Powered By Blogger

Selasa, 29 Januari 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (27)

Saya makhluk yang tiada berdaya. Harus diakui, saya hidup bertiga dengan kedua anak saya di rumah yang diwariskan ayah mereka sebagai harta hibah. Saya tidak punya pekerjaan sama sekali, sedangkan anak-anak saya pun belum sepenuhnya mandiri. Si sulung walau sudah bekerja tetapi belum sampai melampaui bulan kedua, dengan penghasilan yang minim pula. Sedangkan si bungsu masih berkutat menyelesaikan pendidikannya di Perguruan Tinggi yang insya Allah berada di tahun terakhir. 

Jika dilihat sepintas secara kasat mata, rumah kami layak huni, bahkan cenderung masif tak patut dikatakan rumah sederhana. Dengan halaman luas, kami jadi punya banyak ruang di dalam rumah. Penampilan fisik saya sendiri beserta anak-anak tak jauh dari itu tergolong rapi, bersih sehingga jauh sekali dari kesan orang tidak berpunya. Sebab alhamdulillah kami memang masih cukup punya persediaan pakain dari tahun-tahun yang lewat sehingga tubuh kami masih pantas dipandang orang.

Namun demikian, menghadapi urusan pengobatan penyakit kanker saya akhirnya kami kewalahan juga. Pasalnya tidak ada ongkos pengobatan kanker yang murah. Bahkan hanya sekedar untuk ongkos pemeriksaannya saja sudah mahal. Belum lagi pembelian obat-obatannya, meski itu dari jenis yang dimakan, bukan diinfuskan. Itu sebabnya dulu saya memilih berobat di sinshe saja. Di situ walau juga boleh dianggap mahal, tetapi masih boleh berhutang dulu. Itu kerap saya lakukan. Belum lagi sinshe sering memberikan potongan harga untuk obat-obatan yang saya makan. Rasanya berobat di situ jadi lebih cocok untuk kami.

Beruntunglah teman-teman saya di Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kementerian Luar Negeri membantu saya baik secara materi maupun moral. Mereka menghubungi Yayasan Kanker Indonesia (YKI) yang berpusat di daerah elite Jakarta, Menteng untuk menjajagi kemungkinan permohonan bantuan pengobatan bagi saya. Bahkan teman kuliah saya pun sesama penderita kanker yang sudah tertolong datang dari Bandung untuk mendorong saya supaya memanfaatkan jasa bantuan YKI Cabang Bogor. Dari YKI Pusat diperoleh keterangan bahwa biaya kemoterapi bisa dibantu sebanyak lima juta rupiah sebulan, ditambah pembelian obat-obatan lainnya setengah harga. Tetapi untuk mendapatkannya saya harus memiliki Surat Keterangan sebagai warga Tidak Mampu (SKTM) yang dikeluarkan perangkat desa di tempat tinggal saya. Inilah hambatan terberat untuk saya. Bukan karena saya takut dan merasa terhina dikategorikan sebagai warga miskin, melainkan saya pesimis akan diberi mengingat jika disurvey rumah saya tak sepadan disebut rumah warga miskin. Perasaan ini sempat menimbulkan tanggapan miris, bahwasannya saya tak sudi disebut miskin. Duh, bukan itu sebetulnya keberatan saya. Sebab meski miskin harta tapi saya toch tak pernah merasa miskin hati nurani.

Akhirnya anak lelaki saya yang pertama menghadap Ketua Rukun Tetangga (RT) kami untuk menyampaikan masalah ini. Di rumah ini memang dialah yang menjadi Kepala Keluarga sejak ayahnya pergi dari rumah. Sedangkan saya berada di bawah tanggung jawabnya, selaku pengampu saya dan adiknya. Semua memang sudah diketahui sebelumnya oleh Ketua RT kami, namun tak urung Ketua RT tetap menghendaki anak saya membuat surat permohonan tertulis terlebih dulu. Apa hendak dikata. Di sela-sela waktu kerjanya yang sangat sempit ~maklum dia pegawai baru yang masih serba harus mempelajari segala hal berkaitan tugasnya~, anak saya melakukannya. Surat permohonan itu berisi keterangan mengenai diri kami, diikuti bukti-bukti kependudukan berupa foto kopi Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang masih juga dilengkapinya dengan foto kopi akta hibah rumah atas inisiatifnya sendiri. 

Tak berlama-lama, permohonan kami dikabulkan. Anak saya mendapat selembar surat keterangan untuk Kelurahan yang harus ditandatangani Ketua Rukun Warga (RW) terlebih dulu sebelum SKTM yang dimaksud dikeluarkan pejabat yang berwenang di Kelurahan kami. Lega rasanya hati saya waktu membawa surat itu di tangan saya. Sebab saya yakin Lurah desa kami tak akan membiarkan saya kesulitan lagi berlama-lama.

Benar saja, di Kelurahan ada beberapa orang yang juga sedang mengurus permohonan SKTM untuk berbagai keperluan. Namun yang terbanyak adalah untuk pembiayaan sekolah anak-anak mereka. Mereka yang sudah pernah mendapatkannya mengatakan, urusan itu tidak sulit sama sekali. Terbukti dalam sekejap saya pun sudah dilayani, lalu ditanyai dulu macam-macam hal oleh pejabat yang menangani SKTM.  Intinya cuma satu, mereka ingin meyakinkan alasan permohonan anak saya mengingat secara fisik mereka tahu kami bukan dari kalangan warga tidak mampu. Rumah kami sendiri dengan mudah mereka lihat sebab berada di ruas jalan utama yang menuju ke kantor Kelurahan pula. Sikap itu tentu sangat masuk akal mengingat di masyarakat sering berkembang sikap-sikap ketidak jujuran demi memperoleh keuntungan. Saya langsung teringat seseorang yang saya kenal yang menduduki posisi Ketua RT di masa awal pengalihan bahan bakar minyak tanah menuju gas. Dia tidak berhak memperoleh kompor dan tabung gas yang dibagikan pemerintah untuk masyarakat tidak mampu karena dia sendiri sudah punya sebelum kebijakan itu digulirkan pemerintah. Tapi entah mengapa, dia menganggap pemerintah tidak adil. Katanya, meski dia sudah punya, tetapi kompor dan tabungnya adalah model lama yang sudah minta diganti, sedangkan penghasilannya sebagai pegawai kecil tak memadai untuk membeli gantinya. Ya, unsur-unsur demikian inilah yang perlu diluruskan dengan penelitian lebih lanjut oleh pihak Kelurahan sebelum segala sesuatu bantuan disampaikan kepada masyarakat.

Untuk mengurus SKTM di kelurahan diperlukan membawa KK dan KTP serta surat diagnosa dokter disertai foto kopinya. Selanjutnya setelah diberi SKTM saya masih harus membawanya ke Kecamatan untuk disahkan oleh Camat. Juga ke Puskesmas guna mendapatkan surat rujukan untuk dibawa ke Dinas Kesehatan Kota (DKK) yang akan membantu pendanaan kemoterapi saya.

