Powered By Blogger

Senin, 29 Juli 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (93)

Tubuh saya serasa membeku. Penyebabnya hari ini saya harus menjalani pemeriksaan tulang lagi di tempat yang dinginnya mirip di dalam koelkast. Soalnya segala peralatan pemeriksaan di Instalasi Radiologi memang harus dipelihara di ruangan berpendingin yang amat kuat supaya tetap bisa berfungsi dengan baik.

Pemeriksaan tulang yang biasa disebut dengan istilah Inggris bone scanning ini memerlukan daftar tunggu yang panjang, kira-kira seminggu. Soalnya banyak yang memerlukan jasanya dari seluruh Indonesia. Sudah begitu pasokan nuklir dari BATAN yang menjadi tenaga utama pengoperasian mesin jumlahnya terbatas. Seringkali RS malah kehabisan di saat penggunanya sedang meluap. 

Sewaktu menerima pengumuman giliran hari diperiksa, petugas RS mewanti-wanti pasien untuk datang paling lambat pukul delapan pagi membawa sedikit makanan dan dua liter air minum. Air minum itulah yang terpenting bagi pasien. Ternyata faktor pukul delapan menjadi alasan terpenting kedua, mengingat banyaknya pasien yang mengantri. 

Hari kemarin kami tiba terlambat satu jam sebab Senin seperti biasanya menjadi hari tersibuk di jalanan. Sebetulnya kami sudah berangkat pukul lima lewat sedikit, namun kepadatan yang membuat mobil tersendat-sendat punya alasan kuat untuk menghambat laju perjalanan kami. Anehnya di RS belum nampak seorang pasien pun mengantri di loket Instalasi Radiologi. Padahal kami sempat mampir ke kasir terlebih dulu untuk menyelesaikan pembayaran pemeriksaan saya ke suatu klinik di hari Jumat yang terlupa saking sibuknya wara-wiri dengan segala urusan di RS. Waktu itu anak saya sama sekali tidak ditemani kakaknya yang sengaja saya suruh berbagi tugas merapikan rumah. Akibatnya si bungsu harus mengurus semuanya sendiri dari satu klinik ke klinik dari satu tempat ke tempat. Di situlah keteledoran terjadi. Untung saja tidak dipermasalahkan pihak RS.

Begitu kami melaporkan jadwal perjanjian saya, petugas di loket pendaftaran merasa lega. Rupanya memang tidak ada lagi pasien bone scan yang datang pagi-pagi selain seseorang di dalam sana. Mereka maklumi keterlambatan ini. Seperti halnya kami juga memaklumi kelalaian mereka yang membuat penyelesaian administrasi pembayaran kami harus diulang dua kali. Agaknya Ramadhan telah mengakibatkan banyak orang lelah lahir dan batin di seputar RS ini.

Saya adalah pasien kedua setelah seorang ibu dari Rawamangun yang juga penderita kanker payudara bertahun-tahun lamanya. Namanya Maesaroh menunjukkan beliau muslimah seperti saya. Tapi apa boleh buat persyaratan kesehatan melarang kami semuanya menunaikan ibadah puasa sehingga saya dapati beliau sedang minum sebanyak-banyaknya di selasar ruang tunggu pasien yang dibatasi dengan semacam garis polisi untuk menghindari kontaminasi nuklir terhadap para pengantar pasien.

Suasana amat hening, baru terlihat ramai mendekati pukul sepuluh pagi. Bahkan seorang perempuan kedengaran menelepon suaminya dengan gundah setengah menangis melaporkan kehilangan dompetnya yang antara lain berisi uang pembayaran biaya bone scanning yang jumlahnya mendekati sejuta rupiah berikut kartu ATM dan lain-lainnya. Saya turut merasakan kesedihannya. Coba bayangkan saja. Mendekati Idul Fitri yang berhampiran dengan tahun ajaran baru di saat sakit serius seperti ini tentunya butuh kesabaran ekstra. Perempuan itu menyadari dompetnya hilang setelah berada di lantai bawah tanah RS bukan sehabis mengantar anaknya ke sekolah sekalian membayar ongkos buku paketnya. Saya tiba-tiba serasa menelan ludah yang pahit.

Cukup lama kami hanya berdua-dua. Bu Saroh yang cuma mengenakan selapis pakaian dengan jilbab panjang tipis tentu saja menyembunyikan kedua tangannya yang alhamdulillah normal tidak membengkak seperti tangan saya di balik kerudungnya. Kakinya ternyata cuma beralaskan sandal tanpa berkaus pula. Tak heran jika dia mengeluh kedinginan dan mual-mual. Boleh jadi dia masuk angin. Apalagi serta merta dia bersedia menerima uluran permen pedas yang saya bawa dari rumah. Terus terang saja, sejak kejadian muntah-muntah di dalam mesin scanner dulu saya lebih berhati-hati mempersiapkan diri kini. Selain memakai baju lengan panjang yang tebal ditutupi jilbab panjang dan sweater, saya mengenakan sepatu pantofel lengkap dengan kaus kaki serta mengantungi permen mint dan permen jahe. 

Menurutnya baru kali itu lagi dia berobat setelah lama menghilang dari dokter karena hanya mengonsumsi herbal yang antara lain katanya berasal dari keladi tikus serta jamur-jamuran. Alasannya, setelah operasi yang pertama beberapa tahun lalu dia kapok kembali ke RS. Dia takut dikemoterapi juga diradiasi. Alangkah menyedihkannya. Dua hal pokok dalam pentalaksanaan penyakit kanker itu ditakuti bukan karena komponen biayanya yang tak terkira mahalnya, melainkan oleh efeknya yang menurut saya tak seberapa dahsyat dibanding sakit kanker itu sendiri. Seperti apa yang saya buktikan. Tapi kali ini dia terpaksa menyerah sebab kankernya tumbuh kembali dengan masif. Saya iba melihatnya lalu mengusulkannya menyuruh pengantarnya membelikan kaus kaki di mini market di dalam area RS supaya badannya merasa agak nyaman. Gadis yang memanggil dirinya bude itu menuruti permintaannya kelihatan dengan terpaksa.

Dalam pada itu pak Darman perawat di situ yang bertugas menyuntikkan cairan kontras ke tubuh pasien nampak lalu lalang seperti kebingungan mencari-cari pasien. Sedangkan teknisi perempuan yang datang kemudian menjanjikan bahwa mesin akan berfungsi lancar tak seperti yang dulu saya alami, mogok di tengah-tengah pemakaian. Saya cuma bisa menyahuti dengan sepotong kata amin. Terbayang bukan apa jadinya jika kita seolah-olah tertelan sebuah mesin raksasa? Walau scanner yang dimiliki RSKD terbilang tua menurut operatornya, tetapi penampakannya kira-kira menyeramkan begini :




***

Saya mendapat giliran kedua bone scanning. Separuh gemetar saya melangkah masuk. Agaknya mereka di dalam sana tahu persis bahwa saya mengalami trauma. Petugas yang saya duga seorang dokter perempuan itu menjanjikan kepada saya bahwa mesin tak akan mogok bekerja. Katanya, kalau itu terjadi tak hanya pasien yang susah. Petugas akan merasa lebih susah lagi karena pasien sudah disuntik dengan obat mahal tapi sia-sia belaka. Namun dia mengakui bahwa mesin yang dipegangnya adalah mesin tua yang perlu diremajakan seandainya pemerintah menaruh dana cukup besar untuk memfasilitasinya. Maklum pengadaan alat kesehatan tidak bisa dibilang murah.

Setelah melepas kacamata, saya dibaringkan di meja scanner yang sempit lalu tangan dan lengan saya diposisikan persis di samping badan diikat dengan strap. Tubuh pun termasuk di dalamnya, pada dua tempat dipasangi strap, baik di bagian sekitar perut maupun kaki. Pasien pun diselimuti kain wool tebal sehingga merasa nyaman, dengan kepala dibiarkan terbuka menghadap ke langit-langit lurus. Sehabis itu mesin berjalan mendorong tempat berbaringnya pasien secara perlahan ke dalam tabung pemindaian. Rasanya tentu saja bagaikan tertelan entah di perut binatang buas apa. Yang jelas langit-langit scanner rasanya cuma beberapa inci saja di atas kepala kita. Lalu selanjutnya pelan-pelan sekali seakan memperhitungkan inci demi inci tubuh pasien, mesin menarik tubuh ke luar. Semuanya memakan waktu sekitar seperempat jam. Terasa sensasi yang aneh ketika mesin itu menyeret-nyeret tubuh kita, bahkan kilatan-kilatan mesin scanner yang seakan-akan mengoyak tubuh pun terbawa sensasinya hingga sekarang. Memang kedengarannya terlalu berlebihan alias lebay, namun pada diri saya sejujurnya begitulah rasanya. Karenanya saya sangat bersyukur ketika semuanya selesai dengan sempurna, lalu saya diminta menunggu di luar ruang untuk melihat apakah ada yang perlu ditindak lanjuti setelah hasilnya diperiksa.

Di dalam ruangan sudah masuk pasien ketiga yang juga penderita kanker payudara seperti saya. Dia penduduk asli Jakarta yang difasilitasi oleh dana Kartu Jakarta Sehat sehingga nampak tenang-tenang saja menjalani pengobatannya yang jelas-jelas memusingkan kepala banyak orang termasuk saya. Bukan saya tak menyukuri rizki yang alhamdulillah selama ini selalu saya terima dengan mudah, tetapi terus terang ongkos bone scanning yang tidak murah ini membuat saya harus menghentikan dulu pengobatan ke sinshe yang saya akui kehebatan manfaatnya.

Anak-anak saya tampak sudah menunggu dengan cemas di area ruang tunggu pengantar. Saya tahu si bungsu khawatir saya muntah-muntah lagi. Begitu melihat saya baik-baik saja, mereka menarik nafas lega. Lalu si kakak segera beranjak pergi ke klinik dokter onkologi saya yang saya rasa sudah menunggu untuk memastikan hasil pathologi anatomi saya yang dijadikan persoalan oleh dokter yang sedang melaksanakan penelitian obat yang ingin saya ikuti.

Kira-kira sepuluh menit kemudian saya dipanggil petugas. Katanya saya diharuskan mengikuti roentgent kepala di ruangan lain di sekitar situ. Entah apa sebabnya, mungkinkah mereka mencurigai sesuatu kelainan di rongga kepala saya atau pada tulang selangka saya yang ditumbuhi benjolan? Saya tak banyak tanya, melainkan langsung menuju klinik yang dikatakannya. 

Di situ tak ada siapa-siapa. Agaknya jarang orang yang butuh jasa roentgent kepala. Saya tak heran, karena sebagian besar pasien yang sempat mengobrol dengan saya rata-rata wanita penderita kanker payudara.

Saya membayangkan roentgent serupa dengan yang dilakukan pada dada saya untuk mengecek kesehatan paru-paru. Ternyata mesinnya beda. Saya lagi-lagi diminta berbaring menghadap ke langit-langit. Dan mesin pemotretnya tergantung di atas meja pemeriksaan itu. Pemeriksaan yang disebut fluoroscopy ini memang baru kali ini saya ikuti. 





Pemeriksaan ini amat singkat serupa benar dengan roentgent dada alias thorax photo. Saya tak ketakutan waktu kepala saya difoto dari dua sisi yakni bagian atas dan bagian samping. Syaratnya cuma satu, pasien melepas kerudung, kacamata, perhiasan logam serta ritsluiting alias zipper pengancing baju. Karena bagian punggung pasien harus menyentuh meja yang dingin itu.

Di sini kesalah pahaman terjadi. Operator mesin menyuruh saya menunggu dulu karena hasilnya akan diperiksa dulu. Tapi tak dinyana setelah sejam berlalu dia tak muncul kembali. Sampai akhirnya pasien lain mengusukan agar bertanya mengenai itu ke bagian pendaftaran. Tubuh saya sudah terasa lemas, tentu saja kami ikuti gagasannya. Apalagi saya kasihan kepada anak saya yang kedinginan dan nampak jemu. Padahal untuk membuang jemu itu saya sempat mengobrol dengan sesama pasien kiriman dari Bogor yang saya kenali suaminya dulu sewaktu sama-sama sedang mendaftar di RS. Pasangan suami-istri sepuh itu sampai tertakjub-takjub menyadari ingatan saya yang begitu jernih. Padahal begitulah saya, umumnya tak mudah melupakan sesuatu sehingga sering menjengkelkan orang-orang dekat saya yang ingin sedikit menipu-nipu. :-D

Kami diizinkan pulang, karena pemeriksaan sudah selesai tinggal diambil hasilnya keesokan harinya. Bergegaslah kami menuju ke klinik dokter onkologi saya hanya untuk mendapati bahwa giliran saya sudah terlewat tetapi dokter sedang rapat dengan pihak farmasi yang mendadak datang. Tentu saja membuat pasien yang tersisa gelisah semua hingga ada yang membatalkan kunjungan. Untung saja tak lama kemudian beliau kembali, lalu mempersilahkan kami masuk. Semula saya yang kelelahan menolak. Saya minta anak saya yang menghadap. Belakangan saya dipanggil juga karena dokter ingin menjelaskan sesuatu.

