Powered By Blogger

Minggu, 30 Juni 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (80)

Sejak kemarin sore saya batuk-batuk. Padahal sebelum dioperasi tidak, saya baik-baik saja tidak ketularan anak saya yang terkena influensa sambil merawat saya. Tenggorokan saya gatal, lendir tidak terlalu banyak. Jadi saya pikir batuk saya berasal dari efek samping anestesi. Tapi benarkah begitu, saya ragu sebab sejak kembali dari ruang operasi saya tak pernah batuk-batuk. Berdehem diikuti batuk kecil sih memang ada, cuma sesekali saja. Jadi, mengapakah saya?

Menurut pengalaman dan pengamatan saya sebagai pasien, batuk-batuk pasca operasi terjadi karena pasien dimasuki slang di jalan nafasnya sewaktu dianestesi. Tentu saja tindakan itu merangsang terbentuknya lendir yang mengakibatkan batuk. Untungnya kali ini operasi saya tidak di abdomen, sehingga sewaktu batuk saya tak merasa nyeri di perut. Anehnya, dada saya yang sedang luka ini pun tak ikut-ikutan sakit. Rasanya jadi menakjubkan sekali untuk saya.


Lengan saya yang sakit, pasca dioperasi masih saja bengkak walau sudah saya balut seperti perintah dokter di unit rehabilitasi medik. Sedihnya, bengkaknya semakin membesar dibandingkan saat keluar dari RS. Waktu penyuluhan dokter ahli rehabilitasi medik bilang, lengan dan tangan di sisi yang sakit harus digerak-gerakkan sebentar setiap pagi dan sore sesuai petunjuk dokter. Pasien diberi buku panduannya. Di situ juga harus dicatatkan lingkar lengan hingga tangan setiap hari, berikut catatan perkembangan aktivitas sehari-hari pasien menggunakan sisi yang sakit itu. Sebagai pelengkap pasien harus mencatatkan berapa banyaknya darah yang keluar dari bekas luka yang ditampung di dalam kantung drainase yang dilekatkan di tubuh pasien. Semua ini harus dilaporkan kepada dokter pada pemeriksaan pasca seminggu operasi. Pada diri saya, cairan darah yang keluar dari hari ke hari semakin sedikit, mendekati batas normalnya, 10-20 cc sehari. Ukuran yang tepat untuk dokter mencopot slang kateter yang menghubungkan tubuh saya dengan kantung drainase nantinya. Sayangnya bengkak di lengan dan tangan saya masih saja bandel belum mengempis. Padahal saya hanya menggunakan tangan yang sehat saja untuk beraktivitas. Sehingga garpu pun masih menganggur atau saya pakai dengan tangan kanan yang sehat.

Tapi saya di mata orang-orang jadi mencengangkan. Kakak kandung saya memuji saya dalam kunjungannya sewaktu saya di RS, juga sekarang melakui telepon. Katanya, sahabat-sahabatnya termasuk para bapak di antaranya yang menduda karena istrinya direnggut kanker salut melihat kondisi saya di ranjang RS semalam sehabis dioperasi. Mereka menanyai, apakah saya tidak merasa sakit sama sekali? Tentu saja jawaban saya, sejak tumor saya luka dulu rasanya sama saja, jadi saya lupa seperti apakah rasa sakit itu. Rasa sakit hati, merasa tersingkir dan terhina oleh ulah-ulah orang-orang tertentu justru lebih mendominasi saya.






Gambar di atas menunjukkan ilustrasi lengan saya yang terpaksa harus dibalut sehabis dioperasi karena jadi bengkak. Tentu saja mesti dibantu orang lain sewaktu membalut. Anak saya melakukannya setiap hari sambil mengelap tubuh saya dengan handdoek basah sebab luka bekas operasi maupun radiasi yang merupakan salah satu terapi kanker tidak boleh terkena air. Apalagi ada tanda-tanda memakai spidol yang dibuat onkologis di kulit saya sebagai panduan daerah-daerah yang masih belum bebas dari sel kanker. Konon di situ nanti sasaran tembak radiologis yang dititipi saya untuk diobati dengan sinar yang maha dahsyat.

 Mula-mula berat rasanya membersihkan tubuh dibantu orang lelaki. Tapi tak ada jalan lain karena kedua anak saya lelaki semua. Mereka pun ikhlas melakukannya, jadi mengapa tidak?! Dulu semasa habis dioperasi di bagian perut saya tidak pernah minta tolong. Mandi saya lakukan sendiri dengan cara terlebih dulu menutupi plaster penutup luka memakai lembaran plastik yang saya rekatkan dengan plaster ke kulit. Ketika itu, dokter-dokter saya tidak akan melakukan radiasi, jadi saya boleh menyiram daerah bekas operasi itu. Sekarang saya justru tak bisa melakukannya lagi. Inilah agaknya satu lagi pembeda rasa sehabis dioperasi di abdomen dengan di thorax.

***

Kemarin sore akhirnya kakak sulung saya yang dicurigai menderita kanker payudara stadium awal sudah pulang ke rumah. Beliau masuk RS untuk dibiopsi onkologis lain dengan cara disayat dibedah tumornya sebanyak seruas jari pada hari Kamis. Artinya beliau menginap sama lamanya dengan pembedahan besar membuang payudara serta kelenjar getah bening di ketiak saya. Yang membuat beliau menginap dua malam adalah rasa pusing dan muntah akibat anestesi yang diterimanya.

Soal biopsi dengan cara yang berbeda pada kami, ini ternyata disebabkan kondisi tumor dan stadium kami yang berbeda. Tumor kecil stadium awal tumbuhnya masih terlokalisasi. Jadi agar tak meruyak, sampel jaringannya harus diambil dengan hati-hati melalui bedah terbuka. Tujuannya agar akar-akar sel kanker itu tidak meluas ke daerah di sekitarnya. Adapun tumor besar apalagi yang sudah pecah, dianggap sudah menyebar luas ke sekitarnya. Jadi pengambilan sampel jaringannya lebih mudah, cukup dengan jarum biopsi yang dutusukkan ke tumor untuk menyedot sel tumor. Dan saya menjalaninya cuma di ruang klinik dokter bedah saja.

Biopsi kakak saya cuma makan waktu beberapa menit, persis biopsi di jaringan hati ibu saya yang berparut karena cirrhosis hepatitis. Tapi hasilnya sama saja dengan sampel sel ganas saya, harus dikerjakan seminggu di laboratorium patologi anatomi. Jadi, ketika besok saya sudah akan memeriksakan bekas operasi saya ke klinik, kakak saya baru akan tahu hasil biopsinya hari Jumat nanti. Menguntungkan bagi kami, karena artinya saya masih bisa menenteramkan hati kakak saya terlebih dulu. Sebab, kakak saya termasuk orang yang mudah panik lalu ketakutan yang membawa stress.


Hari ini adalah hari ketiga saya kembali ke rumah. Saya mulai bisa menggerakkan lengan bekas dioperasi itu ke samping, ke muka, dan ke belakang. Seharusnya menurut buku panduan saya mulai bisa menaikkan tangan lalu menyatukan dengan tangan satunya di atas kepala. Tapi masya Allah, rasanya masih cukup nyeri. Jadi artinya, saya manusia biasa yang tak berbeda dari orang-orang lainnya bukan?! Kalau begitu saya tidak luar biasa ah......... :-D


(Bersambung)

Jumat, 28 Juni 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (79)

Melewati malam pertama sehabis dioperasi saya justru tertidur nyenyak. Tak ada rasa sakit seperti biasanya ketika dokter membedah perut saya. Juga tanpa ngilu seperti ketika tulang bahu saya dikikis dulu. Tapi ketika saya sempat terjaga, saya lihat anak-anak saya kelelahan sendiri seperti sangat butuh istirahat. Saya sadari operasi pengangkatan tumor payudara saya yang diindikasikan dalam keadaan perlu disegerakan oleh dokter, tentulah menguras enerji dan emosi mereka. Anak sulung saya membaringkan tubuhnya di atas hamparan sajadah di lantai, sedang si bungsu menggunakan kursi untuk meletakkan kepala, punggung dan pantatnya. Tak tega saya melihatnya. Meski begitu semua kami terima jua karena keterpaksaan belaka. Tak ada tempat untuk mereka menginap malam itu.

Perawat datang mengelap tubuh saya di waktu subuh. Setelah itu makan pagi berupa bubur disajikan pukul enam bersama sebutir telur supaya saya segera makan obat. Saya tahu pereda nyeri yang kini menemani hari-hari saya dengan setia sudah menunggu untuk digunakan sebab nyeri saya termasuk tingkat tinggi bekas penyayatan daging di bagian kiri dada mulai dari ketiak hingga melintasi perbatasan di daerah dada kanan. 

Saya tak menyangka sayatan itu memanjang ke sisi, mencubit sebagian sisi payudara lainnya. Sebab semula saya pikir payudara saya akan dibuang ke arah perut. Patut lah saya tak merasa kesakitan di sekitar perut seperti pasca operasi yang dulu-dulu. Dada saya sudah datar sebelah di situlah seharusnya rasa sakit berpusat, tapi semangat dan kebanggaan saya sebagai wanita untungnya tak ikut-ikutan datar. Barangkali saja jika orang lain yang mengalami keadaan ini akan bereaksi lain, terkejut. Tapi saya tidak. Jadi sudah sepatutnya di ruang rawat inap RSK Dharmais tak disediakan sebentuk cermin pun. Sehingga saya yang penasaran melihat diri sendiri terpaksa melongok ke cermin di kotak bedak saya.

***

Dokter saya seperti biasa datang pagi hari dengan wajah gembira bahkan meminta saya memilih ingin dipulangkan kapan. Saat itu juga atau keesokan harinya. Demi kenyamanan semuanya saya pilih dipulangkan hari itu. Siapa takut?!

Setelah saya timbang-timbang bahwa saya cukup sehat, saya memilih pulang saat itu juga. Karenanya saya disuruh menunggu kunjungan dokter ahli anestesi dan rekam medik dulu. Persetujuan dari mereka jadi syarat mutlak kepulangan juga. Untung mereka segera datang dan menyatakan saya boleh pulang, tetapi dengan terlebih dulu menerima pembekalan cara merawat lengan saya yang masih saja bengkak besar serta petunjuk latihan menggerakkan tangan.

Tak dinyana proses perawatan saya amat singkat, hingga mencengangkan banyak pihak termasuk staf RS di antaranya dokter Maria Astheria Witjaksono, teman saya yang bertugs sebagai salah satu pimpinan di situ. Padahal paman saya dan putrinya yang menunggui operasi saya ketika menjenguk malam sebelumnya masih mengira saya akan tinggal dua-tiga malam lagi sehingga menawari anak saya menginap di kediaman beliau yang sayangnya jauh dari RS.


Pamanda Sardono dan putrinya

Kami semua bergerak cepat. Barang bawaan dari rumah dikemasi, si bungsu menyelesaikan administrasi, sedangkan si sulung bersiap-siap akan mencari taksi. Namun belum sampai dia turun ke parkiran RS adiknya sudah memberitahukan bahwa ada sepupu saya yang sedang dalam perjalanan dari Ciputat akan mengantarkan kami pulang. Subhanallah! "Bude Anwar bilang, ibu nggak boleh naik taksi," pesan anak saya. Dalam pada itu saya segera menyebarkan pemberitahuan kepada teman-teman saya di DWP bahwa saya dalam kondisi sehat dan akan pulang. Maklum saya khawatir akan ada yang datang menjenguk lagi. Ternyata betul saja, selagi menunggu jemputan ada yang datang ditemani sekretaris suaminya. Aduhai, limpahan cinta itu begitu meluap tak ada batasnya. Buktinya lagi, keluarga Bambang yang mendampingi anak saya di malam ketika saya harus masuk ruang perawatan menelepon menyatakan kesiapannya mengantar ke rumah. Saya sampai tertakjub-takjub menyadari itu semua. Begitu mudahnya orang-orang tergerak meringankan beban kami.

***

Kami selamat tiba di rumah kira-kira pukul dua siang. Sayangnya waktu itu kakak saya justru baru saja masuk RS untuk dibiopsi karena dicurigai juga menderita kanker payudara. Berhubung onkologis saya cuma berpraktek seminggu sekali di Bogor, maka kakak saya berobat ke onkologis lain. Dokter itu menyarankan pengangkatan sampel jaringan tumor dengan metode operasi, yakni menyayat seiris kecil tumor untuk dibawa ke laboratorium patologi anatomi. Untuk itu kakak saya perlu dirawat inap tidak seperti metode tusuk-sedot jarum dokter saya. Hingga malam ini kakak saya malah belum pulang. Artinya, beliau menginap dua malam. Menurut laporan kemenakan saya, kakak saya merasa pusing-pusing juga muntah-muntah berkali-kali. Sungguh bertolak belakang dengan kondisi saya yang diindikasikan dokter memerlukan penanganan yang cermat sebab memiliki kesulitan tingkat tinggi.

