika mobil kami pun ikut tersendat-sendat membuat jadwal di RS terpaksa harus diundur sejenak.

Saya masih berharap akan bisa bertemu dengan teman saya yang akhir pekan lalu memeriksakan diri ke RS ini. Saya ingin tahu benar kondisinya serta rencana pengobatan beliau. Sebab beliau dulu merupakan salah satu teman saya yang amat mendesak saya untuk berobat ke RS. Sayang saya agak kesiangan. Sehingga saya tak melihat beliau sama sekali.

Saya segera mendaftarkan diri untuk klinik dokter ahli kemoterapi meski kegiatan hari itu kami mulai dengan kunjungan ke Instalasi Rehabilitasi Medik. Sebab sudah dua minggu saya tak sempat menghadap dokter ahli rehabilitasi medik yang memantau cacat pada lengan saya. Bu dokter Indri mengindikasikan perburukan yang membuat nyali saya ciut. Tadinya saya berharap untuk bisa berhenti diterapi di RS ketika kemoterapi saya nanti sudah berjalan. Tapi dengan semakin membengkaknya bahu serta pangkal lengan saya oleh tumor yang mengganas lagi itu, maka saya bahkan tidak diizinkan mangkir barang sehari pun sejak saat ini.

Saya menelan ludah pahit. Terbayang kesulitan saya kelak. Tak hanya soal waktu saja, pendanaan pun mesti dipikirkan baik-baik. Ongkos pergi-pulang ke Jakarta nyaris setiap hari ditambah biaya klinik juga tak sedikit. Sesak otak saya yang cuma sejumput ini memikirkannya. Saya perhatikan anak saya pun menghela nafas susah. Memang betul, hidup itu tidak mudah.

Tak dinyana, begitu kami tiba di hadapan Doktor ahli kemoterapi yang menjadi peneliti utama itu kami mendapat kabar baik. Tak hanya obat yang ditelitikan yang akan didanai pembeliannya, melainkan termasuk kedua obat pendamping lainnya yang merupakan padanannya. Mereka berkomitmen untuk menolong saya sehabis-habisnya dengan mengatur dana penelitian sedemikian rupa sehingga seluruh kebutuhan obat-obatan saya tercukupi. Alhamdulillah. Lega rasanya hati saya bagaikan tersiram air panas yang melelehkan kebekuan pikiran. Tak henti-hentinya saya mengucap terima kasih seraya mendoakan semoga misi penelitian tercapai lalu saya sembuh kembali.

***

Bu Lita segera dipanggil dokter untuk menyelesaikan administrasi keikutsertaan saya di penelitian. Tentu saja pertama-tama dokter menanyai saya apakah berkas lembaran "Form of Consent Informed" yang diberikannya sudah saya baca. Tentu saja saya jawab saya pahami, karenanya saya bahkan membuka diri dengan menceritakan riwayat penggunaan obat herbal sebelum berobat ke dokter. Beliau nampak puas atas penjelasan ini. Kemudian beliau memeriksa ulang berkas-berkas pemeriksaan yang harus saya serahkan yang dijawab oleh bu Lita terpenuhi semuanya. Menurutnya, sayalah satu-satunya pasien yang memenuhi syarat serta berada dalam kondisi amat baik setengah tahun terakhir ini. Termasuk dua bulan terakhir. Alangkah bangga dan besarnya hati saya mendengar penjelasan itu, melebihi besarnya hati ketika di sekolah dulu saya menerima raport-raport saya.

Kemudian fisik saya diperiksa dokter sekali lagi. Di situ didapatinya tumor yang semakin membengkak menunjukkan kondisinya yang memburuk. Dengan sikap seorang peneliti yang tidak mau "kecolongan" beliau menginterogasi saya tentang awal timbulnya benjolan itu. Saya katakan itu benjolan yang tak terangkat dengan pisau bedah, yang menyebabkan dokter onkologi saya membawa saya pindah ke Jakarta untuk dititipkan kepada beliau sekaligus menyumbang kasus dalam pelaksanaan penelitian ini. "Oh, jadi ini bukan penyebaran?" Desak dokter itu. "Bukan dok, tumor ini adalah tumor primer yang tak teratasi bersama dengan gumpalan lainnya yang sudah berhasil dibuang," jawab saya seyakin-yakinnya. Mengingat tumor peserta penelitian tak boleh menyebar, dan tumor saya memang berada di lokasi bekas operasi maka dokter pun tak lagi ragu untuk segera menuliskan resep obat-obatan bagi saya.

