Powered By Blogger

Rabu, 27 Februari 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (33)

Proses perjalanan saya menuju kemoterapi alhamdulillah sudah semakin matang. Setelah bersabar menunggu hasil pemeriksaan Patologi Anatomi sel kanker saya, akhirnya kemarin laboratorium menyelesaikan tugasnya. Anak saya terpaksa langsung mendatangi RS Kanker Dharmais karena berminggu-minggu lamanya dari tenggang waktu 4 hari kerja yang dijanjikan pihak Rumah Sakit kami tak menerima kabar apa pun. Padahal setiap hari kami patuh menelepon pihak RS ke nomor yang mereka berikan tanpa ditanggapi.

Seraya berangkat ke kampus menyelesaikan urusan administrasi semester barunya, anak saya meninggalkan rumah pagi-pagi. Sampai di RSKD sekitar pukul sepuluh pagi sudah banyak pasien mengantri di loket pengambilan hasil. Padahal ketika dulu kami datang untuk memeriksakan jaringan sel kanker saya, pada pukul sekian itu sepi orang. Seingat saya hanya ada dua-tiga orang datang plus sejumlah manusia lalu lalang melintasi pintu laboratorium.

Kalau dipikir-pikir, agaknya semakin lama semakin banyak orang sakit kanker saja rupanya. Sebab anak saya bilang, di antara pasien itu ada yang datang dari daerah termasuk dari RS tempat saya berobat sekarang. Pasien yang satu itu ngotot bertengkar dengan petugas laboratorium karena merasa sudah terlalu lama menunggu hasil tanpa ada kejelasan. Dia seperti halnya saya, diminta dokter kami untuk mendapatkan hasil segera. Dalam adu pendapatnya dia sempat berujar, dokter amat membutuhkan hasilnya segera, itu sebabnya dia mengalah berangkat sendiri ke Jakarta tanpa melalui jasa RS tempat kami berobat di Bogor. Dan keluhannya ini disahuti oleh pasien lain yang sepertinya juga datang dari luar kota. Sama seperti kami, dokternya menghendaki hasil segera, sebab siapa pun tahu nyawa kami berpacu dengan waktu agar tak keduluan direnggut kanker yang jahat itu.

Adapun pihak RSKD menjawab bahwasannya pada prinsipnya mereka melayani permintaan sesuai tanggal masuknya pesanan. Artinya mereka tak mengenal pemeriksaan segera. Untuk itu mereka berkilah sebagai RS pemerintah, mereka punya keterbatasan personal sementara menjadi rujukan untuk penanganan penyakit kanker nasional, yang artinya menerima kiriman jaringan yang akan diperiksa dari seluruh penjuru Indonesia. 

Anak saya sempat hendak mendebat, berniat mengatakan mengapa mereka tidak pernah mau mengangkat telepon yang mereka berikan nomornya sebelum pasien atau keluarganya datang ke RS lalu kecewa begitu. Tapi diurungkannya mengingat perdebatan justru akan menambah lama pelayanan. Akhirnya anak saya melenggang pergi, sambil berkata di dalam hatinya, bahwasannya bahkan seorang dokter yang merupakan salah satu direktur di RS itu pun tak kuasa menembus birokrasi RS yang panjang. Ya begitu adanya, suasana kerja di RS pemerintah serba diwarnai keterbatasan. Dalam pada itu, deringan telepon di sana kedengaran terus-menerus tanpa putus namun tak ada yang beranjak untuk mengangkatnya. 

***

Telah selesainya hasil pemeriksaan patologi anatomi yang satu itu bukan berarti saya segera dikemoterapi. Ada satu pemeriksaan lainnya yang dijanjikan selesai dalam seminggu dengan jatuh tempo hari ini. Jadi pagi ini saya akan langsung mengecek ke RS tempat saya berobat, supaya saya bisa segera ke dokter malam harinya.

Dalam pada itu, saya sudah yakin bahwa permohonan Jamkesda saya akan ditolak pihak Dinkes mengingat riwayat keluarga saya dulunya dan keterbatasan dana yang ada di kas Pemda untuk rakyat yang begitu banyak. Jadi saya pun sudah tak ingin lagi mengurusnya. Percuma saja, saya cuma membuang banyak enerji yang mestinya bisa saya simpan untuk meredakan nyeri saya yang tak bisa dibilang ringan ini.

Teman SMP saya yang setia membenarkan bahwa nyerinya kanker itu luar biasa. Suatu sore menjelang akhir pekan tanpa terduga tiba-tiba teman-teman saya semasa SMP empat puluh tahun lalu tiba-tiba mengetuk pintu rumah saya. Seorang di antaranya, Butet gadis Tanah Karo kelahiran Bogor yang juga teman saya di SMA nampaknya langsung datang dari kantornya. Di tangannya masih terjinjing tas kerjanya yang sarat dengan kertas-kertas yang saya yakini pasti isinya penting untuk dokumen negara. 

Dia bilang dia teringat masa-masa almarhumah ibundanya menderita kanker kulit. Dia setia merawatnya termasuk mengantarkan berobat ke RSKD demi kesembuhan ibunya yang sayangnya tak pernah tercapai. Sambil memperhatikan keadaan saya yang walau pun nampak bugar dan gemuk tapi tak bisa disangkal tetap mencirikan orang sakit, dia bilang pelayanan RSKD memang lamban. Ditengarainya itu akibat banyaknya pasien yang datang nyaris dari seluruh penjuru Indonesia. Kata Butet di masa ibunya sakit beberapa tahun lalu itu, RSKD sudah sangat padat terutama di bangsal praktek para ahli kanker. Dia pun punya kesan yang sama soal keadaan di sana, seperti yang saya katakan, muram durja. Dia tak menyangkal banyak pasien yang merintih-rintih kesakitan, serta mereka yang cuma bisa duduk diam pasrah di atas kursi rodanya atau bahkan berbaring saja di bangku-bangku tunggu. Bahkan dia masih sangat ingat betapa ketika dia mendampingi ibundanya melakukan pemeriksaan yang menggunakan aneka mesin berteknologi canggih di lantai bawah tanah RS itu suasananya pun sama saja. Dingin dan menggigilkan nyali siapa pun di dalamnya. Tak lepas dari ingatannya para pasien yang sudah dirawat dibawa ke ruang pemeriksaan itu dengan tempat tidur mereka lengkap beserta peralatan penunjang hidup mereka. Menurut Butet, ngeri sekali. Aduhai, ternyata gadis Batak yang satu ini hatinya begitu rapuh mudah tersentuh rupanya.

Butet bilang ibunya kerap menangis kesakitan akibat luka-luka kanker kulitnya. Beliau pun mengalami perawatan di tempat yang sama dengan saya. Hingga sekarang kata Butet, plester dan pembalut sisa perawatan luka ibunya masih disimpannya sebagai kenang-kenangan akan ganasnya kanker agar dirinya waspada menjaga kesehatan tubuhnya sendiri. Kanker yang membutuhkan biaya perawatan mahal memang sebaiknya diwaspadai dengan mengatur pola hidup dan pola makan, terutama bagi orang yang mempunyai riwayat penyakit kanker pada keluarganya.

Seorang teman saya lainnya lagi juga menceritakan soal luka kanker di pipi almarhum adik lelakinya yang tumbang oleh kanker otak di usia yang masih muda. Pipi yang semula mulus katanya berubah jadi keropeng-keropeng yang membuat lubang menganga mengerikan. Sudah tentu sakitnya bisa dibayangkan. Tak terkatakan, begitulah. Jadi artinya saya tak seorang diri.