Saya jadi teringat sendiri sapa-menyapa dokter saya sewaktu siap melakukan tugasnya. Beliau menanyai apakah saya siap dibedah? Tanpa beban justru saya jawab bahwa saya sangat berterima kasih dibantu segera untuk dikerjakan, sebab saya takut menghadapi onkologis koleganya yang menangani kakak saya itu. "Baik kalau begitu," rasanya cuma itu sahut dokter saya yang kedengaran di telinga karena entah mengapa tusukan infus yang amat menyakitkan di vena saya yang miring yang merupakan satu-satunya vena yang masih bagus pasca kemoterapi membuat saya langsung terlelap.



Lalu tiba-tiba lampu besar di atas kepala dan tubuh saya tak bisa dilihat lagi. Hebatkah saya? Saya tak mau bilang begitu. Yang jelas efek pasca operasi itu tak pernah ada, tak seperti ketika saya menjalani serangkaian bedah perut di masa lampau.

Kata-kata hebat itu justru terlontar dari mulut teman-teman saya yang datang ke rumah tadi siang untuk menyatakan puji syukur mereka atas keadaan saya sekarang. Ceritanya anak saya mendapat SMS dari "tetua" gank kami bahwa mereka ingin menyaksikan kondisi saya terkini. Jadi mereka akan datang. Entah bagaimana saya sendiri berfirasat bahwa mereka akan mengajak saya makan siang. Maka saya amat bergairah untuk itu. Saya sedikit mematut diri, lalu ikut pergi bersama mereka yang dua orang di antaranya datang dari tempat penugasan mereka di luar negeri.

"Subhanallah, Lilik! Kamu bisa jalan tegak?" Seru orang yang pertama masuk ke ruang tamu nampak terkejut. Teman-teman lainnya mengekor di belakang berebut ingin segera melihat sosok saya.

"Wuih, edun! Ari sugan teh kamu keur ngagoler euy......," seru lainnya di dalam bahasa daerah mengira saya dalam keadaan berbaring.

"Ey, euweuh ti dituna, jagjag ah," sahut saya sambil memeluk menciuminya melepas rindu, maklum beliau baru tiba dari Bangladesh. Saya memang merasa tak perlu berbaring-baring bahkan sejak beliau mengirimkan doanya yang panjang dari Bandar Udara sebelum terbang, bertepatan dengan saatnya saya dibawa masuk ke ruang bedah kemarin dulu. Kami semua segera larut dalam suka cita. Lalu dilanjutkan ke luar rumah untuk makan siang.

Ha-ha!! Di food court favorite kami itu, ternyata saya sanggup menghabiskan semangkuk soto mie, setengah piring nasi ditutup segelas es cincau hijau. Tentu saja ini membuat mereka makin tertakjub-takjub lagi hingga mereka iseng memotret ulah saya juga tingkah mereka yang tiba-tiba lupa diri bahwa kami sudah nenek-nenek. 

Jadi, memiliki penyakit kanker hendaknya pasien tak ketakutan dan patah semangat. Walau banyak kendala tetapi pasien didukung keluarga dan lingkungannya mesti berupaya mengatasi itu agar semua program pengobatan yang mesti dijalani bisa berjalan dengan sempurna guna mencapai sasarannya. Yang pada diri saya kelak akan diakhiri entah dengan kemoterapi selama setahun seperti rencana semula, atau terapi radiasi mengingat hasil pembedahan kemarin masih tersisa 2% di pembuluh darah saya yang sangat halus. Sifatnya sangat ganas dan menempel amat kuat. Inilah yang masih harus saya lawan agar saya benar-benar sehat kembali. Baiklah, perjuangan akan terus saya upayakan.

(Bersambung)

Kamis, 27 Juni 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (78)

Jurnal ini saya tulis dari ranjang RSK Dharmais kamar 613 atas jasa anak bungsu saya. Setelah melalui beragam pengalaman yang menaik turunkan emosi saya pada akhirnya, dokter saya yang budiman berhasil mengangkat penyakit pada payudara dan kelenjar getah bening ketiak saya. 

Awal minggu ini, dimulai dengan kesulitan kami mencari kendaraan yang akan mengantarkan saya ke rumah sakit seperti yang sudah saya ceritakan di jurnal sebelumnya. Bahkan anak saya sempat tertipu oleh perusahaan rental mobil bohong-bohongan. Ketika itu sebetulnya salah seorang kerabat kerja mantan suami saya bersedia menjemput kami dari Jakarta tapi kami tolak, mengingat jarak yang jauh. Untung akhirnya kami mendapat sebuah taksi pada pukul 2 siang. Kami tiba di RSKD sudah sore bersamaan dengan kerabat kerja mantan suami saya tadi yang agaknya ditugasi teman-teman di Kemenlu mendampingi saya dan anak-anak.

Akibat kesulitan mencari kendaraan itu, saya nyaris tidak diizinkan masuk RS  karena berkas-berkas rumah sakit tertinggal begitu saja di rumah. Akibatnya anak sulung saya terpaksa kembali ke rumah diantarkan oleh keluarga yang budiman itu. Dia baru tiba kembali di RS pukul 11 malam. Waktu itu saya sudah dalam keadaan setengah tertidur karena saya tidak begitu merisaukan operasi saya.Maklum operasi besar bukan hal aneh lagi bagi saya.

Dokter Maria Witjaksono, salah satu teman Dharma Wanita saya yang menjadi direktur di unit kerja paliatif masuk ke kamar saya untuk memastikan bahwa saya dalam keadaan siap sore hari itu menjelang beliau pindah praktek ke rumah sakit lain. Kata-katanya yang penuh penghiburan dan sikapnya yang ramah itulah yang menjadikan malam saya dihiasi tidur nyenyak. Belum lagi keesokan harinya dokter onkologi saya Bayu Brahma yang masih sangat belia tiba pagi-pagi sekali tetap dengan sikapnya yang menawan sekedar untuk menyampaikan bahwa saya dipastikan akan dioperasi menjelang sore. Setelah itu berturut-turut teman-teman saya di DWP Kemenlu berdatangan guna menunggui operasi saya mendampingi anak-anak. 

Ibu Masrifah Wardana Ketua DWP Kemenlu (paling kanan) bersama Dr. Maria (kedua dari kanan) dan teman-teman

Menurut teman-teman saya yang dibenarkan oleh Dr. Maria, saya adalah pasien yang istimewa. Karena berani menghadapi kesempatan keduabelas mencicipi meja bedah. Begitupun dengan dokter Agus ahli anestesi yang akan membius saya ketika meberikan penyuluhannya, sempat menganggap saya mempunyai pengetahuan yang baik tentang masalah kesehatan dan kedokteran. Dikiranya saya mempunyai latar belakang pendidikan kedokteran. 

Saya didorong ke ruang bedah pukul 15:40 WIB diiringkan sahabat-sahabat baik saya tadi disertai doa-doa yang indah di lobby ruang bedah. Begitu tentramnya hati saya. Sehingga saya tidak perlu ditenang-tenangkan oleh tenaga medis. Apalagi setelah saya disapa Dr. Bayu di meja bedah. Tenang sekali rasanya. Sambil berbincang-bincang mereka mulai menidurkan saya diiringi lagu lembut yang membantu saya menjadi semakin tenang. Saya baru terjaga kemudian ketika lampu bulat meja bedah sudah tak kelihatan lagi berganti dengan sinar temaram di kesenyapan. Semula saya mengira saya berada di ruang pemulihan. Tetapi kemudian perawat jaga di ruang itu menjelaskan bahwa saya berada di High Dependency Care Unit (HCU). Bersama saya 9 tempat tidur pasien lain nampak penuh. Di antaranya seseorang yang dirawat di sebelah tempat tidur saya di ruang perawatan, yang dioperasi lebih dulu tapi ternyata dia kembali ke kamar lebih belakangan.

Bersama anak sulung saya di ruang HCU

Malam itu saya tak tahu banyak apa yang terjadi. Bahkan ketika anak-anak saya dipanggil masuk untuk menyaksikan sendiri bahwa saya sudah tersadar. Yang saya tahu kemudian tiba-tiba perawat ruang rawat inap datang hendak membawa saya kembali ke kamar tidur saya. Katanya sih matahari sudah nampak, dan anak-anak saya sudah menunggu saya di kubikel pembaringan saya dengan senyum bahagia mereka.

Kamar rawat nampak penuh pasien baru. Agaknya mereka masuk semalam. Tapi belakangan saya tahu mereka cuma pasien rawat singkat. Dokter onkologi saya nyatanya amat bertanggung jawab terhadap pasiennya. Beliau datang pagi-pagi sekali. Diguncang-guncangkannya lengan saya dengan sapaan halus, "Tante, assalamu'alaikum, selamat pagi. Baik-baik saja kan?" 

Saya terbangun dari sisa-sisa kantuk saya. Mata saya yang buram tanpa bantuan kacamata menampak wajah yang manis budi itu. "Eh, waalaikumussalam. Selamat pagi. Saya baik-baik saja. Terima kasih atas pertolongannya. Saya bahagia bisa dioperasi dokter di sini. Mohon maaf saya belum sempat bertandang sendiri ke rumah ibunda untuk menyatakan terima kasih saya secara pribadi," jawab saya separuh menyesali diri tak buru-buru menemui ibunda beliau yang tinggal tak jauh dari rumah saya. Dokter Bayu lagi-lagi cuma tersenyum nampak tulus dan puas atas hasil kerjanya. ''Jangan dipikiri ya tante, okay deh kalau tante nggak ada masalah. Alhamdulillah. Mari tante," ujarnya sejenak kemudian setelah meneliti catatan medis saya yang disodorkan perawat yang mengiringinya.

Saya kemudian benar-benar terjaga untuk mendengarkan laporan anak-anak saya. Ternyata operasi saya berlangsung 4 jam. Terbagi dalam dua bagian, pengngkatan payudara dilanjutkan pengangkatan kelenjar getah bening di ketiak saya. Daging-daging itu mirip sekali dengan bahan rendang yang biasa saya olah bila hari raya tiba. Masing-masing kira-kira seberat 3 kilogram. 

Operasi itu tak dinyana ditunggui teman-teman saya hingga separuh jalan, juga oleh paman, bibi dan sepupu saya. Padahal kami tak pernah mengiba minta anak-anak saya ditemani. Saya lagi-lagi memperoleh kejutan menyenangkan sehingga air mata saya nyaris menetes haru.

Pada jam berkunjung kakak kandung saya datang dari Tangerang meski dalam keadaan sakit didampingi sahabatnya, bang R yang dulu duduk datu kelas ketika kuliah. Persahabatan mereka tak pernah putus hingga sekarang. Lalu ada juga para kakak sepupu saya yang nampak amat memperhatikan keadaan kami anak-beranak. Belum lagi kerabat mantan suami saya yang justru datang lebih pagi. Rasanya saya dapat perhatian sangat istimewa. Bingkisan mereka memaksa saya unjuk diri bahwa saya sudah sanggup makan normal lagi. Ini menunjukkan bahwa gerak peristaltik usus saya sudah kembali normal.

Hari pertama pasca operasi itu nyatanya sangat indah bagi saya. Terima kasih Tuhan tak ada yang tak menyenangkan di dalam kehidupan ini, bahkan di kala manusia itu terpuruk, sakit dan hina. ALLAH MAHA BESAR! SELURUH PUJIAN HANYA KEPADANYALAH LAYAK DIPERSEMBAHKAN.

(Bersambung)

  

Minggu, 23 Juni 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (77)



Jurnal ini bernomor 77 pada serialnya. Persis angka tahun masuknya saya ke Perguruan Tinggi dulu. Semula saya kira jurnal saya akan istirahat dulu di nomor ke 76. Tapi ternyata berhubung pak Djamil kenalan kami yang biasanya bersedia dengan senang hati mengantarkan kami dengan mobil tetangganya kali ini tak ada di tempat, maka anak saya pagi-pagi berniat mencari taksi. Berhubung kota kami yang cuma lima puluh empat kilometer jaraknya dari Jakarta tidak punya taksi kota, maka kami agak kerepotan mencari. Ada sih taksi yang mangkal di perumahan kami, taxi terkenal yang biru itu lho, tapi ternyata sudah habis dipesan semua. Begitu pun dengan taksi lainnya yang berpangkalan di sebuah hotel, sudah tidak punya stock sisa. 