Saya menyeringai menahan nyeri. Dokter dan bu Lita berharap dengan rutin mengikuti sesi kemoterapi nantinya insya Allah tumor yang menyakitkan itu bisa dibungkam. Tapi saya tak boleh terlalu berharapan penuh, sebab manusia hanyalah manusia yang tak mungkin menguasai Kekuasaan Allah. Ah ya, mereka benar. Saya pun mengangguk setuju meski tetap dengan janji yang saya patri dalam hati sebagai tekad untuk kembali sehat. Mereka membalasnya dengan senyum dikulum. Baru kali itu saya saksikan dokter yang selama ini terkesan dingin mengembangkan bibirnya. Sungguh menyenangkan.

Zuster Yani pun menyalami saya dengan hangat dan tulus. Perawat yang satu ini sejak pertama melihat saya sembilan bulan yang lalu memang selalu memasang muka ramah, meski kalau saya amati justru seringkali ketus menghadapi beberapa pasien terutama yang tidak taat aturan atau tidak sabaran. "Selamat ya bu Julie, semoga lekas sehat kembali, sabar dan telaten ya bu," ucap bu Yani seraya mengarahkan saya untuk mengikuti bu Lita yang akan menjelaskan detail penggunaan obat yang diteliti itu kepada saya. Wah rasanya, dunia menjadi semakin indah dan karenanya saya pun semakin ingin hidup lebih lama lagi untuk menikmatinya. Tersemai sudah harapan baru bagi saya. Insya Allah ujungnya adalah kesembuhan yang saya rindukan itu.

(Bersambung)

Minggu, 08 September 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (108)

Mencoba jujur tidak selamanya berarti baik. Dalam keadaan-keadaan tertentu jujur justru membawa "petaka". Tak terkecuali kejujuran yang saya ungkapkan kepada Ketua Tim Penelitian obat yang akan saya dapatkan untuk menghambat kanker saya yang amat ganas itu.

Disebabkan pemahaman saya yang cukup mengenai aturan-aturan yang harus dipenuhi pasien subjek penelitian yang saya baca dari lembar penjelasan penelitian, maka saya mengungkap terus terang pengobatan saya ke sinshe sebelum saya menandatangani persetujuan keikutsertaan saya di dalam penelitian itu. Saya ingin dokter peneliti ini mendapat hasil akhir yang murni dan akurat. Dokter pun mengapresiasi sikap saya. Tapi dengan cara memanggil gadis koordinator penelitian itu lagi guna membicarakan pengakuan saya.

Kepada si gadis bernama Lita saya katakan saya sudah lebih dulu berobat ke sinshe sebelum ke dokter karena ketiadaan biaya. Jamu sinshe yang dibuat di Guangzhou, RRC itu terus saja saya minum hingga minggu lalu karena telah terbukti melokalisasi tumor saya hingga tidak menyebar ke organ lain serta menjaga kebugaran saya setiap akan dan selesai dikemoterapi. Kepadanya saya tunjukkan jamu ekstrak berbentuk butiran-butiran dan soft gel itu. Dia mengambilnya dan mengamati. Saya mempersilahkan menciumnya. Sejenak kemudian dia sepakat dengan Ketua Tim Peneliti untuk mengistirahatkan dulu tubuh saya beberapa hari agar terbebas dari unsur-unsur obat itu. Artinya kemoterapi saya harus ditunda lagi meski hasil pemeriksaan darah saya yang terakhir baik semua. Bu Lita sempat hendak mempermasalahkan kadar ureum saya, tetapi ditolak bu Doktor, dokter ahli kemoterapi saya. Kata beliau menurut standar ahli penyakit dalam sudah sangat memadai daripada berlebihan. Saya lirik sekilas angka di kertas yang dipermasalahkan itu, ternyata seingat saya tak pernah jadi hambatan bagi onkologis maupun konsulen ahli penyakit dalam saya di Bogor. Karenanya saya sarankan gadis itu untuk mengonfirmasi kepada onkologis saya. Dia cuma mengangguk menandakan setuju. Bahkan nampaknya dia pun bisa menerima penjelasan kami. Maka saya pun hanya perlu membebaskan diri dari sisa-sisa jamu herbal belaka.