Debaran di dada menyambut kesempatan itu. Aduh, ada apa lagi ini, pikir saya bertanya-tanya. Setelah bertukar salam dan senyum, hati saya seketika menjadi lega. Kata dokter kami keliru mendapatkan lembar laporan hasil Pahologi anatomi tumor saya. Yang meragukan dan kini sedang dibaca beliau itu, adalah laporan terbaru sewaktu payudara dan kelenjar getah bening ketiak saya dibuang. Bukan laporan primer hasil biopsi yang dikehendakinya. Pantas saja isinya tak sesuai baik dengan catatan beliau di RS maupun memori saya. 

"Ah, seingat saya baik di sini maupun di Bogor saya tulis HER2 positif estrogen negatif, bu," tegasnya. "Lha mengapa tiba-tiba dilaporkan meragukan? Kalau gitu biar saya telepon asisten saya di Bogor untuk bertanggung jawab mencarikan dokumen penting itu hingga ketemu," putusnya geram. Buru-buru saya tengahi dengan usul akan mencari sendiri di RS ini karena jaringan itu dulu kami periksakan di sini sehingga saya yakin mereka memelihara arsipnya.

"Okay kalau begitu, saya buatkan surat untuk Kepala Instalasinya ya," dokter belia nan penuh perhatian kepada setiap pasiennya segera menulis surat disertai instruksi permintaan untuk diserahkan kepada dokter ahli pathologi anatomi yang sebetulnya sahabat sepupu saya di gereja mereka. Dunia memang sempit walau saya tak pernah berani menghadap beliau untuk memperkenalkan diri seperti saran bibi saya.

Anak bungsu saya yang merasa telah melakukan kelalaian karena tak cermat membaca kertas yang disodorkan petugas laboratorium segera berinisiatif mengembalikannya sambil menyerahkan surat permintaan dokter saya. Apa daya laboratorium sudah tutup karena sudah pukul tiga sore. Namun melihat sosok-sosok pegawai berseragam di balik tirai ruangan itu saya menyuruh mereka masuk. Hasilnya petugas di situ mengakui kekeliruan mereka, tapi tak bisa memenuhi permintaan kami saat itu juga karena penanggung jawab bagiannya sudah pulang. Meski berbalut kecewa tapi alhamdulillah kini hati kami menjadi lega karena kemoterapi saya agaknya akan segera terwujud. Sore itu kami bertolak pulang dengan sebersit lagi harapan baru. Semoga Allah berkenan memanjangkan nyawa saya kembali.

(Bersambung)

Minggu, 28 Juli 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (92)

Saya kelelahan. Tubuh saya mulai terasa lemah meski saya kuatkan untuk bangkit dari pembaringan saya. Anak-anak saya pun nampaknya butuh waktu sejenak untuk menyepi dari suasana RS yang selalu mencekam. Apalagi suasana RS Dharmais yang jadi pusat penelitian penyakit kanker nasional. Sebab selalu saja ada pasien dengan kondisi yang memiriskan. Di atas kursi-kursi roda tubuh terkulai layu dengan sorot mata dingin atau tanpa gairah terpaku tak berdaya. Belum lagi yang mengenakan balutan di sana-sini, yang jauh lebih mengerikan dibandingkan balutan pada tangan saya. Ada yang berpembalut di kepala, di leher, juga di berbagai bagian tubuh lainnya. Dan anak dengan malformasi pada wajahnya disebabkan tumor yang tumbuh masif di pipinya. Seringkali saya akhirnya ikut memuji Tuhan yang telah menjadikan saya nampak sebagai orang sehat meski lengan saya sekarang nyaris sebesar paha balita. Belum lagi tubuh saya jadi miring sebelah dengan dada kempis sesisi yang saya samarkan di balik kerudung lebar yang alhamdulillah memang telah saya gunakan beberapa tahun terakhir ini. Dulu pakaian sedemikian rupa itu murni sesuai dengan kata hati saya yang ingin menutup aurat lebih rapat. Tetapi kini ada tambahannya, saya jadi bisa menyembunyikan diri saya yang sudah cacat tak lagi sempurna.

Hari Kamis itu saya mengistirahatkan diri di rumah saja. Saya rasa pak Jamil kenalan saya pun butuh waktu untuk bersama anak-istrinya melaksanakan ibadah di bulan suci ini tanpa gangguan. Maka waktu sehari itu saya gunakan untuk melengkapi kekurangan ibadah saya dengan doa-doa dan dzikir yang tak berkesudahan seperti yang disarankan banyak orang. Ya, hanya dengan itu lah kita bisa berupaya mengetuk pintu surga yang akan menurunkan Kasih Sayang dariNya. Konon jika kita ikhlas diuji dengan penyakit di bulan Ramadhan, maka Allah akan menghapus dosa-dosa kita sebanyak-banyaknya yang menurut saya dengan catatan jika kita sendiri berupaya untuk terus berbuat baik tanpa menggerutui cobaanNya. Jangan pernah berharap dosa-dosa kita akan pupus jika kita tak tulus berhubungan dengan Sang Pemilik Hidup.

***

Hari Jumat sengaja saya berangkat ke RSKD lebih siang hanya ditemani si bungsu. Semula tujuan saya cuma ke Instalasi Rehabilitasi Medik guna menjalani fisioterapi dilanjutkan dengan konsultasi. Keadaan lengan saya sudah terlewat untuk dinilai dokter. Pasalnya awal minggu itu saya sibuk ke berbagai unit serta klinik sehubungan dengan tumbuhnya benjolan baru di saat kemoterapi harus segera berlanjut. Jadi penilaian dokter rehabilitasi medik sempat terabaikan secara tidak disengaja.

Kelelahan saya belum juga berkurang. Di mobil yang lega saya memilih membaringkan diri. Tak saya hiraukan hiruk pikuk suasana jalanan. Dada dan lengan kiri saya yang sakit terasa berdenyut-denyut, lebih tepatnya seperti tertekan karena ditikam. Entah apa sebabnya. Tak banyak yang bisa saya lakukan untuk meredamnya kecuali dengan menelan sebutir pil pereda nyeri yang akhirnya juga saya putuskan tak saya lakukan. Saya memilih berdzikir mengiringi seringaian lebar saya. Karena itu pak Jamil tak mau menyalakan Radio Elshinta kegemarannya. Perjalanan pun lalu terasa senyap seolah-olah masing-masing orang menghimpun kekuatannya sendiri-sendiri untuk menyikapi sakit saya dengan baik. Tak terasa saya sempat terlena barang sekejap ketika kemudian mata saya bisa menandai daerah sekitar tol Tomang dekat RS. Saya harus segera bangun dan bangkit mencoba menggapai kesembuhan saya.

Sama dengan hari-hari yang lalu lobby RS penuh pengunjung. Bahkan trolley barang serupa yang sering saya temukan di hotel-hotel besar nampak akan digunakan orang. Mungkin ada pasien yang baru saja akan menginap membawa kopor besar dan aneka kebutuhannya sehari-hari; tapi boleh jadi juga ada pasien yang habis menjalani perawatan panjang akan pulang ke kediamannya.

Di Instalasi Rehabilitasi Medik tak begitu banyak pasien yang akan diterapi, sehingga saya langsung mendapat perawatan. Di kubikel terujung yang menghadap jalan raya rasanya saya seperti mendapat penyegaran. Langit cerah di luar sana menampakkan matahari panas di kejauhan. Jakarta memang tidak sedang hujan. Zuster Ela melayani saya sambil melayani dua orang pasien lainnya. Begitu selalu kejadiannya di sana. Saya rasa dikarenakan kurangnya tenaga paramedis pelayan pasien rehabilitasi.

Sehabis dari situ saya segera mengunjungi klinik dokter yang akan memperjuangkan kasus saya supaya bisa dijadikan bahan penelitian untuk menyampaikan beberapa laporan keadaan saya sebagai syarat pengajuan permohonan partisipan penelitian. Saya tiba persis ketika nama saya sedang diteriakkan resepsionis untuk masuk ke ruang tunggu yang sempit. Di ruangan seluas kira-kira enam kali lima meter itu banyak pasien duduk menunggu kesempatan periksa di beberapa klinik sehingga kami bercampur jadi satu. Seseorang dengan selang dirapatkan di hidungnya duduk di kursi roda tak jauh dari saya. Kemudian masuk pula perempuan paruh baya yang sudah saya kenal pada kunjungan sebelumnya, yang datang membawa keluhan kanker pada rongga sinusnya. Dia kini berkursi roda pula, memilih duduk jauh dari kliniknya dekat lelaki yang lehernya berpembalut. Memang di situ ada klinik dokter bedah spesialis telinga hidung dan tenggorokan, selain dokter kulit dan ahli kanker anak-anak yang bergantian praktek dengan dokter yang akan saya kunjungi.

Kami sempat saling menyapa. Perempuan yang diantarkan anak perempuannya itu bicara dengan suara sengau minta penjelasan perawat yang menagih hasil pemeriksaan laboratoriumnya yang terbaru. Agaknya petugas laboratorium keliru memberikan lembar hasilnya, sehingga anaknya perlu kembali ke lantai satu untuk menukarkannya. Bisa dimaklumi, pasien RSKD memang sangat banyak datang dari seluruh penjuru Indonesia.

Ibu itu berasal dari Wonosari, Daerah Istimewa Yogyakarta dengan keluhan hidung tersumbat dan pilek yang tak kunjung selesai. Keadaan itu menimbulkan pendarahan yang keluar begitu saja dari langit-langit mulutnya. Bisa dibayangkan, betapa mengerikannya. Dia tengah menghadapi operasi, selagi dia mempertanyakan tangan saya yang berpembalut tebal. Sepertinya semua pasien saling memiliki empati untuk pasien lain yang dijumpainya. Tak bisa disangkal sebab kanker memang kejam, mengerikan dan menyakitkan.

Sedangkan lelaki tua yang pita suaranya nampak sudah tak berfungsi lagi berulang kali mendekati tempat sampah, membuka tutupnya dan meludahkan sesuatu. Sedih dan takut saya melihatnya. Yang saya khawatirkan ludahnya mengandung bibit penyakit yang bisa membahayakan pasien lain. Padahal untuk diketahui semua pasien kanker diwajibkan menjaga kesehatan baik-baik agar bisa melawan gangguan virus yang mudah masuk ke tubuh yang daya tahannya telah rusak kena obat-obatan kemoterapi. Yang mengherankan anak lelakinya yang mengantar yang jelas jauh lebih tua dibandingkan anak saya tidak berinisiatif menyediakan tissue untuk membantu membersihkan sekresi lendir ayahnya. Begitu rupanya di Indonesia kesadaran menjaga kesehatan dan kebersihan masih perlu digalakkan terus. Juga sikap kasih sayang anak kepada orang tuanya. Untung itu tak terjadi pada keluarga saya.

Ketika tiba giliran saya dipanggil masuk, Doktor Noor menerima laporan saya dengan kecewa. Pasalnya meski hasil test uji darah yang diminta dokter jantung baik, tetapi hasil Pathologi Anatomi yang dulu saya peroleh sebelum dikemoterapi dan dioperasi berada dalam "wilayah abu-abu". Maksudnya tidak jelas benar apakah HER2 saya benr-benar positif, sebab di lembaran yang ditandatangani dokter spesialis pathologi anatomi yang secara kebetulan adalah sahabat salah seorang sepupu saya tapi belum sempat saya temui meragukan. "Ya Allah, kalau meragukan begini bagaimana mereka bisa menerima sampel? Padahal saya sudah mengemis-ngemis minta diluluskan," keluh ibu yang sangat menaruh kasihan kepada saya itu. Raut mukanya tertekuk tertunduk tajam. Semua ini mengganggu pikiran saya. Air muka saya pun seketika berubah gelisah. Tapi beliau segera menelepon koleganya untuk minta solusi. Tak ada cara lain, katanya saya diharuskan memeriksakan ulang jaringan sampel tumor saya ke RSPUN dr. Tjipto Mangoenkoesoemo. Ya Tuhan, bisik saya kini, ujian apa lagikah ini yang harus saya lalui sebelum saya mati menghadapMu atau diizinkan kembali membawa nyawa pinjaman baru dariMu? Terbayang masa-masa kritis saya di suatu rumah sakit dulu ketika anak-anak saya menunggui saya dengan kegelisahan yang memuncak dibarengi doa-doa yang kental.