***

Perjalanan pagi ini saya mulai pukul tujuh kurang seperempat menunggu angkutan kota kosong dari pelajar dan pegawai. Benar saja, saya bisa duduk enak hingga mencapai RS. Saya mendaftar untuk ke dokter nanti malam, mendapat nomor urut dua belas. Tak mengapa, yang penting masih dapat giliran, karena dokter memang membatasi pasien hanya 20 orang setiap praktek yang seminggu dua kali itu. Setelah itu saya ke laboratorium mengecek hasil pemeriksaan lengkap. Sedikit menunggu giliran, akhirnya milik saya disodorkan juga. Ternyata, tak seperti bayangan saya, itu bukanlah pemeriksaan laboratorium lengkap, sebab hanya berisi pemeriksaan kadar kreatinin yang tidak saya mengerti arti dan fungsinya bagi pasien kanker yang akan menjalani kemoterapi. Tapi tak mengapa, saya bisa menanyakannya kepada dokter nanti malam.

Selepas dari RS saya langsung ke Puskesmas dengan membawa SKTM saya supaya mendapat surat pengantar rujukan yang masih harus diperlihatkan lagi di Kecamatan dan Kantor Dinas Kesehatan Kota sebagai pihak yang berwenang untuk mengesahkan penggunaan SKTM saya. Lagi-lagi dokter Kepala Puskesmas yang seorang perempuan muda itu menekankan bahwa saya tak mungkin lolos menerima Jamkesda dengan alasan yang sudah dikemukakannya dulu, yakni riwayat keluarga saya serta kondisi rumah tinggal kami yang sebetulnya merupakan milik anak-anak saya pemberian ayah mereka berdasarkan akta hibah. Beliau bilang dengan sabar, sebetulnya untuk mendapat SKTM pun saya sudah termasuk warga yang diistimewakan karena aparat di desa saya punya pertimbangan tersendiri dalam meloloskan SKTM saya dengan alasan kemanusiaan. Betapa sulitnya ternyata mengungkit sisi-sisi kemanusiaan pada manusia Indonesia sekarang ini.

Akhirnya saya diberi pengantar rujukan juga, lalu bergegas ke Kecamatan yang letaknya amat jauh dari rumah supaya masih bisa sampai di DKK sebelum jam istirahat makan siang. Senang sekali rasanya di sana saya cuma butuh waktu lima menit guna pengesahan Camat. Sehingga tiba di DKK tepat menjelang waktu istirahat. Masyarakat yang mengantri tinggal sedikit, lalu saya pun dilayani segera. 

Demi melihat sosok saya serta alamat rumah saya, petugas di sana membelalakkan matanya tak percaya. Ya, siapa sangka penghuni perumahan menengah ke atas butuh SKTM begitu bukan? Petugas perempuan itu mulai dengan tanya-jawabnya yang terkesan menuduh saya cuma mau mencari untung saja. Sehingga saya terpaksa memprotes dengan penjelasan yang rinci. Tak saya pedulikan lagi pembicaraan kami didengar orang banyak, karena memang untuk masalah yang sebetulnya bersifat sangat pribadi begitu tak disediakan ruangan tertutup yang khusus. Hanya ada loket yang dibatasi dinding kaca di antara kami pemohon dengan petugas DKK.

Karena tak bisa mencapai titik temu, petugas itu memanggil atasannya, seorang perempuan juga yang kelihatan benar perempuan Jawa. Apalagi setelah saya dengar logat bicaranya. Tak ada bedanya, si atasan juga ngotot tidak memenuhi permintaan saya, kecuali anak saya sebagai pengampu saya bersedia membuat surat pernyataan tak mampu mendanai kemoterapi saya, serta pernyataan bahwa dia hanya bekerja di sebuah kantor swasta kecil tanpa jaminan kesehatan dilengkapi dengan memperlihatkan slip gajinya. 

Lunglai saya mendengar penjelasan itu. Walau saya mengerti, tapi saya minta supaya saya boleh melengkapinya kemudian karena jadwal kemoterapi saya akan tertunda lagi oleh masalah ini. Si pimpinan mengatakan, dia hanya menjalankan aturan, dalam pemberkasan itu harus dilengkapi dulu supaya pihak RS yang saya datangi tidak mempermasalahkan juga. Tak terasa suara saya mulai bergetar menahan sedih, sehingga si petugas loket terpaksa membuka kembali berkas saya dan membacanya teliti. Begitu didapati di Kartu Keluarga saya bahwa saya menumpang di rumah anak saya yang tercatat sebagai Kepala Keluarga dengan status masih mahasiswa, kala itu, akhirnya saya ditanya mengapa bisa terjadi demikian. Sekali ini saya tegaskan lagi bahwa takdir menghendaki demikian. Tapi kali ini saya berhasil menahan lelehan kesedihan saya. Saya katakan, kalau saya tidak boleh dikemo, saya akan menyerah pada pintu kematian. Pernyataan saya mengundang komentar si pimpinan, karena serta merta dia menyahuti bahwa kasus penundaan kemoterapi tidak akan membawa kematian fatal seperti kasus penundaan haemodyalisis alias cuci darah. Untung anak buahnya bisa menangkap inti pembicaraan saya segera dengan baik. Dia kemudian menjelaskan permasalahan saya sesungguhnya kepada si pimpinan, yang akhirnya berbalik menyetujui pemberian SKTM itu tanpa banyak aturan lagi. Dan berkas-berkas saya lolos proses tujuh menit kemudian sambil mereka menutup loket dengan tulisan "ISTIRAHAT". Alhamdulillah, walau saya mesti menahan kekecewaan tapi ah, Allah masih mencarikan jalan yang baik untuk menyelesaikan kesulitan hidup saya. Saya jadi semakin percaya saja bahwasannya hidup kita ini semua ternyata memang sepenuhnya dijamin oleh Allah. Alhamdulillah!

(Bersambung)
 


Kamis, 21 Februari 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (32)

Pada umumnya orang sudah pernah mendengar kata "kemoterapi". Ini merupakan pengobatan penyakit kanker. Efek sampingannya pada sebagian besar pasien menakutkan. Rambut berguguran, kehilangan nafsu makan bahkan pusing dan tentu saja lemah. Kebanyakan pasien akan kehilangan berat badan. Itu antara lain yang ada di benak kita.

Saya pun memaknainya begitu, meski tidak tahu bagaimana sesungguhnya kemoterapi itu. Dan saya juga belum tahu apa bedanya dengan satu sistem pengobatan lagi yang dinamai "radioterapi" alias penyinaran. Sampai ketika akhirnya saya sendiri menderita kanker lalu harus mulai menjalaninya dalam waktu dekat ini.

Ketika memeriksa saya sebulan yang lalu, dokter memperhatikan semua hasil pemeriksaan penunjang yang sudah saya jalani untuk mendeteksi apakah sel kanker saya sudah sempat menyebar ke organ tubuh lainnya. Berhubung hasilnya bagus semua, tidak ada penyebaran, maka dokter memutuskan untuk memeriksa jaringan sel kanker saya lebih teliti lagi. Dokter ingin tahu secepat apa sel kanker itu bertumbuh. Sayang sampai hari ini belum ada hasilnya karena laboratorium yang memeriksa masih belum menyelesaikan tugasnya. 

Tapi mengingat tumor saya sudah sangat lanjut, luka terbuka pula, maka dokter memutuskan untuk tidak mengoperasi saya sekarang. Sebagai penanganannya saya akan segera diobati dengan kemoterapi yang katanya akan diberikan secara oral selama 4 bulan. Artinya saya diharuskan makan obat kemoterapi. 

Saya pun tidak disuruh menjalani radiasi, karena katanya tidak akan ada manfaatnya untuk membunuh sel kanker saya yang sudah terlanjur jadi tumor besar itu. Lain halnya andaikata saya datang berobat ketika masih dalam tahap dini. Penyinaran yang bisa makan waktu sampai 30 kali itu akan bermanfaat. Jadi, saya diberi obat anti kanker selama sebulan yang sayangnya tidak membawa perbaikan apa pun pada tumor saya.