Bingung saya memikirkannya. Sampai-sampai saya bertekad untuk naik kereta saja ke Jakarta. Kami bisa turun di Stasiun Cawang lalu menyambung dengan taksi sampai RS. Tapi barang bawaan kami cukup banyak, mengingat saya takut menginap seminggu seperti pengalaman pasien yang saya tanyai waktu bertemu di RS kemarin dulu. Belum lagi kedua anak saya menginginkan tinggal bersama saya di Jakarta. Yang seorang menginap di RS, menjaga saya, yang seorang ditawari pulang ke rumah kost sahabatnya di malam hari. Jadi, mereka masing-masing pun membawa perlengkapannya sendiri-sendiri. Tak terkira banyaknya tas-tas yang harus kami angkut, yang akan makan tempat dan merepotkan jika dibawa dengan kereta listrik.

Dalam kebingungan itu, sahabat saya satu "gank" di Kemenlu menanyai keberadaan saya di RS. Saat itu juga beliau dengan suaminya yang baru purna tugas ingin menemui saya di RS untuk menanyakan kesiapan operasi besok. Agaknya mereka berencana mengatur jadwal mendampingi saya di Hari Besar itu. Saya jawab bahwa saya masih di rumah, sebab belum dapat angkutan ke Jakarta. Serta merta mereka berdua menawarkan diri untuk menjemput saya ke Bogor. Terbayang bukan, betapa merepotkannya rencana itu? Dengan segera saya menolak kebaikan mereka yang tulus. Di dalam hati, saya mohon terus kepada Allah supaya dapat kendaraan alternatif apa pun itu bentuknya.

Ternyata tak lama kemudian kedengaran anak bungsu saya sedang menjelaskan arah rumah kami di telepon kepada seseorang yang saya yakin tidak kami kenal. Kemudian dengan berseri-seri dia mengatakan bahwa dia mendapat sebuah kendaraan bekas taksi yang kini disewa-sewakan setelah dia sibuk mencari-cari informasi ke sana-sini. Dan kendaraan itu bersedia menjemput pukul dua belas nanti. Ya, alhamdulillah, sekali lagi Allah membukakan jalan bagi kesulitan kami. Saya yakin berkat doa yang saya ucapkan terus selama ini untuk menyingkirkan kesulitan kami. Saya sudah sering membuktikan keajaiban hasilnya.

Tak terkira bukan betapa besarnya perhatian orang-orang di luar keluarga saya terhadap saya? Apalagi ketika keluarga saya sendiri sudah sama-sama sakit dan tak punya daya untuk menemani saya menjalani operasi yang tidak ringan ini, itu adalah penyemangat saya yang utama. Lihat saja, tak hanya teman-teman satu gerombolan saya saja yang sibuk menanyai saya, bahkan mantan anak buah saya di DWP dulu juga sibuk menanyakan nomor kamar rawat inap saya. Siang ini dia berencana menengok saya karena kebetulan akan mengantarkan ayahnya memeriksakan kondisi jantungnya yang sudah dioperasi by pass dua tahun lalu di RS Harapan Kita, tetangga sebelah RSK Dharmais. "Ibu di ruang berapa? Saya pengin ketemu ibu sekarang juga," rengek Rita junior saya itu meski sudah saya sampaikan saya belum masuk RS masih menunggu adanya kendaraan yang siap mengantar. Saya yakin, besok atau lusa dia pasti akan datang betulan bersama sahabat-sahabatnya menjenguk saya.

Ini mengingatkan saya pada peristiwa manis tujuh tahun lalu ketika saya sakit di Singapura. Waktu itu, sehabis sebelah indung telur saya dibuang, tiba-tiba saya mengalami pendarahan hebat dari mulut saya. Padahal seumur-umur selama mengalami beragam operasi saya tak pernah sampai terkendala oleh pendarahan. Akibatnya Andrie anak saya yang sengaja datang dari Bogor untuk menjagai saya di RS kebingungan dan panik. Segera setelah dia melaporkan kondisi saya kepada petugas RS, akhirnya saya dibawa kembali ke ruang radiologi untuk diperiksa. CT Scan yang saya jalani dalam kondisi separuh sadar sebab saya mulai mengarah kepada kehilangan kesadaran, menunjukkan bahwa usus halus saya terluka sebelas senti. Luka yang nyatanya sudah membusuk itu diduga sudah lama ada di sana, bukan luka baru tertusuk peralatan dokter yang mengambil indung telur saya. Akibatnya mau tak mau saya harus dioperasi sekali lagi guna membuangnya, yang berakhir dengan tertidurnya saya di ruang ICU selama tiga hari. Saya baru tersadar penuh bahwa saya ada di ruang ICU bukan di kamar 825 yang seakan-akan sudah jadi kamar pribadi saya saking seringnya saya huni, ketika saya mendapati wajah sepasang suami-istri purna karyawan Duta Besar mantan pimpinan mantan suami saya yang menetap di Jakarta. Beliau menyapa lembut, lalu menyunggingkan senyum, mengusap-usap kepala saya sambil berdoa yang indah-indah untuk saya. Sedangkan beberapa hari sesudah itu, datang pula menjenguk saya sepasang lagi lainnya, kawan beliau yang sesungguhnya malah saya tidak kenal karena bukan mantan pimpinan mantan suami saya lagi pula berbeda bidang tugas. Jauh-jauh dari Jakarta, si ibu cantik yang tak kelihatan sudah sepuh itu datang menyemangati saya. Bahkan suaminya yang konon juga terkenal keras di kantornya tak segan-segannya mengajak saya mengobrol menyemangati saya juga. 

Waktu itu saya antara percaya dan tidak. Sebab saya hanyalah orang rendahan belaka, bukan pula pegawai, cuma anggota Dharma Wanita Persatuan. Tak ada bakti saya di kantor apalagi bagi negara, juga pada keluarga mereka. Tapi, betapa relanya beliau dua pasang itu terbang khusus dari Jakarta demi menjenguk saya. Tak terbayangkan dan tak bisa dipercaya begitu saja, bukan?!

Mantan pimpinan mantan suami saya memang bersifat kebapakan. Tapi istrinya, dulu semasa kami besama-sama di DWP amat disegani cenderung kami takuti, karena jarang tersenyum. Namun entah mengapa, teman-teman saya dulu sempat bertanya-tanya, mengapa menghadapi saya beliau amat ramah. Sehingga seringkali kalau kami bepergian berombongan beliau memilih ditemani saya di mobil dinas jabatan suaminya. Bukan ibu-ibu yang lain, yang memang benar juga sih, kikuk berada di dekat beliau. Jawabannya tak pernah saya ketahui hingga sekarang.

 ***

Ternyata masuk menginap di RS sekarang bisa saya gambarkan butuh persiapan yang terencana. Pertama kita harus tahu pukul berapa kita diharapkan tiba di RS, kemudian prosedur apa yang masih harus dilakukan sebelum masuk kamar perawatan. Sehingga kita tidak akan dianggap terlambat atau kesiangan. Dalam hati saya ketika mengetikkan jurnal ini, terus terang saya agak was-was ditolak pihak administrasi pendaftaran pasien rawat inap RS mengingat tidak datang pagi. Padahal hari ini masih harus menjemput dulu hasil-hasil pemeriksaan kesehatan penunjang yang kemarin dulu kami lakukan.

Ketika hari Jumat dokter saya memberikan catatan pemesanan kamar, anak saya langsung menghadap ke bagian administrasi pendaftaran pasien rawat inap. Tapi rupanya dia tidak mendapat bon tanda bukti pemesanan kamar. Cuma dikatakan akan ditelepon oleh pihak RS nantinya. Nyatanya hingga pukul sebelas pagi ini kami tidak mendapat kabar apa pun sehingga saya khawatir tak dapat kamar untuk siang atau sore ini.

Inilah antara lain satu pembeda lagi antara tata cara pemesanan kamar di RS yang biasa saya lakukan di luar negeri dengan di Indonesia. Di LN biasanya kamar mudah didapat pada harinya dokter menyuruh rawat inap. Sesuai jadwal yang ditetapkan dokter, RS akan mengupayakan dapat kamar rawat untuk saya. Biasanya saya akan ditelepon sehari sebelum hari perawatan oleh pihak RS yang menetapkan saya harus datang keesokan harinya pada pukul berapa ke mana. Semua serba mudah dan pasti. Beda sekali ternyata dengan prosedur di Indonesia. Bodohnya saya baru menyadarinya sekarang.

Walhasil, jurnal yang saya buat kali ini hanyalah sekedar curahan hati murni yang akan saya jadikan patokan untuk masa yang akan datang seandainya saya ternyata masih perlu dirawat inap lagi. Sebab nasib manusia, tak pernah kita tahu akan bagaimana. Semua bergantung kepada Tuhan, bagaimana jalannya. Namun sesungguhnya kali ini saya amat berharap bahwa kemudian hari saya akan jadi sehat lagi selamanya. Saya jujur saja sih, amat merindukan kesehatan itu. Wajar dan manusiawi sekali bukan?!

(Bersambung) 

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (76)






"THIS SITE WILL BE TEMPORARY CLOSED". Begitu anak saya mengajari saya untuk menulis permulaan jurnal ini. Soalnya dia yakin banyak orang yang akan mencari-cari tulisan saya selama seminggu ke depan, tetapi penulisnya belum mampu duduk menuliskan perjalanan hidupnya sehari-hari seperti biasanya.

Besok saya masuk perawatan di RS Kanker Dharmais untuk membuang payudara saya yang sakit dan membusuk meski kini bau busuknya sudah tak tercium lagi sejak dirawat dengan serius. Pembedahan ini akan menjadi yang ke-12 kali sepanjang hidup saya jika dihitung dengan bedah-bedah minor serta bedah Kaisar untuk melahirkan kedua anak saya.

Takut kah saya? Rasanya tidak terlalu. Saya justru lebih takut disuntik tepat di pusar saya seperti yang saya jalani kemarin. Soalnya untuk saya suntikan itu baru pertama saya alami dan lagi sasarannya pun bukan tempat yang umum.

Tapi tidak bisa bohong juga sih, saya memang cukup ngeri dengan suasana di RSKD. Pasalnya meski merupakan RSU tetapi tentu saja sebagai lembaga pusat penelitian kanker nasional di sana banyak pasien dengan penampilan yang mengerikan berkat hiasan pembalut luka di sana-sini dan kepala-kepala tanpa rambut. 

Kebanyakan pasien di poliklinik kanker adalah perempuan. Pertama saya sadari ketika saya terlalu lama menunggu dokter datang di RS di kampung kami. Saya tengok kiri dan kanan saya secara iseng, isinya para ibu. Ada juga sih kaum lelakinya, namun mereka kelihatannya hanya mengantarkan pasien perempuan seperti halnya anak-anak saya. Setelah itu kalau kebetulan saya berobat di RSKD saya pun iseng-iseng lagi memerhatikan keadaan sekitar. Begitu juga adanya, kebanyakan duduk lah kaum perempuan di kursi-kursi tunggu klinik. Saya kemudian menduga-duga sendiri, agaknya prevalensi penderita kanker lebih banyak perempuan jika dibandingkan dengan lelaki. Dan dari hasil mengobrol sesama pasien, saya pun menyimpulkan kebanyakan kami menderita kanker payudara meski ada juga yang bukan.

***

Kemarin dulu sewaktu mempersiapkan operasi, saya sempatkan diri mengobrol dengan para pasien kanker. Banyak yang penampilannya masih serupa orang sehat. Tapi sesungguhnya di balik tubuh mereka yang gemuk ada penyakitnya. Tentu lebih-lebih lagi di tubuh yang kurus kering. Sebagaimana yang saya temui ketika baru menjejakkan kaki di lobby RS. 

Telinga saya disambut oleh suara batuk-batuk hebat yang kedengaran melengking kering dari mulut seorang perempuan kurus di deretan bangku tunggu. Dia seakan-akan repot hendak mengeluarkan lendir di tenggorokannya, membuat suami entah saudara lelakinya menggosok-gosok punggungnya sambil menatap dengan prihatin. Tak salah lagi, perempuan itu pasti penderita penyakit berat. Mungkin saja kanker paru-paru seperti yang merenggut nyawa ayah mertua saya juga Lina salah seorang teman saya dulu. Tapi boleh jadi juga menderita penyakit lainnya karena RS ini punya banyak dokter spesialis termasuk yang tak dipunyai RS lain, yakni dokter spesialis paliatif yang bertugas untuk memberikan penyuluhan dan pendampingan kepada para penderita yang tingkat penyakitnya sudah parah atau bahkan belum diketahui sakit apa sama sekali, beserta keluarganya. 