Bu Lita bilang barangkali saya perlu menunggu hingga tanggal lima Oktober untuk mulai kemoterapi saat dampak kemoterapi saya siklus pertama dianggap habis. Tapi dia berjanji akan menanyakannya terlebih dulu ke pihak pabrik pembuat obat. Kembali saya meniadakan harapan saya. Terbayang betapa kian lamanya saya harus bertahan dalam sakit ini sebelum digempur lagi dengan obat yang saya inginkan sekali untuk dicoba itu. Dia berjanji akan segera mengontak produsen dan mengabari saya secepatnya sebab kemoterapi saya akan makan waktu setahun.

Setahun! Bayangkan, setahun ada dua belas bulan. Kemoterapi saya konon akan berlangsung delapan belas siklus yang masing-masing berjarak tiga minggu. Hingga hari ini saya sempat bingung menafsirkan siklus yang dimaksudkannya, hingga anak bungsu saya membantu menerangkan bahwa siklus yang dimaksudkannya berbeda dengan istilah yang dipakai onkologis saya. Satu siklus sama dengan satu kali kemoterapi, bukan enam kali seperti pengalaman saya dulu. Meski kurang satu kali karena ketidak cocokkan obat pemberian pemerintah itu, tapi dokter onkologis saya menyatakan kemoterapi saya sudah berlangsung satu siklus tanpa hasil. Ternyata dia mengakui telah menerima penjelasan yang rinci dari onkologis saya, yang isinya persis sama dengan penuturan saya. Termasuk tanggal-tanggal penting rekam jejak pengobatan saya yang insya Allah saya hafal luar kepala. Gigi-gigi putih yang sering ditampakkannya menandakan dia puas kepada saya.

Kemoterapi marathon ini tentu akan kembali merusak vena di tangan saya, meski obat yang diujikan justru tidak dilewatkan vena seperti obat-obat lainnya. Dia akan disuntikkan di bawah kulit paha bagian atas (subkutan) selama lima menit saja. Metoda inilah yang sedang diujikan guna menyingkat masa perawatan pasien di RS dan biayanya, karena kelak pasien bisa menggunakannya sendiri di rumah seperti para pengguna insulin bagi penderita diabetes melitus.

***

Saya kembali ke RS berselang sehari setelah pertemuan itu. Tujuan saya selain difisioterapi juga mengambil hasil laboratorium terbaru saya untuk memperkuat keikut sertaan saya pada proyek penelitian bergengsi itu. Saya akan menemui onkologis saya yang semakin sulit menyisihkan waktunya untuk berpraktek di Bogor memenuhi pesan almarhum ayahandanya onkologis pertama di kota kami. Saya berharap hasil laboratorium saya terbaru ini akan disampaikannya kepada Ketua Tim Penelitian supaya kemoterapi saya bisa segera dimulai minggu ini juga. 