Dokter Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas Puskesmas di tempat tinggal saya cukup tanggap meski terheran-heran menyaksikan saya datang menghadap membawa SKTM di tangan. Pasalnya beliau tahu siapa saya, tinggal di mana. Tapi setelah saya berterus terang mengenai keadaan saya sekarang, tanpa banyak tanya, beliau langsung memberi surat rujukan yang saya butuhkan. Pesannya sebelum dibawa ke DKK saya harus memfotokopi dulu semua berkas-berkas itu. Sebab yang akan ditinggal di sana adalah foto kopiannya, karena yang asli disimpan pemilik untuk digunakan lagi di masa-masa selanjutnya.

Saya membawanya kemudian ke Kecamatan yang ternyata hanya memerlukan waktu sekedipan mata untuk mendapatkan pengesahannya. Setelah itu ke DKK yang ternyata dipadati sangat banyak masyarakat yang membutuhkan bantuan. Saya mendapat antrian nomor 31, sedangkan di belakang saya masih banyak lagi masyarakat berdatangan. Kebanyakan dari mereka sudah sering datang menggunakan hak mereka, yang ternyata adalah Jamkesda. Semula saya tidak percaya, karena asisten dokter di RS yang merawat saya mengatakan program pemerintah yang dinamai Jaminan Kesehatan Daerah (Jamkesda) itu hanya diperuntukkan bagi penduduk Kabupaten. Tapi seorang pengunjung yang datang untuk mengurus keperluan istrinya yang ternyata sama-sama pasien kanker di dokter saya bilang, peraturan itu sudah lama diubah. Warga masyarakat kota masuk ke dalam jangkauan bantuan Jamkesda, mengingat fasilitas pengobatan yang digunakan masyarakat di kabupaten kebanyakan justru berada di wilayah kota sehingga terasa tidak adil jika tidak diberi hak yang sama. Lelaki yang ternyata berprofesi sebagai jurnalis itu kemudian menunjukkan sehelai pamflet yang terpampang besar-besar di dinding ruang tunggu DKK soal Jamkesda itu. Alhamdulillah, batin saya, ini tentu akan sangat membantu kami.

Ada pemandangan yang sangat menyentuh hati di situ. Masyarakat yang amat membutuhkan selalu saja ingin dirinya didahulukan dilayani. Karena itu dibuat sistem penomoran dengan harapan tidak terjadi saling serobot. Sayang tidak ada petugas di meja pendaftaran atau tidak disediakan meja informasi sehingga mereka yang baru pertama kali datang ke DKK seperti saya sering bertindak tidak beraturan, menyela pelayanan begitu saja atau menyerobot antrian. Di saat itu anak saya mendengar percakapan via telepon genggam antara seseorang yang sedang menguruskan keperluan saudaranya yang sedang dicuci darah di RS yang sengaja diperjelas dengan speaker. 

Dalam pembicaraan itu si pasien mengeluh tidak bisa keluar dari RS karena kakaknya tidak kunjung datang mengantarkan surat Jamkesda yang tengah diurusnya tadi. Si kakak menjawab bahwa dia berada di antrian kesekian, masih sangat lama, sehingga adiknya diminta bersabar. Tapi emosi si pasien tersulut. Dia membentak balik dengan mengatakan bahwa loket pembayaran sudah akan ditutup, artinya dia tidak akan bisa dilayani segera. Akhirnya si abang kembali membentak dengan mengatakan dirinya sudah banyak berkorban, tidak hanya tenaga tetapi juga materi untuk pembiayaan haemodyalisa (cuci darah) adiknya itu. Kalau adiknya tidak mau bersabar menunggu giliran, maka adiknya disuruh mencari jalan sendiri. Duh, tercekat hati saya mendengar pertengkaran tidak semestinya itu........

Jadi orang sakit memang susah nyatanya. Apalagi kalau sakit serius dan memerlukan banyak biaya pengobatan. Tapi ternyata bukan tidak mungkin kita jalani. Asalkan kita mau berusaha mencari cara dan melupakan saja harga diri kita, insya Allah ada jalannya. Dan, inilah yang sekarang sedang saya lakukan. Banyak jalan menuju ke Roma, ke kebaikan, itu maksud saya.

(Bersambung)

Minggu, 27 Januari 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (26)

Selama bertemu dengan para penderita kanker, seringkali saya jumpai mereka tak bernafsu makan bahkan mual dan muntah-muntah. Konon katanya merupakan efek dari pemberian obat kemoterapi yang mereka terima. Semula saya pikir saya tak akan mengalaminya, karena obat kemoterapi yang sekarang saya dapat dari dokter onkologi jenisnya yang paling sederhana. Tidak diinfuskan pula, cuma perlu ditelan sebagai obat oral (dikonsumsi lewat mulut). 

Tapi nyatanya tidak demikian. Ketika minggu lalu tepatnya tanggal 22/02 saya memeriksakan diri ke RSK Dharmais di Jakarta, saya disiksa oleh rasa mual hingga menyebabkan saya muntah-muntah tidak pada tempatnya. Memang harus saya akui, beberapa hari sebelumnya pun perut saya selalu merasa tidak nyaman, malas dimasuki makanan meski tak sampai muntah. Puncaknya hari itu, saya muntah di atas pembaringan mesin pemeriksaan tulang!

Satu pemeriksaan penunjang yang juga tak kalah penting untuk penderita kanker payudara, adalah pemeriksaan masa tulang atau bone scanning. Ini disebabkan kebanyakan kanker payudara bermetastase, menjalar hingga ke tulang. Kemenakan saya mengalaminya sehingga ketika akhirnya dia beralih dari pengobatan alternatif pada seorang haji ke pengobatan medis di RS, yang ditangani terlebih dulu justru kanker tulangnya. Pasalnya, sel-sel ganas itu telah menggerogoti kekuatan tubuhnya sehingga dia kesulitan berdiri tegak apalagi berjalan dengan baik. Baru setelah kanker tulangnya ditangani dengan pemberian kemoterapi, tumor payudaranya dioperasi. Sayang hingga dua tahun sudah tidak ada kemajuan berarti pada kesehatan kemenakan saya ini, sehingga saya menganggap menjalani bone scanning adalah hal terpenting saat ini.