Dulu saya sering melihat pasien dikemoterapi tapi tidak berupa obat yang dimakan, melainkan diinfuskan. Ternyata, selain dimakan (kemoterapi per oral) juga kemoterapi infus, ada kemoterapi cara lainnya. Pokoknya banyak macamnya, termasuk disuntikkan langsung ke otot atau lapisan bawah kulit serta disuntikkan langsung ke cairan di dalam tubuh tepat di daerah yang ditumbuhi sel kanker itu. Bahkan yang paling mudah, bagi penderita kanker kulit ada kemoterapi berupa pengolesan obat langsung ke kulit yang sakit. 
Dan saya, ~yang sebetulnya ngeri menghadapi tusukan jarum ini~ dengan senang hati akan menerima kemoterapi berupa obat yang dimakan. 

Adapun radioterapi adalah pengobatan dengan menembakkan sinar X yang berdosis tinggi langsung ke bagian yang ditumbuhi sel kanker. Ini biasanya membawa efek samping berupa kulit terbakar. Oleh karenanya pasien tak boleh sampai membasahi kulit bekas radiasi itu ketika dia membersihkan tubuhnya. Saya sudah menyaksikannya sendiri antara lain pada kenalan saya seorang petinggi televisi swasta nasional yang numpang berobat dari rumah dinas mantan suami saya ketika di negeri seberang dulu. Kulitnya yang kena radiasi menghitam. Soal rasanya saya tidak berani menanyakan, takut pasiennya tersinggung.

***

Sejarah radioterapi dan kemoterapi konon sudah cukup panjang. Banyak juga kemoterapi itu yang digunakan untuk mengobati penyakit lainnya. Pokoknya dia jelas bermanfaat. Hanya saja, sebelum dikemoterapi pasien harus dipersiapkan kesehatan fisiknya sebaik mungkin. 

Langkah pertama yang harus dilalui adalah menjalani pemeriksaan laboratorium lengkap, darah dan urine. Khusus pemeriksaan urine ini, pasien dibekali sehelai kantung plastik khusus bertutup untuk menampung urinenya selama 24 jam di rumah. Beda sekali dengan pemeriksaan urine biasanya yang diambil seketika di RS atau laboratorium. Sayang RS tempat saya berobat bukan RS besar dengan alat pemeriksaan yang lengkap. Karenanya urine itu diperiksakan di laboratorium lain di luar RS sehingga akan memakan waktu kira-kira seminggu. Beginilah kalau kita tinggal di sebuah kota kecil.

Setelah itu kita menuju ke bagian radiologi untuk menjalani pemeriksaan Echo Cardiography atau rekaman detak jantung menggunakan tenaga ultrasonografi. Di sini pasien akan dibaringkan di dekat mesin ultrasonografi (USG) lalu daerah dada dipasangi kabel-kabel yang terhubung ke mesin itu. Sayang dokter tak berhasil memeriksa saya; katanya tumor saya sudah terlalu besar sehingga menutupi letak jantung saya. Karenanya sensor mesin tak bisa lagi "menangkap"nya. Setengah bingung saya tanyakan apa efeknya terhadap proses kemoterapi seandainya echo jantung tak terekam begini, dokter menjawab tak ada. Sebab echo jantung hanya merupakan evaluasi saja bagaimana detak jantung pasien sebelum serta kelak setelah selesai dikemo, untuk panduan pelaksanaan resimen kemoterapi selanjutnya.

Selanjutnya rekaman detak jantung itu dilakukan sekali lagi menggunakan mesin Electro Cardiography (ECG) yang sudah lumrah diketahui orang ada di ruang praktek dokter jantung. Pemeriksaan ini harus dilakukan di hari yang sama dengan pemeriksaan terakhir, yakni kesehatan secara umum di dokter spesialis penyakit dalam. Sebab beliau lah yang akan membacakan hasilnya sebagai bagian laporan kepada dokter onkologi yang meminta jasanya. Untung ini bisa dilakukan, hasilnya pun baik bahkan tekanan darah saya normal yakni pada kisaran 130/90 mg/Hg. 

Pada waktu diperiksa itu saya mengeluhkan bahwa saya kena sariawan di balik lidah saya, serta saya habis muntah-muntah semalaman dua hari sebelumnya. Namun dokter yang teliti memeriksa sambil mengambil berbagai catatan medis saya dari hasil kami bertanya-jawab mengatakan saya tidak apa-apa. Muntah-muntah itu menurut analisanya disebabkan faktor ketegangan pikiran belaka. Ah, persis dugaan banyak orang termasuk sinshe saya. Tapi tak urung saya dibekali dengan obat anti muntah serta obat penahan nyeri yang menurutnya harus selalu saya makan setiap hari untuk mengatasi rasa sakit yang jamaknya dialami semua penderita kanker. Padahal dokter onkologi membatasi penggunaan obat anti nyeri itu. Saya dianjurkan memakannya hanya bila perlu, sebab telah diberi obat pereda nyeri lainnya dari jenis yang ditempelkan di kulit yang sehat yang khasiatnya terbukti memang lebih ampuh meski harganya selangit. Bayangkan saja, sehelai untuk pemakaian tiga hari tak kurang dari seratus delapan puluh ribu rupiah. Begitu rupanya, yang bagus pasti harganya mahal. Walau sayang kanker yang namanya bagus, pengobatannya mahal tapi penyakitnya justru tak ada bagus-bagusnya sama sekali. Mengerikan, menciutkan nyali.


***

Sampai dengan hari ini pengobatan kemoterapi saya belum bisa dimulai. Sebab sudah dua minggu berlalu sejak pemeriksaan jaringan sel kanker saya di RS pusat penangangan penyakit kanker nasional belum juga ada kabarnya. Mengecewakannya lagi, nomor telepon yang diberikan RS untuk mengecek ketersediaan hasil sebelum berangkat mengambil tak pernah ada yang mengangkat. Bahkan E-mail yang saya kirimkan lewat website resmi mereka juga tak dijawab.

Saya teringat dokter onkologi saya yang menyayangkan saya tidak melakukan pemeriksaan itu di RSUPN. Saya menyesal telah mengabaikannya, hanya gara-gara saya punya kepentingan untuk sekalian mengontrol dan merawatkan luka saya di klinik RSKD itu. Seandainya saya dulu mematuhi permintaannya, tentu kemoterapi saya bisa berjalan segera awal minggu depan.

Tapi dokter onkologi saya benar. Persiapan untuk kemoterapi memang lama serta butuh kesabaran selain tentunya dana yang tak sedikit. Waktu saya sempat memprotes jadwal prakteknya di Bogor yang tidak pernah tepat waktu, saya sempat mengajukan permintaan untuk kembali berobat di RSKD. Waktu itu beliau bilang saya akan mengambil langkah yang keliru. 

Pasalnya seperti yang saya alami sekarang, persiapan kemoterapi itu tidak sebentar. Pasien harus mendatangi beberapa klinik serta laboratorium dulu. Tentunya dalam keadaan tubuh lemah seperti yang saya alami.

Saya pun lalu teringat gambaran cerita yang diberikan seorang dokter bedah umum senior di Jakarta ketika menjenguk saya ke rumah sewaktu saya belum berobat ke dokter. Beliau bilang, biasanya pasien yang dalam perawatan akan tinggal sementara tak jauh-jauh dari RS tempatnya berobat. Sebab, pengobatan kanker butuh waktu sangat lama sedangkan pasien tak boleh letih. Jadi, biasanya ada kamar-kamar sewaan di sekitar rumah sakit yang memang biasa menampung para pasien RS yang datang dari luar kota. Bentuknya berupa kamar kost sederhana, namun memadai. Katanya yang penting bisa dipakai tidur beristirahat dan makan sekalian. 

Tetangga saya menuturkan, saudaranya pernah juga memanfaatkan jasa rumah kost itu ketika berobat. Harga sewanya bervariasi tergantung keadaan bangunan dan fasilitasnya. Tapi minimal disewakan tiga ratus ribu rupiah sebulan untuk masa ini. Dan menurut tetangga saya, kondisi rumah kost itu terpelihara baik karena umumnya dimiliki oleh keluarga para dokter juga. Ya, ternyata prinsip simbiose mutualistis juga berlaku di dunia kedokteran. Tak mengapa, asal menguntungkan kedua belah pihak tentu tak ada salahnya.