Minggu lalu jadwal praktek onkologis saya di hari Jumat digeser ke sore karena pagi harinya beliau mengoperasi. Tapi alhamdulillah kini beliau berpraktek seperti biasa, sejak pagi. Jadi setelah difisioterapi saya menghindar berkonsultasi dengan dokter ahli rehabilitasi medik lalu bergegas ke klinik onkologi. Pikiran saya sudah terfokus ke pembicaraan soal pelaksanaan kemoterapi saja. Padahal di pagi harinya seperti disengaja oleh Allah Yang Maha Kuasa, saya dipertemukan dengan teman saya yang ternyata akan memeriksakan kelainan yang dicurigai dokternya di RS lain berkaitan dengan masalah tumor. Waktu itu mobil yang saya tumpangi berhenti berturut-turut dengan Toyota Camry hitam yang ternyata menurunkan salah seorang pengambil keputusan di kementerian tempat saya dulu menjadi anggota Dharma Wanita Persatuan. Begitu mata kami bersirobok maka ternganga lah kami satu sama lain, sebab pejabat itu mengantar istrinya yang tak lain dan tak bukan adalah salah seorang teman akrab saya. Keharuan pun segera menyergap jantung kalbu saya. Seketika saya serasa sedang diingatkan Tuhan bahwa saya tak sakit sendirian. Di sekitar saya masih ada mereka yang sakit bahkan belum terdeteksi dengan baik. Dia pun berencana ke klinik paliatif dulu untuk berkonsultasi dengan teman kami, dokter Maria Kepala Unit Paliatif.

Tiba di klinik onkologi pasien tidak banyak. Dokter saya yang muda belia itu sudah mulai memeriksa pasien pertamanya. Saya sengaja duduk di ruang dalam karenanya. Lalu menggunakan kesempatan untuk mengobrol dengan beberapa pasien sebelum saya. Kebetulan juga pasien pertama cukup lama berada di dalam. Seorang ibu muda duduk di ujung deretan kursi saya mengaku datang dari Karawang memanfaatkan dana asuransi dari perusahaan tempatnya bekerja. Dia baru selesai dioperasi payudara untuk membuang benjolan yang ternyata menurut hasil pemeriksaan Pathologi Anatomi merupakan Tuberculosis (TBC).

Baru sekali ini saya mendengar adanya manifestasi TBC di payudara. Jika dilihat sepintas perempuan itu tidak kurus kering meski juga bukan tipe gemuk. Waktu pertama kali menyadari sakitnya, dia merasa demam sedangkan payudaranya terasa amat sakit, kemerah-merahan. Dari situ keluar cairan nanah bercampur darah. Payudaranya luka. Di Karawang dokter menganjurkannya untuk berobat ke RS besar di Jakarta, sedangkan salah seorang kenalannya menunjuk dokter onkologis saya sebagai dokter yang paling pas untuk didatangi. Dia merasa puas karena pembawaan dokter kami yang ramah dan tidak terkesa "dingin" menyeramkan. Memang saya akui, di dalam menyampaikan penjelasannya kepada pasien meski serius tetapi nadanya tak mengancam. Selalu diikuti solusi yang mengarahkan pasien dan keluarganya menjadi tenang. Sungguh berbeda dari pembawaan dokter ahli bedah umum yang pertama saya datangi di RSU di kota kami. Waktu itu beliau langsung menyuruh saya untuk dirawat inap guna memastikan keganasan tumor saya lewat pisau bedah. Dilanjutkan katanya untuk pindah RS menemui onkologis jika kedapatan ganas agar segera ditangani semestinya dengan konsekuensi menjalani serangkaian terapi kanker yang mahal ini tanpa dicarikan solusi pendanaannya. Nyatanya jauh berbeda dengan tindakan yang diambil onkologis yang dimaksudkannya. Saya cuma ditusuk di beberapa titik guna memastikan keganasan, kemudian merancang terapi disertai solusi pendanaannya yakni meminta bantuan jaminan kesehatan dari pemerintah yang memang disediakan untuk warga yang kurang mampu. Betul-betul tenang tanpa kesan yang menakut-nakuti nyali saya. Itulah juga yang membuat perempuan penduduk Karawang ini berobat kepadanya.

Hingga siang itu si ibu masih mengeluhkan payudaranya yang sakit dan sedikit membengkak. Tetapi dia kemudian pulang berbekal obat-obatan untuk mengatasinya disertai penjelasan bahwa hal itu disebabkan bekas luka sayatan operasinya semata. Akan tetapi dia memang harus rutin memeriksakan diri ke RS. Keterangan yang diberikan dokter kami persis sama dengan keterangannya soal rasa sakit di seputar ketiak saya sehabis dioperasi.