Teman saya pegawai di sini lah Direktur Unit Paliatif yang sempat menumbuhkan sedikit ketersinggungan pada saya sewaktu pertama saya dibawa berobat oleh teman-teman DWP Kemenlu. Sebab sebetulnya karena tidak pernah bertemu di suatu unit kerja baik di dalam maupun di luar negeri dengan bu dokter yang direktur itu, saya jadi tak mengenal beliau. Karena itu saya sempat mengira saya dianggap teman-teman saya sudah tak mungkin disembuhkan lagi sehingga memerlukan jasa pendampingan dokter paliatif. Kisruh kecil ini berakhir dengan hubungan manis di antara saya dengan sang dokter waktu saya menyampaikan keberatan saya kepada bu dokter. Beliau bilang kepada saya adalah hanya suatu kebetulan belaka saya dibawa menghadap seorang dokter spesialis paliatif. :-D

Di lorong tempat tunggu pasien klinik khusus yang saya datangi, saya ditanyai oleh seorang perempuan tentang tujuan kedatangan saya. Dia tak mengira saya pasien kanker payudara stadium lanjut yang akan dioperasi, karena dilihatnya tubuh saya kekar serta tak layu. Apalagi saya mengenakan jilbab sebagaimana biasanya, bukan sekedar tutup kepala layaknya penampilan muslimah lainnya sehari-hari. Perempuan sebaya saya itu datang untuk mencari ahli darah mengantarkan ibundanya yang menderita kekurangan sel darah merah yang parah. Mereka dikirim dari RS Fatmawati yang tak mampu memperbaiki kondisi si sakit. Jika dilihat, ibu sepuh berusia kira-kira tujuh puluh lima tahun itu memang nampak pucat. Tubuhnya pun cenderung kurus. Saya jadi tahu, lorong itu adalah tempat berkumpulnya para spesialis spesifik semacam ahli hematologi darah, ahli bedah kanker, ahli paliatif dan ahli bedah-bedah lainnya.

Berpindah ke ruang tunggu pasien dokter jantung, saya justru bertemu dengan berbagai pasien tua maupun muda dengan tubuh yang kurus maupun gemuk. Saya ada di antara yang gemuk, meski tidak segemuk yang lain. Suara pertama yang saya dengar berasal dari pembicaraan sepihak seorang perempuan kurus tinggi yang saya taksir berumur lebih tua sedikit dari saya, mendekati enam puluh tahun. Dengan telepon genggam di tangannya tak henti-hentinya dia memperbincangkan situasi dan suasana kegiatan belajar mengajar di sebuah sekolah. Seru sekali agaknya, diselingi kata-kata dalam bahasa daerah. Belakangan barulah kami saling sapa setelah dia puas dengan teleponnya. Perempuan bersuku Batak tapi lebih menyerupai orang Maluku itu penderita kanker payudara juga, stadium yang lebih rendah dari saya. Dia sudah lama berobat di situ, akan tetapi beberapa kali menjalani terapi di RSCM karena RSKD pernah tak memiliki alat radiasi. Sebagai PNS guru dia merasa sangat beruntung bisa berobat di mana saja menggunakan fasilitas ASKES. Agaknya dia merasa iba kepada saya setelah mendengar cerita saya bahwa saya terpaksa berobat di kampung saja karena saya cuma pengguna Jamkesda. Namun untungnya dokter saya mau mengorbankan uangnya untuk mendanai saya berobat di RSKD ini karena keterbatasan alat serta tenaga di ruang operasi RS di daerah kami.

Ibu guru yang kurus itu tertarik mendekati kami yang kebetulan gemuk semua setelah mendengar kami mempercakapkan mengenai kanker payudara yang kami idap. Dua orang ibu gemuk yang asyik bercakap dalam bahasa Jawa menceritakan bahwa kanker mereka terdeteksi setelah dilakukan biopsi dengan cara mengiris sedikit jaringan tumor mereka untuk diperiksa di laboratorium Patologi Anatomi. Waktu itu saya sempat terheran-heran sebab dulu saya hanya dibiopsi dengan cara diambil sampel tumor saya menggunakan jarum serupa jarum suntik berukuran besar. "Mboten kok bu, tumor kula dibeleh, dipendet sak manten," kata kedua ibu itu seraya menunjukkan seruas ibu jarinya. Tumor mereka disayat diambil dagingnya sebesar seruas ibu jari, itu yang mereka alami. Yang seorang juga pasien kiriman RS Fatmawati, jadi biopsinya dilakukan di RS Fatmawati. Sementara biopsi saya dulu dilakukan di Bogor dan hasilnya yang ditampung di dalam sebuah kotak kecil sekali yang transparan saya bawa sendiri ke RSKD. Kelihatan jelas isinya semacam jaringan lemak yang amat tipis. Oh ya, besok lusa kakak saya yang juga dicurigai mengidap kanker payudara setelah dokter mengetahui saya mengidapnya, juga akan menginap semalam untuk dibiopsi dengan cara seperti biopsi pasien RS Fatmawati tadi. Pasalnya kakak saya berobat kepada dokter onkologi lainnya bukan dokter saya yang menjadi semakin sibuk dan karenanya sulit ditemui di Bogor.

"Tumor saya juga dibiopsi di RSCM dengan dibedah begitu," tiba-tiba ibu guru tadi menengahi obrolan kami. "Ibu pasien kiriman juga ya? Dari mana?" Selidiknya.

"Saya pasien dokter 'BB' dari Bogor. Tapi RS di daerah kami tidak punya peralatan dan tenaga yang memadai untuk operasi saya yang katanya rumit membutuhkan keterampilan tingkat tinggi," jawab saya. Guru itu mengangguk-angguk. "Ya, banyak pasien yang nggak bisa ditangani di daerah dirujuk ke sini. Ini kan pusat penanganan penyakit kanker, saya pun akhirnya ke sini juga, meski saya tinggal di Jakarta," bebernya antusias. "Tumor ibu macam mana, stadiumnya berapa? Saya stadium II, tapi habis kemo selalu saja tubuh saya lemah kekurangan Hb. Itu sebabnya saya ke sini mau minta asam folat. Dulu malah saya sempat dirawat sebab itu," ceritanya tentang dirinya. Saya pun kemudian menjawab sejelas-jelasnya.

Jawaban saya memancing komentar salah seorang ibu gemuk yang datang disertai anak SMP yang mendampinginya. Katanya beliau juga tumornya luka pecah menimbulkan lubang dan berbau seperti tumor saya. Rasanya selain sakit pun gatal. Amat mirip dengan kondisi saya. 

"Tumor saya sih nggak pecah bu, nggak gatal juga, cuma keluar cairan dari putingnya," celetuk salah seorang di antara kami di situ memancing seorang perempuan muda yang kurus kering tapi tetap bergairah, kemudian ikut-ikutan bertanya. Dia tidak menderita kanker payudara.

Perempuan yang semula saya kira gadis Korea itu ternyata pengidap kanker serviks. Penderitaannya berupa rasa sakit dan pegal-pegal di sekitar pinggulnya mirip kista ovarium yang dulu membawa saya berkali-kali ke atas meja bedah. Bedanya, dia tidak mengalami kejang otot tapi pendarahannya hebat tak kunjung berhenti. Pantas saja sejak tadi dia kelihatan memegang-megang pinggangnya seraya meringis seperti menahan sakit. Kulitnya yang terang ternyata bukan disebabkan darah Korea, melainkan gadis Sunda yang kekurangan sel darah merah akibat pendarahan hebat yang dideritanya. Kasihan sekali saya mendengar penuturan ibunya bahwa gadis itu sudah dioperasi, dikemoterapi dan meninggalkan dua anak kecil-kecil di rumahnya. Tapi suaminya nampak amat suportif, duduk mendampinginya dengan sabar.

Perempuan muda berumur tiga puluh tahunan itu khawatir penyakitnya akan menyebar ke payudara juga. Atau setidak-tidaknya kelak tumbuh di payudara seperti penyakit saya.

Seorang lainnya mengaku menderita kanker rektum atau anus. Ibu belia berumur 29 tahun yang juga kurus kering dengan kulit hitam seperti si ibu guru tadi sudah dipasangi kantung kolostomi untuk membuang kotorannya. Dulu operasi itu dilakukan di Kuching, Malaysia Timur setelah dokter di Singkawang, Kalimantan Barat mendiagnosanya mengidap kanker. Waktu itu dia dirujuk ke Jakarta, ke RSKD ini. Akan tetapi karena terlalu lemah, memandang jauhnya perjalanan dengan pesawat, keluarganya membawanya berobat ke Malaysia naik mobil selama sepuluh jam. Tetapi setelah uangnya habis, dia pun menurut berobat ke Jakarta. Di sini dia menumpang tinggal pada keluarganya untuk menghemat ongkos. Katanya anaknya baru seorang, terpaksa ditinggalkannya di Singkawang. Dia menghadap dokter untuk mengganti kantung kolostominya yang sudah butuh diperbaharui. Begitulah nasib penderita kanker kolorektal. Tubuhnya sudah tergantung kepada kantung yang harganya saya taksir tidak murah juga.

Perempuan terakhir yang menghampiri saya adalah seorang pegawai PT Krakatau Steel yang datang khusus dari Cilegon seorang diri menumpang bus selama kurang lebih dua jam. Semula saya kira dia sesama penderita kanker payudara melihat kepalanya ditutupi ciput. Tetapi ternyata dugaan kami keliru. Dia akan mengobati luka di dahinya yang tidak lebar, akan tetapi dicurigai dokter bersifat ganas. Sambil mempermainkan gadget di tangannya, perempuan berumur nyaris enam puluh tahun dan akan memasuki masa pensiunnya ini memperlihatkan hasil browsingnya tentang pengobatan hiperbarik. Tapi saya tak tertarik membahasnya. Yang saya tahu pengobatan menggunakan tabung berisi oksigen ini pernah menolong menyelamatkan almarhumah sahabat saya yang sakit sehabis menyelam di Laut Jawa.

Menjelang penderita kelainan kulit itu pergi, datanglah seorang perempuan gemuk lagi yang saya taksir orang Jawa juga. Benar saja ketika disapa pasien lain, dia mengaku datang dari Batang, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Kanker payudaranya kambuh kembali setelah sekian tahun, karena dia mengakui tidak rajin memeriksakan dirinya. Padahal dia sudah pernah dioperasi serta diperingatkan dokter untuk rajin memeriksakan diri. Ketika saya menimpali pembicaraannya dengan menanyakan apakah di Pekalongan, Pemalang atau Semarang tak ada dokter yang bisa memeriksanya, dia menjawab dengan malu-malu bahwa dokter itu ada hanya dia yang tak patuh. Selama ini dia sudah merasa sehat dan biasa mengonsumsi jejamuan herbal. Tapi dugaan saya barangkali saja bukan herbal Cina semacam yang saya makan dan memberi manfaat tubuh yang fit pada saya termasuk ketika dikemoterapi.

***

Agaknya kanker memang bisa kambuh kembali bahkan setelah dinyatakan sembuh sehabis dioperasi, dikemoterapi maupun disinar. Buktinya kebanyakan pasien yang saya temui adalah pasien-pasien lama yang sudah sakit menahun lalu sempat dinyatakan sembuh. Sebagian besar justru datang dari luar Jakarta, termasuk saya yang datang dari kota terdekat. Kiranya kanker memang masih merupakan penyakit yang tak mudah ditangani bahkan oleh seorang dokter yang ahli sekali pun. Betapa menyedihkannya.