Kini saya sadari sendiri, betapa beruntungnya saya beroleh dokter yang amat memperhatikan kondisi kenyamanan pasien. Adakah lagi dokter-dokter lain serupa itu selain dokter saya? Marilah kita tanyakan saja jawabnya pada angin lalu yang menerbangkan guguran bunga jambu di halaman rumah tetangga saya. 

Jumuwah mubarak!

(Bersambung)

Sabtu, 16 Februari 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (31)

Pengobatan saya akhirnya akan menuju ke prosedur yang benar. Bersamaan dengan bengkak yang menimbulkan nyeri di lengan saya, akhirnya dokter yang merawat saya menghendaki kemoterapi saya dilaksanakan sesegera mungkin. Apalagi mengingat obat yang sudah saya konsumsi selama sebulan ini tak menunjukkan hasil apapun. Tak ada perbaikan. Tumor saya tidak mengecil bahkan menjadi semakin besar, sehingga dokter menyimpulkan bukan disebabkan aktifnya hormon di dalam tubuh saya.

Hari ini saya kembali kontrol ke rumah sakit meski hasil pemeriksaan Patologi Anatomi sel kanker saya belum selesai. Menurut janji pihak laboratorium RSKD di Jakarta yang merupakan pusat rujukan penyakit kanker nasional mereka memerlukan waktu 4 hari kerja untuk permintaan pemeriksaan yang cepat. Namun ternyata ketika saya mengecek dengan telepon seperti permintaan pihak RSKD, tak ada seorang pun yang menjawabnya. Di hari kedua akhirnya saya menggunakan jasa teman saya yang kebetulan berdinas di RS itu untuk menghubungkan saya dengan pihak laboratorium. Melalui beliau barulah saya memperoleh jawaban bahwa hasilnya belum ada. Saya merasa gelisah mengingat jadwal kontrol dokter saya sudah dekat. Saya takut keadaan ini akan mengganggu resimen terapi saya.

Benar saja, tadi dokter menyatakan kekecewaannya. Beliau bahkan membandingkan dengan laboratorium RSUPN yang katanya cepat. Seharusnya saya kemarin itu tidak memeriksakan ke RSKD melainkan ke RSUPN supaya cepat. Tapi berhubung sejak semula saya sudah berobat di RSKD maka saya lebih suka untuk ke sana lagi, sekalian kontrol merawatkan luka tumor saya kepada ahlinya di bagian klinik perawatan luka dan stoma. Dari seorang keluarga pasien yang juga menjadi pasien RSKD seperti saya, diperoleh pengalaman yang sama. Pemeriksaan istrinya memerlukan waktu tiga minggu lamanya. Duh, luar biasa, batin saya. Empat hari diulur sesukanya menjadi dua puluh satu hari alias lima belas hari kerja. Saya terpaksa mengucap istighfar menyadari kesabaran yang belum juga lulus ujian ini.

Tapi tadi dokter sudah langsung bertindak lanjut. Sebagaimana yang saya lihat serta dengar dari para pasien kanker yang sudah dikemoterapi, menjelang kemoterapi diperlukan serangkaian pemeriksaan laboratorium dan fisik. Tadi saya diminta ke laboratorium untuk memeriksakan darah saya secara lengkap serta urine. Tujuan pemeriksaan darah ini adalah untuk memantau apakah saya memiliki kadar haemoglobin yang cukup dan sebagainya sebab jika tidak kemoterapi akan sangat menyulitkan dan tentunya jadi tak bisa dilaksanakan. Sedangkan pemeriksaan urine entah apa gunanya, saya tak sempat menanyakan. Khusus pemeriksaan urine ini juga berbeda dari apa yang biasa kita lakukan di waktu kita melakukan general check up. Pasien dibekali sebuah kantung plastik anti pecah besar yang bertutup. Kantung khusus itu dipakai untuk menampung urine pasien selama 24 jam yang dimulai sejak pukul delapan malam hari ini hingga pukul delapan malam besoknya. Untuk itu tentu saja saya harus melakukannya di rumah, baru diserahkan nanti.

Setelah itu saya diharuskan memeriksakan kondisi rekam jantung saya. Pemeriksaan yang dikenal sebagai Electrocardiography (ECG) ini sudah umum diketahui orang. Dada pasien dipasangi kabel-kabel yang bermuatan listrik untuk merekam detaknya melalui perantaraan sebuah mesin. Di situ saya harus bertelanjang dada. Karenanya saya ditawari apakah ingin ditangani oleh dokter perempuan atau mau sembarang dokter. Tentu saja saya memilih dokter perempuan itu. Sayang dokter itu baru akan praktek hari Selasa, tiga hari lagi, jadi saya pun harus kembali ke RS di hari itu pagi-pagi sekali sesuai jadwal prakteknya. Tapi ah tak mengapa, toch saya pun juga harus kembali ke laboratorium untuk menyerahkan urine saya.

Pemeriksaan ini saya kira akan sangat berkaitan dengan tindakan medis yang harus diambil sewaktu dikemoterapi nanti. Dokter jadinya akan dengan mudah menangani saya seandainya terjadi gangguan pada irama jantung atau tekanan darah saya sewaktu menjalani kemoterapi, karena beliau sudah memiliki rekaman detak jantung saya itu. 

Terakhir saya diharuskan memeriksakan fisik saya ke dokter ahli penyakit dalam. Saya mengerti bahwa tekanan darah saya akan dipantau, juga kondisi fisik saya pada umumnya. Sebab jika tekanan darah saya tinggi atau sebaliknya terlalu rendah, maka saya tidak bisa dikemoterapi. Begitu pun jika dokter spesialis penyakit dalam menemukan adanya kelainan di organ dalam tubuh saya, itu artinya saya harus diobati dulu supaya sembuh.

Kemoterapi memang begitu adanya, meski obat kemoterapinya hanya berupa obat yang dimakan (per oral). Efek sampingnya konon seringkali menyiksa pasien yang sudah lemah. Ini saya saksikan sendiri pada beberapa pasien yang pernah menginap di rumah dinas mantan suami saya di Singapura ketika mereka numpang berobat. Juga pada pasien yang saya jumpai untuk kesekian kalinya sepanjang saya berobat sekarang.

Istri jurnalis yang saya temui di kantor Dinas Kesehatan tempo hari nampak amat sakit. Dia sudah dikemoterapi cukup lama dengan menelan obat-obatan. Penyakitnya yang persis sama dengan penyakit saya, sebetulnya baru mencapai stadium II. Tapi entah mengapa, dia kelihatan amat layu. Tubuhnya kurus kering, pucat dengan kulit kusam yang cenderung tidak segar. Waktu pertama bertemu dengannya, dia juga sudah dalam keadaan demikian. Saya perhatikan jalannya pun lambat, mencirikan tubuhnya lemas. Kata suaminya waktu itu, kalau malam dia tak bisa tidur sebab kesakitan. Sama dengan saya. Lalu nafsu makannya pun hilang, tak jauh beda dengan saya. 

Hari ini pasien itu lebih menyedihkan lagi. Sampai-sampai saya membayangkan diri saya menjadi seperti itu, menyusahkan hati dan hidup orang banyak terutama anak-anak saya yang menjadi pendamping saya. Dia nampak sedang duduk di muka ruang klinik menunggu giliran waktu saya datang. Hari ini jadwal praktek dokter kami memang "istimewa" bisa sesuai dengan jadwalnya, pukul sebelas siang. Padahal sebelum-sebelumnya saya selalu dikecewakan dengan praktek sore yang kemalaman. 

Suaminya yang sudah sangat hafal dengan anak saya menebar senyum. Lalu saya menyapa istrinya, menggapai lembut tangannya yang kelihatan amat lemah seakan-akan saya takut mematahkan tulang-tulangnya yang bertonjolan itu. Dia membalas salam saya dengan senyum yang dipaksakan. Katanya dia baru keluar dari ruang perawatan. Sudah delapan hari dia tidur di RS karena tangannya bengkak. Lalu diperlihatkan tangannya itu. Ya Allah, persis tangan saya, cuma kondisinya lebih parah. Bengkaknya jauh lebih besar dibandingkan tangan saya. Jadi soal sakitnya wah, tentu berlipat ganda.