Sebelumnya saya sudah menjalani thorax photo atau X Ray atau kita kenal sebagai Roentgent paru dengan tujuan untuk melihat kondisi paru-paru saya. Kemudian saya menjalani mammografi atau pemotretan kondisi payudara dengan menggunakan mesin besar yang ditempelkan lalu ditekankan ke payudara pasien guna mendapatkan gambaran yang sesungguhnya tentang kondisi payudara itu. Pada saya, tentu saja dilakukan untuk payudara saya yang tidak ada keluhan apa-apa itu. Selanjutnya, ada pemeriksaan USG abdomen yang membidik daerah sekitar dalamnya perut saya. Pemeriksaan ini pada umumnya dipakai meneliti hati, kandung kemih, rahim, indung telur, dan seterusnya yang ada di rongga perut. Walau untuk saya, cuma digunakan meneliti hati saja sebab saya tak punya organ kandungan lagi. Pada waktu itu, alhamdulillah dokter menyatakan semuanya dalam keadaan baik. Sehingga membuat dokter menduga sel kanker saya termasuk yang lambat berkembang.




 SUASANA DI RUANG MAMMOGRAFI

Biasanya pasien mengeluhkan rasa tidak nyaman karena nyeri saat payudara mereka ditekan-tekan sedemikian rupa dalam proses pengambilan gambar itu. Tapi bagi saya tidak masalah. Pasalnya saya tetap akan berada di luar mesin, tidak seperti ketika harus menjalani pemeriksaan CT Scan maupun MRI yang pasiennya dimasukkan ke dalam tabung.

Maka menjelang hari pemeriksaan tulang, saya mulai membayang-bayangkan suasananya. Di lembar perjanjian pasien yang akan diperiksa disebutkan bahwa ruangan yang digunakan bersuhu sangat rendah, sehingga pasien diharuskan membawa jacket atau sweater penahan dingin. Pemeriksaan didahului oleh suntikan yang kurang lebih sama fungsinya dengan suntikan yang dibutuhkan saat pemeriksaan dengan CT Scan maupun MRI. Lalu kata lembar petunjuk itu, pasien diminta menunggu selama dua jam sambil minum air putih sebanyak dua liter. Baru kemudian diperiksa selama dua puluh menit.

Yang timbul di benak saya, pemeriksaan ini akan jadi sangat menyiksa saya. Rasa tidak nyaman di perut pasti akan ada, mengingat kandung kemih saya yang biasanya tidak terisi banyak air harus dipadati dengan dua liter air tak boleh ditawar-tawar. Apalagi lamanya pemeriksaan yang dua puluh menitan itu tak jelas benar bagi saya untuk melakukan tindakan yang bagaimana. Ah, susah sekali suasana hati saya jadinya.

Menjelang jadwal pemeriksaan saya yang waktu tunggunya sekitar dua minggu itu, kami mengontak RS terlebih dulu untuk memperoleh kepastian bahwa pemeriksaan bisa dilaksanakan. Soalnya ada pasien yang datang dari luar kota menceritakan pengalaman buruknya soal pemeriksaan ini. Waktu tiba harinya diperiksa, ternyata persediaan nuklir dari Badan Tenaga Atom Nasional (BATAN) yang menjadi media utama mengoperasikan alat habis. Akibatnya pasien dipulangkan setelah menunggu seharian. Baru keesokan harinya mereka diperiksa, setelah pihak tetangga RSK Dharmais, yakni RS Harapan Kita membagi persediaan nuklir mereka. Untung ketika kami kontak, pihak RS menyatakan punya persediaan nuklir, jadi saya melangkah mantap ke RS.

Menurut aturan, saya harus tiba di RS pada pukul delapan pagi. Sayang keadaan tidak memungkinkan sehingga kami terlambat dua puluh lima menit sehingga saya menjadi pasien kesembilan yang akan diperiksa pada pukul setengah satu siang. Selama di dalam mobil rasa mual di perut saya sudah menyatakan dirinya. Tapi saya berhasil mengusirnya dengan menghisap permen jahe yang ditularkan dari kebiasaan mantan pasangan saya.

Begitu tiba di RS sambil menunggu proses pendaftaran yang sangat panjang dan lama meski sambil duduk di bangku tunggu, rasa mual itu menyerang lagi. Dan lagi-lagi saya mengandalkan permen jahe itu ditambah permen menthol yang amat pedas yang tidak begitu banyak peminatnya. Saya berharap bisa meredakan rasa tak enak di perut saya itu. Apalagi ternyata di dalam selasar pemeriksaan sana pasien dihadapkan pada suhu ruangan yang dinginnya menyerupai isi di dalam koelkast yang menyala. Rasanya, suhu rendah itu menusuk ke dalam tubuh melalui telapak kaki saya yang cuma bertutupkan sepatu pantofel moccasino tanpa kaus kaki. Ketambahan kepala saya terlupa mengenakan kerudung pula akibat ketegangan sesaat menjelang berangkat dari rumah di pagi harinya.

Mula-mula pasien diminta mengisi surat persetujuan pemeriksaan tulang yang harus diketahui dan ditandatangani keluarganya. Berhubung anak saya pergi ke kampusnya, maka kali itu saya tandatangani sendiri. Artinya kalau sampai terjadi apa-apa pada diri saya, maka saya sendirilah yang bertanggung jawab. Selanjutnya pasien disuntik melalui urat nadinya sebagai media untuk memasukkan obat yang akan membuat "aura" di dalam tubuh pasien menjadi terang untuk difoto.

Lalu seraya menunggu giliran difoto selama dua jam, pasien diharuskan minum air putih dua liter. Tak usah bingung kalau kita terlupa membawanya dari luar, karena di ruang tunggu itu disediakan sebuah dispenser lengkap dengan kraan air panasnya. Tapi berhubung saya patuh pada catatan yang dibekalkan RS, saya meminum bawaan saya sendiri yang aslinya air putih bersuhu kamar namun berubah menjadi nyaris sedingin air es. Tentu saja perut menjadi kembung bahkan toilet khusus pasien yang cuma satu-satunya jadi selalu berisi. Bergantian kami membuang isi kandung kemih yang jadi penuh seketika.

Lega rasanya ketika satu demi satu pasien selesai diperiksa dan nampak baik-baik saja. Soalnya mesin scanner yang digunakan memeriksa kelihatan dari tempat duduk saya, serupa benar dengan mesin-mesin CT Scan dan MRI yang sangat saya benci itu. Saya pun menduga saya akan menyelesaikan rangkaian pemeriksaan itu dengan baik, meski saya miris menyaksikan dua orang pasien yang terbaring di ranjang RS mereka sambil terus-terusan muntah-muntah. Terbayang betapa sakitnya di dalam tubuh sana, apalagi kemudian pasien itu dimasukkan ke dalam tabung pemeriksaan.