Waktu itu saya baru saja menjalani operasi pengangkatan sebelah indung telur saya yang selalu menyakiti karena ditumbuhi kista. Itu bukan operasi pertama di daerah perut karena selain melahirkan dua anak melalui bedah Kaisar, saya pernah menjalani operasi untuk kehamilan ektopik juga pembuangan rahim. Yang terahir saya lakukan tepat setahun sebelumnya. Nasib sial mengikuti operasi ke-8 sepanjang hidup saya. Tiba-tiba saya muntah darah tak berhenti-henti hingga nyaris kehilangan seluruh kesadaran saya. Dalam keadaan kritis itu saya diperiksa lebih teliti dengan mesin CT Scan yang mendeteksi kebocoran di usus halus saya. Segera dokter mengembalikan saya ke meja bedah untuk membuang sebelas centimeter usus bermasalah itu yang mereka gambarkan sudah dalam keadaan luka lama yang kronis dan busuk. Akibatnya setelah itu saya dirawat di ruang ICU sebab nyawa saya nyaris melayang. Untung Tuhan berbelas kasihan dengan menjadikan anak-anak saya sebagai perawat yang telaten menyemangati hidup saya sehingga saya bisa kembali ke kehidupan normal hingga kini.

Tapi menghadapi fakta temuan baru mengenai penyebab penyakit saya yang dianggap meragukan, hati saya kembali ciut. Nyali saya seperti layu. Yang kini memberatkan pikiran saya adalah soal pendanaan obat saya yang kembali tak jelas harus dicari ke mana. Saya sama sekali tak punya sumber dana. Sedangkan minta tolong kepada teman-teman saya tak akan bisa terlaksana dikarenakan harga obat yang amat fantastis itu. Haruskah saya korbankan nyawa saya hingga di sini?

Lorong gelap dengan lubang yang menganga dalam siap menampung jasad saya seterusnya. Ya Allah, tolonglah lagi saya ke luar dari belitan sakratul maut yang tak henti-hentinya menghampiri saya ini. "Allahuma la sahla idza ma jaaltahu sahlaw wa anta tajalul husna idza syita sahlan. Allahumasyfi ana, Allahumasyfi ana....... isyfi ana. Innama amruhu idza aradha syaiayyaqqullallahu kun fayakun. La haula wa la quwwata illa billah..... Amin," gumam saya terus menerus seraya mengiba hanya kepadaNya Sang Pemilik Nyawa. Semoga Allah berkenan mengabulkannya lagi. Niat saya akan saya persembahkan kesembuhan saya bagi tim medis yang telah berjuang merawat saya juga anak-anak berbakti yang dianugrahkan sebagai harta karun terindah bagi saya serta sahabat-sahabat setia yang penuh pengorbanan.

(Bersambung)

Sabtu, 27 Juli 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (91)

Kebahagiaan sepertinya tak boleh singgah lama pada diri saya. Siang itu ketika saya dirujuk kepada Doktor spesialis Penyakit Dalam dan Kemoterapi yang menjadi penanggung jawab penelitian obat bergengsi itu, saya sudah kesiangan mencapai kliniknya. Klinik sudah ditutup pendaftarannya, sehingga saya memutuskan untuk kembali keesokan harinya. Jujur saja saya sangat tak sabar mengurus tawaran baik ini. Tapi di satu sisi hari sudah siang melewati jam praktek resmi beliau.

Walau terkendala kabar gembira ini tak urung segera saya sampaikan kepada teman saya yang ditugasi teman-teman seorganisasi menjadi penanggung jawab medis kesehatan saya. Beliau cepat tanggap dengan menelepon koleganya tadi minta tolong menerima saya. Sayangnya saya sudah terlanjur berangkat pulang, dan berada di area tol Jagorawi cukup jauh dari Slipi tempat RSKD berada. 

Jadi keesokan paginya saya bergegas ke RS lagi. Kali ini jadwal saya khusus menemui Doktor peneliti itu membawa hati harap-harap cemas. Saya tiba di klinik di lantai bawah berturut-turut dengan teman kuliah anak saya yang tak sengaja bertemu di sana untuk memeriksakan dirinya. Gadis dua puluh lima tahun itu memiliki keluhan di bagian bawah perutnya. 

Dokter yang sudah bergelar Doktor karena senior membaca rujukan onkologis saya. Agaknya beliau sudah tahu mengenai kondisi saya terlebih dulu dari kawan saya, sehingga sekejap mata saya sudah dibaringkannya di meja pemeriksaan. Setelah bertanya mengenai kondisi umum fisik saya serta meraba tubuh, beliau nampak mencurigai saya memiliki kelainan di paru-paru. Katanya nafas saya pendek-pendek. Saat itu saya tidak berterus terang bahwa saya penderita asthma yang terkontrol. Yang saya keluhkan justru keadaan perut saya yang tak tertangani dengan baik oleh dokter spesialis penyakit dalam di kota kami. Menurut saya perempuan Jawa yang satu ini tak sembarangan. Ada unsur tanggung jawab yang ditekankannya sebelum menerima usulan onkologis saya untuk menjadikan saya sebagai sampel penelitian. Dengan tegas beliau menyuruh saya memeriksakan kondisi kesehatan saya pada umumnya setelah menelepon para pelaksana penelitian  meminta kesempatan agar saya boleh diikutkan sebagai sampel. Katanya saya pasien beliau sendiri, bukan kiriman siapa-siapa, dalam kondisi yang diperkirakan insya Allah cukup prima.

Alangkah terkejutnya saya saat mendengar bahwa penelitian itu tidak mengambil sembarang pasien. Yang bisa diikut sertakan hanyalah pasien yang keadaan fisiknya terjaga termasuk kankernya belum menyebar. Untuk itu saya harus membuktikannya lewat serangkaian test, karena sampel yang diperlukan para peneliti hanya bagi seorang pasien lagi. Jadi kalau saya tidak prima, maka saya batal dijadikan sampel. Dalam hati saya menangis, memohon agar Allah menjadikan saya pasien yang sehat untuk menggapai kesembuhan lewat penelitian itu. Air mata saya mulai hendak turun padahal saya bukan perempuan yang cengeng. Buru-buru saya menggigit bibir untuk meredamnya.

Saya kemudian mendaftar ke loket pemeriksaan USG perut serta thorax photo alias roentgent. Seperti biasa kami harus menunggu lama. Setelah itu anak saya membawa berkas saya beserta surat rujukan ke klinik dokter spesialis jantung. Sayang hari itu pendaftaran pasien sudah tutup sehingga saya langsung ke laboratorium yang juga penuh pasien untuk menjalani pemeriksaan darah lengkap. Ada sedikit keraguan tentang sel darah putih saya, mengingat biasanya selepas kemoterapi bilangannya selalu rendah. Saya khawatir ini akan mempengaruhi penilaian tim kerja peneliti nantinya. Meski begitu saya tetap optimis menebar harapan. Dalam pada itu saya beritakan penawaran menarik ini kepada teman-teman saya di DWP Kemenlu yang selama ini menyokong upaya pengobatan saya.

Dalam pemeriksaan USG abdomen saya sempat was-was. Penyebabnya adalah dokter yang bertugas melakukan pemeriksaan sempat memanggil seniornya untuk minta ketegasan sekaligus pemeriksaan ulang. Entah apa sebabnya. Yang jelas saya khawatir terjadi kelainan di sekitar paru-paru saya. Barangkali saja terendam cairan sebab saya agak sesak nafas. Tapi menghadapi pemeriksaan thorax saya justru santai sekali karena sudah umum dilakukan kepada banyak orang. Sehingga baik prosedur maupun hasilnya nanti pun tak akan mengejutkan saya.Jika didapati gambarannya kotor maka saya akan menyalahkan kondisi asthmatis bawaan saya.

Teman anak saya yang disertai tunangannya menanyai saya mengenai prosedur pemeriksaan PET Scan yang akan dilakukannya. Sayang saya tak tahu apa-apa karena saya belum pernah menjalani. Yang sudah-sudah saya diperiksa dengan CT Scan saja selain MRI dan bone scanning, Khawatir juga kami melihatnya. Soalnya anak semuda itu ternyata sudah punya keluhan yang berarti. Pastilah dia dikirim oleh dokter di RS lain yang tak begitu ahli menangani pasien sepertinya. Oleh karena itu kami bertemu di klinik seorang Doktor pakar senior penyakit dalam. Kami cuma bisa berdoa yang baik-baik saja untuknya. Saya kembali teringat tiga puluh tahun yang lalu ketika mempersiapkan pernikahan dengan memeriksakan kesehatan umum di dokter langganan kami. Waktu itu kegiatan seperti ini belum jadi kebiasaan. Tapi nyatanya ada manfaatnya. Karena sekarang kami benar-benar siap menghadapi anak-anak kami yang mewarisi penyakit herediter dari kami orang tuanya. Jadi pemeriksaan kesehatan pra nikah itu banyak gunanya.

Selesai semua pemeriksaan kami meluncur pulang dengan tanda tanya apakah saya cukup fit untuk menjadi partisipan. Jika tidak artinya saya dan tim medis yang menangani saya harus memutar otak agar bisa membeli obat sangat mahal seharga mobil mewah milik para raja yang saya butuhkan itu. Pikiran saya di mobil penuh kebimbangan. Jujur saja saya tak mau merepotkan orang lain lagi meski Doktor yang baru saja saya kenal hari itu bersedia menghubungi komunitas tertentu yang biasa beramal. Belum lagi soal pemeriksaan jantung saya yang baru akan berlangsung keesokan harinya. Namun yang paling mengganggu adalah pemeriksaan tulang awal minggu depan. Saya pernah muntah di dalam mesin itu saking paniknya.

***

Pak Jamil kenalan kami yang setia mengantarkan saya ke RS dengan segala pengorbanannya nampak menyimak penuturan saya dengan serius. Dia jelas teringat pemeriksaan tulang saya beberapa bulan lalu yang membuat tubuh kotor saya menebarkan aroma tak sedap. Sambil melajukan mobil pinjaman dari tetangganya dia turut menyemangati saya untuk membunuh perasaan yang tak tenang ini.

Dalam pada itu saya mengabari teman-teman dan sinshe saya minta dukungan spiritual. Saya berharap doa-doa mereka akan didengarNya lalu membuka pintu Keridhaan Allah bagi upaya penyembuhan penyakit saya. Boetje dan Mufthi teman saya di SMP menjawab dengan sebuah ajakan menggelar doa sambil berbuka puasa bersama di rumah Boetje di dekat rumah saya. Bahkan Yani yang pernah bertetangga dengan saya waktu masih pengantin baru dulu tiba-tiba menelepon saya menyesali dirinya yang terlambat tahu soal keadaan saya. Dia tahu kondisi saya dari ustadz Mufthi. Sungguh luar biasa gema persaudaraan kami ini. Belum lagi sinshe saya langsung merespons dengan telepon menegaskan agar saya merasa tenang sebab menurutnya jejamuan pemberiannya yang selama ini saya minum dipastikan telah melokalisasi sel kanker saya sehingga saya sesungguhnya fit. Tak akan ada penyebaran sebagaimana yang terbukti selama ini.

Tapi manusia mana yang tak gundah dihadapkan pada persyaratan dokter yang berat begitu? Tak terkecuali saya yang terus membawa pikiran saya mengelana ke mana-mana sepanjang malam sehingga mengakibatkan saya terlupa membangunkan anak-anak makan sahur. Padahal rupanya mereka pun sama gelisahnya dengan saya, terutama si bungsu yang langsung bermimpi seram tentang aktivitas saya di kasur RS.