Tadi pagi teman sekolah saya Butet yang memang sangat memperhatikan saya, kembali datang menengok setelah mengetahui dari anak saya bahwa saya siap akan dioperasi hari Selasa. Dia tak hanya membawa buah tangan berupa apel yang segar, juga dibawakannya cerita untuk mendukung saya berani melawan kanker tanpa kenal menyerah. Meski ibundanya dulu meninggal karena kanker kulit setelah tekun menjalani perawatan dengan radiasi alias penyinaran di RSKD, tetapi dia mengharapkan saya tak takut-takut. "Kamu lihat istri bang Edi, kakak ipar Emmy teman kecil kita dulu, akhirnya kanker di paru-paru mengakhiri nyawanya setelah dia lebih dulu diserang kanker payudara. Soalnya meski dia seorang ilmuwan, peneliti, tetapi dia lebih mempercayai segala pengobatan alternatif daripada ke dokter. Dan kamu jangan lakukan itu. Upayamu makan herbal dan terapi sinshe, tidak boleh membuatmu malas melakukan pengobatan ke dokter. Jalani semua kemoterapimu sehabis ini ya Jul, aku tahu kamu kuat. Lihat, wajahmu berseri-seri seperti tidak sakit apa pun. Badanmu gemuk seperti orang sehat, lagi pula kulitmu tetap cerah," bujuknya seraya memegang-megang lengan saya. Butet memang selalu penuh perhatian kepada teman-temannya.

Betapa mengerikannya ketika Butet menceritakan kondisi istri bang Edi yang di akhir hayatnya selalu mengeluarkan cairan kental serupa agar-agar dari paru-parunya yang ditampung di kantung khusus transparan. Nafasnya pun tinggal satu-satu, sedang bobotnya berkurang drastis. Dia mengingatkan saya kepada kerabat saya yang meninggal dua minggu yang lalu.

Sedangkan saudara sepupu Butet pasien di RSCM penderita kanker kelenjar getah bening di leher, kulitnya terutama pada wajah, nampak menghitam efek kemoterapi. Rambutnya sih konon tidak habis sama sekali, namun jelas saja rontok hebat tak ubahnya rambut saya. Itulah sebabnya Butet meminta saya untuk tak melepas pengobatan ke sinshe, namun juga mematuhi semua proses pengobatan di RS. "Kamu beruntung sekali, meski Jamkesda mu tidak bisa mendanai operasi mu, tapi dokter yang merawatmu bersedia memberikan uangnya untukmu. Aku jadi ingat sepupuku, dia sering kali pulang dari RSCM dengan bantuan dokternya karena kehabisan ongkos, termasuk dibayari ongkos pengobatannya sebagian oleh si dokter duluan. Kanker memang nggak murah Jul, jadi kamu mesti memanfaatkan segala kemudahan yang tersedia untukmu dengan sebaik-baiknya," pungkas Butet sebelum mencium kening saya dan memeluk erat tubuh saya lalu melangkah pulang.

Kasih sayang itu terus jua melimpah kepada saya. Dan saya lagi-lagi merasa amat beruntung. Siapa yang tidak senang coba dapat bantuan serta perhatian dari sana-sini? Ah, persahabatan, betapa indahnya dia di dunia ini.

(Bersambung)

Sabtu, 22 Juni 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (75)

Hari ini Sabtu, 22/06 kegiatan persiapan operasi saya dilanjutkan lagi. Ketika tengah menunggu giliran pemeriksaan di klinik jantung kemarin, saya mendapat telepon dari Apotik RS tempat saya berobat di Bogor bahwa obat suntik saya yang dimaksudkan untuk menaikkan kadar sel darah putih sudah tersedia. Saya diharap datang segera. Pesannya hanya demikian. Berhubung saya masih dalam tahap pemeriksaan persiapan operasi di RSKD, maka hanya saya katakan saya akan datang keesokan harinya karena dokter pun mengharuskan begitu. Bahkan sempat terlontar gagasan dokter saya bahwa jika hingga hari ini saya tidak disuntik juga, maka saya disuruh kembali ke Jakarta karena beliau akan mengeluarkan dana sendiri untuk membeli obat saya di RSKD ini dan menyuntikkannya. Petugas instalasi apotik yang menelepon saya tidak berkomentar apa-apa waktu saya kemukakan itu, lalu pembicaraan terputus.

Ah ternyata semuanya tidak bisa dilakukan dengan mudah. Jadi ketika tadi pagi saya berangkat ke RS dengan tenang, sesampainya di sana perasaan saya kembali galau. Kacau diombang-ambingkan regulasi birokrat yang merepotkan pasien.

Saya menumpang mobil kemenakan saya yang kebetulan juga akan mengantarkan kakak saya ke RS untuk pemeriksaan sehubungan dengan keluhan yang sama dengan keluhan saya. Jadi saya tiba sudah agak siang, pukul setengah sepuluh. Selasar RS tentu saja sudah sangat ramai, namun tak mengapa sebab perintah petugas apotik saya diminta langsung menghubungi bagian pasien rawat inap untuk melaporkan kedatangan dan rencana penyuntikan yang katanya harus dilakukan di ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD).

Di situ juga tak ada pasien mengantri. Yang banyak kelihatan justru orang-orang duduk di muka ruang IGD dan HCU/ICCU. Saya pun dapat langsung menghadap menyampaikan maksud kedatangan saya kepada petugas.

Dengan sigap dia menanyakan surat rujukan saya, serta surat perintah suntik dari dokter. Saya katakan saya tak punya, sebab suntikan itu adalah obat yang tertunda. Seharusnya saya sudah disuntik hari Rabu ketika saya kontrol sebelum operasi ke klinik onkologi sehingga surat rujukan saya sudah ada di RS hari Rabu itu. Jawaban saya menimbulkan pertanyaan yang panjang, aneh dan sulit diterima akal. Pasalnya mereka sudah terbiasa melayani keperluan saya ketika akan dikemoterapi, tapi saat itu mereka seperti baru mengenal saya saja. Berbagai hal sepele dipertanyakannya, meski sudah saya tegaskan saya datang memenuhi panggilan petugas apotik yang akan memberikan obat suntik saya yang tertunda supaya operasi saya hari Selasa bisa berjalan lancar.

Karena kebingungan menjawab perdebatan saya, petugas di bagian meja rawat inap menyuruh saya datang sendiri ke apotik. Saya pun kembali ke apotik yang sebetulnya sudah saya datangi ketika saya lapor diri di pintu masuk. Sesampainya di apotik kembali, petugas di situ justru kebingungan dan menanyakan surat pengambilan obat yang seharusnya diberi oleh petugas pasien rawat inap. Maka saya katakan mereka tak memberi apa-apa, sebab saya tidak membawa surat rujukan saya yang sudah diserahkan hari Rabu sehubungan dengan kontrol ke klinik saat itu. Saya sebutkan bahwa akibat kontrol ke klinik, maka keluar perintah pembelian obat di antaranya obat suntik yang harus segera disuntikkan tetapi tertunda karena tak tersedia di apotik malam itu. Petugas apotik giliran kebingungan. Dia menghadap atasannya, yang kemudian berbicara dengan saya. Kata atasannya benar telah tersedia obat yang dipesan dokter onkologi untuk saya, dan bisa disuntikkan sekarang juga di ruang IGD namun dengan membawa surat pengambilan yang seharusnya dikeluarkan petugas pendaftaran pasien rawat inap. 

Untuk itu saya disuruh kembali menghadap ke petugas pendaftaran rawat inap untuk minta dibuatkan surat pengambilan. Dengan gontai saya kembali ke sana melewati banyak orang yang duduk menunggu giliran periksa. Dengan jengkel juga saya kembali diberi tahu bahwa saya harus membawa surat rujukan, sebab itu persyaratannya.

Tak mau kalah, maka terjadilah perdebatan yang seru. Saya katakan bagaimana mungkin saya membuat surat rujukan sebab saya tidak disuruh oleh pihak apotik yang malam itu menerima resep saya dari perawat klinik? Saya tegaskan saya akan segera dioperasi sebab kasus gawat, hari Selasa di RSKD karena keterbatasan peralatan dan tenaga di RS ini. Itu sebabnya saya diminta dokter untuk melakukan persiapan operasi kemarin di Jakarta ketika apotik menelepon saya sesuai janjinya Rabu malam. Saya baru selesai dari RSKD jam setengah empat sore waktu kantor pemerintah tak ada lagi yang buka.

Dengan menggunakan wewenangnya sebagai kepala bagian di situ, petugas yang melayani saya lagi-lagi tak bisa menerima alasan saya. Dia tegaskan seharusnya begitu ditelepon saya langsung mengurus rujukan.

Saya langsung bicara lagi. Saya nyatakan bahwa jika saya tetap tak bisa disuntik, maka saya berangkat ke Jakarta segera. Sebab kemarin dokter mengatakan saya tak boleh terlambat disuntik. Jika sampai dengan hari ini tak ada kabar dari apotik saya akan disuntik secara cuma-cuma di Jakarta. Biaya obat itu dokter yang akan kembali menanggungnya. Sebab dokter tak mau bermain-main dengan tugasnya menyelamatkan nyawa pasien.

Mendengar perkataan saya yang nyaris tanpa jeda, petugas itu terdiam sesaat lalu mulutnya ternganga tiba-tiba. "Oh, jadi ibu mau dioperasi Selasa di RSKD? Sudah langsung dapat kamar, begitu?" Lontarnya seakan-akan tak percaya.

"Ya, kasus saya gawat darurat. Kemoterapi saya selesai hari ini, jadi saya harus dioperasi sebelum terlambat. Keterlambatan waktu mengancam jiwa saya, itu sebabnya biaya operasi yang saya tidak punyai dan tidak juga bisa didanai Jamkesda ditanggung oleh dokter budiman itu," jawab saya tegas memamerkan kedermawanan dokter onkologi saya. Saya tantang matanya yang menjorok dalam di balik kelopak mata tebalnya. Mukanya yang lebar nampak memerah.

"Oh, beruntung dong. Adik saya juga pasien beliau, tapi kok sampai hari ini belum juga dapat kamar di sana," tiba-tiba kalimat itu terlontar dari mulutnya menjawab tanda tanya saya akan mulut ternganga yang tadi saya lihat itu.

"Ibu tahu 'kan fasilitas ruang operasi di RS kita ini tidak cukup bagus untuk dipakai menangani kasus-kasus berat? Bedah rekonstruksi seperti kasus saya membutuhkan kantor dokter di Jakarta, dengan daftar tunggu pasien yang panjang namun ada perkecualian bagi kasus-kasus darurat gawat," beber saya menekankan membuat dia luluh. "Saya stadium III B dengan grade agresif dan tumor pecah," tegas saya. Dia kemudian bergumam sendiri, katanya penyakit adiknya baru stadium II.

"Ya sudah, sekarang kalau begitu ibu menghadap ke apotik lagi, katakan ibu tidak punya surat rujukan, nanti ibu boleh disuntik atas persetujuan mereka," kata perempuan itu akhirnya yang menghadapi saya berdua dengan perempuan muda berdarah Arab yang mungil. Ah, wajah cantik itu mengingatkan saya pada seseorang gadis anak kenalan saya warga negara Republik Afrika Selatan. Mestinya dia juga gadis baik hati.



Saya dan anak saya kemudian beringsut kembali ke apotik. Kali ini semakin bingung sebab merasa kami bagaikan sebentuk shuttle cock, bulu angsa ringan yang dilontar-lontarkan raket bulu tangkis ke sana-sini dengan mudahnya. Masing-masing pemilik raket itu seperti ingin menguasai permainan dan memenangkannya. Getir rasanya hati saya. Sudahlah sakit, lemah dan lelah, tak bisa tenang pula. Terbayang jika mereka benar-benar tak mengizinkan saya disuntik, hanya gara-gara birokrasi menyangkut surat rujukan. Pasti hutang budi saya kepada dokter onkologi akan semakin tak terbayarkan. Karena mau tak mau artinya saya harus ke Jakarta di hari libur akhir pekan hanya untuk disuntik gratisan. Duh, layu hati saya membayangkan beliau harus merelakan kehilangan uang yang sangat banyak dan hari keluarganya.

Serta merta terbayang keruwetan jalan-jalan besar yang saling tumpang tindih di kota-kota Internasional. Rasanya begitulah keadaan saya sekarang. Harus menghubungi satu tempat ke tempat lainnya demi mencapai tujuan saya, pengobatan yang sempurna. Saya menggigit bibir dan mempermainkan ujung tutup kepala saya. Kali ini saya memang cuma bertutup kepala yang diberi berekor karena rasanya kepala saya panas sekali.

Tiba di apotik saya dihadang oleh boss mereka itu tadi. Kemudian saya diminta menunggu pembicaraan beliau dengan pihak petugas pendaftaran rawat inap di telepon yang akhirnya menyepakati bahwa obat saya bisa diberikan. Saya disuruh mendaftar ke poliklinik bedah umum minta disuntikkan di sana. Sayang kata petugas pendaftaran pasien sudah penuh, sehingga tak lagi bisa menyuntik saya. Tapi hati saya mulai lega.