Giliran saya tiba benar-benar tepat tengah hari. Sehabis menuntaskan lagi keinginan untuk mengosongkan kandung kemih seperti permintaan teknisi, saya mengikuti perintahnya naik ke atas pembaringan super ramping yang tersambung dengan tabung besar yang menggentarkan saya itu tadi. Ya Allah, batin saya, di situ nanti saya harus berada membenamkan diri dalam kegelapan dan kepengapan. Bayangkan saja, tangan diharuskan berada tepat di sisi badan kemudian diikat seperti halnya kaki pasien. Lalu kepala diharuskan tegak lurus menatap ke atas meski pasien diizinkan untuk tidur memejamkan mata. Kata petugas teknisi, mesin akan bekerja selama dua puluh menit, persis hitungan saya ketika iseng-iseng memperhatikan pasien yang keluar-masuk sebelum saya. Wah, belum-belum saya sudah merasa tersiksa sendiri sehingga saya hisap kuat-kuat permen jahe yang masih tersisa di mulut saya. Saya berharap banyak saya menjadi tenang hati dan tidak akan muntah-muntah di situ seperti ketika saya diperiksa dengan CT scan dan MRI beberapa tahun yang lalu.




MESIN PEMINDAI TULANG (BONE SCANNER)

Tapi nasib baik tak berpihak juga pada saya. Kali ini, bukan hanya saya disusahkan oleh isi perut saya melainkan mesin tiba-tiba berhenti bekerja ketika sepertiga bagian tubuh saya kira-kira sejak bagian kaki hingga pangkal paha saya berada di dalam mesin. Teknisi sempat mengeluh, meminta maaf lalu mengulang lagi. Tapi pada saat yang kedua, kejadian itu terulang sehingga dia menyuruh saya menunggu di luar ruang pemeriksaan lagi dengan diiringi tatapan mata banyak orang serta tanya apa yang terjadi. Agaknya para pasien lain juga menangkap ketidak beresan sebab saya baru sebentar di dalam ruangan sudah keluar lagi. 

Setelah mengutak-atik mesin sekitar seperempat jam saya dipanggil masuk lagi. Baru saya sadari bahwa pasien ternyata diperiksa tanpa diganti dengan gaun rumah sakit, hanya memakai pakaiannya sendiri. Agaknya tadi saya terlalu tegang sehingga tak menyadari itu. Ini adalah salah satu perbedaan dengan prosedur pemeriksaan serupa di luar negeri. Di sana biasanya pasien diminta mengganti bajunya dengan gaun rumah sakit terlebih dulu baru masuk ke ruangan yang terpapar radiasi nuklir begitu.

Kali ini mesin bekerja baik, meski agak tersendat sedikit pada mulanya. Rasa seperti terkurung dan tersekap di kedalaman yang sempit lagi padat membuat rasa mual saya menjadi-jadi. Sampai-sampai saya terus mengucap doa dan dzikir agar Allah menyelamatkan saya. Terpikir juga bagaimana jadinya andaikata saya muntah-muntah selagi masih di dalam mesin. Untung itu terjadi kemudian, yakni ketika separuh tubuh saya sudah di luar. Isi perut saya berhamburan tak terkendali, membuat petugas sedikit panik. Namun dia bisa menguasai keadaan, saya dihampirinya, dibiarkannya menolehkan kepala guna mengeluarkan semua isi perut saya. Akibatnya baju bahkan rambut saya sendiri menjadi kotor karenanya. Dan saya pun kebingungan sendiri, sebab saya terlupa tidak mempersiapkan pakaian ganti.

Masih tujuh menit lagi proses pemeriksaan selesai, begitu keterangan yang saya dapat dari teknisi seraya mencarikan tissue untuk membersihkan diri sambil terus di pembaringan. Dia bertanya apakah saya minta pemeriksaan dihentikan, yang artinya kelak harus diulang lagi atau diteruskan saja. Wah dalam keadaan lemas seperti itu, saya tak sanggup menjawab. Muntah-muntah saya saja belum sepenuhnya berhenti. Maka saya biarkan mesin terus berproses diiringi rasa lega ketika akhirnya benar-benar selesai.

Saya kemudian melenggang gontai dengan keadaan yang sangat menjijikkan melewati barisan pasien menuju ke toilet untuk membersihkan tubuh sekenanya. Sedangkan teknisi terpaksa membersihkan bekas insiden tadi yang agaknya sangat jarang atau bahkan belum pernah terjadi. Buktinya, dia kerepotan mencarikan selimut pengganti yang sudah saya kotori.

Para pasien menanyai saya apa yang terjadi. Agaknya mereka teringat soal mesin yang mogok bekerja sehingga mengira saya merupakan korban dari ketidak beresan itu. Namun begitu mendengar keterangan saya, meredalah ketegangan mereka. Saya dibiarkan lalu begitu saja dan akhirnya berdiam diri memenuhi permintaan teknisi untuk melihat hasil pemeriksaan apakah semua baik atau ada yang harus diulang. Untung seperempat jam kemudian semua dinyatakan baik sehingga saya pun boleh pulang. Tapi sudah barang tentu pulang dengan perasaan yang tidak menyenangkan. Tubuh kotor saya jadi bahan cercaan orang, dipandang dengan jijik plus rasa kasihan. Tapi ya sudah begitu nasib saya........ Itu lebih baik daripada keesokan harinya, ketika anak saya datang ke RS untuk mengambil hasil pemeriksaan yang untungnya baik. Hari itu mesin benar-benar rusak, mogok kerja dan mengecewakan pasien sakit yang serius menunggu harap-harap cemas sambil menahan air mata.

(Bersambung)

Jumat, 18 Januari 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (25)

Seminggu ini hati saya benar-benar susah. Pasalnya meski saya sudah berhasil mendapatkan dokter yang membuka klinik di kota tempat tinggal saya, tetapi ternyata dia bukan solusi yang terbaik bagi pengobatan saya. Sebab di sini dia cuma berpraktek seminggu dua sore, yang jadwalnya bisa mundur sampai gelap malam. Pasiennya pun lumayan banyak, sebab sepertinya dia satu-satunya dokter ahli kanker di kampung kami sekarang ini.

Ketika berkunjung hari Sabtu (12/01) yang lalu seharusnya saya sekaligus dibiopsi untuk meneliti secepat mana sel kanker saya berkembang. Berhubung hari sudah malam sedangkan ada tiga pasien lagi yang sudah siap dibiopsi, saya minta waktu lain. Waktu itu dokter bingung menetapkannya. Katanya hari Rabu dan Sabtu minggu berikutnya beliau tidak akan membuka klinik sebab ada operasi besar yang akan ditanganinya. Tapi khusus untuk biopsi saya seorang, beliau mengizinkan saya menghadap ke kliniknya Rabu (16/01)sore hari sebelum beliau mengoperasi pasien. Maka pulanglah saya  untuk kembali lagi di Rabu sore. Kebetulan hari Rabu itu obat-obatan saya akan habis, sehingga tepat waktunya dengan jadwal pemberian obat.