Meski tanpa makan sahur hari itu kami kembali bertolak ke Jakarta melanjutkan pemeriksaan fisik saya yang belum selesai. Dalam pada itu teman-teman DWP saya turut datang di RS sebagai bentuk simpati mereka kepada saya. Mula-mula saya mendaftarkan diri ke klinik dokter jantung dan dokter yang mengurus penelitian itu. Saya berharap hasil-hasil roentgent, USG dan laboratorium yang saya peroleh hari itu bisa terpakai semua oleh peneliti sehingga nasib perolehan obat saya jelas. 

Di lobby pendaftaran saya berjumpa dengan seorang perempuan muda pengidap kanker kelenjar getah bening di lehernya. Meski peserta Askes, tetapi dia lebih memilih menggunakan fasilitas Kartu Jakarta Sehat yang digagas pemimpin baru DKI. Konon katanya dana dari Askes tak banyak menolong sehingga untuk operasinya yang pertama dulu dia terpaka kalang kabut mencari uang kekurangannya. Menyimak ceritanya operasi ini adalah operasi yang seharusnya tak perlu dilakukan. Apalagi yang mengerjakannya seorang dokter spesialis bedah umum saja, bukan bedah kanker. Waktu itu dia berobat di salah satu RSUD yang jadi mitra PT Askes tapi tak memiliki ahli kanker. Kini dia sedang bersiap-siap menjalani operasi kedua setelah dia dirujuk ke RSKD untuk berobat pada ahlinya. Dokternya yang sekarang bilang, dia menyesali tindakan dokter bedah umum itu. Semestinya dulu, tumor itu cukup diteropong saja, tak perlu pembedahan. Tapi pasien ini tak bisa menjawab keingin tahuan saya soal tindakan peneropongan itu.

Kanker memang penyakit yang tak biasa dan rumit. Kalau benjolan itu diganggu, maka sel-sel kankernya bertindak brutal. Dia mengganas dan merajalela. Contohnya pada diri saya. Begitu tumor saya dibiopsi, sel kankernya merasa terganggu lalu meruyak membuat persebaran dan pembesaran. Lalu akhirnya ketika payudara dan kelenjar getah bening ketiak saya dioperasi, kini sel kanker saya memanifestasikan dirinya lagi di sekitar bekas yang dibuang. Sungguh kejamnya. 

Di dokter jantung kondisi saya dipantau menggunakan sebuah mesin dengan teknik persis USG. Bedanya detak jantung pasien terdengar jelas. Untung iramanya beraturan, persis kesimpulan dokter jantung yang menyatakan bahwa kondisinya normal. Keadaan ini amat kami syukuri bersamaan dengan normalnya fungsi hati, ginjal dan paru-paru saya. Teman-teman saya yang tidak berpuasa dengan bahagia mentraktir saya makan siang sekalian mengawasi apakah saya termasuk pasien yang tak mengabaikan nasehat dokter. Terharu rasanya saya dimanjakan sedemikian rupa. Sehabis itu kami langsung berpisahan lagi karena saya harus segera menyusul dokter onkologi saya ke Bogor karena saya kehabisan waktu di Jakarta. "Tour d'Hopital", begitu kami mengistilahkan hari yang melelahkan itu.

Baru saja mobil ke luar dari halaman RSKD saudara saya yang bertugas membantu di klinik onkologi di Bogor berkirim SMS meminta saya segera datang karena dokter akan segera praktek. Katanya sih sudah dalam perjalanan dari RSKD. Saya jawab bahwa saya masih di Slipi. Saya minta giliran terakhir saja karena saya tak kebagian waktu untuk bertemu beliau di RSKD. Jeng Ninik membalas dengan satu kata "waduuuuuhhhhhh......" Yang saya abaikan saja. Saya yakin dokter pasti akan tiba berturut-turut dengan saya. Bahkan ketika mencapai Sentul saya kabarkan kepada jeng Ninik bahwa saya akan segera datang.

Benar saja, di halaman RS belum nampak mobil dokter saya sedangkan pasien yang saya perhatikan kini tinggal sedikit yang saya yakin hanya pemuja fanatik onkologis kami masih belum kelihatan ada yang diperiksa. Senyum dan lambaian tangan berikut cibiran nakal saya sodorkan ke hadapan jeng Ninik cantik yang membalasnya dengan tawa bersama bu Umi dan pak Omrin perawat senior di situ.

Dokter tiba setengah jam kemudian sebab saya tahu pasti pulang dulu ke rumah untuk bersembahyang. Sementara itu lagi-lagi tangan saya yang dibalut membuat saya jadi perhatian orang hingga akhirnya berkenalan. Seorang ibu muda dengan anak gadisnya datang untuk memeriksakan tumor di payudara sang gadis. Ah ngerinya, mungkin akibat banyak beredarnya makanan-makanan yang direkayasa sehingga mengandung zat karsinogenik anak semuda itu sudah kena tumor payudara. Orang tuanya pusing tujuh keliling karena tahu pendanaan PT Askes tak seberapa.

Di ruang praktek dokter saya laporkan hasil-hasil pemeriksaan dan konsultasi hari itu. Sayang ada ganjalan yakni tak diketemukannya arsip hasil Pathologi Anatomi sel kanker saya di RS. Tak ada jalan lain, keesokan harinya saya mesti kembali ke Jakarta untuk meminta salinannya. Duh, jalan masih berliku rupanya untuk mencapai kesempatan menjadi sumber penelitian. Hati saya tetap tak bisa tenang.

(Bersambung)

Kamis, 25 Juli 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (90)

Saya risau. Hati saya gelisah. Maklum munculnya benjolan di tulang selangka saya memang membuktikan kebenaran penjelasan onkologis saya seselesainya pembedahan tiga minggu lalu. Sel kanker saya masih ada dua prosen lagi di pembuluh-pembuluh darah yang kecil. Sifatnya sangat ganas lagi mematikan. Dokter saya sudah berusaha maksimal tapi terpaksa angkat tangan meski operasi sudah dilakukan di pusat penanganan kanker nasional oleh suatu tim ahli.

Sedihnya, begitu selesai mengoperasi saya beliau langsung terbang ke luar negeri seminggu lamanya untuk berbicara di depan para pakar tentang masalah kanker. Jadi saya mesti bersabar menunggu hingga beliau kembali. Untung dengan catatan saya diizinkan mengontak beliau via SMS jika ada yang perlu dibicarakan. 

Saya manfaatkan tawaran itu baik-baik di akhir pekan yang saya harap jadi hari santai beliau. Tak disangka SMS segera berjawab. Diharapkannya saya segera mempercepat kunjungan ke klinik di kantornya di hari pertama beliau kembali. Tentu saja Senin pagi yang menggairahkan itu tak sabar saya tunggu-tunggu. Saya ingin beliau memastikan tentang benjolan mematikan itu. Terus terang, saya belum mau mati. Saya tak mau mengecewakan anak-anak, tim dokter dan tenaga medis, sinshe serta teman-teman saya yang selalu siap berkorban bagi saya.

Sejak Minggu malam mata saya terpejam tapi tak lena. Karenanya pagi-pagi sekali saya sudah bisa bertolak ke Jakarta di bawah guyuran hujan yang mengakibatkan jalanan macet. Jakarta konon kebanjiran. Betul juga sih, barisan mobil mengular sehingga butuh waktu empat jam untuk mencapai RS. Soal rasanya di jalanan macet berhujan itu? Jangan ditanya. Jauh lebih menyiksa dibandingkan kanker. Saya rasa sepanjang masa memori itu akan terus melekat di ingatan saya. Ada pengalaman seru yang saya dapatkan di kesempatan itu.

Saya terlalu mengada-ada? Nah ini tanda tanya. Setiap hari yang terjadi di Jakarta memang sesak. Hari Senin kepadatan bahkan bertambah secara signifikan. Tapi saya rasa wajar jika saya ingin sesegera mungkin tiba di RS. Sebab saya takut tak kebagian giliran pemeriksaan walau toch saya tetap bisa masuk lewat jasa teman saya di sana. Soalnya benjolan itu tiba-tiba amat merisaukan saya.

Kami tiba di RS sudah lebih dari pukul sepuluh, kesibukan di situ sudah ramai. Pasien sakit berderet ditemani para kerabatnya termasuk para pasien dari daerah yang jauh-jauh. Satu keluarga Papua nampak di sana berhari-hari seperti halnya saya. Kami sudah sering berpapasan. Dia pasien terjauh sedangkan saya sih cuma tetangga dari selatan saja.

Beruntungnya saya mendapat giliran nomor delapan di dokter onkologi saya. Lebih beruntung lagi saya diterima di Unit Diagnostik Terpadu yang tidak terasa begitu sejuk karena bukan di bawah tanah yang berhampiran dengan ruang instalasi radiologi yang memang dipasangi pendingin kuat sekali untuk pemeliharaan mesin-mesin pemeriksaannya. Tapi tak kalah sedihnya hati saya, sebab justru di situ segala pasien ada menjadi pemandangan yang menyeramkan.

Duduk di dekat kami seorang pasien tua berkursi roda. Beliau tampak kelelahan dan kesakitan sendiri. Entah di mana keluarga yang mengantarnya berada saat itu. Yang jelas mulutnya mengeluarkan bunyi serupa erangan dengan nafas yang pendek-pendek serupa nafas saya akhir-akhir ini. Dalam pada itu dokter saya sudah mulai memeriksa pasien, selagi saya sedang difisioterapi. Konon kata anak saya kami tinggal menunggu beberapa nomor lagi yang ternyata masih cukup lama karena setiapnya nampak dilayani dengan sungguh-sungguh.

Tangan perempuan tua itu bengkak sebelah tak ubahnya tangan saya. Masya Allah, lengannya juga persis lengan saya. Beliau malah nampak lebih mengerikan karena tubuhnya kurus kering tak seperti saya yang "makmur". Beliau lantas mengajak saya bicara soal sakitnya dan juga lengan kami. Saya dianggap lebih beruntung karena bisa mengikuti semua program perawatan, membuat saya sekali lagi tersadar harus bersyukur. Ongkos fisioterapi yang di atas tujuh puluh ribu rupiah untuk sekali perawatan itu hal yang mustahil didapatkannya. 

Bengkak di lengannya itu hanya sedikit dari penderitaannya. Sebab selain dia sudah kehilangan sebelah payudaranya, sekarang dia sedang berjuang melawan penyakit di payudaranya yang tinggal satu itu dengan keluhan tambahan sesak nafas berkepanjangan. "Ongkos beli oksigennya nggak kebayar bu," keluhnya memiriskan seraya membuka kancing bajunya untuk memperlihatkan payudaranya yang sakit. Tidak berdarah dan bernanah seperti yang dulu saya alami, tapi berbenjol-benjol menyerupai penyakit puru di zaman dulu yang biasa kita lihat di buku pelajaran ilmu kesehatan sewaktu di Sekolah Dasar. Terus terang saja, gambar itu memang tak pernah bisa saya lupakan saking mengerikannya. Bisul-bisul merah kehitamannya membuat si ibu terus-terusan menahan sakit. Duh, betapa beruntungnya nasib saya. Juga betapa kuatnya fisik saya menurut penilaian orang mengingat penyakit saya pun menimbulkan luka menganga yang berbau busuk.

Ternyata dia harus segera dirawat inap untuk menyedot cairan pada paru-parunya yang menyebabkan sesak nafas. Tiba-tiba saya jadi takut mengingat diri sendiri pun sedang sering kehabisan nafas hingga tiga orang dokter mencurigai kelainan pada paru-paru saya.

Biaya rawat inap itu memusingkannya karena dana Kartu Jakarta Sehat cuma terbatas penggunaannya. Katanya untuk membuang cairan di paru-parunya keluarganya harus membeli slang sendiri seharga delapan ratus ribu rupiah. Sialnya, putrinya keliru memilih ukuran sehingga tidak cocok untuk tubuh si ibu. Entah bagaimana kemudian terjadi. Tapi kami berharap boleh ditukarkan dengan ukuran yang sesuai. Sebab putri si ibu cuma sendirian untuk mengurus segalanya termasuk mencari kamar rawat ibunya yang ternyata cuma beda empat tahun lebih tua dari saya meski semula saya kira beda sepuluh tahunan. "Ibu beruntung sekali bisa diantar anak-anak ibu. Naik mobilnya jadi gampangan ya," katanya demi melihat kedua anak lelaki saya yang tak lepas-lepas menemani saya. Saya mengangguk membenarkan waktu dia berkisah bahwa dari rumahnya dia harus menumpang bajaj yang disambung angkutan umum lainnya berganti-ganti hingga tiba di RS. Begitu sampai di RS tubuhnya langsung melorot ke tanah hingga anaknya buru-buru mencarikan kursi roda untuknya. Alangkah berat penderitaannya. Saya tak tahu apakah Allah sudi memberinya kekuatan untuk bertahan seperti yang saya dapatkan?