Perempuan itu mengatakan dia tidak bisa tidur di waktu malam disebabkan rasa sakit yang diakibatkan bengkaknya itu. Saya pun membenarkannya. Saya ceritakan kondisi saya yang nyaris serupa, cuma saya tertolong oleh obat pemberian sinshe. Dan dengan obat itu saya berharap bengkak saya tidak semakin menjadi-jadi, bahkan bisa mengempis seperti janji sinshe. 

Belum puas saya mengajaknya bicara, perempuan itu sudah dibawa suaminya dengan gandengan tangan yang amat penuh kasih ke klinik dokter bedah umum. Katanya dokter bedah umum sudah menunggunya untuk disuntik. Entah suntikan apa pula. Yang jelas semua itu untuk mengobati bengkak di tangannya. Saya tahu sendiri kini, bahwasannya perempuan itu tak lebih membaik dibandingkan ketika pertama kali dokter mendiagnosa penyakitnya. Artinya, seperti halnya diri saya, dia juga sudah mengalami penjalaran sampai ke kelenjar ketiak. Itulah yang kemudian menyakiti lengan dan tangannya. Jari-jari sawo matang yang cenderung gelap itu kemudian berlalu meninggalkan saya, menuju ruangan klinik dokter bedah umum. Saya cuma bisa berharap semoga Allah menguatkannya. Sempat saya bisikkan bahwa kami berdua harus bisa bertahan melawan semua penyakit ganas ini sebab ada orang-orang yang masih sangat mengharapkan kasih sayang kita di dunia ini. Suaminya sempat tersenyum selagi dia sendiri menggangguk-angguk membenarkan.

***

Tak lama kemudian giliran saya dipanggil masuk ke klinik. Dokter yang menunggu dengan senyuman mengembang mempersilahkan saya duduk. Lalu beliau menanyai keadaan saya. Setelah saya jelaskan beliau bersedia memeriksa tumor saya dari luar saja melalui rabaan. Tapi khusus kelenjar ketiak dan lengan saya dipegang-pegang dan diamatinya baik-baik. Itulah akhirnya yang membuat dokter memutuskan untuk segera mengganti obat yang sedang saya makan dengan obat kemoterapi yang lebih kuat.

Yang saya puji dari dokter muda simpatik ini adalah kepedulian sosialnya terhadap pasien. Sebelum menuliskan perintah pemeriksaan laboratorium dan sebagainya beliau menanyai saya mengenai Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) yang akan saya minta. Saya pun terpaksa berterus terang menyatakan bahwa menurut dokter Kepala Puskesmas di kampung kami, sudah terlambat jika saya mengurus sekarang. Sebab anggaran Jamkesda tahun 2013 sudah berjalan. Itu artinya saya diharuskan menunggu untuk tahun anggaran berikutnya. Namun kenyataan pahit itu alhamdulillah akan teratasi, sebab teman-teman saya dari Dharma Wanita Persatuan sudah mengumpulkan dana yang cukup guna mendanainya. Subhanallah! Ternyata di dunia ini banyak tangan-tangan kasih yang terulur untuk saya. 

Saya pun melipat tangan saya di dada, mengucap syukur atas kebaikan Allah melalui mereka semua keluarga Korps Pejambon Enam yang budiman. Tak lupa saya panjatkan doa semoga mereka semua dibalas dengan keberkahan yang banyak berupa nikmat sehat dan rizki yang barokah. Semoga Allah mengabulkan doa saya. Kini satu demi satu wajah-wajah sahabat saya yang kebanyakan terpisah jarak ribuan mil di seberang lautan kembali memenuhi benak saya. Betapa saya merasa dikelilingi sejuta hati yang penuh cinta semata. Alhamdulillah!

(Bersambung)

Minggu, 10 Februari 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (30)




Semalam saya membaca buku pengalaman penderita kanker yang sudah pernah dinyatakan akan bertahan hidup hanya dalam masa tiga bulan saja. Buku itu ditulis oleh seorang Profesor Agama Islam yang sibuk mengajar di sana-sini di Jawa Tengah, yang mengidap kanker otak kemudian kanker nasofaring dalam tempo yang berdekatan. Lelaki itu mengungkapkan bahwa dzikir serta doa-doa kuasa melembutkan hati Allah untuk mendatangkan kesembuhan baginya hingga dia bisa melewati masa tiga tahun itu menjadi di atas sepuluh tahun hingga kini.

Sebagai keturunan muslim yang kuat memegang aturan agama, penulisnya mengungkap kisah pendidikannya yang kuat diwarnai oleh sekolah-sekolah agama sejak kecil. Karenanya bekal pendidikan agamanya sudah kuat dengan sendirinya. Sewaktu dia tiba-tiba mengalami kejang-kejang mendadak yang ternyata diakibatkan oleh kanker otak, dia dan keluarganya tidak lantas terpukul. Mereka bersama-sama berkumpul berdoa, membaca Surah Yassin dan dzikir-dzikir sepanjang operasi besar yang dijalaninya selama 4 jam. Kekuatan doa dan dzikir ini agaknya mengetuk pintu langit, sehingga prediksi dokter selaku manusia biasa benar-benar tak terbukti. Sebab kuasa Allah lah yang nyata sebagai pemenangnya. Profesor itu sembuh kembali dan bisa melaksanakan tugasnya sebagai seorang pimpinan di sebuah Perguruan Tinggi seperti semula.

Kalau kita membaca sendiri buku itu, akan kita ketahui bahwa unsur stress memang berpengaruh besar terhadap timbulnya penyakit kanker. Penulisnya mengutip kata Deepak Choopra seorang penyembuh holistik di Amerika keturunan India, sebagai berikut : " Ilmuwan menemukan pikiran sebagai medan energi yang teratur, rumit yang terdiri atas pola-pola getaran rumit. Pikiran bahagia menciptakan molekul bahagia, pikiran sehat menciptakan molekul sehat." Profesor ini sependapat dengan Choopra. Selama ini pengakuannya, dia selalu bersikap tenang di dalam menghadapi hidup apa pun bentuknya. Sebab dia berkeyakinan bahwa dalam keadaan apa pun ketenangan adalah kata kunci yang harus diperhatikan di dalam menyikapi persoalan hidup. Dengan jiwa yang tenang, manusia bisa menjumpai Tuhannya kelak, karena jiwa yang tenang itu diibaratkan air yang terus mengalir menuju pusatnya di samudra luas.

Tapi pada suatu ketika, profesor penyandang kanker ini tiba-tiba merasa gelisah dikarenakan anak sulungnya minta izin untuk bersekolah di luar kota. Sebagai orang tua dia mengkhawatirkan anak gadisnya jika tak bisa terpantau sendiri sehari-hari. Maka sejak itu bersemayam rasa gundah di hatinya yang melahirkan stress yang ditandai dengan kemurungan dan sifat pemarah seperti yang dilihat istrinya tiba-tiba. Lalu semuanya berakhir menjadi penyakit kanker itu.

Saya asyik menyimak buku yang dipinjamkan tetangga saya ini. Dari satu bab ke bab selanjutnya banyak pelajaran yang saya dapati laksana mutiara yang berharga. Di situ disebutkan bahwa ketika dalam masa penyembuhannya, sang profesor senantiasa berdoa dengan doa yang ternyata adalah doa yang selama ini juga saya baca berkat buku "Sakitku Ibadahku" yang dihadiahkan anak sulung saya suatu hari dulu. Begini bunyinya, "Allahuma isyfi antasysyafii syifaa'an laa yughadhiruu saqamah. Allahuma thawil hayaatii wa ahli bayti wa qarabatii bi thaatikaa washshahati wal afiyah." (Ya Allah, sembuhkanlah aku, Engkaulah dzat yang Maha Menyembuhkan dengan sembuh yang tidak meninggalkan penyakit lagi/sembuh yang sesungguhnya. Ya Allah panjengkanlah umurku, umur keluarga dan kerabatku disertai ketaatan, sehat dan afiat). 