Seharian Rabu cuaca agak kurang bersahabat, meski tidak berhujan ketika saya pergi ke RS pada pukul setengah empat sore. Ternyata pasien di kliniknya banyak juga, tak seperti katanya. Saya mendesak minta izin dibiopsi karena saya ingat sudah berjanji dengan dokter itu tapi ditolak petugas bagian pendaftaran. Akhirnya petugas klinik yang ingat mengizinkan sehingga saya duduk bersama para pasien lainnya menunggu giliran. Baru sekarang saya tahu bahwa di Indonesia para dokter tak pernah punya jadwal dan rencana kerja yang tepat, contohnya ada pada dokter yang mengobati saya sekarang ini. Padahal di luar negeri sana, bahkan termasuk di Singapura, pemeriksaan pasien sudah terjadwal sejak hari pemeriksaan terakhir. Artinya, sebelum pulang, pasien diminta menghadap perawat untuk menetapkan tanggal pemeriksaan berikutnya. Cuaca muram dan gelap sore itu membuat saya ingin menangis dan kecewa. Tapi saya malu menyaksikan banyak pasien yang tidak muram di ruang tunggu rumah sakit itu.

Satu dua pasien keluar-masuk ke ruang praktek di sebelah dokter yang akan saya kunjungi. Ternyata mereka pasien dokter kebidanan dan kandungan. Sudah banyak yang dipanggil di sana, tapi klinik dokter onkologi tetap adem-ayem, padahal sebentar lagi waktu maghrib tiba. Sejurus kemudian zuster senior yang mengasisteni dokter onkologi itu mengumumkan bahwa dokter kami masih berada di Jakarta. Saat itu kami belum tahu Jakarta agaknya mulai diganggu banjir. Mengingat saya akan jadi pasien terakhir lagi malam itu, maka saya putuskan untuk pulang saja. Rasanya saya tak sanggup ke luar dari rumah sakit setelah hari benar-benar gelap. Hati saya terlanjur murung.

Akhirnya saya terpaksa menjadwal ulang kunjungan saya ke dokter, yang ternyata tidak dapat dilakukan karena harus menunggu agenda dan kesiapan dokter. Tapi anak saya diminta meninggalkan nomor telepon genggamnya ke tangan perawat agar bisa diberitahukan kelak. Lalu kami melenggang pulang menuju ke praktek sinshe, sekedar untuk menginformasikan perjalanan pengobatan saya ke rumah sakit sambil diterapi dengan totok syarafnya. 

Untung sore itu sinshe sepi pasien. Agaknya mendung tebal telah menyurutkan langkah para pasiennya. Saya segera diterimanya. Dia justru menganjurkan saya untuk tidak terburu-buru dibiopsi, karena katanya, meski biopsi hanya menggunakan teknik yang sangat sederhana, akan tetapi perlukaan bekas jarum biopsi bisa mengakibatkan sel kanker mengganas. Ngeri juga saya mendengarnya, meski saya mempercayakan penanganan saya sekarang ke dokter sesuai anjuran sinshe saya ini. Maka sampai saat ini hati saya masih diliputi kebimbangan.

***

Semalaman itu tidur saya tak nyenyak, memendam kekecewaan dari rumah sakit. Paginya hujan memorak porandakan suasana hati saya. Saya tatap langit yang hitam, disertai derasnya tetesan hujan meski tanpa guruh dan halilintar. Televisi pun kelihatan mengabarkan Jakarta banjir bandang. Saya menatap sedih layar kaca kami sambil menghirup secangkir kopi tubruk. Tak ada bagus-bagusnya pagi Kamis (17/01) kemarin. Anak saya ada di Jakarta, tak jauh dari salah satu lokasi langganan banjir yang digambarkan di TV.

Tapi kami beruntung, karena ternyata daerah anak saya termasuk aman. Bahkan dia punya tugas di luar kantornya, yakni melayani kliennya di sebuah hotel yang tak masuk wilayah banjir. Malah dia menginap di sana hingga akhir pekan, sehingga tak sempat pulang ke rumah menengok saya. Namun dia sudah memasrahkan saya ke tangan adiknya lewat komunikasi telepon di antara mereka berdua. Beginilah kami, saya termasuk ibu beruntung yang dikarunia anak-anak yang saling memperhatikan dan saling menyayangi yang amat merasa memiliki saya sebagai satu-satunya harta berharga mereka sekarang ini.

Rabu malam itu saya mengontak teman saya anggota DWP Kemenlu yang menjadi jalan untuk pengobatan saya di Rumah Sakit Kanker Dharmais. Dia seorang direktur di sana, yang ditempatkan di unit perawatan paliatif, yang bertugas memberikan dukungan moral bagi pasien dalam kategori parah serta keluarga mereka. Intinya, tugas teman saya ini adalah memberikan pendampingan berupa dukungan moral kepada pasien yang karena ketidak berdayaannya mengalami guncangan serta tekanan mental. Saya menyampaikan bahwa saya tak jadi dibiopsi karena saya tak yakin dokter yang merawat saya akan datang. Padahal sekarang obat saya habis, sehingga dapat dipastikan saya tidak akan makan obat selama beberapa hari berikutnya. Karena SMS saya tak berjawab, maka saya susuli dengan E-mail berisi laporan selengkapnya. Keesokan harinya barulah saya terima jawaban bahwa dia akan berupaya menghubungi temannya, yang dokter saya itu untuk minta obat supaya bisa dikirimkan ke tempat saya karena rumah dokter saya itu tak seberapa jauh dari tempat tinggal saya. Sayang ternyata hari itu dokter saya tidak nampak berkantor di RSKD sehingga saya harus merelakan keadaan ini.

Gelisah lagi-lagi melingkupi hati saya mengingat tanpa obat pemati rasa, setidak-tidaknya itu, sakit saya akan mengganggu aktivitas dan ketenangan saya. Tapi saya tak bisa berbuat lain selain hanya mengadukannya kembali kepada Allah di atas sajadah dan mengharap penyelesaian yang terbaik dariNya. Dalam pada itu anak saya pun nampak prihatin melihat keadaan saya. Dari balik layar PC nya yang sedang dipakai mengerjakan tugas atau menghibur diri, kegelisahan itu tetap nyata. Sebentar-sebentar dia melirik ke pembaringan di mana saya berada.

Hari Jumat cuaca buruk masih saja terjadi. Tapi saya nekad menghubungi teman saya lagi menanyakan apakah beliau hari itu bisa menemui dokter saya di kantornya di RSKD. Sayang jawaban yang saya terima, teman saya ini sedang berada di gedung Kementerian Kesehatan untuk sebuah rapat dinas. Jadi dia tak bisa menemui dokter saya. Lengkap sudah kesusahan saya. Seharian kemarin saya benar-benar tidak makan obat lagi. Tapi sebagai gantinya saya nekad menelan obat-obatan jejamu pemberian sinshe saya yang sudah saya stop berdikit-dikit. Tak ada rotan, akar pun jadilah, begitu prinsip saya sambil membayangkan wajah dokter muda yang ramah tamah itu mendengar laporan saya sejujurnya.