Lalu saya laporkan keadaan ini. Si boss apotik kembali mengangkat teleponnya, bicara sejenak kemudian mengulurkan obat suntik dingin tanda baru saja diambil dari lemari pendingin. "Bawa ke IGD ya bu, disuntikkan di sana, tapi ibu mesti bayar mandiri, tidak bisa dengan Jamkesda karena kelalaian ibu mengurus rujukan," perintahnya ketus mengagetkan saya.

"Baik, tak mengapa. Saya sanggup daripada saya tidak bisa dioperasi hari Selasa atau harus mengemis lagi kebaikan dokter," sahut saya geram. "Terima kasih, assalamu'alaikum," kata saya seraya melangkah gontai menuju tempat yang sama lagi.

"Ya, ibu, kalau ibu mau disuntik harus bayar sendiri ya, nanti ibu bisa ke IGD sebab prosedur suntiknya memang dikerjakan di IGD. Ini, biayanya satu juta setengah," petugas itu bicara menyudahi "pertikaian kecil" kami sambil menyuruh anak saya segera membayar. Untung masih ada uang pas di tangan anak saya. "Alhamdulillah, saya punya uang cukup kok," jawab anak saya tanpa bermaksud sombong. Tapi tak urung dia bilang, sehabis itu dia harus ke ATM sebab dompetnya kosong melompong. 

Saya ditemani anak saya kemudian masuk ke IGD yang kebetulan sepi pasien. Cuma ada anak kecil sekitar kelas tiga SD ditemani ibu dan abangnya di situ. Tapi anak itu nampaknya bukan penderita penyakit berat sebab dia duduk di tempat tidur tanpa diinfus.

Setelah mengemukakan maksud tujuan saya, perawat mempertemukan saya dengan dokter jaga yang menyuruh saya naik ke atas tempat tidur di dekat pintu. Dimulailah pemeriksaan fisik yang bertujuan untuk mengetahui kondisi kesehatan umum saya. Tensi saya diukur, nadi saya dihitung, serta temperatur saya dicatat. Selanjutnya dokter jaga melakukan serangkaian tanya-jawab diakhiri dengan pemeriksaan menggunakan stetoskop. 

"Ibu akan dioperasi kanker payudara ya?" Tanya dokter perempuan itu. Saya membenarkan. "Kapan?" "Selasa di RSKD karena ruang bedah di sini tak memadai untuk mengoperasi kasus saya yang punya tingkat pembedahan rumit," jawab saya.

"Sudah pernah dikemoterapi belum?" Tanyanya lagi. Lagi-lagi saya mengangguk, seraya menjelaskan bahwa suntikan Leucogen ini baru akan saya terima sekarang karena selama ini kondisi saya baik-baik saja setelah dikemoterapi.

"Kemo di mana?" Tanyanya sekali lagi lebih detail.

"Ya di sini, empat kali, cuma operasi saya yang tidak bisa dilakukan di sini," terang saya sejelas-jelasnya. 

"Baiklah, kalau begitu ukur temperaturnya ya," dokter memutuskan mengakhiri pemeriksaan seraya memerintahkan perawat yang terlupa mengukur temperatur saya. Beliau kemudian mengatakan akan menghubungi dokter onkologi saya lewat telepon guna mendapatkan persetujuannya. Di dalam hati saya tersenyum sinis, sebab justru suntikan itulah yang sangat ditunggu-tunggu dokter saya.

Setelah itu saya diminta pindah ke tempat tidur lain yang tertutup tirai. Di situlah suntikan akan dilakukan dengan menusukkan jarum ke dalam perut melalui pusar saya. Pengalaman pertama ini menggetarkan hati saya, sehingga sempat mempermalukan diri saya sendiri. Padahal sebetulnya prosesnya sebentar serta tak menyakitkan. Sehabis disuntik, pasien tak boleh langsung pulang karena keadaan umum harus dipantau sejam lamanya, yang alhamdulillah baik-baik saja.

Benar-benar hari ini melelahkan bagi saya. Tapi toch saya tetap bersyukur karena saya tak harus ke Jakarta mengganggu dokter saya lagi. Beliau pun senang mendapat laporan saya tentang suntikan itu. Begitu pun teman saya yang atasan beliau. Keduanya berpesan supaya saya makan banyak protein hewani, sayur dan buah sebagai penambah sel darah putih saya. "Tx God. Tks mbak. Prepare your self well, ya. Makan banyak protein n buah-sayur. We pray for the success of the surgery , recovery n the best result. Jangan takut ya mbak....." Tulis teman saya senada dengan pesan dokter saya. 

Duhai beruntungnya saya, di dunia ini masih banyak kebaikan ditebarkan orang untuk saya. Jadi mengapa saya takut dan bersedih? Tak ada gunanya. Tak perlu juga berkecil hati karena semua orang ternyata amat memikirkan kesehatan saya yang sudah berkali-kali dicharge dengan nyawa tambahan. Saya pun menyukurinya lagi.

Saya tinggalkan ruang IGD seraya menunjukkan SMS laporan saya kepada dokter yang sudah dibalas. "Ya, bagus lah bu," komentar dokter jaga seraya tersenyum. Padahal mestinya dia sudah lapar karena jam istirahat makan siang sudah terlewati. IGD memang tak pernah sepi pasien, sebab setelah anak lelaki kecil yang tadi saya lihat dipindah dari IGD, tempat-tempat tidur lain pun mulai penuh pasien lagi.

(Bersambung)

Jumat, 21 Juni 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (74)

Soal pendanaan operasi saya secara mandiri merupakan hal paling sulit bagi kami. Krusial pula. Bayangkan, simpanan anak-anak saya dan uang saku mereka selama ini sudah terpakai banyak untuk mendanai saya sehingga jumlahnya tak seberapa lagi. Padahal mereka sudah menahan segala keinginan duniawi mereka yang biasanya bisa dilakukan dengan mudah oleh para pemuda seusianya. Seringkali air mata saya nyaris menitik disebabkan rasa bersalah dan kasihan saya kepada mereka. Tapi setiap kali mereka melakukan semua perawatan saya dengan langkah ringan dan senyum mengembang, lelehan air mata itu batal turun. Betapa mustahil saya membuang senyum simpul sewaktu menyaksikan mereka tetap asyik merawat saya dengan santai disertai gurauan-gurauan yang manis. Tak salah lagi jika semua orang yang mengenal kami mengatakan bahwa mereka adalah anak-anak istimewa yang kelak insya Allah mendapat tempat terindah di surga sebab sudah bisa mencium harumnya bunga di Taman Firdaus itu sejak muda belia.

Ketika pendanaan operasi saya dengan bantuan Jamkesda ditolak pihak DKK, kami mencoba upaya kedua. Yakni mencari pinjaman kepada kerabat kami. Saya menghubungi saudara-saudara saya, anak saya pun demikian, bahkan tanpa malu-malu mereka mengemukakan kesulitan kami seakan-akan mengemis betulan. Dalam urusan memperpanjang nyawa prinsip kami tak boleh ada kata malu dan gengsi-gengsian.Tak lupa saya mengabarkan keadaan saya kepada teman-teman DWP saya yang sudah jadi seakan-akan saudara kandung kami sendiri. Tapi kepada mereka, saya tak minta bantuan sebab malu hati atas bantuan-bantuan yang sudah kami terima dulu.

Nyatanya koordinator administrasi pengobatan saya mengatakan dia siap menggerakkan teman-teman untuk kembali menggalang dana bagi saya. Tak perlu saya merasa sungkan dan malu hati, sebab mereka tak mau melihat saya mati dilibas kanker. Bagi mereka, saya adalah sumber semangat yang membuat kelompok kami jadi merasa betapa setiap kami harus senantiasa menyukuri Karunia Allah berupa kesehatan yang prima dan rizki yang barokah. Istilah mereka, saya menjadi mesin perekat anggota kelompok kami yang jauh di berbagai belahan bumi. 

Saya sampaikan terima kasih kepada teman saya yang satu ini. Saya tetap akan berupaya mencari dana sebisa-bisanya dari sumber lain sebagai pinjaman saja. Sampai-sampai teh Nanan teman saya itu terpaksa mengangkat teleponnya untuk membujuk saya agar menerima gagasan penggalangan dana itu. Tapi saya tetap bergeming. Sudah cukup saya merepotkan teman-teman semuanya.

Akhirnya salah satu kemenakan saya menyatakan bersedia meminjamkan uangnya yang semula direncanakan akan dipakai merenovasi rumahnya dengan membuat sebuah kamar tambahan bagi putranya yang beranjak remaja. Telepon di pagi buta itu menyiratkan tangis keprihatinan darinya. Saya dan anak-anak segera menerima tawarannya, bersyukur atas rencana mulia mereka yang katanya didasari juga oleh keikhlasan anaknya untuk mengalah demi nyawa saya. Tak urung saya pun ikut-ikutan terharu. 

Problem solved! Saya bergegas mengontak teman-teman saya termasuk bu dokter budiman yang menjadi koordinator medis pengobatan saya ini. Tujuannya untuk menenangkan mereka, supaya penggalangan dana benar-benar tak terjadi lagi. Bu dokter mengatakan bisa memahami keinginan saya, lalu memperingatkan saya untuk tidak mangkir menghadap dokter onkologi saya di kantornya pada hari Jumat alias hari ini (21/06). Beliau sudah pasti akan meluangkan waktu mendampingi saya merencanakan pengobatan ini. Wah, bukan main, sungguh suatu karunia besar di dalam hidup saya yang penuh carut marut ini. Tuhan amatlah Penyayang.




Semalam saya berdoa, menyatakan kebahagiaan dan terima kasih saya atas pertolongan yang diulurkan Allah. Saya tak menyangka Allah membuka jalan juga untuk pengobatan yang tidak murah sama sekali ini. Setelahnya saya tidur, begitu juga anak-anak saya lebih awal dari biasanya supaya pukul empat pagi kami sudah bisa bersiap-siap ke Jakarta menemui dokter onkologi saya yang menunggu kami sebelum pukul delapan. Beliau ternyata sudah ditunggu jadual operasi pada pukul sembilan. 

***

Pak Djamil kenalan baik kami yang senantiasa siap mencarikan kendaraan berikut mengantar kami ke RSKD datang tepat pada pukul lima. Lalu kami berangkat tanpa sarapan yang berarti. Makan dan minum tak lagi menarik minat kami, sebab perasaan kami justru didominasi rasa antara bahagia akan segera mengakhiri penyakit ini dengan operasi dan haru atas ketersediaan dana yang dibutuhkan. 

Jalanan lumayan lengang pada awalnya, walau boleh dikata agak sedikit tersendat di beberapa ruas. Tol Jagorawi memang tak pernah sepi, bukan?! Alhamdulillah kami tiba di RS sebelum pukul delapan, seakan-akan dipandu Allah di depan sebagai voorrijder. Ketika itu kantor teman saya bahkan masih terkunci sehingga saya mencoba mengontak beliau dengan telepon. Beliau bilang akan segera menemui saya. Begitu juga dengan dokter saya belum tiba, tapi sudah dekat. Kami kemudian duduk menunggu membaur bersama pasien yang sudah datang lebih dulu di selasar RS yang dinginnya luar biasa. Tak salah lagi, klinik dokter kami memang berdampingan dengan unit radiologi yang semua mesinnya harus dipelihara di ruangan bertemperatur rendah supaya terawat baik. Anak-anak saya menggigil, apalagi saya yang terlupa mengenakan sweater. Tapi nyaman sekali rasanya untuk kepala saya yang masih sering merasa kepanasan akibat terbakar obat kemoterapi.

Singkat cerita dokter datang berpakaian a la anak muda yang santai namun smart kira-kira pukul delapan. Kemeja putih bergaris-garis yang menjadi ciri khas favoritnya dikenakan dengan kancing bagian atasnya dibuka. Tas yang disandangnya lebih menyerupai tas anak sekolahan, bukan lagi tas jinjing dengan kunci logam yang besar gaya dokter-dokter tua. Memang kenyataannya beliau merupakan adik kelas para kemenakan saya yang baru mengganti sebutan umurnya menjadi 40+. Senyum itu begitu memesona waktu matanya bersirobok dengan saya punya dan anak-anak yang semuanya berbalut kaca tebal. "Selamat pagi, sampai nanti ya," begitu kira-kira pesannya seraya membuka pintu kliniknya untuk mulai memeriksa pasien pertama. Saya sendiri sih sengaja menjadi pasien terakhir agar kami bisa berdiskusi cukup waktu menyelesaikan urusan persiapan operasi saya.