Di sampingnya persis bersebelahan dengan saya seorang gadis pengguna Kartu Jakarta Sehat dikirim berobat oleh dokter di RSUD Tarakan, Jakarta Pusat karena tumor di payudaranya. Tumor itu sudah dibiopsi dokter yang mengirimnya dengan cara disayat persis metoda yang dulu ditawarkan dokter ahli bedah umum kepada saya. Tapi hasil Pathologi Anatominya meski jinak tetap mengkhawatirkan karena tumor itu membiru dan mulai membusuk membuatnya kesakitan. Dokter saya kemudian telah memeriksa ulang lewat biopsi sedot seperti yang dilakukannya kepada saya. Dan siang itu mereka akan mendiskusikan apa yang harus diperbuat selanjutnya.

Perempuan berhidung mancung berkulit gelap dengan sorot mata tajam itu menyatakan kengeriannya menghadapi tumor pada payudaranya. Dia menanyai saya perihal apa yang saya rasakan ketika pertama kali berobat dulu. Tentu saja mirip tapi berbeda, karena tumor saya tidak sampai membiru setelah disedot dengan jarum biopsi. Selain itu tumor saya sudah lanjut sehingga pecah menimbulkan cairan nanah bercampur darah yang berbau busuk, tidak seperti tumornya. Meski berair, namun tumor gadis itu yang dinyatakan jinak oleh dokter kami tidak berbau sebab cairannya bening.


Sekarang kami menghadapi masalah yang sama, menyematkan harapan kami hanya kepada dokter onkologi muda belia yang masih terus bergiat belajar demi meningkatkan ilmu dan kemampuannya selagi beliau sendiri merasa kewalahan karena sulit untuk menyisihkan waktunya di antara kesibukan-kesibukan kerjanya di berbagai RS. Saya menangkap sinyal itu dari pembicaraan antar sesama pasien dan obrolan ringan dengan dokter yang sudah begitu terbuka berkomunikasi dengan saya yang terlalu menaruh harap.

Pasien lain yang kami temui adalah seorang ibu sepuh berusia lebih dari enam puluh lima tahun namun masih nampak perkasa. Ternyata beliau datang dari Kuningan, Jawa Barat dengan masalah kanker payudara yang sudah pecah seperti kondisi saya dulu. Beliau sudah dikemoterapi dan akan segera dioperasi. Untuk itulah beliau datang menghadap dokter siang itu. Saya ketahui pada pasien-pasien dengan kondisi lanjut dokter memang lebih memilih melakukan tindakan operasi di tengah-tengah tindakan kemoterapi dengan maksud mempermudah operasi setelah tumornya dikecilkan dulu melalui obat-obatan itu. Tindakan ini dikenal sebagai "neo adjuvant therapy", bertolak belakang dengan "adjuvant therapy" yang langsung mengoperasi pasien diikuti kemoterapi pada pasien-pasien stadium yang lebih rendah dari stadium III.

Nenek itu bilang, dia mendapat nama dokter kami dari bagian pendaftaran RS. Katanya dia dipilihkan dokter yang baik. Adapun kriteria baik menurut penuturannya adalah dokternya ramah, sopan santun, bersedia diajak bicara ditambah satu hal lagi : Tampan atau cantik. Saya tersenyum-senyum karenanya, karena sulit dielakkan untuk mengakui bahwa dokter kami memang tampan meski bukan itu alasan utama saya berobat kepadanya. Lebih kepada keramah tamahan dan sopan santunnya sajalah yang membawa kami orang sekampung memercayakan nasib kami kepadanya. Buktinya sudah sangat banyak pasien tidak mampu yang diberinya jalan untuk mengakses pengobatan dengan semurah-murahnya bahkan bila perlu betul digratiskan seperti yang dilakukannya kepada saya. Si nenek senantiasa menyiratkan rasa bangganya akan sikap santun dokter kami yang dikiranya berasal dari Bandung sebab biasa berkomunikasi dengannya menggunakan bahasa Sunda yang baik. Saya terpaksa menjelaskan bahwa meski kami rakyat Bogor, tetapi kami mempelajari bahasa daerah sama bagusnya dengan penduduk ibu kota yang terkenal lemah lembut tutur bahasanya itu.