Tapi menjelang sore tiba-tiba saya terpikir untuk mencari tahu sarana kontak beliau. Maka saya segera menyalakan PC saya dan memasukkan namanya di mesin pencari. Alhamdulillah, saya menemukan nomor telepon genggam beliau. Lalu tanpa malu-malu saya berkirim SMS menyatakan keadaan saya.

Sekali lagi alhamdulillah, beliau langsung menjawab SMS saya dengan kata-kata yang amat santunnya, sehingga saya merasa jadi orang terhormat. Padahal, siapa lah saya ini........

Beliau mengizinkan saya untuk menghubungi dokter lain penggantinya di RSKB Bogor yang sebetulnya dokter spesialis Bedah Umum. Semua pasiennya dititipkan di situ, katanya. Maka, tadi pagi-pagi sekali, selesai sembahyang subuh saya dan anak bungsu saya bergegas ke RS untuk berobat Tujuan penting saya cuma minta obat saja dulu. Sebab saya takut penyakit saya menjadi-jadi kalau saya lalai minum obat. 

Untung RS masih sepi. Dan lebih untung saya jadi pasien pertama di klinik dokter bedah itu. Apalagi, yang tak terduga, saya diizinkan dibiopsi oleh beliau saja di situ. Jadi, meski tanpa persiapan dari rumah, saya beranikan diri untuk mengikuti prosedur sederhana yang sebetulnya cukup membuat saya gentar. 

Saya dibaringkan di atas tempat tidur pemeriksaan pasien dengan disuntik obat bius sedikit. Suntikan ini yang saya takuti. Soalnya saya tidak makan obat pereda sakit, dokter akan menyuntik luka-luka terbuka di tumor saya. Tapi saya kan ingin segera terbebas dari semua penyakit saya, syukur-syukur kalau diberi anugerah sehat kembali. Jadi, saya beranikan diri menjalaninya dengan memalingkan wajah saya ke arah samping.

Selepas disuntik, dokter kemudian membuka peralatan berupa jarum yang ditusukkan ke dalam jaringan tumor. Tentu saja seharusnya saya sudah tidak merasakan apa-apa karena terbebas oleh efek obat yang kalau saya tak salah dengar namanya "lidocaine" yang disuntikkan sebagai pemati rasa itu tadi persis seperti ketika dokter akan mencabut gigi. Tapi rasa ngeri menimbulkan sedikit ngilu sehingga akhirnya saya mengonsentrasikan pikiran dan ucapan saya hanya untuk minta pertolongan dan menyebut nama Allah semata.

Prosedur ini tidak lama. Dokter pun mengerjakannya dengan hati-hati, mengambil sampel jaringan yang sakit berdikit-dikit melalui bantuan jarum yang kemudian dipindahkan ke semacam tabung suntikan yang akan dipindahkan lagi ke dalam sebuah tabung berisi cairan bening untuk dibawa ke laboratorium pathologi. Kira-kira lima tabung diisikan, kemudian biopsi selesai tanpa meninggalkan rasa sakit menyengat. Pasti obat itu telah menjalankan fungsinya dengan baik.

Dokter kemudian menyuruh saya membawanya ke laboratorium yang ternyata memerlukan waktu seminggu untuk menganalisanya. Lalu saya duduk mengantri obat di apotik rumah sakit. Tak sampai satu jam semua selesai, hingga saya pun bisa kembali ke rumah serta menikmati hari Sabtu yang santai tanpa gangguan hujan seperti hari-hari yang lalu.

Betapa ternyata Tuhan memudahkan semua jalan untuk saya bukan? Saya harus menyampaikan kesyukuran saya lagi, sambil tak lupa untuk terus memujiNya. Keagungan Tuhan memang tiada tara. Jadi untuk apa kita menyesali permainan nasib kita? Tak pada tempatnya kita mengumpat Allah Sang Maha Pengasih, Penyayang serta Maha Pemurah begitu.

(Bersambung)


Sabtu, 12 Januari 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (24)

Saya terpaksa mengaku kalah pada akhirnya setelah saya mengalami beberapa hal yang bisa dikatakan tidak biasa dua hari belakangan ini. Tiba-tiba perut saya terasa penuh. Dan ketika saya mencoba untuk ke belakang isi perut saya terasa keras. Padahal biasanya saya bisa buang air besar beberapa kali sehari, karena saya memang memiliki kelemahan di bagian perut saya yang juga pernah menyebabkan pemotongan usus halus saya sebelas sentimeter panjangnya. Apa yang ikut keluar bersama faeces saya itu saya sendiri agak kurang mencermati. Tetapi kemarin sore saya menemukan noda darah di pakaian dalam saya. Bersamaan dengan ini, saya pun mulai merasakan ketidak nyamanan di saluran pernafasan saya. Tenggorokan saya sedikit gatal, kering menyebabkan saya terbatuk kecil.

Penyebabnya tak jelas benar bagi saya. Tapi sangat boleh jadi dikarenakan saya tidak lagi mematuhi diet yang dianjurkan sinshe saya serta tak mengonsumsi semua jamunya yang terbukti membuat saya selama ini bisa bertahan dalam kondisi seperti orang sehat. Beberapa hari belakangan ini saya mulai berani makan sup dengan kaldu daging, meski saya tak memakan dagingnya. Juga mencicipi sayuran berbumbu kacang baik itu berupa karedok yang terbuat dari sayur-mayur mentah maupun lotek atau gado-gado. Juga saya menelan ikan goreng meski saya lebih memilih makan ikan air tawar. Toch saya berpikiran seperti dokter di RS Kanker Dharmais (RSKD) bahwa kanker payudara saya yang sudah mencapai stadium 3-B perlu segera dioperasi. Seluruh payudara yang sakit akan diangkat berikut kelenjar pada ketiak saya yang sudah terkena juga. Selanjutnya mengikuti rencana dokter di RSKD saya harus menjalani kemoterapi. Karenanya saya memerlukan asupan protein hewani yang baik agar tubuh saya bugar serta terutama kadar haemoglobin saya mencukupi standar nilai minimal pada pasien yang menjalani pembedahan dan kemoterapi.

Apakah kesalahan diet dan kealpaan mengonsumsi jejamuan Cina itulah penyebab saya merasa tidak nyaman? Saya harus mencari tahu dengan pasti lewat pemeriksaan dokter. Oleh sebab itu, hari ini saya putuskan untuk segera memeriksakan diri di rumah sakit di Bogor sini tempat dokter rujukan berpraktek dua kali seminggu.