Inilah salah satu mutiara yang saya dapatkan. Saya tidak keliru membaca doa rupanya. Maka sepatutnya saya bersyukur telah dianugerahi anak yang baik budi dan penuh pengertian terhadap saya yang sakit-sakitan dan cenderung rewel karenanya. Belum lagi profesor tadi berpendapat, jika kita tak fasih mengucap doa di dalam Bahasa Arab, maka ucapkanlah dalam bahasa yang kita kuasai saja. Umpamanya yang mudah adalah mengucapkan, "aku sehat", "aku sembuh", "aku normal" dan semacamnya selama sepuluh menit dengan tujuan untuk membujuk diri agar kuat melawan penyakit ini. Bahagia benar saya karena buku-buku ini.

Profesor ini juga mengatakan bahwa sejalan dengan tekad sembuh ini, manusia hendaknya berpasrah kepada Allah semata. Sebab Allah itu tak ada bandingannya. Dikutipnya QS Fathir; 15 : "Hai sekalian manusia, kamu semua adalah butuh kepada Allah, sementara Allah adalah Maha Kaya dan Maha Terpuji." Kesombongan manusia hanya akan menjadi penghalang bagi turunnya rahmat dan karunia Allah. Sebab seperti yang digambarkannya lagi, profesor ini mengimani QS Al Isra; 37 yang berbunyi : "Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung." Subhanallah! Benar belaka, manusia berada di bawah Kekuasaan Tuhannya. Karenanya berpasrahlah di dalam memohon kesembuhan kita hanya kepada Allah semata.

Buku yang saya baca semalam itu benar-benar saya resapi. Sebab saya terkagum-kagum atas kesembuhan yang berhasil diraih si penulisnya berkat kepasrahan diri kepada Allah, doa-doa dan dzikir serta hati yang ikhlas di dalam menerima takdirnya. Saya kini seperti memperoleh celah-celah untuk kembali memompa semangat hidup. Tak ada penyakit yang tak ada obatnya. Tak ada penyakit yang tak bisa dilawan. Termasuk kanker, penyakit yang kini tengah menggerogoti tubuh saya. Lalu sambil memejamkan mata di atas pembaringan saya, tergambar kembali tubuh-tubuh bocah cilik para penderita kanker yang berada di dalam perawatan Yayasan Kanker Anak Indonesia yang saya saksikan di televisi kemarin dulu. Kalau mereka bersemangat hidup, mengapa saya tidak???

(Bersambung)

Sabtu, 09 Februari 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (29)

Menjadi penyandang penyakit kanker artinya ujian kita tiada pernah berhenti. Ada rasa sakit yang harus dilawan. Ada rasa jenuh menghadapi hari-hari yang bergumul dengan pengobatan. Ada juga rasa kecil hati menghadapi komponen biaya yang berat jika pasien ingin benar-benar sembuh, yakni ongkos obat-obatan termasuk kemoterapi serta sederet biaya pemeriksaan penunjang. Bagi orang berpenghasilan tetap apalagi yang memiliki fasilitas asuransi kesehatan, komponen biaya tentunya tak seberat yang ditanggung seorang pengangguran. Namun seperti selalu saya ceritakan, kalau kita berserah diri ke tangan Allah, maka semua akan teratasi tanpa terbayangkan.

Nyatanya, alhamdulillah salah seorang kontak baru saya ~walau kelihatannya tak ada di daftar follower saya~ yang bermukim jauh di Eropa sana tiba-tiba mengulurkan bantuan biaya dengan memaksa. Semula tentu saja saya ragu untuk menerimanya. Maklum namanya pun kontak baru, belum pernah bertemu secara nyata, belum pernah pula bersinggungan. Seandainya beliau benar-benar tergerak untuk menolong saya, bersimpati kepada saya, apa motivasinya saya tak jelas benar. Walau katanya sih karena beliau juga pernah mengalami pembedahan di organ reproduksinya sehingga tahu betapa sakitnya penyakit-penyakit yang menyiksa saya ini, sehingga beliau tergerak untuk meringankan beban saya, tapi pantaskah kalau serta merta saya menerima uluran tangan beliau? Ada rasa sungkan berbalut malu hati. Sampai-sampai saya berpikir bahwa saya adalah orang yang terlalu nekad menuliskan semua pengalaman saya menghadapi penyakit ini di blog-blog saya selama ini. Tapi lagi-lagi beliau mengatakan saya tak perlu beranggapan begitu. Sebab katanya, justru melalui rangkaian ungkapan perasaan saya, banyak pembaca blog saya yang "disasarkan" mesin pencari ke blog saya merasa memetik banyak pelajaran. Bahwasannya sakit itu tidak harus disembunyikan, bahkan melalui kegiatan berbagi pengalaman si penyandang sakit bisa menolong orang lain yang kebetulan juga sakit untuk mengatasi persoalannya sendiri. Intinya, membuka mata hati orang banyak bahwa dia tak sendirian menderita di dunia. Ah alhamdulillah kalau begitu.

***

Seminggu kemarin kegiatan saya sehubungan dengan perawatan adalah memeriksakan jaringan sel kanker saya secara lebih lanjut ke rumah sakit besar. Dokter saya menghendaki melihat sejauh mana sel kanker saya cepat berkembang. Sehingga beliau bisa segera menetapkan resimen terapi yang pas untuk saya. Sebab penyakit kanker menurut dunia kedokteran tidak pasti sama pada setiap orang, tergantung dari penyebabnya. Untuk mengatasinya, maka pada setiap pasien dibutuhkan terapi yang berbeda-beda sesuai dengan penyebab dan keadaan pasien itu sendiri. Kecermatan dokter di dalam menilai penyakit pasiennya inilah yang akan sangat membantu melawan penyakit kanker dalam waktu yang lebih singkat.

Ketika akhirnya saya berangkat ke RSKD membawa sendiri jaringan sel kanker saya untuk diperiksa, saya merasa lega. Sebab biaya pemeriksaan yang digambarkan oleh petugas laboratorium RSKB tempat saya menjalani perawatan sekarang, ternyata tak sesuai. Dulu mereka mengatakan pemeriksaan ini akan dikenai biaya dua-tiga juta rupiah, kalau mereka yang mengirimkannya untuk saya. Hasilnya pun baru bisa diambil tiga minggu kemudian, padahal dokter saya menghendaki hasil segera supaya cepat bisa bertindak seperti seharusnya penatalaksanaan penyakit kanker itu.

Saya cuma dikenai biaya sembilan ratus ribu rupiah, hasilnya boleh diambil empat hari kemudian. Paling lambat seminggu saja. Bukan main leganya hati saya, meski menyaksikan para pasien kanker di RSKD cukup menimbulkan luka batin juga. Bayangkan saja, di sana saya melihat banyak pasien dengan kondisi yang menyedihkan. Terduduk di kursi roda masing-masing bahkan ada yang bergolek di ranjang atau di bangku tunggu pasien, dalam keadaan kurus kering, tak bergairah dengan kepala bertudungkan ciput pertanda menutupi kulit kepala mereka yang ditinggalkan rambut-rambut indah mereka akibat obat kemoterapi yang diterima. Pokoknya saya ngeri menatap pemandangan yang demikian di RSKD. Belum lagi ketika berada di ruangan klinik, saya pasti mendengar pasien mengerang-erang, menjeritkan rasa sakit yang mereka rasakan ketika luka mereka sedang dibersihkan dan dirawat. Tapi itu semua tertutupi oleh kenyamanan hati mendapati pemeriksaan singkat dan biayanya tak semahal dugaan kami.