Obrolan kami terhenti karena giliran saya tiba. Onkologis saya menyambut dengan ramah meski menurut saya tegang seperti ingin segera memeriksa benjolan saya. Saya dimintanya segera berbaring menunjukkan kepadanya. "Ini, di sini di area clavicula, tulang selangka di bahu," tunjuk saya yang segera diamatinya.






Banyak orang yang mengira tulang selangka berada di selangkangan :-D

"Waduh bu, benar 'kan, saya bilang dulu apa. Ini cuma cocok dengan Taxotere dan kawan-kawan yang tak didanai Jamkesda. Padahal saya sudah berupaya keras menghabisinya. Malam itu, sungguh melelahkan, empat jam saya mengerjakan operasi ibu," ucapnya serius dengan raut muka gundah. Tangannya terus saja meneliti meraba di sana-sini. Saya memang ingat anak-anak saya bilang mas dokter ~begitu mereka menyebutnya~ begitu keluar dari ruang operasi terengah-engah dan berkeringat meski tentunya ruangan sangat dingin. Dengan amat menyesal tapi tegas beliau menyampaikan kegagalannya yang diketahuinya akan kami terima dengan tegar. Sebab saya sudah bisa membaca kondisi saya sendiri sambil mengupayakan untuk melawan dan bertahan.

"Lha, terus bagaimana dong? Mana sejak kakak saya dikerjakan oleh kolega anda di Bogor, pikiran saya terus terusik. Sehingga akibatnya irritable Bowel Syndrome saya kambuh," keluh saya menukas. Saya jelaskan obat pemberian dokter spesialis penyakit dalam di RS di Bogor tak berpengaruh apa pun, sehingga diganti oleh dokter umum yang bertugas jaga sewaktu saya dikemoterapi dua hari sebelumnya. "Tapi maaf ya dok, waktu pak Yusuf guru matematika itu meninggal saya toch nekad melayat juga, saya melanggar aturan ya?" Sambung saya lagi yang menyebabkan raut wajahnya nampak kaget. "Pak Yusuf kapan meninggalnya?" Tanyanya sambil mencuci tangan di washtafel tanda pemeriksaan palpasi selesai. Agaknya beliau masih ingat guru kami di SMP dulu. Almarhum pak Yusuf sudah mengajar sejak saya bersekolah hingga awal tahun 2000-an. Saya pun menjawabnya disertai permintaan maaf telah berlaku sembrono sehingga beliau kemudian mengerti lalu mulai serius mempercakapkan usaha yang bisa diberikan untuk upaya penyembuhan saya.

Obat-obatan pemberian Jamkesda tak ada manfaatnya untuk kasus saya yang berat. Tumor primer saya memang sempat mengecil; tetapi tidak dengan tumor di kelenjar ketiak saya. Itulah yang dulu membuatnya menginginkan saya berobat di RS tempatnya bekerja secara resmi ini agar saya bisa ikut penelitian tentang obat ampuh yang diselenggarakan di situ. Tapi anak saya langsung menolak sebab kata "diikutkan penelitian" telah membawa dampak menyeramkan dan pengertian yang keliru. Kami kira saya akan jadi semacam kelinci percobaan untuk menghasilkan obat yang amat manjur. Yang ada di benak anak saya, andaikata penelitian ini gagal saya akan terkorbankan meski saya ikhlas demi kemajuan perkembangan ilmu farmakologi yang menangani pasien penyakit kanker payudara seperti saya.

Hasil biopsi saya dipertanyakannya, sebab beliau tak memegang catatannya di situ. Semua terekam di Bogor. Saya menjawab seingat saya sehingga pertanyaan beliau tetap tak tuntas terpuaskan. Kemudian kami diminta mencari berkasnya di rumah untuk segera dilaporkan via SMS kepadanya. Dengan sangat hati-hati beliau kemudian menjelaskan lagi tentang obat yang tengah dalam penelitian. Kalau saja kami kini setuju, diyakininya saya bisa sembuh sebab penelitian ini bukan untuk menguji kekuatan si obat yang sudah terkenal secara internasional lagi terbukti manjur. Katanya cuma untuk memenuhi permintaan WHO kepada setiap negara anggotanya.

Saya pun kemudian menambahkan dengan penjelasan kepada kedua anak saya bahwa saya mengerti maksudnya setelah seseorang relawan kanker menjelaskan gambarannya kepada saya ketika memperkenalkan diri di telepon. Alhamdulillah anak-anak saya kini bisa memahami dengan lebih baik, sehingga akhirnya saya akan diikut sertakan program penelitian itu segera. Untuk itu saya diminta menghubungi atasan beliau seorang dokter spesialis penyakit dalam yang bertanggung jawab atas jalannya penelitian. Katanya dengan obat ini, saya tidak diinfus, hanya disuntik namun perlu perawatan inap yang diindikasikannya one day care. Dia menegaskan saya akan berada di bawah pengawasan tim khusus yang sangat ketat yang tak akan pernah bisa terjadi di RS tempat saya menjadi pasiennya di kampung halaman. Luar biasa menariknya, seperti memberi semangat hidup lagi kepada saya dan kedua anak saya.

Kali itu saya keluar dari RSKD dengan kebahagiaan yang membuncah. Saya tak mengira saya tetap dapat diobati di saat penyakit saya membandel terus menggerogoti ketahanan saya. Dengan pengobatan yang dibiayai pemerintah pula. Itu artinya kami cuma perlu menyediakan dana untuk transportasi dan perawatan di RS berikut semua tindakan penunjang pemeriksaan kesehatan saya. Meski dalam gambaran saya tidak sedikit, tetapi jelas jauh lebih tak berarti dibandingkan obat yang dulu katanya berharga lima puluh dua juta untuk sekali kemoterapi itu. Alangkah Besarnya Kuasa Tuhan pada ummatNya yang tak berdaya. Kami sekali lagi amat menyukurinya.

(Bersambung)

Sabtu, 20 Juli 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (89)




Fisioterapi. Kegiatan pemulihan fisik yang satu itu akhir-akhir ini mendekatkan saya dengan RS Kanker Dharmais lebih akrab lagi. Saya harus menjalaninya di sana dipandu serta dilayani seorang perawat setiap dua hari sekali kecuali akhir pekan. Setidak-tidaknya program yang terjadwal hingga pekan depan sudah membuat saya merasa jenuh dengan suasana rumah sakit. Sebab di Bogor saya pun nyaris seminggu satu atau dua kali ke RS. Jadi fisioterapi menambah kejenuhan saya meski saya menyukai kegiatannya yang membuat otot-otot saya terasa lebih lentur kemudian. 

Kemarin siang fisioterapis saya menemukan bekas jahitan operasi di ketiak saya memerah, basah pula. Dikhawatirkan terjadi infeksi di situ. Dia menanyai saya tentang apa yang terjadi. Tentu saja saya tidak tahu apa-apa, sebab, selama ini saya sangat takut menyentuhnya bahkan ketika membersihkan tubuh selagi mandi. Pasalnya daging di situ membengkak membentuk gumpalan yang bentuknya mengerikan. Adapun sekarang memang saya merasakan nyeri di situ selain ngilu di tulang selangka tempat tumbuhnya benjolan baru yang kemarin dulu diketemukannya. Jadi besok di ruang kemoterapi saya harus mengadukannya kepada dokter bedah umum dan dokter jaga yang mengawasi kemoterapi saya selagi dokter onkologi saya yang muda belia masih menyampaikan seminar di negara tetangga yang dikenal piawai menangani masalah kanker. Ah, sungguh suatu hal yang ironis.

Banyak kejadian yang menguras emosi saya kemarin. Tapi bukan berarti saya bertengkar lalu marah-marah kepada orang lain. Melainkan saya terharu menyimak komunikasi yang dilakukan melalui E-mail oleh anak-anak saya dengan ayah mereka, juga komunikasi saya dengan teman-teman Dharma Wanita Persatuan yang sudah seperti saudara kandung saya sendiri.

Mula-mula anak saya berinisiatif menyampaikan laporan perkembangan kesehatan saya kepada ayah mereka nun di seberang samudera. Diberitakannya tentang tumor saya yang kedapatan tumbuh kembali namun belum terdeteksi dengan baik mengingat onkologis saya sedang bertugas ke luar negeri. Selanjutnya anak saya juga melaporkan penggunaan dana yang tak sedikit dalam rangka terapi saya akhir-akhir ini. Diakhiri dengan keadaan perkuliahan serta rencana mencari pekerjaan mereka berdua. Biasanya laporan yang demikian itu hanya mendapat tanggapan satu-dua kalimat saja yang intinya mendoakan apa yang terbaik bagi mereka serta suntikan kesabaran berbalut tawakal di dalam menjalani hari-hari mereka yang serupa ujian hidup.

Tapi tak demikian kali ini, ayah mereka bisa bicara sedikit lebih panjang. Beliau tak dinyana-nyana mengirimkan doa bagi kesembuhan saya dalam keprihatinan yang sangat. Sesuatu yang sudah lama tak pernah terasa di dalam hidup kami karena apa yang diungkapkannya selama itu hanyalah basa-basi yang kental. Sebagai orang yang pernah menjadi bagian hidupnya berpuluh-puluh tahun lamanya tentu saya bisa membedakan ketulusan dari keterpaksaan belaka. Beliau kali ini bahkan berpesan agar anak-anak tidak usah memikirkan hal-hal lain, karena sekarang saatnya mereka mencurahkan tenaga dan pikiran hanya untuk merawat saya semata. Menarik sekali. Sesungguhnya saya jadi terkejut karenanya dan sulit untuk mempercayai bahwa E-mail itu semua murni keluar dari isi hatinya yang terdalam lagi tulus. Tapi jauh di dalam batin saya tahu dia sedang benar-benar tergerak untuk meringankan semua beban batin anak-anaknya sendiri yang selama ini cuma bisa menahan pedih. Bayangkan, ayah mana yang tega menyengsarakan darah dagingnya sendiri jika dalam keadaan normal? Terharu saya merasakannya.

Demikianlah jika Allah telah berkehendak, maka tiada yang bisa melarangNya. Sebagaimana halnya jika seseorang mengingini sesuatu, tentu tak mungkin tercapai tanpa Ridha dariNya.

Adapun teman-teman saya juga mendatangkan keharuan tersendiri. Seperti memiliki ikatan batin dengan saya. teh Nanan yang menjadi semacam "Ketua Tim" dalam upaya pengobatan saya menjelang saya tidur malam berkirim SMS dengan pertanyaan standar, "Apa kabar dik? Sehat kan ya?" yang senada dengan keinginan hati saya menceritakan soal tumor yang baru tumbuh itu. Tentu saja sepotong tanya itu membuahkan pembicaraan mendalam.

Meski merasa prihatin dan tak mampu memberikan saran atau pertolongan medis, tetapi teman saya berkirim doa sambil terus menyuntikkan semangat hidup. Dia tak menghendaki saya memikirkan hal-hal lain di luar kesehatan saya, termasuk kondisi kakak saya. "Fokus pada program pengobatanmu sendiri aja dik, hanya kamu lho yang bisa melawan penyakit ini. Jangan buru-buru ketakutan, tunggu dr mu kembali ya," pesannya. Sementara itu sebetulnya saya sudah segera memberi tahu pengawas kesehatan saya, yaitu ibu dokter Maria yang cemerlang lewat E-mail. Tapi pada waktu itu saya minta beliau tak segera menyebarluaskan kondisi terkini saya ini kepada teman-teman lainnya guna menghindari kegelisahan hati mereka. Coba, bayangkan saja, dana pengobatan saya selama ini kalau sudah tak lagi terbayar selalu akan diupayakan oleh teman-teman baik saya tersebut. Jadi alangkah susahnya mereka kalau tahu saya kini cenderung memburuk.