Ada saja pemandangan yang selalu menimbulkan kengerian pada saya di RSKD. Para pasien di atas ranjang besi dengan tubuh terkulai lemah terbujur menahan nyeri lalu lalang menuju ruang radiologi untuk pemeriksaan. Lalu kepala-kepala tertutup ciput serta bagian-bagian tubuh terbuka yang dibalut kain kassa tebal di sana-sini. Pastilah mereka pasien kanker yang sudah menjalani kemoterapi seperti saya. Sesekali mata saya memejam atau beralih ke arah lain guna meminimalisasi kengerian saya menatap mereka. Persis ngerinya saya menatap deretan angka biaya operasi yang jadi tanda tanya untuk saya.

Ternyata pasien onkologis saya di situ sedikit saja. Katanya beliau cuma menerima beberapa dengan perjanjian. Jadi tak seberapa lama saya langsung dipanggil teman saya masuk ke ruangan onkologis saya. Tanpa pendahuluan panjang lebar sebab semua hal sudah terlebih dulu kami diskusikan dengan E-mail, beliau menyodorkan rencana operasi saya hari Selasa depan ini (25/06). Untuk itu saya diminta melakukan serangkaian pemeriksaan lagi. Rongga perut saya harus di USG, begitu pun dengan paru-paru saya dironsen. Jantung saya pun hendak direkam detaknya. Selain itu test darah lengkap diulang lagi, walau saya baru saja diperiksakan pada hari Rabu kemarin dulu. Sebab sel darah putih saya amat rendah saat itu, tak cukup baik untuk dioperasi. Serta merta beliau teringat akan perintahnya menerima suntikan yang dinamai Leukogen. Saya jawab saya belum melakukannya, karena belum ada obatnya. Beliau cuma mengangguk-angguk mengerti disertai usulan kepada teman saya, atasan beliau di situ agar bisa disuntik di RSKD saja. Teman saya menyetujui tanpa ragu supaya hari Selasa saya benar-benar prima. Tapi saya katakan saya akan menunggu hingga besok. Sebab daripada harus membuang uang membeli sendiri, saya lebih suka menunggu sehari lagi agar didanai Jamkesda seperti seharusnya. Saya yakin saya bisa disuntik esok.

Selain itu, yang terpenting kami diberi lembar pendaftaran perawatan berikut ruang bedah. Soal biaya tak lagi disinggungnya meski saya mendesak dengan mengatakan saya sudah menghadap pejabat di DKK yang menyatakan tak bisa mendanai saya. "Sudah bu, biarkan saja, nggak masalah kok," ujarnya lembut sekali. Anak saya kemudian dibagi tugas. Yang seorang disuruh mendaftar ke klinik jantung dan petugas pemesanan kamar, sedang seorang lagi menemani saya ke bagian radiologi serta laboratorium. Selanjutnya teman saya meninggalkan kami untuk bertugas, dan onkologis saya minta diri akan segera mengoperasi pasien.

Langkah pertama setiap pemeriksaan adalah mendaftar dan membayar biayanya. Setelah itu duduk manis menunggu giliran bersama dengan banyak orang yang datang dengan berbagai keluhan dari RS-RS di berbagai daerah di Indonesia. Kelihatannya yang datang dari tempat terdekat cuma saya deh hehehe........ *orang desa masuk kota tapi nggak malu-malu ngaku* Masa tunggu di bagian radiologi itu panjang sekali sehingga anak sulung saya keburu selesai di pendaftaran pasien rawat inap dengan wajah berseri-seri yang tak saya ketahui apa maksudnya.

"Bu, Subhanallah! Percaya nggak bu, biaya yang dibebankan ke kita cuma enam juta aja!" Seru anak saya dengan lantang mengejutkan saya dan adiknya.

"Berapa?" Tanya kami serempak terlongong-longong tak percaya pada pendengaran sendiri.

"Enam juta, nih, lihat perinciannya. Biaya dokter, tindakan ini, ruang rawat, obat, jumlahnya jadi dua puluh lima sekian. Tapi karena biaya dokter nihil, makanya jadi tinggal enam juta," ucap anak saya seraya duduk menjejeri kami dengan menunjukkan kertas pendaftaran pasien di tangannya. 

"Subhanallah!!!" Seru kami bersamaan. "Biaya dokter gratis ya?" Rasanya mustahil mengingat bilangan yang banyak itu dibiarkan tak kami bayar.

"Iya," seru anak saya lagi meyakinkan. "Makanya tadi petugas pendaftarannya sampai bingung sendiri, terus ngitung ulang, dan akhirnya nanya, apa kita saudaranya dokter.......," sambung anak saya.

"Terus kamu iyakan, mumpung ada yang salah sangka?" Potong saya separuh menggodanya.

Sambil tersenyum dia berkata, "ah ya enggak lah, cuma bilang terus terang ibu saya pasien kiriman dari Bogor yang nggak bisa bayar RS. Terus dibantu dokter yang jatuh kasihan," jawab anak saya. "Malu dong bu kalau nipu....."

Kami tertawa lagi-lagi serempak diakhiri dengan wajah bengong terlongong-longong. 

***

Akhirnya satu demi satu pemeriksaan dilakukan. Lamanya luar biasa sebab saya datang ke tempat itu sudah siang. Tapi tak mengapa, rasa lapar bisa kami lupakan. Keinginan melaksanakan ibadah Jumat yang wajib itu juga bisa diredam anak-anak saya, asal saya benar-benar bisa dilayani siang itu juga sehingga tak perlu kembali lagi ke Jakarta besok kecuali si bungsu untuk mengambil hasilnya. Soalnya saya sendiri harus disuntik dulu di RS tempat saya biasa berobat yang akhirnya secara tak terduga menerima panggilan dari pihak apotik RS sebagai penyedia obatnya. Ini pun segera saya infokan kepada dokter saya dengan SMS agar bisa dibaca kapan saja, sehingga beliau tak perlu menyuruh stafnya di RSKD mencarikan obat suntikan itu.

Di bagian radiologi semua baik-baik saja. Seorang perempuan bergaya ala jetsetter yang trendy ditopang kelom wedges kedengaran asyik membicarakan bisnisnya dengan seseorang melalui telepon genggamnya. Angka ratusan juta berulang kali terdengar dari mulutnya, antara lain katanya akan dibagi-bagikan begitu saja, membuat saya semakin merasa kecil. Duh, batin saya, seandainya saja uang besar itu dibagikan tidak kepada orang yang diteleponnya melainkan kepada pasien-pasien semacam saya, alangkah banyaknya nyawa yang diupayakan untuk diselamatkan. Getir rasanya membayangkan itu semua. Perempuan itu masuk ruang pemeriksaan lebih dulu dibandingkan saya. Saya duga dia juga sedang menerima ujiannya dari Tuhan berupa penyakit semacam yang saya derita.

Di bagian laboratorium pasien juga sangat penuh. Tapi lagi-lagi keberuntungan menyertai saya. Saya mendapat nomor antrian kecil dari seseorang yang tiba-tiba meminta saya menggunakan nomor kecil di tangannya entah dengan alasan apa. Tak lama kemudian saya benar-benar dipanggil masuk menyerahkan tangan saya yang masih malas ditusuki jarum. Tapi tak bisa tidak. Saya akhirnya menyodorkan vena saya yang miring, yang merupakan vena yang paling sehat di antara bagian-bagian tangan saya lainnya yang masih mengeras akibat tusukan jarum di hari-hari yang lalu. Teknisi lelaki yang melayani saya ternyata cukup canggih. Hanya dengan sekali tusukan dia berhasil menyedot darah saya laksana vampire. Ajaib, vena miring itu tak menyulitkan kerjanya. Beginilah hasilnya :


Dalam pada itu tiba-tiba anak saya memberitahukan bahwa sinshe menelepon mengatakan menunggu saya untuk treatment dan diberi enerji positif sebagai bekal operasi. Padahal ini bukan harinya beliau berpraktek di Bogor. Terharu rasanya mengetahui itu semua. Terbilang banyak kasih sayang dan pemberian Tuhan kepada saya. Lalu dengan apakah saya harus menghargainya? Saya rasa saya hanya bisa mempersembahkan sujud syukur saya saja. Walau saya belum bisa bersyukur untuk satu hal, yakni : Rekaman detak jantung saya tetap belum bisa diambil sebab ternyata tumor saya masih sangat besar menutupi si jantung. Sediiiiihhhhh............. Untung operasi akan tetap berjalan dengan melihat kondisi jantung saya melalui hasil pemeriksaan fungsi ginjal yang telah saya peroleh dari laboratorium kemarin dulu. Tak pernah tak ada jalan rupanya untuk saya. Allah is my Leader and of course my Protector, right?! Alhamdulillah!!!

(Bersambung)

Kamis, 20 Juni 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (73)




"Hal-hal apa saja yang dicatatkan dalam......." demikian terbaca salah satu kata kunci yang tertera di dashboard saya minggu ini. Saya berasumsi pengunjung atau netter yang memasukkan kata-kata itu berniat ingin mencari tahu apa saja kiranya yang pantas dimasukkan ke dalam catatan harian seseorang. Bagi saya jawabannya adalah : "Segala hal yang terjadi dalam perjalanan hidup saya, baik atau kurang baik dengan tujuan untuk diambil sebagai pelajaran di masa yang akan datang."

Begitulah cara saya mengisi buku harian elektronik ini. Saya tuliskan semua hal yang saya alami, rasakan, yang menjadi sumber kegundahan bahkan tentu saja kebahagiaan saya. Seperti halnya kali ini saya sedang dalam pikiran yang amat berat sehubungan dengan kelanjutan penanganan penyakit saya. Maka saya menuliskan apa saja di sini, di dalam tempat perlindungan saya sehari-hari. Agar setelahnya saya merasakan sedikit kelegaan supaya bisa tetap melangkah melanjutkan kehidupan saya yang sarat beban.

Saya menyepertikan hidup saya akhir-akhir ini persis gambar yang saya temukan berkat jasa Google di atas, rimbun oleh peristiwa yang menaungi. Ibarat hutan rimba, kaki saya bingung hendak melangkah ke mana sebab saya dihadapkan kepada hal-hal yang masing-masing punya kekurangan dan kelebihan. Ceritanya tepatnya demikian :

Saya berobat ke RS atas kebaikan para kerabat saya, sesama anggota Dharma Wanita Persatuan Kementerian Luar Negeri. Semula tak sepeser pun saya menggunakan dana dari pihak lain. Bahkan ke dokter siapa saya sebaiknya berobat tidak jadi pikiran saya. Mereka atur sedemikian rupa dengan segala keikhlasan hati supaya saya bisa berobat dengan benar, teratur dan mudah. Inilah ciri persaudaraan di antara sesama anggota DWP Kemenlu yang tak saya lihat di tempat kakak saya bekerja.

Mula-mula saya dikonsultasikan ke RS Kanker Dharmais di Jakarta, kantor salah seorang di antara kami. Di sana semua pemeriksaan medis penunjang dilakukan. Hasilnya kemudian dikonsultasikan kepada seorang onkologis senior yang lalu menunjuk koleganya yang kebetulan penduduk Bogor berpraktek dua kali seminggu di Bogor. Tujuannya tentu saja untuk meringankan beban saya lagi. Maklum perjalanan dari Bogor ke Jakarta pulang pergi merupakan hal yang melelahkan untuk seseorang dengan penyakit berat. 

Di dokter yang satu ini saya merasa amat senang. Sebab selain masih muda dan tetangga kampung saya yang merupakan putra onkologis pertama di kota kami, beliau amat terbuka. Semua rencana pengobatan saya dipaparkan dengan baik, setelah beliau dengan cermat mencatat semua keluhan saya. Pada prinsipnya beliau tidak mau gegabah menerapi pasiennya, sehingga pengalaman pahit saya dibedah dari tahun ke tahun di masa lalu karena pertumbuhan sel-sel liar di tubuh saya dapat dihindari.

Beliau juga punya segudang kasih sayang untuk para pasiennya. Kebanyakan kami diarahkan untuk meminta bantuan Pemerintah Daerah dengan mengajukan permohonan kepesertaan Jaminan Kesehatan (Jamkes). Bahkan beliau hanya menginginkan yang terbaik untuk kami, warga wilayah kota dengan membantu memikirkan menembus barikade pertahanan Pemda Kabupaten agar kami bisa menikmati fasilitas pengobatan mereka yang lebih baik jika dibandingkan dengan fasilitas pengobatan di wilayah kota yang Penghasilan Asli Daerahnya jauh lebih kecil. Kalau dipikir-pikir, di zaman sekarang di mana egoisme manusia sangat menonjol sulit sekali bukan menemukan dokter yang bekerja dengan semangat kemanusiaannya? Saya jadi teringat penduduk lama yang mengenal metoda pengobatan yang diterapkan ayah beliau dulunya. Selalu mengacu kepada isi Kitab Suci Al Qur'an yang tak pernah lepas dari jangkauannya.