***

Ternyata kanker memang tak selalu menakutkan. Semalam saya bahkan terpukau di muka layar televisi waktu menyaksikan acara ajang pencarian bakat, "Indonesia Mencari Bakat". Seorang finalis yang memiliki kemahiran melukis menggunakan media pasir, mencoba untuk melukiskan perjuangan para pasien kanker yang masih kanak-kanak. Untuk itu dia menghubungi Yayasan Kanker Anak Indonesia, dan dipertemukan dengan sejumlah penderita yang menjalani terapi di sana. Di film yang menyertai atraksinya dia kelihatan sedang berbincang-bincang dan bermain bersama dengan bocah-bocah berusia antara 7-10 tahunan. Hebatnya, anak-anak itu tak nampak bagai orang sakit. Tubuhnya gemuk, dengan pipi membulat, yang saya tengarai sebagai gemuk air atau di dalam istilah asing disebut "moon face" yang biasanya diakibatkan oleh penggunaan obat-obat steroid dalam jumlah banyak. Anak-anak itu tak sedang tergolek lemah. Mereka bahkan bermain bersama di sebuah ruangan, juga di luar pada sebidang lahan taman bermain. Tak ada jarum infus menancap di lengan mereka. Sungguh menakjubkan. Yang membuat kita sadar bahwa mereka adalah orang sakit hanya pancaran wajahnya yang boleh dibilang pucat itu saja.

Menurut Vina Candrawati pelukis itu, anak-anak ini sedang menjalani berbagai terapi di suatu tempat yang sama. Pada pengamatannya, mereka sama sekali tak menampakkan gejala kelelahan meski tak bisa juga dikatakan prima. Mereka tetap antusias untuk berkegiatan bersama, bangkit dari pembaringan mereka, termasuk belajar melukis bersamanya. Saya mendapat pelajaran berharga dari mereka : Bahwasannya penyakit kanker tak boleh dimanjakan. Pengidapnya mesti melawan dengan stamina dan kemauan hidup yang tinggi. Saya pun kemudian berbalik melongok ke dalam diri saya sendiri. Sudahkah saya melakukan hal yang sama dengan mereka?

Tidak, belum sama sekali. Sebab akhir-akhir ini saya justru sedang merasa perlu beristirahat banyak. Sebab, ketiak saya membengkak menyatu dengan payudara saya yang luka. Soal sakitnya jangan ditanya. Sudah barang tentu menjalar jauh hingga ke tangan saya. Sekarang setiap saya menggerakan tangan kiri saya ini, bahkan sekedar untuk menggosok gigi atau pakaian saya, ada rasa nyeri yang timbul tenggelam. Itulah yang membuat saya malas untuk bergerak banyak. Tapi dokter sudah mengantisipasinya dengan memberikan obat yang ditempelkan di kulit sebagai pereda rasa sakit. Obat ajaib itu berupa sehelai plastik transparan seukuran satu kali dua centimeter saja. Tapi soal harganya, jangan ditanya, tak kurang dari seratus sekian belas ripu rupiah. Untungnya daya kerjanya adalah tiga hari sehingga saya bisa menggantinya setiap tiga hari sekali. Kini saya mulai menggunakannya dengan cermat. Soalnya, ah ternyata...... khasiatnya tak seberapa juga kok menurut hemat saya. Jadi saya tetap lebih mengandalkan obat yang ditelan saja walau hanya sebatas pereda sakit yang ringan-ringan.

***

Malam tadi saya menyukuri benar betapa ternyata banyak sekali orang yang peduli kepada para penderita kanker. Dan untuk itu saya hanya bisa membalasnya dengan doa semoga mereka tidak akan pernah mengalaminya. Karena kanker itu menyakitkan, dan ganas! Saya tahu sendiri, ada penderita kanker payudara yang sudah berobat tetapi akhirnya penyakitnya menjalar hingga ke paru-paru dan tulang belakangnya. Istri dari kemenakan saya sendiri mengalami itu setelah menyerah terhadap pengobatan seorang penyembuh alternatif yang bergelar haji. Dia akhirnya beralih ke RS dan menjalani kemoterapi untuk tulangnya, juga pengangkatan payudaranya yang sakit. Tapi entah mengapa penyakitnya tak kunjung membaik, membuat tulangnya menjadi nyeri. Saya duga dokter yang merawatnya kurang persiapan yang tepat di dalam menangani resimen terapinya. Dia tak dicoba dengan berbagai obat dulu serta menjalani test seperti yang sedang saya jalani sekarang. Akibatnya benar seperti kata sinshe saya, yang juga dibenarkan dokter, penyakitnya menjadi ganas (flaring up). 

Sinshe sampai sekarang tetap menjadi orang kepercayaan saya ditambah dokter ahli onkologi tentunya. Saya tetap mengonsumsi obat herbal ramuan nenek moyangnya, juga diterapi totok syaraf. Pasalnya, dokter mengatakan ketakjubannya menyaksikan tubuh saya yang bugar dan tumor saya yang menetap hanya di sekitar payudara saja, tidak sampai menyebar ke tulang belakang, paru-paru atau kelenjar getah bening di leher. Biasanya pada pasien-pasien lain, dokter menjumpai tubuh-tubuh yang kurus lunglai nampak sangat letih dan kesakitan. Seperti yang banyak saya jumpai di RS termasuk di RSKB yang bukan pusat penanganan penyakit kanker.

Malam itu ketika saya berobat terakhir di RSKB ada pasien yang kelihatannya juga menderita kanker payudara. Dilihat dari wajahnya dia nampak jauh lebih tua dibandingkan saya, walau putranya yang mengantar sebaya anak saya. Dia berjalan tertatih-tatih berkerudungkan ciput, mencoba mencari posisi yang terenak untuk meletakkan tubuhnya di ruang tunggu pasien. Setelah menempati satu kursi, dia pindah tempat lalu berbaring menyelonjorkan kakinya di sudut ruangan. Tak ada suara yang keluar dari mulutnya. Tapi mata itu, jelas mencerminkan rasa yang dialaminya, siksaan yang sangat. Sampai akhirnya saya tahu dari anak saya yang juga memperhatikannya, bahwa salah satu tangan dan jemarinya membengkak tak bisa digerakkan apalagi jari-jarinya ditekuk. Ya Allah, betapa memilukan nasibnya. Saya sangat bahagia, bahwasannya saya sudah menjadi orang yang lebih beruntung karena uluran kasih sayang teman-teman, sanak saudara serta kerabat yang banyaknya tak terkira dan tak dapat saya sebutkan satu persatu.

Dalam derita menghadapi kanker, ternyata saya diberi banyak pelajaran untuk selalu ingat kepadaNya dan peduli kepada sesama manusia. Kanker yang cuma enam huruf itu adalah mujizat pertobatan untuk saya. Insya Allah!

(Bersambung)

Selasa, 05 Februari 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (28)

Ujian bagi saya belum berakhir, tapi sejalan dengan curahan rahmatNya juga. Hingga hari ini penyakit kanker payudara saya belum mendapat pengobatan dokter yang berarti, karena masih harus ditunjang oleh pemeriksaan medis lanjutan lagi yang membutuhkan dana cukup besar untuk ukuran kantung kami. Apalagi ternyata dana Jamkesda yang saya harapkan akan turun dari pemerintah, menurut dokter saya tidak bisa diandalkan benar. Pasalnya pihak Pemerintah Kota tidak punya anggaran sebesar anggaran Pemerintah Kabupaten untuk mendanai Jamkesda. Akibatnya untuk pelaksanaan program pengobatan saya belum tentu mereka akan mengabulkannya. Saya pahami benar itu meski dengan pikiran kalut mengingat saya sedang berlomba dengan waktu untuk memenangkan pertandingan melawan penyakit yang mematikan ini. Soalnya, pemasukan kas Pemdakot tidak sebesar pemasukan kas Pemdakab. Pendapatan Asli Daerah (PAD) kota jauh lebih kecil dibandingkan kabupaten, mengingat potensi objek wisata serta industri pun umumnya berada di wilayah kabupaten yang amat luas itu. Bayangkan saja, Kabupaten Bogor berbatasan dengan kota-kota di wilayah Propinsi Banten di sisi barat, sementara di timur serta selatan berbatasan dengan Bekasi, Karawang, Cianjur dan Sukabumi, masih ditambah Kota Depok di utara sehingga semuanya mencapai 2.071 km2. Sedangkan wilayah kota tempat tinggal kami, cuma 118 km2 saja.