Ternyata dugaan saya benar, dari teh Nanan kabar ini langsung menyebar ke seluruh dunia. Dalam perjalanan menuju ke RSKD kemarin saya ditelepon mbak Sandra yang kebetulan sepupu suami teh Nanan, mas Arief. Dalam kelelahan jiwa saya memang membiarkan saja deringan dari dalam tas tangan saya. Tapi kemudian saya tak tega juga lalu membalasnya dengan SMS sebaris. Jadi begitu selesai dengan sesi fisioterapi saya barulah saya kembali mengirim SMS menceritakan kondisi saya yang pasti membuatnya justru penasaran ingin mendengar sendiri dari mulut saya. Dan mbak Sandra kemudian kembali menelepon saya. Dia bilang dia sangat yakin saya sangat siap mengulang kembali rangkaian proses pengobatan saya. Apalagi dengan didukung niat dan tekad bulat teman-teman kami untuk terus membantu sekuatnya. Menurutnya setiap kami kini semakin giat membawa nama saya di dalam doa-doa harian mereka. 

Rasanya tak mudah percaya begitu saja saya mendengar itu semua. Bukankah saya makhluk tak berarti dan lagi tiada berharga? Saya merasa selama ini saya memang lebih banyak berdiam diri dibandingkan teman-teman lain yang asyik mengurusi kegiatan organisasi. Jadi kenyataan ini berhasil mendatangkan air mata haru ke pipi saya.

***





Kemoterapi lanjutan saya menanti setelah fisioterapi yang akan berakhir esok. Seperti biasanya ini bisa dilakukan di Bogor saja dengan bantuan dana Jamkesda. Dulu semasa pihak pejabat di DKK menolak pendanaan operasi saya di RSKD kantor asal onkologis saya, saya diperkenankan menggunakan dana bantuan atau pinjaman dari pihak lain. Artinya saya boleh membayar sendiri tapi kelak saya akan diizinkan melaksanakan kemoterapi di Bogor.

Jadi kemarin seharian saya kembali masuk ruang kemoterapi. Kami tiba agak siang, kira-kira pukul delapan mengingat masuknya bulan Ramadhan. Perkiraan ini ternyata keliru, meski Ramadhan ruang kemoterapi tetap dibuka pukul tujuh sehingga ketika tiba di sana, spot favorit saya yang cuma berupa sebuah kursi malas sudah ditempati orang. Akhirnya saya memilih tempat tidur yang dulunya tidak saya minati sebab modelnya kuno dan tidak kokoh. Pasien di atasnya bergerak sedikit, tempat tidur beroda itu langsung goncang. Ah, menyebalkan sekali, namun apa boleh buat bahkan buntut-buntutnya saya malah sempat terlena di situ hingga tak melihat pergantian shift jaga perawat.

Zuster Nining yang biasa disapa teteh oleh semua orang nampak berjaga berdua dengan Zuster yang kalau tak salah dengar namanya Wiwiek. Cepat tanggap dia mengerti bahwa saya merindukan spot yang sudah dipilih orang itu. "Bu Julie mau di situ ya?" Tanyanya tersenyum tipis. "Ya. Kalau masih kosong tapinya......," jawab saya dengan senyuman masam pula. "Ah bisa, saya bilang deh sama pasiennya," katanya seraya meneriakkan nama seseorang tapi buru-buru dicegah co-partnernya. "Husy. Nggak boleh, siapa cepat dia dapat dong teh," sergah teh Wiwiek yang tentu saja bisa saya mengerti. Duduk atau tiduran memang sama-sama ingin saya coba dulu sih. Siapa tahu dengan tiduran malah nyaman. Jadi saya teruskan saja mengatur diri di sudut yang berhadapan dengan "bilik pengoplosan obat". Ruang kemoterapi memang dibuat di balik ruang apotik dengan melubangi dinding pemisahnya memakai sebuah jendela. Di area itu yaitu di sebuah sudut dipasanglah partisi yang difungsikan sebagai tempat mencampur koktail obat-obatan kemoterapi yang sangat beracun itu. Apoteker yang bertugas masuk mengenakan pakain khusus yang amat rapat membalut seragam RS mereka sehingga penampakannya bagai astronot di ruang angkasa. Lalu obat-obat yang dimasukkan lewat jendela dikerjakan amat hati-hati, guna dimasukkan ke tubuh kami para pasien yang menanti dengan pasrah. Ada yang sangat tenang seperti saya, ada yang belum-belum sudah bolak-balik ke luar masuk WC untuk menumpahkan isi perutnya, bahkan yang lain ada yang terbatuk-batuk kambuh penyakit asthmanya. Tapi yakinlah, alhamdulillah itu bukan saya meski saya pun punya penyakit asthma yang sudah lama terkontrol dengan sendirinya. Hari itu kami cuma bertiga, dua pasien onkologis kakak saya berikut saya yang kini tak lagi berteman setelah onkologis saya cuma sanggup berpraktek seminggu sekali.
 


Seperti biasa saya selalu menjadi pasien yang paling fit. Berkas-berkas saya lengkap. Hasil pemeriksaan darah di laboratorium memenuhi syarat dan kesehatan umum saya baik kecuali masalah pada perut yang tak mempengaruhi jalannya kemoterapi. Ini dibuktikan dengan surat persetujuan dokter spesialis penyakit dalam yang terlampir di Rekam Medis saya yang sudah mulai tebal meski kalah tebal dari Rekam Medis saya di sebuah RS di negeri tetangga. Dulu di sana saya biasa menyamakannya dengan "my lovely pillow" saking tebalnya.

Adapun dua pasien lain sama-sama bermasalah. Mereka tidak punya hasil pemeriksaan laboratorium terbaru, seperti yang terjadi ketika dokter mereka mengizinkan kakak saya dioperasi. Sungguh berbeda dengan kebijakan dokter saya yang minta hasil terbaru. Bahkan waktu saya akan dioperasi dulu, hasil pemeriksaan laboratorium saya tiga hari sebelumnya dianggap sudah kadaluwarsa dan harus diulang. Akibatnya mereka perlu ke laboratorium dulu sebelum dokter jaga datang memeriksa pasien. Tentu saja lagi-lagi kemoterapi dimulai lebih siang. Belum lagi kemudian pasien yang ternyata sedang terserang asthma harus diterapi dulu, namun setelah diterapi dan diizinkan dokter spesialis penyakit dalam dia harus dipulangkan menuruti instruksi dokter onkologinya yang jarang mengawasi kemoterapi pasiennya tapi tak juga menitipkan kepada koleganya seperti dokter saya yang selalu mangkir.

Tabung oksigen yang dikandangkan di bilik saya kemudian dipindahkan ke tempat pasien yang kena asthma. Dia menerimanya dengan senang hati bahkan dalam sekejap nafasnya lega. Tapi saya sepakat dengan onkologinya untuk menunda kemoterapi beliau berhubung saya juga pasien asthmatis yang sering sekali kambuh di atas meja bedah meski hati saya tenang menghadapi pengobatan saya. Agaknya kata perawat pada sebagian orang kemoterapi membuat nyali menjadi ciut. Tak heran jika ibu itu terserang asthma, sedang yang seorang lagi terus-menerus muntah-muntah. Oh, betapa beruntungnya saya dikaruniai dengan ketenangan dan keberanian kecuali ketika jarum infus akan ditusukkan. Masalahnya vena saya kecil, halus dan bengkok-bengkok sehingga susah dicari. Kemarin vena yang masih belum sembuh betul pun terpaksa terkena tusukan juga dalam rangka mencari titik yang paling pas. Sakit saat itulah satu-satunya yang menjatuhkan citra saya di ruang kemoterapi.

Koktail obat saya diberikan paling dulu, tapi entah mengapa saya malah selesai paling akhir. Saya pikir tentu karena dosisnya lebih banyak dibanding pasien satunya yang sama-sama menderita kanker payudara. Sedang koktail kemoterapi pasien asthmatis yang batal dipakai jadi bermasalah karena sudah terlanjur mulai dikerjakan pengoplosannya. Untung saya dengar ada solusinya dengan cara disimpan kembali ke dalam lemari pendingin yang hanya bisa mempertahankan kesegarannya selama tiga hari. Artinya si pasien harus dikemoterapi selambat-lambatnya hari Rabu. Tak terbayangkan andaikata dia masih belum sehat juga. Itulah gunanya menjaga diri dari kontaminasi penyakit, termasuk influensa. Saya sendiri sering kena tegur karena malas mengenakan masker penutup hidung. Sekarang itu menjadi bahan pelajaran untuk saya.

Dengan dibaringkannya saya di tempat tidur, saya sempat terlelap. Tak seperti ketika saya memilih duduk di kursi malas. Tahu-tahu saya sudah dibangunkan petugas dapur gizi untuk makan siang yang saya tolak karena melanggar diet yang ditetapkan sinshe saya yang terbukti sekarang mempercepat tumbuhnya benjolan tumor itu lagi. Saya kemudian dibelikan nasi dengan tahu goreng dan sayur acar kuning serta sejumput balado teri di kantin oleh anak saya. Bahkan dengan bahagia dia menyuapkan sedikit demi sedikit nasi yang sesungguhnya tidak banyak itu tapi toch tak mampu saya habiskan sebab perut saya cepat terasa penuh.






Adzan maghrib pun menggema, menyeru ummatNya untuk membatalkan puasa. Saya ikut-ikutan terbangun, lalu mempersilahkan para perawat yang sudah berganti orang dan anak saya menikmati hidangan mereka yang terpaksa dimakan di ruang kemoterapi demi merawat saya seorang. Aduhai, mereka tentu akan dapat berkah yang besar dari Tuhan karena pekerjaan kemanusiaan mereka itu. Insya Allah saya akan mendoakan mereka.

(Bersambung)

Kamis, 18 Juli 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (88)





Kanker amat mencintai saya, tapi saya tak pernah mencintai kanker. Bahkan sekali pun dikaitkan dengan bintang saya Kanser, saya tetap tak bisa mencintai kanker. Dia itu penyakit yang amat jahat. Yang menyiksa dan menguras kesabaran setiap orang di dalam rumah tangga saya. Kesabaran saya, anak-anak dan tentu saja orang-orang di dekat saya yang setiap hari terpaksa melihat keseharian kami.

Saya benci kanker. Tenaga saya yang dulu prima sudah dikurasnya habis-habisan. Buktinya, kini hanya sekedar untuk memasukkan pakaian kotor ke dalam mesin cuci pun saya tak lagi sanggup. Itu yang kemarin terjadi pada diri saya, ketika si bungsu berpamitan berangkat ke kampus menunda cucian kotor yang belum semuanya sempat tergarap. Maklum kami mencuci setiap dua kali seminggu.

Pada putaran pertama di pagi hari, saya masih bergairah. Tenaga saya "full speed" berhasil menuangkan isi bak cucian dan memindah baju-baju basah itu dari tabung kiri ke tabung kanan mesin cuci tua saya. Tapi ternyata saya tak bisa melakukan pemerasan pakaian sekaligus sebagaimana biasanya ketika kanker belum bercokol di tubuh saya. Dalam sekejap tabung pemerasan menjadi penuh. Sehingga saya perlu membagi cucian basah itu dalam dua kali pemerasan. Menjengkelkan sekali, karena biasanya saya bisa melakukannya sekaligus. Tentu ini pertanda ada yang tidak beres pada tenaga saya. Saya tak punya daya yang cukup untuk menekan tumpukan cucian dengan benar.

Kanker memang jahat. Kakak sulung saya yang sudah uzur pun diganggunya juga hanya karena beliau selalu merisaukan saya sehingga menjadi stressor pada dirinya yang pernah ditumbuhi tumor jinak sewaktu gadis dulu. 

Stress, itu lah yang harus dihindari penderita kanker tapi tak mampu saya hindari. Bukan hanya soal biaya pengobatan saja, melainkan kini saya merasa bersalah telah memicu timbulnya kanker pada tubuh kakak saya. Apalagi kakak saya menolak pulang ke rumah putrinya sendiri tak seberapa jauh dari rumah saya sepulangnya dari perawatan operasi di RS. Alasannya masuk di akal. Putri kakak saya tak punya pembantu rumah tangga, sedang dia sibuk bekerja di luar rumah. Jadi kakak saya takut kesepian sendirian sepanjang siang menunggu hingga cucu satu-satunya pulang sekolah menjelang sore hari. Maklum cucunya baru menginjak sekolah baru di sebuah SMP yang jauh dari rumah mereka. Dengan kondisi itu, kakak saya memilih kembali pulang ke rumah saya yang selama ini ditinggalinya. Di rumah saya, meski saya juga dalam keadaan sakit masih ada anak-anak saya sebagai penyemarak suasana.