Tiba giliran saya dipanggil masuk adalah setelah dokter menunaikan ibadah shalat Jumat dan makan siang yang menyita waktu satu jam. Sebelum saya mendapat panggilan, beliau sudah sempat melihat saya dan berulang kali menyatakan agar saya bersedia bersabar mengantri giliran. Tentu saja saya mematuhinya, batin saya. Sebab bisa mendapat giliran di situ pun sudah merupakan kebahagiaan daripada saya mesti berpayah-payah menunggunya membuka praktek yang nyaris tak tentu waktunya di kampung sana. Maka ketika saya benar-benar berhadapan dengannya sambil menyodorkan lembar hasil pemeriksaan laboratorium terbaru seraya melaporkan bahwa hari Senin besok (09/09) saya akan menanda tangani persetujuan kerja sama penelitian beliau tersenyum lebar. "Alhamdulillah, syukur bu, saya yakin ini pertanda baik," sambutnya seraya membaca hasil laboratorium saya dengan mengangguk-anggukkan kepalanya. "Silahkan diarsipkan di sini dok, untuk yang di sana sudah saya siapkan juga," usul saya. 

"Saya memang makin kesulitan mengatur waktu untuk praktek di sana," dia mengakui sendiri tanpa saya tanya. Tapi konon sudah dua kali beliau berpraktek hingga setengah dua belas malam demi perasaan kemanusiaan yang terus dipegangnya. "Habis, siapa lagi yang mau megang pasien kalau bukan saya? Tidak seorang pun yang berminat membantu saya, padahal pasien sangat butuh pertolongan. Tak bisa saya meninggalkan praktek begitu saja," ujar dokter saya setengah mengungkapkan perasaan hatinya yang terdalam. Ini memang kesempatan yang saya tunggu-tunggu untuk mengungkapkan pesan banyak pasien yang tahu bahwa saya biasa berkomunikasi dari hati ke hati dengan beliau bahwa kami membutuhkan dedikasi dokter seperti beliau. Sebab sebagian merupakan pasien-pasien lama yang diwarisi dari ayahandanya. Pasien-pasien fanatik semacam ini tak pernah terpikir untuk ganti dokter apa pun yang terjadi. Persis seperti saya yang sesungguhnya pasien baru. Mendapatkan dokter yang bisa diajak bicara dan mengerti kesulitan kita tidaklah mudah adanya.

Saya kemudian meminta pengaturan pembelian obat-obatan yang tidak digratiskan karena bukan obat yang diteliti. Beliau menyarankan saya hal yang baik lagi, yakni meminta bantuan Yayasan Kanker Indonesia (YKI). Seandainya toch tidak mungkin digratiskan, tentunya saya bisa membeli dengan harga di bawah pasaran karena mendapat subsidi dari YKI. Coba bayangkan, yang begini-begini ini lho yang sulit kita dapatkan dari kebanyakan dokter sekarang. Apalagi dokter yang laris manis. Betul lho, dokter kami termasuk laris manis sebab suatu malam dia pernah bercerita sambil menepuk dahinya sendiri bahwa dia "mabuk" melayani pasiennya yang berjumlah nyaris 50 orang di tempat tugas utamanya di RS Kanker. Waktu itu dia menyarankan saya untuk mengejarnya di Bogor saja meski kebetulan hari itu saya ada di RSKD juga. "Kan nggak lucu ya bu, dokternya sampai mabuk sendiri?!" Lontarnya retoris setengah tertawa membuat saya jatuh kasihan tapi sekaligus terkagum-kagum kepadanya. Orang muda, kau telah membanggakan almamatermu, sekolah kita, seperti pesan guru kita bapak Supardi tadi siang ketika angkatan saya duduk bersama bersilaturahmi. Bravo!!!

(Bersambung)

Pita Pink