 ***

Karena ini kesempatan pertama saya bertemu dokter ahli kanker yang satu ini, maka saya belum punya kesan apa pun terhadap beliau. Saya bahkan punya bayangan yang kurang baik, mengingat almarhum ayah beliau yang merupakan satu-satunya spesialis onkologi (bedah tumor) di kota kami dulu cenderung bersifat dingin. Tapi begitu saya menginjak ruang prakteknya di sore hari kemarin selepas maghrib, kesan itu langsung tergantikan oleh sejuknya sapaan pertama yang dilontarkan dokter muda belia yang amat trendy, rapi dan tentu saja wangi. Kata kemenakan saya sih, umurnya belum lagi empat puluh tahun mengingat mereka dulu satu sekolah di mana sang dokter merupakan adik kelasnya yang cemerlang.

Setelah saya sampaikan surat rujukan dari RSKD berikut cerita utama riwayat pengobatan saya, beliau langsung mengambil data kesehatan saya secermat mungkin. Apa yang saya utarakan didengarkan dengan seksama, kemudian dimasukkannya ke dalam berkas catatan medis di hadapannya. Dalam beberapa hal beliau bahkan berinisiatif bertanya lebih lanjut. Ya, beginilah memang idaman saya tentang pola komunikasi dokter dengan pasien. Tidak sepihak di mana dokter berlaku seakan-akan pasien tak harus tahu apa-apa tentang sakitnya sendiri serta tindakan yang akan dilakukan dokter padanya.

Beliau tersenyum penuh arti ketika saya sebutkan bahwa keberadaan saya sebagai pasien di RSK Dharmais tak bisa dilepaskan dari jasa salah seorang dokter di sana yang merupakan bagian dari anggota Dharma Wanita Persatuan (DWP) Kemenlu terkait pekerjaan suami dokter tersebut. Bahkan skema pendanaan pengobatan saya yang dirancang teman-teman di Kemenlu pun dicermatinya untuk menetapkan mana metoda yang paling murah dan mudah namun memberikan hasil maksimal untuk saya. Beliau bahkan menganjurkan saya untuk meminta Jaminan Kesehatan Masyarakat Daerah (Jamkesda) yang sayangnya ternyata hanya berlaku untuk warga di daerah Kabupaten saja. Tak berlaku bagi penduduk kota seperti saya. Sehingga akhirnya beliau membenarkan pengajuan Surat Keterangan warga Tidak Mampu (SKTM) seperti persyaratan yang diminta oleh Yayasan Kanker Indonesia yang telah dihubungi oleh teman-teman saya di Kemenlu.

Dokter kemudian meneliti dengan cermat satu demi satu hasil pemeriksaan penunjang yang sudah saya lakukan di RSKD minggu-minggu yang lalu. Dikatakannya baik paru-paru, payudara kanan, serta hati saya masih dalam keadaan baik. Beliau lalu menyuruh saya berbaring untuk memeriksa fisik saya. Luka pada payudara saya dilihatnya dengan teliti, bahkan sekali lagi diukur luasnya meski saya katakan sudah terdata dengan baik di RSKD tempat praktek utama beliau sekarang. Kemudian payudara yang sakit, ketiak serta leher saya dirabanya baik-baik. Kelihatan benar bahwa beliau melakukannya tidak asal-asalan sehingga menenteramkan saya. Padahal secara kasat mata, dokter ini masih begitu muda. Saya taksir usianya tak lebih dari tiga puluh lima tahun.

Setelah selesai memeriksa, dokter kemudian mengajak saya bicara tentang program yang akan diterapkannya. Berbeda dengan dokter di RSKD, beliau justru tak menganjurkan mengoperasi saya segera. Berdasarkan keyakinannya tumor saya masih cukup bisa ditaklukkan dengan obat-obat antikanker yang diminum seperti yang diberikan oleh dokter di RSKD itu. Namun beliau tetap ingin mengetahui lebih pasti tumor saya masuk ke dalam tumor jenis apa. Sebab seperti diketahui ada tumor yang cepat sekali berkembang, ada yang tidak. Harapan beliau setelah membaca riwayat penyakit saya dan hasil-hasil pemeriksaan pendukungnya, tumor saya dari jenis yang lamban. Sehingga pengobatan akan dimulai dari pemberian obat secara diminum, diikuti pembedahan pengangkatan payudara, baru ditetapkan perlu tidaknya dikemoterapi. Untuk itu saya harus dibiopsi terlebih dahulu. Walau prosesnya sebentar, hanya memerlukan jarum besar, dan ditawarkan dilakukan malam itu juga, tapi saya menolaknya. Pasalnya saya sudah kehabisan tenaga dan ingin segera beristirahat di rumah saja. Untung dokter baik budi itu memahaminya. Beliau kemudian membuatkan janji untuk empat hari ke depan, khusus untuk saya sebelum beliau melakukan pembedahan besar yang sudah ada dalam jadwalnya di hari itu.

Dokter menjelaskan, keuntungan menggunakan obat oral (dimakan) sebelum pembedahan adalah untuk memantau reaksi tumor terhadapnya. Kalau selama 4 bulan pemakaian tumor mengecil, artinya obat itu baik untuk digunakan. Sehingga saya tinggal menjalani operasi pengangkatan seluruh jaringan payudara saya yang sakit itu saja tanpa perlu dikemoterapi dengan obat-obat lain. Cukup melanjutkan obat yang sudah terbukti cocok itu saja. Jadi akan sangat menguntungkan dalam berbagai sisi, baik sisi pembiayaan maupun sisi psikologis karena tak harus berhadapan dengan efek samping kemoterapi yang kebanyakan menyiksa pasien.

Alangkah leganya hati saya. Ternyata masih banyak harapan saya mencapai kesembuhan dengan baik tanpa membuang-buang banyak uang. Apalagi ketika saya mencoba bertanya mengenai sisa umur saya, dokter malah tersenyum seraya mengatakan saya tak perlu takut sebab meski dia yakin 99.99% tumor saya adalah kanker, tapi keganasannya tidak luar biasa. Saya tak boleh mengatakan bahwa saya berpacu melawan waktu. Masih cukup banyak waktu untuk meraih kesembuhan asal dibarengi dengan penggunaan obat yang justru tepat dan gaya hidup yang benar, termasuk mengatur asupan makanan.

Beliau sangat tidak sependapat dengan sinshe saya mengenai larangan mengonsumsi protein hewani atau makanan lain yang mengandung lemak. Apa pun bisa dimakan penderita kanker payudara, asal jumlahnya tidak berlebih-lebihan serta sedapat mungkin rendah lemak. Tapi beliau memang sependapat bahwa sel kanker yang dipotong akan cenderung menjadi ganas. Karenanya, itulah pentingnya pemberian obat terlebih dulu sebelum operasi dilakukan. Hal yang diistilahkan sebagai terapi adjuvant dalam dunia kedokteran ini bertujuan untuk menyerang sel-sel kanker yang sebetulnya akarnya masih tersisa di dalam tubuh dengan obat-obatan yang tepat, yang dimasukkan melalui mulut. Ah, persis sama dengan teori sinshe saya, begitu kata hati saya. Jadi, mulai hari ini meski saya sudah percaya berobat secara empiris di dokter di rumah sakit tetapi tentu saja saya tak akan meninggalkan sinshe saya. Setidak-tidaknya kepadanya lah saya akan menggantungkan pemeliharaan stamina saya sebagaimana yang sudah saya lakukan selama ini. Sebab terbukti setiap tenaga medis yang ikut memeriksa saya ternyata menyatakan kekagumannya atas kondisi fisik saya. Luka lesi saya pun kecil pula. Baiklah akan saya "kawinkan" saja kedua metoda itu, demi mencapai kesembuhan saya yang abadi. Insya Allah, keinginan saya sih begitu.