Keinginan kakak saya itu mengganggu pikiran saya. Sebab selama ini biasanya kakak saya selalu melakukan apa-apa sendiri, mencuci dan memasak untuk keperluan pribadinya. Bahkan di saat sakit saya sudah menjadi-jadi, beliau juga yang mengambil alih urusan membersihkan rumah dari tangan saya. Karenanya terbayang kerepotan yang terjadi seandainya beliau benar-benar kembali ke rumah kami. Akibatnya gangguan di perut saya semakin menjadi-jadi. Pikiran saya tak tenang dirusak oleh rasa bersalah kepada kakak saya. Saya sesali keadaan diri yang tiada berdaya. Padahal saya sudah makan obat dari dokter spesialis penyakit dalam dan sinshe yang dosisnya kali ini ditingkatkan.

***


Kemarin dulu nyaris seharian saya berbaring saja. Tapi kemarin seperti biasa saya pergi ke RSKD untuk melakukan fisioterapi. Masih ada tiga sesi lagi yang belum saya tunaikan seandainya tidak jadi ditambah karena kondisi saya dianggap membaik. Yang jelas hingga hari ini tangan bengkak itu tetap saja bengkak termasuk jari jemari saya. Bahkan di awal-awal fisioterapi, saya diberitahu bahwa kondisi bengkak yang berawal di kelenjar getah bening ketiak ini kemungkinan akan menetap seumur hidup. Limfedema, kelainan itu dinamai, akan menyertai kelangsungan hidup saya.

Selagi saya difisioterapi anak saya ada yang berangkat mengurus surat rujukan guna keperluan saya ke dokter spesialisasi bedah umum yang akan mewakili onkologis saya memantau jalannya kemoterapi saya akhir pekan nanti. Di Dinas Kesehatan Kota dia tiba-tiba dihadang kesulitan karena pejabat yang berwenang mengesahkan surat persetujuan pemeriksaan kesehatan saya menerapkan aturan yang di luar kebiasaannya selama ini. Hal itu tak hanya terjadi pada kami, melainkan juga pada keluarga pasien lain. Untung akhirnya permohonan kami diloloskan dengan syarat di masa yang akan datang harus mengikuti aturan yang baru ditetapkannya tadi. Ya, sungguh sakit menjadi korban kanker itu.

Perawat yang memfisioterapi saya tiba-tiba juga sekali lagi menyampaikan kabar yang mengejutkan. Dia menemukan benjolan baru di sekitar tulang selangka saya yang setelah operasi terasa ngilu. Dan kemudian dokter spesialis bedah umum membenarkannya. Tapi benjolan apakah itu dan bagaimana prognosisnya hanya dokter onkologi yang berhak memeriksa serta menetapkannya. Artinya saya harus bersabar menunggu kesempatan kami bertemu hari Rabu nanti. La haula walaquwwata illa billaaaaah........

Untung ujian kesabaran saya kali ini berhenti di sini. Kakak saya pulang dari perawatannya di RS langsung diajak putrinya tinggal sementara bersamanya. Artinya beban pikiran saya dan anak-anak saya akan lebih ringan. Tinggal memikirkan nasib saya seorang saja. Peristiwa yang saya dengar di ruang fisioterapi tentang seorang nenek penderita stroke tak bakal dialami kakak saya.

Pagi itu di ruang fisioterapi yang mulai lengang karena saya sengaja datang agak siang perawat mempercakapkan pasien yang datang pagi hari ditemani perawat pribadinya. Nenek yang berpunya itu difisioterapi untuk melatih otot-otot dan syarafnya yang kaku kena stroke. Tentu saja gerakannya amat lamban sehingga mengharuskan orang yang mendampinginya mempunyai kesabaran yang cukup. 

Nenek yang menurut perawat telah berhasil mendidik putra-putrinya menjadi sejumlah dokter spesialis itu dibentak-bentak dan dilayani dengan sangat kasar oleh orang upahan keluarganya. Dapat dibayangkan betapa sedihnya pasien yang putus asa itu. Juga kemarahan putra-putrinya yang merasa telah cukup menyediakan dana untuk menyewa tenaga yang bisa menngantikan peran mereka merawat sang bunda. Perawat fisioterapi mengingatkan saya untuk segera bersyukur meski anak-anak saya masih belum memiliki pekerjaan. Karena agaknya demikian diskenariokan oleh Allah. Mereka harus punya banyak waktu dulu untuk mencurahkan bakti mereka kepada saya. Kiranya cuma rasa syukur saja yang harus terus saya tunjukkan. Sebagaimana kebaikan yang telah saya terima dari anak-anak saya, maka cuma ada sebentuk doa agar Allah memberkahi hidup mereka selamanya kelak. Amin-amin-amin.

(Bersambung)
 

Senin, 15 Juli 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (87)

Minggu pagi. Matahari tentu saja belum nampak karena adzan subuh pun belum dikumandangkan orang. Saya bangun bersama anak-anak saya, hendak menyertai mereka menyantap hidangan makan sahur. Tapi sepagi itu ponsel saya sudah terang benderang mengantarkan banyak pesan. Yang membahagiakan banyak sekali, datang dari teman-teman SMP dan SMA saya berupa doa untuk kesehatan saya yang lebih baik di tahun mendatang. Tak disangka, lebih dari dua puluh SMS itu pengirimnya masih teringat akan hari jadi saya. Padahal jujur saja, seumur-umur saya tak pernah merayakannya bahkan tak juga mengumumkan. Tapi tak dinyana mereka masih banyak yang ingat tentang saya. Terima kasih banyak, syukur alhamdulillah.

Di antara itu ada sebuah kabar duka cita. Guru aljabar saya di SMP yang baru hari kemarinnya saya dengar sakit keras telah berpulang pada pukul tiga pagi. Innalillahi wa innailaihi raji'un. Belum sempat saya menjenguknya bersama kemenakan yang berencana mengajak saya ke kediaman beliau.

Meski dalam keadaan yang belum bugar benar, tapi ajakan kakak kelas saya ceu Indah yang sebetulnya teman mantan suami saya untuk melayat bersamanya tak saya tolak. Suaminya berbaik hati singgah dulu di rumah saya supaya saya tak harus naik angkutan kota ke rumah duka yang lumayan jauhnya itu. Kata ceu Indah dia khawatir jika bekas luka operasi saya tersenggol-senggol orang di perjalanan.

Saya kenakan baju ternyaman yang bisa saya kenakan dengan mudah sehabis mandi. Lalu selapis tipis bedak pun saya sapukan agar tampaknya wajah saya berseri-seri. Ceu Indah datang tepat pukul tujuh ketika saya belum sempat menelan obat saya. Untung beliau dan suaminya bersabar menunggu barang sejenak. 

"Sudah sehat Jul?" Tanya mereka serempak ketika saya sudah memosisikan diri di bangku belakang dengan nyaman. Lalu obrolan pun mengalir lancar. Sejak saya sakit ceu Indah belum sempat menengok saya karena kesibukannya sebagai guru dan kecintaannya kepada cucu pertama mereka yang baru berumur beberapa bulan.

Pagi itu meski saatnya hari bebas kendaraan di sekitar Lapangan Sempur tetapi kami tetap bisa lewat. Jejeran pedagang kagetan memenuhi kaki lima menjajakan aneka barang. Suasana minggu pagi yang gempita dengan gairah penduduk yang berolah raga agaknya tak nampak, maklum terbalut puasa Ramadhan. Tapi di rumah duka sudah banyak pelayat. Agaknya beramai-ramai orang mendatangi rumah itu segera selepas sembahyang subuh guna menyampaikan penghormatan terakhir karena diberitakan jenazah akan dimakamkan pukul sembilan pagi. Sayang tak ada teman saya satupun. Ceu Mala kakak kelas saya yang saya jumpai pagi itu bilang, Yus teman satu angkatan saya sudah meninggalkan tempat. Sedang Yanti adik ipar ceu Mala tinggal di luar kota sehingga tak mungkin hadir. 

Adapun yang mengejutkan adalah kang Harry suami beliau ternyata sudah lebih dulu menghadap Illahi. Tubuhnya yang ringkih didera diabetes mellitus justru dilibas serangan jantung di waktu pagi. Kang Harry yang terkenal juara sekolah lulusan Pondok Pesantren ternama di Jawa Timur cuma mengeluh masuk angin. Karenanya beliau minta dibaluri dengan obat gosok. Tak lama setelahnya beliau terlihat lemas, muntah-muntah hingga minta dibaringkan. Dalam tidurbya itulah beliau melepas nyawa. Innalillahi wa innailaihi raji'un.

Saya kemudian menceritakan soal sakit saya sendiri. Tanpa malu-malu saya sebutkan diri saya nan tak lagi menjadi wanita sempurna serta kedermawanan onkologis saya yang muda dan cemerlang mantan murid di SMP kami. Tak dinyana kang Wawan, satu-satunya pelayat lelaki di deretan perempuan menyahuti perkataan saya. 

Istri kang Wawan sudah tiada karena serangan kanker otak di RS lain. Tentu saja dia ditangani onkologis yang berbeda dengan saya. Kisah kang Wawan istrinya juga menjalani serangkaian kemoterapi. Mata kang Wawan mengarah ke jari saya yang pada sebagian kuku mulai menghitam akibat efek kemoterapi. Dia mengharap saya tegar, teguh pada pengobatan yang menyiksa itu, apalagi saya sudah datang kepada dokter yang tepat. Alangkah mengharukannya suntikan semangat itu bagi saya, karena sebelumnya kami tak pernah kenal akrab.

Semakin siang pelayat semakin banyak, terutama tentu saja teman-teman istri pak guru yang merupakan teman satu angkatan mereka. Di antaranya ada mbak Sri kakak kelas saya sejak di SD hingga di SMA yang datang bersama beberapa orang lainnya, termasuk mbak Retno yang kini bertubuh subur tapi justru kelihatan tambah cantik. Mula-mula mbak Sri tak mengenali saya, tapi kemudian dia langsung teringat, terutama setelah saya menanyakan anggota keluarganya satu demi satu. Kakaknya telah bepulang seorang. Tapi saya tak menanyakan sakitnya apa. Saya memang cukup akrab dengan keluarga mbak Sri karena selain kami tinggal di kampung yang berdekatan, saya sering sekali bermain-main di rumahnya waktu SD dulu. Saya senang minta buah jambu biji yang tumbuh di halamannya dan dipanjat Bambang adiknya yang sekelas dengan saya. Mbak Sri cukup terkejut mendengar kabar saya. Terlebih-lebih ketika menyadari bahwa antara saya dengan teman sekelasnya di SMA dulu sudah tak ada hubungan apa-apa lagi selain terikat anak-anak kami berdua. Dia mengulum senyum pahit, seraya menggigit bibirnya sendiri. "Kok gitu ya dik ceritamu?" Lontarnya seperti tak habis pikir, ah semua orang memang sama saja. Mereka selalu kebingungan sendiri.

Saya cuma sempat bertemu dengan Renny sahabat saya yang tadinya juga berniat menjemput saya tetapi telah saya tolak. Pasalnya sejak suaminya meninggal karena sakit menahun, dia meninggalkan rumahnya di dekat tempat tinggal saya untuk kembali ke ibunya. Di sana dia merawat perempuan yang sangat dicintainya itu. Seperti bakti anak-anak saya kepada saya. Saya tak mau Renny yang datang bersama kakak perempuan dan Dewi adik mereka memutar arah dulu demi agar saya bisa menumpang. Walau saya tahu, Renny selalu rela melakukannya seperti berulang kali saya alami sejak anak-anak saya masih kecil dulu.

Dunia memang sudah tua, karena umur kami pun ternyata tak muda lagi. Banyak teman yang sudah tiada, atau pasangan mereka yang mendahului. Berbekal keikhlasan tentunya manusia tak boleh meratapi takdir. Tapi, siapa orang yang tak larut dalam duka ketika menghadapi kematian? Istri almarhum yang sudah kering dari air mata saja masih nampak kuyu meski tahu bahwa kematian itu justru meringankan sakit lahir dan batin yang mereka derita bersama. Bayangkan, guru kami terbaring karena stroke cukup lama. Perawatan di RS yang bagus tak membuahkan hasil, sehingga percuma saja beliau tinggal lama dari RS ke RS. Belakangan keluarganya membawa pulang ke rumah. Dalam selubung kematian yang tak jelas kapan akan sampai di lubang kubur. Bayangkan, betapa penderitaan mereka yang ditinggalkan....... Saya cuma tepekur, meratapi diri yang tak juga punya bekal cukup untuk mencapai RibaanNya.