Dokter saya tidak mengada-ada. Beliau berpatokan kepada pengalamannya selama ini dalam menangani pasien yang datang baik dari wilayah kota maupun kabupaten disebabkan kelangkaan ahli onkologi di Bogor. Para pasien pengguna Jamkesda Kabupaten dengan mudah bisa memperoleh dana kemoterapi yang jumlahnya puluhan juta rupiah itu, sedangkan pasien dari kota gigit jari sebab tak didanai. Pemdakot hanya mendanai pemeriksaan serta ongkos obat yang murah-murah. Begitu yang digambarkan dokter sehingga menimbulkan beban pikiran lagi untuk kami anak-beranak. Walau seperti biasanya kami selalu kembali kepada Allah untuk mengadukan semuanya. Yang ujung-ujungnya alhamdulillah selalu dicarikan jalan juga. Bantuan itu terulur dari pihak-pihak lain yang umumnya bukan sanak-saudara kami, melainkan teman satu korps dan teman-teman pergaulan kami. Padahal kami tak pernah langsung mendatangi mereka meminta bantuan.

Allah selalu mengetukkan pintu hati teman-teman saya ketika saya butuh pembiyaan, seperti saat ini waktu dokter meminta saya memeriksakan jaringan sel kanker saya lebih lanjut lagi. Pemeriksaan yang dinamai "profile cancer test" itu bertujuan untuk meneliti apakah sel kanker saya termasuk jenis yang progresif, yang tingkat agresivitasnya tinggi sehingga cepat bertumbuh atau menjalar. Pemeriksaan ini dilakukan dengan mengambil sample sel kanker saya melalui biopsi, kemudian dilihat sebesar apa kadar hormon estrogen di dalamnya yang disebut sebagai HER2. Dokter mengatakan, jika hormon di dalam tubuh saya tinggi, itu artinya sel kanker saya agresif. Hasilnya kemudian disebut "HER2 Positif". Sebaliknya jika "HER2 Negatif" artinya sel kanker saya tergolong lamban berkembang. Inilah yang sangat diharapkan.

Pemeriksaan ini hanya bisa dilakukan di laboratorium tertentu yang memiliki fasilitas lengkap. Jadi laboratorium RSKB tempat saya berobat tak bisa melakukannya. Untuk itu saya harus mengirimkan jaringan sel kanker saya yang memang sudah mereka simpan ketika saya dibiopsi dulu, ke RSKD Jakarta. Saya boleh minta pihak laboratorium RS melakukannya untuk saya supaya mudah dan aman. Tetapi dokter mengatakan biayanya kurang lebih dua juta rupiah. Kalau tidak, saya boleh meminjam jaringan sel kanker saya itu untuk saya bawa sendiri ke RSKD. Dengan begini urusan pemeriksaan akan menjadi tanggung jawab saya pribadi, dengan ongkos yang tentunya juga lebih murah. Tapi saya diwajibkan menandatangani naskah peminjaman jaringan sel kanker saya dari laboratorium RS.

Semula saya memutuskan untuk menggunakan jasa RS walau mahal. Tetapi ternyata pihak laboratorium tak bersedia melakukannya, dikarenakan dokter saya menghendaki hasil sesegera mungkin mengingat kanker saya sudah sangat lanjut. Dokter ingin segera bisa menerapi saya dengan obat kemoterapi yang paling tepat, supaya saya bisa menaklukkan penyakit ini sebelum nyawa saya direnggutnya. Namun pihak RS tak bisa melaksanakannya.

Akhirnya saya putuskan untuk membawanya sendiri, besok (Kamis, 07/02) sekalian saya merawatkan luka saya di RSKD. Kebetulan sudah dua minggu lebih saya tidak melakukannya. Adapun perawatan luka kanker termasuk salah satu unsur yang tak kalah pentingnya di dalam menatalaksana penyakit ini. Sebab sedapat mungkin pasien tak boleh sampai terinfeksi lukanya mengingat bahaya menghadang tentu lebih besar lagi. Saya akui memang, hingga hari ini luka saya masih terus meruyak, mengeluarkan nanah bercampur darah yang tak ada habisnya hingga membasahi pakaian saya meski saya telah membalut luka saya berlapis-lapis. Soal biaya saya tak perlu khawatir juga. Karena secara tak terduga, sebelum berangkat ke dokter sebetulnya saya baru saja menerima bantuan dana lagi dari teman-teman maya saya di sebuah situs jejaring sosial yang jumlahnya memadai sekali untuk pemeriksaan itu. Alhamdulillah, Allah Maha Pemurah dan Maha Mengetahui segala kebutuhan saya. Itu yang ada di benak saya selalu.

Kanker memang tak bisa dibawa santai. Tak boleh dianggap main-main. Itu yang saya tangkap dari pembicaraan dokter saya yang amat komunikatif menghadapi pasiennya. Menurutnya, sekali jaringan sel kanker dilukai dia akan mengganas. Persis seperti teori yang dijejalkan sinshe saya. Itu sebabnya sebelum dioperasi ~jika memang harus dioperasi~, pasien harus dicoba diobati secara oral dulu. Lamanya empat bulan. Dalam masa itu yang merupakan kemoterapi, akan diamati obat manakah yang paling cocok dengan si pasien, sebab setiap pasien mempunyai jenis selnya sendiri-sendiri. Sehingga obatnya pun bersifat sangat individual. Dengan memperlakukan sel kanker seperti cara dokter saya, katanya kelak sel kanker yang sudah dimatikan dengan obat atau dioperasi tidak akan bangkit menjadi ganas kembali. Ini dulu terjadi pada diri saya. Karena ketika saya berobat di Singapura untuk kista pada indung telur saya, dokter tidak pernah memberikan obat apa pun kepada saya. Dia langsung menghendaki operasi. Tapi tindakannya ini harus diulanginya setiap tahun selama tiga tahun lamanya.  Menurut dokter saya yang sekarang, penyebabnya saya tidak pernah dicoba diobati lebih dulu. Menangani pengobatan penyakit kanker ternyata memang harus cermat.

Kini saya merasa cukup beruntung dengan berobat di Bogor saja. Sebab saya berada di tangan seorang dokter muda yang cerdas lagi cermat. Untuk kemoterapi saya nantinya pun, beliau tidak mengizinkan saya melakukannya di RSKD tempat utama beliau berpraktek karena beliau merupakan PNS di sana. Alasannya, RSKD terlalu jauh. Sedangkan persiapan kemoterapi juga akan cukup melelahkan pasien. Katanya sebelum mulai dikemoterapi, pasien harus menjalani serangkaian pemeriksaan laboratorium lengkap. Setelah diketahui bahwa hasilnya baik-baik semua termasuk kualitas Haemoglobin yang mencukupi, barulah pasien menjalani kemoterapi. Untuk itu pasien harus mencari kamar perawatan di RS. Ini yang tidak mudah di RSKD sebab RS itu merupakan pusat penanganan kanker nasional yang karenanya menjadi banjir pasien kiriman dari seluruh Indonesia. Ada lagi hal yang pasti tidak akan menggembirakan untuk pasien, yaitu efek kemoterapi itu sendiri yang berupa mual-mual dan semacamnya. Karena itu, dokter menghendaki saya ditangani di Bogor sini saja, kecuali jika dioperasi, maka saya baru akan dikirim ke RSKD yang memiliki theater (ruang bedah) dengan fasilitas lengkap. Duh, ternyata Allah memang Maha Sayang kepada saya. Alhamdulillah sekali..........

(Bersambung)
Pita Pink