Ketika akhirnya saya harus menjalani kemoterapi lebih dulu sebelum kelak dioperasi, beliau sempat memikirkan mencarikan obat terbaik untuk saya dengan cara cuma-cuma. Saya disarankan ikut proyek penelitian koleganya di kantor mereka di Jakarta. Hanya sayangnya anak-anak saya berkeberatan mengingat mereka takut akan kegagalan yang bisa saja menghadang. Jadi sebagai alternatif penggantinya beliau terpaksa mengizinkan saya menerima obat-obat yang kualitasnya tidak seberapa baik yang diperoleh juga dengan cuma-cuma melalui dana Jamkesda. Yang ini, alhamdulillah ternyata juga bisa menolong saya mengecilkan tumor saya yang ketika baru dikonsultasikan kepadanya tercatat sebagai sangat besar dan meradang hebat.

Sayangnya onkologis saya ini merupakan dokter sibuk, jauh lebih sibuk dibandingkan koleganya di RS tempat saya berobat yang kebetulan merupakan PNS di daerah Bogor saja. Sehingga pelaksanaan kemoterapi para pasien onkologis saya tak bisa dikontrolnya sendiri. Untuk saya beliau menganjurkan agar kembali berobat di RSKD selamanya. Namun saya terkendala biaya yang sudah saya ceritakan di awal jurnal ini tadi, sehingga mau tidak mau beliau menyerah. Saya tetap dikemoterapi di Bogor, dengan catatan kemoterapi saya akan diawasi dokter lain yakni seorang ahli bedah umum senior yang merupakan Ketua dari Perhimpunan Para Dokter Spesialis.  

Sampai saat ini ketika kemoterapi saya sudah berlangsung empat kali sesuai rencana onkologis, pelaksanaan kemoterapi saya dilakukan oleh dokter spesialis bedah umum saja namun selalu dengan laporan dan atas sepengetahuan sang onkologis. Sampai sekarang kesehatan saya tetap baik. Tak ada keluhan berat sebagaimana yang dialami kebanyakan pasien yang dikemoterapi. Padahal ibaratnya, sekali-dua kali dokter bedah umum inilah yang meresepkan obat-obatan kemoterapi saya berdasarkan masukan dari onkologis saya. Sehingga kami semua berkesimpulan bahwa tanpa pengawasan ketat dari onkologis, toch penyakit saya tertangani dengan baik. Penatalaksanaan pengobatannya pun memenuhi standar dan memuaskan. Beruntung benar saya menjadi pasien onkologis sibuk ini.

Belakangan ini terbetik berita di media massa daerah bahwa izin operasional RS milik salah satu Parpol ini akan berakhir, sehingga Pemda berniat mengambil alih menjadikannya sebagai RS Pemerintah. Gagasan cemerlang ini memang impian warga masyarakat Bogor yang merindukan adanya RS Pemerintah di dalam kota yang selama ini selalu bernuansa "abu-abu". Bayangkan saja, sejak kemerdekaan diperoleh dari pemerintahan kolonial, kota kami yang cuma sepelemparan batu dari Jakarta dan memiliki istana kepresidenan tidak punya RS Pemerintah. Itu sebabnya lebih dari setengah abad yang lalu ibu saya melahirkan saya di RS PMI yang selalu berperan sebagai RS Pemerintah semacam RSU di daerah-daerah lain. Belakangan ada RS milik TNI yang kecil yang dulunya disebut RS Dinas Kesehatan Tentara, diperlengkapi dengan unit-unit pengobatan yang banyak. Kira-kira dua puluh lima tahun belakangan ini pasien umum di luar anggota TNI juga bisa diterima berobat di sana. Baru setelahnya ada RS Pemerintah yang merupakan peningkatan dari RS Jiwa menjadi RSU. Ini di latar belakangi oleh ketiadaan RS yang sanggup merawat pasien-pasien psikiatri di situ. Oleh sebab itu RS Jiwa tertua se Indonesia ini dijadikan RSU dengan menerima juga pasien-pasien umum. Sayangnya tak ada unit bedah tumor atau onkologi, sehingga para pasien yang dicurigai dokter bedah umum di situ mengidap tumor ganas dirujuk ke RS tempat saya berobat sekarang ini. Karenanya jika RS ini diambil alih pemerintah, alangkah bersyukurnya warga masyarakat kota Bogor dan sekitarnya. Sebab nyatanya RS ini juga menerima pasien rujukan dari RSUD yang tersebar di beberapa tempat di kabupaten kami.

***

Saya merasa khawatir dokter onkologi saya akan ditarik kembali ke unit tugasnya di RSKD secepat mungkin sebagai konsekuensi dari akan diambil alihnya kepemilikan RS tempat saya berobat ini oleh pemerintah. Artinya nanti saya akan ditangani onkologis satunya yang merupakan PNS di Pemda Bogor. Padahal beliau belum pernah menangani kasus saya sekali pun. Jadi, ketika saya tidak bisa rutin bertemu dengan onkologis saya, nekad lah saya  menghubungi teman Dharma Wanita Persatuan saya yang berprofesi sebagai dokter di RSKD untuk menyampaikan kegundahan saya. Beliau juga saya beritahu bahwa sejak kemoterapi terakhir saya belum bertemu dengan onkologis saya, jadi saya akan dikemoterapi lagi oleh dokter bedah umum. Sebagai pasien yang awam terhadap prosedur RS dan penatalaksanaan perawatan, saya sama sekali menyerahkan semuanya kepada dokter bedah umum itu. Walau saya tahu beliau seharusnya berkonsultasi dulu dengan onkologis saya yang menitipkan para pasiennya kepada beliau.

Teman DWP saya amat baik hati dan bertanggung jawab terhadap "penugasan" tidak resmi dari Ketua DWP untuk membantu pemantauan pengobatan saya. E-mail saya segera dibalas. Beliau bilang sudah bicara dengan onkologis saya di kantornya. Lalu saya diharap datang ke kantor beliau secepatnya, yakni Jumat ini (21/06) ~mungkin sekarang saat anda membaca jurnal ini~ sebab tidak ada kata lain saya harus dioperasi segera.

Saya menyanggupi sebab lelah menanggung penyakit ini. Tapi kebetulan semalam, Rabu (19/06) dokter saya datang berpraktek di Bogor, jadi saya langsung saja bisa bertemu beliau pada jam konsultasi. 

Benar saja berdasarkan pengamatan dan pemeriksaan beliau saya diharuskan segera dioperasi. Beliau minta saya dioperasi di RSK Dharmais, kantor beliau, sebab tumor saya menuntut penanganan operasi yang rumit sehingga hanya mungkin dilakukan di sana bersama satu team khusus pada hari Selasa minggu depan ini (25/06). Saya tak boleh menawar, meski saya tidak punya uang yang jumlahnya nyaris lima puluh juta sebab saya tidak bisa menggunakan Jamkesda/SKTM saya di RSKD karena tidak ada kerja sama antara Pemkot Bogor dengan RSKD. Penyakit saya sudah menuntut kesegeraan. Untuk itu saya disarankan mencari dana sekitar 25 juta sebab beliau akan menggratiskan biaya operasi dan jasa beliau sendiri sebagai wujud dari kepedulian beliau terhadap masyarakat di daerah tempat tinggalnya. Duh, terharu betul saya. Keluarga dokter yang baik budi dan dermawan ini dari dulu ternyata tidak pernah berubah sifat meski sudah menjadi dokter pada generasi kedua setelah ayah mereka berpulang. 

Timbul kerisauan saya, dari mana biaya 25 juta itu bisa saya dapat? Saya menggigit bibir. Dokter kemudian membuatkan surat rujukan yang ditujukan kepada pejabat DKK menyatakan bahwa saya harus segera dioperasi di Jakarta, dan mohon agar bisa didanai. Usulan "bodoh" ini terlontar dari saya akibat kebingungan saya. Di benak saya cuma ada satu pikiran, operasi di Jakarta ditolak DKK lalu saya akan mati, atau saya nekad dimarahi pejabat DKK karena lancang minta bantuan yang tidak semestinya. Saya memilih lancang dengan pertimbangan saya akan mengemukakan alasan bahwa untuk selanjutnya saya bersedia dikemoterapi di Bogor, tapi setiap bulan hasilnya saya laporkan kepada dokter di Jakarta. Dengan menjalani kemoterapi di Bogor saya tidak menyalahi aturan Jamkesda.

Jadi setelah semalam saya tidur kemalaman karena pulang dari RS sudah jam setengah sebelas, saya nekad menggusur badan saya yang lemas ke DKK ditemani kedua anak saya yang juga galau. Bahkan kegalauan saya sudah nampak sejak semalam tanpa saya sadari dengan mengirim serangkaian SMS tidak perlu tidak bermutu kepada Perawat Kepala yang amat baik kepada saya.

Saya mulai "keluhan dan upaya mengemis" saya dengan mendatangi Kelurahan tempat tinggal saya. Pak Abas yang baik budi, Kasi Kesejahteraan Rakyat mengatakan beliau tak bisa menolong merubah Jamkesda saya menjadi Jamkesmas karena itu hak prerogratif Kadinkes Kota Bogor. Untuk itu saya diminta langsung bicara dengan pejabat yang berwenang di DKK. Tapi beliau mengapresiasi niat dokter saya yang juga warga setempat yang akan menggratiskan separuh biayanya itu. Kemudian juga dikemukakan bahwa berdasarkan rapat dinas dengan pihak DKK pada periode yang akan datang Jamkesmas diprioritaskan untuk penderita penyakit serius semisal kanker dan gagal ginjal terminal, jadi kemungkinan besar nama saya sudah termasuk di dalam daftar penerima Jamkesmas nantinya. Agak lega saya mendengarnya meski toch belum terbayang apakah DKK bersedia mengucurkan dana Jamkesmas untuk saya sekarang juga. 

Di dalam angkutan kota saya teringat kisah perjalanan semalam pulang dari RS. Rasanya mustahil saya dapat dengan mudah beroleh angkot ke rumah soalnya mendekati tengah malam. Tapi nyatanya mudah sekali. Begitu pun siang ini menuju ke DKK angkot sepertinya sudah tersedia untuk kami, langsung tancap gas saja seakan-akan tahu saya diburu waktu.

Di DKK kebetulan tak banyak masyarakat yang butuh dana, sehingga pelayanan pun jadi cepat. Sayang ternyata dugaan kami benar, mereka tak mengizinkan saya menggunakan Jamkesmas sekarang ini. Artinya operasi saya tetap harus dilaksanakan di Bogor atau saya berganti dokter lalu dioperasi di RSCM dengan dana Jamkesda. Tentu saja menyedihkan kami, mengingat saya tidak mau berganti-ganti dokter yang artinya nanti kasus saya harus diulang pemeriksaan dan penatalaksanaan pengobatannya dari awal lagi. Saya berpacu melawan waktu, dan itu memperlambat kesembuhan yang terus sedang dicoba kami gapai.

Separuh mengisak saya tanyakan, andaikata saya bisa berutang kepada seseorang apakah saya diizinkan melakukan operasi di RSKD itu dengan biaya pribadi lalu melanjutkan kemoterapi seperti biasanya di RS di Bogor ini. Alhamdulillah, mereka setuju. Saya diizinkan melakukan itu. Ada secercah harapan untuk saya di balik rimbunnya dedauan di rimba raya permasalahan saya. Ah, tak mengapa, saya akan mencoba segera mencari pinjaman dari sanak kerabat saya. Semoga kali ini ada lagi yang tergerak menolong saya. Saya tengadahkan tangan saya ke Hadirat Illahi Rabbi disertai permohonan, "Allahuma la illa majaaltahu sahlaw wa anta taj'alul husna idza syita sahlan. Innamaa amruhu idza arada syaiayaqqulallahu kun fayakun. La haula wala quwwatta illa billaaaah........... amin." Allah ada beserta manusia yang selalu memohon hanya kepadaNya untuk menyelesaikan kesulitan hidupnya. Insya Allah doa saya makbul seperti yang sudah-sudah.

(Bersambung)



Pita Pink