Pagi itu kami kembali ke rumah masing-masing dalam pikiran yang pasti tak sama. Saya merasa kematian menantang saya. Tapi tentunya tak demikian dengan ceu Indah dan suaminya. Ceu Indah cuma merasa otaknya semakin pelupa. Termasuk lupa menghafal suatu daerah dan jalan menuju ke sana. Ya, siapa bilang kami masih muda? Tubuh saya sudah semakin menuntut perhatian dibandingkan dulu. Buktinya, hari itu bahkan hingga sekarang perut saya yang berulah masih saja terasa sakit. Saya tak tahu lagi apa yang harus saya perbuat. Dokter yang cakap bahkan sinshe yang paham guna tetumbuhan untuk kesehatan manusia belum bisa menolong saya. Jadi hanya kepada Tuhan lah akan saya mohonkan lagi kesembuhan ini. Sebab saya belum mau meninggalkan anak-anak saya. Belum cukup puas rasanya saya bersama mereka yang baik budi namun masih jauh menuju masa depan mereka yang tertata. Ya Allah, kuatkanlah saya, la haula wala quwwatta illa billah........

(Bersambung)

Minggu, 14 Juli 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (86)

Semua yang bernyawa hanyalah milikNya semata, dan kepadaNya kita akan dikembalikan. Itu hakikat hidup ini. Dan itu yang terjadi di sekitar saya sekarang. Guru aljabar saya di SMP dulu wafat tadi pagi akibat serangan stroke. Saya belum sempat menjenguk beliau, sebab kabar sakit beliau pun baru saya dengar kemarin pagi di RS.

Ceritanya kemarin pagi saya kontrol ke dokter spesialis penyakit dalam yang menjadi konsulen onkologis saya. Jika kedapatan tubuh saya kurang fit, maka kemoterapi tak boleh dilakukan. Pasien cukup banyak pada hari itu meski di akhir pekan. Saya menunggu cukup lama namun lega, karena tekanan darah saya normal juga hitung darah saya di laboratorium dalam keadaan baik. Saya berharap boleh langsung melanjutkan kemoterapi minggu depan.

Sambil menunggu giliran saya menyempatkan diri menjenguk kakak saya dulu ke ruang perawatannya. Sejak dibedah malam sebelumnya saya belum menemui beliau. Meski belum tiba jam kunjungan tetapi Satpam di pintu bangsal rawat inap agaknya mengenali saya dengan cukup baik. Saya diizinkannya masuk setelah mengucap salam tanpa sepotong pertanyaan pun.

Kakak saya kedapatan sedang berbaring dalam kesadaran yang penuh. Beliau tersenyum menyambut saya. Katanya kepalanya masih pusing dan juga masih sedikit mengantuk serta mual. Saya lihat siang harinya beliau memang muntah-muntah, sedang matanya selalu berair. Jauh berbeda dengan saya yang hanya merasa lemas dan letih belaka dulu.

Ruang perawatan kakak saya meski di kelas I tidak menyenangkan bagi saya, karena tidak mengesankan RS modern. Jadi saya senantiasa terbayang-bayang suasana ketika harus menunggui ibu saya sakit tiga puluhan tahun yang lalu. Di dalam hati saya bersyukur telah diberi kemewahan dirawat dokter saya di Jakarta. Karenanya saya tak berlama-lama di situ lalu segera kembali ke klinik dokter.

Pengunjung RS semakin padat, di antaranya ibu tua yang saya hafal wajahnya dan kerap kelihatan di situ mengantarkan seorang kakek renta yang saya duga orang tuanya. Saya duduk di bangku terdepan sambil merebahkan kepala dan bahu ke sandaran bangku tunggu, Tubuh saya boleh dikata memang masih lemah. Apalagi perut saya sedang berulah.

Nyaman sekali disain bangku itu membuat saya agak terkantuk-kantuk. Tiba-tiba saya dibangunkan sentuhan tangan dan suara kemenakan saya yang berpamitan sambil lalu menitipkan ibunya di dalam sana kepada saya. Belum juga saya bertanya banyak dia mau ke mana, tiba-tiba dia sudah mengobrol dengan ibu di belakang saya, yang sudah sering saya temui di situ.

Setelah saya simak sambil diperkenalkan kepada beliau, ternyata mereka mengobrolkan guru aljabar kami di SMP. Perempuan itu adalah koleganya, guru SMP yang mulai mengajar ketika saya sudah kuliah. Guru aljabar kami lelaki asal Aceh yang terkenal keras sudah tak berdaya di kediamannya akibat penyakit stroke yang mendera ditambah usia tua. Terbayang wajahnya yang dingin berupa seraut roman berbentuk kotak dihiasi sepasang mata setajam milik elang.Seketika berdiri bulu roma saya, sebab teringat suasana di kelas ketika saya jadi murid terdungu.

Guru kami ini menikahi muridnya sendiri, kakak kelas saya. Jadi sewaktu beliau jadi pengantin baru dulu, murid-murid sering meledek dengan mulut usil yang seharusnya tak pantas ditujukan bagi guru yang terhormat. 

Sedang asyik mengobrol, tiba-tiba pasien paruh baya di dekat kami berdiri menghampiri dan menyapa saya. Agaknya dia tahu persis siapa saya. Tapi otak saya terpaksa mundur-maju berbelit-belit memeras ingatan tentangnya. "Kita dulu sama-sama di SMA, berteman di Pramuka," ujarnya membuka diri. "Saya tidak satu SMP dengan ibu, tapi dengan suami ibu," sambungnya lagi.

Masya Allah, batin saya. Ini pasti Nina teman saya semenjak SD yang juga sesama anggota DWP Kemenlu tetapi tak pernah berkesempatan bersama-sama sejak dulu. Dia membenarkan, sejurus kemudian kami berpelukan meleburkan persahabatan yang terputus. Saya mengoreksi ucapannya, bahwa saya sudah tak lagi bersama suami yang saya tahu bukan rahasia lagi di kalangan pegawai di kantornya. Saya tegaskan bahwa saya disebut-sebut sebagai musuh semua orang. 

Nina membelalak terkejut! Itu fitnah, katanya. Dia tak pernah tahu perpisahan kami, apalagi sampai aroma permusuhan yang disebut-sebut itu. Lagi-lagi seperti teman-teman yang lain, sahabat saya ini pun tak habis pikir. Kemana larinya cinta yang dulu selalu kami pelihara itu.

Menurut Nina, penyakit saya sekarang boleh jadi bersumber pada kejadian-kejadian itu. Namun dia pun bersyukur serta memuji-muji teman-teman satu angkatan saya di Kemenlu dan dokter Maria yang mengorbankan segala-galanya atas nama kepedulian serta kemanusiaan dalam mengobatkan saya. Katanya, angkatan-angkatan lain sebaiknya pun meniru sikap kesetiakawanan kami. Menurut Nina sulit mempercayai dugaan orang bahwa saya adalah orang yang suka keonaran. Apalagi begitu saya menanyai kabar teman-teman SD kami yang masih bisa saya sebut satu-satu. "Kamu dari dulu 'kan punya banyak teman, bukan musuh," alasannya membuat saya merasa lega.

Sebetulnya wajah kami memang tidak ada yang berubah. Hanya dihiasi kerut-merut wajah yang menyiratkan ketuaan. Meski begitu Nina tetap cantik, cerdas cemerlang dan enak diajak mengobrol hingga tak terasa tiba saatnya nama saya dipanggil masuk. Kami kembali berpisahan entah hingga kapan.

*** 

Dokter spesialis penyakit dalam nampak gusar ketika saya mencoba mencandainya dengan pernyataan bahwa saya sudah dieksekusi onkologis saya di Jakarta dan kini minta persetujuan untuk memulai kemoterapi lanjutan. "Dieksekusi, maksudnya apa?" Tanyanya sambil mengangkat wajahnya menatap saya.

"Dimastektomi dok," sahut perawat yang mengasisteninya yang sudah melihat kondisi terbaru tubuh saya ketika memeriksa irama jantung saya dengan mesin elektro kardiogram

Saya tertawa membenarkan, sekaligus memberitahukan bahwa kakak saya pun baru menjalaninya semalam di RS ini dengan sepengetahuannya. Seperti biasa saya kemudian diminta berbaring supaya bisa segera diperiksa. Ternyata alhamdulillah semua dinyatakan baik, termasuk nadi saya yang kemarin masih bengkak. Tapi soal sakit pada perut saya entah mengapa dokter tak mau memeriksanya. Beliau langsung menyetujui dugaan kekambuhan penyakit Irritable Bowel Syndrome saya karena saya tak muntah maupun mual. Maka pemeriksaan pun selesai disertai ucapan selamat menunaikan kemoterapi dari dokter itu. Insya Allah saya siap menjalaninya akhir pekan ini.

Selepas dari apotik saya kembali ke tempat Nina untuk bertukar nomor ponsel, lalu ke kamar perawatan kakak saya. Kebetulan sekali onkologis beliau sedang memeriksa, sehingga saya berkesempatan berkenalan juga. Seraya mengucapkan salam saya berterima kasih atas operasi yang dilkakukan kakak saya sambil memperkenalkan diri bahwa saya adalah saudara kandungnya yang menjadi sumber kekhawatiran beliau. 

"Oh, ibu ya? Itu kenapa tangannya dibalut?" Tanya beliau dalam logat Surabaya yang kental meski kata orang beliau berasal dari luar Jawa.

"Ini akibat limfedema dok. Sudah sejak sebelum diradikal tangan saya membengkak," terang saya. "Dan sekarang seminggu tiga kali saya difisioterapi," lanjut saya lagi.

"Ibu nggak usah kuatir, pasien saya tangannya normal kok," sambutbya seraya mempersilakan saya melihat lengan kakak saya. Memang benar, karena tumornya kecil, maka kakak saya tidak sampai bernasib seperti saya.

Dokter yang komunikatif ini kemudian menjelaskan bahwa seharusnya ketika benjolan mulai teraba, pasien dibawa ke dokter. Jika didapati kanker, cara terbaik adalah segera dioperasi. Setelahnya bisa dikemoterapi atau diradiasi. Pasien dijamin aman dan selamat, katanya. Tak boleh takut-takut.

Saya menyadari dulu saya memang terlambat, sebab saya memang ketakutan ke dokter. Tapi, yang menimbulkan ketakutan saya adalah proses pengobatan yang membutuhkan dana yang banyak serta waktu yang panjang. Inilah yang agaknya tak mudah dipahami setiap dokter.

Pada kasus kakak saya itu tak terjadi sebab beliau berpenghasilan dan punya asuransi kesehatan. Jadi meski tumornya baru seukuran 3-4 cm saja tetapi lebih baik operasi dilakukan sekaligus membuang kelenjar getah bening di ketiaknya supaya tak menjadi masalah seperti kasus saya. Adapun penyebab tumbuhnya sel kanker kakak saya tak dijelaskannya. Karena beliau kemudian justru meluruskan istilah saya tentang apa yang saya namai "virus Her2" penyebab kanker saya.

Ternyata Her2 bukanlah virus. Itu merupakan protein yang tumbuh pada diri seseorang wanita sebagai bawaan. Pada orang-orang tertentu protein itu bisa terpicu menjadi sel yang amat ganas dan memiliki agresivitas yang sangat tinggi. Inilah yang kemudian menjadikan kanker payudara pada saya. Karena bukan berasal dari hormon, maka nampaknya dokter onkologi saya membiarkan saja saya mengistilahkannya sebagai virus. :-D

Senang sekali saya bisa bertemu dengan onkologis kakak saya ini, karena saya juga kemudian melihatnya melayani sendiri pasiennya dalam menguras tabung drainase darah kakak saya. Di sini nampaknya peran perawat amatlah sedikit. Dokter cuma menyaratkan RS untuk memiliki cangkir ukuran guna mencatatkan sekresi darah pasien setiap hari, karena ternyata di situ tak tersedia. Ah, dokter yang baik hati tak suka marah-marah rupanya.

Setelah mengobrol sejenak saya pun berpamitan pulang. Tak dinyana hari itu banyak pengalaman baru saya lagi. Agaknya tak ada hari yang sia-sia untuk saya.

(Bersambung)

Pita Pink