(Bersambung)
 

Rabu, 09 Januari 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (23)

Semenjak nasib mendamparkan saya di gedung Rumah Sakit Kanker Dharmais dua minggu yang lalu, pengobatan saya kini berbeda. Saya nyaris berhenti menggunakan obat sinshe dan benar-benar mengandalkan obat dokter. Selain saya takut pada efek samping masing-masing obat yang mungkin saja saling bertabrakan, saya pun sedang menunggu sinshe saya berpraktek kembali setelah cuti natal. Dulu ketika sinshe akhirnya menyarankan operasi, saya dipesankan untuk tidak menduakan obatnya dengan obat-obatan dokter tanpa sepengetahuannya. Waktu itu dia bilang dia hanya akan mengizinkan saya mengonsumsi obat-obatan antikanker darinya saja, tanpa yang lain-lain. Padahal saya selama ini diberinya antibiotik yang berfungsi sebagai pereda nyeri sekaligus, juga vitamin dan obat-obatan penguat fungsi perut karena sebagian usus halus saya dibuang beberapa tahun yang lalu. Sedihnya, obat-obat yang disarankannya untuk tidak digunakan lagi itu menurut saya adalah justru obat yang merupakan penguat kondisi saya selama ini. Banyak orang yang mengira saya sama sekali tidak sakit. Waktu berobat ke RS itu, tenaga medis di sana terheran-heran menyadari saya tak merintih kesakitan sewaktu sedang ditangani di poliklinik. Ini berbeda dengan pasien di situ yang merasakan nyeri bahkan hingga mengerang-ngerang menciutkan nyali saya.

Saya tidak menganggap pengobatan sinshe lebih unggul dibandingkan pengobatan dokter. Yang jelas sih selama makan obat-obatan herbal darinya kondisi saya selalu terjaga tetap fit, meski tumor saya tak cepat membaik. Tapi tak bisa disangkal, sebelum menjadi pecah bernanah begini tumor saya pernah dinyatakan merespons dengan baik pengobatannya. Sehingga waktu itu dia mempersilahkan saya memeriksakan diri ke dokter, setidak-tidaknya ke laboratorium untuk mengecek kadar tumor saya melalui pemeriksaan darah yang dalam dunia kedokteran dikenal sebagai tumor marker Ca-15.3.

Masing-masing pengobatan tentu ada baik-buruknya. Sisi baik dari pengobatan dokter adalah penanganannya cepat, seperti yang ditekankan oleh sinshe sewaktu akhirnya menyuruh saya berobat ke RS guna dioperasi. Kita berlomba dengan waktu, begitu katanya. Maka pembuangan payudara yang sakit diikuti terapi lanjutannya entah berupa kemoterapi maupun radiasi adalah hal yang terbaik, jika dibandingkan dengan konsumsi obat herbal yang dalam prosesnya harus dialirkan melalui darah ke seluruh tubuh. Tapi seperti sudah saya gambarkan, saya takut berobat ke dokter karena tak cukup banyak uang di tabungan kami padahal di dokter tak bisa berhutang seperti di sinshe.

Ketika akhirnya saya dibiayai teman-teman sejawat mantan suami saya ke RS Kanker Dharmais, saya pun tetap belum tenang. Tapi mereka semua telah diutus Tuhan untuk memudahkan dan membahagiakan saya, jadi saya kemudian dicarikan bantuan dari Yayasan Kanker Indonesia (YKI). Sebab di sana ternyata bergiat salah satu istri almarhum purnakaryawan duta besar yang mantan penderita kanker payudara seperti yang pernah juga saya ceritakan di laman ini dulu. 

Kata ibu Megawati yang juga mengenal saya secara sepintas, saya bisa dimintakan bantuan ongkos kemoterapi sebanyak 5 juta rupiah sebulan serta pengurangan harga obat-obatan sebanyak 50% sekali pembelian. Ini akan sangat menolong kami untuk menekan biaya pengobatan yang ketika anak saya menanyakan ke bagian administrasi keuangan rumah sakit disebutkan sejak dioperasi hingga selesai kemoterapi pasien harus menyiapkan dana seratus juta rupiah. Jumlah fantastis yang selama ini selalu menghantui pikiran saya dan anak-anak.

Dana bantuan itu tentu saja tidak diberikan kepada sembarang orang. Tapi saya setidak-tidaknya bisa memenuhi kriteria penerima bantuan disebabkan saya tidak bersuami, tidak bekerja, tinggal menumpang dan menjadi beban anak-anak yang belum memiliki penghasilan tetap di rumah hasil hibah warisan dari ayah mereka. Untuk itu anak saya diminta menghubungi Pengurus Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga (RW) di tempat tinggal kami untuk meminta bantuan dikeluarkannya "Surat Keterangan (Warga) Tak Mampu" (SKTM) yang akan diserahkan kepada pengurus YKI. 

Akhirnya akhir pekan yang baru lalu anak saya mengurusnya. Untuk itu anak saya diminta membuat surat permohonan tertulis yang disertai foto kopi Kartu Keluarga, Kartu Tanda Penduduk dirinya sebagai pengampu saya dan KTP saya. Tak lupa anak saya menyertakan foto kopi akta rumah. Pengurus RT kami yang juga amat bersimpati kepada saya menjanjikan akan membawa surat itu ke rapat Pengurus Rukun Warga yang berlangsung hari itu. Namun hingga hari ini, tiga hari berlalu kami belum mendapatkan kabar apa-apa. Hati kecil saya berpikir, mungkin kasus saya adalah kasus "extraordinary" mengingat status sosial kami dulunya, sehingga memerlukan penyidikan yang lengkap dan mendalam. Ah tak mengapa, yang penting kami sudah berupaya jujur. Jika toch nanti tidak berhasil mendapatkan, seperti biasa masih akan ada pintu bantuan lain yang dibukakan Allah untuk kami. Sebab, peristiwa dan pengalaman-pengalaman yang sudah-sudah menunjukkan bahwa Allah amat mengasihi kami, ummatNya yang sedang tiada berdaya. Saya cuma dapat berharap sambil memandang langit yang terus saja menurunkan hujan sejak semalam. Padahal, hari telah malam, dan tubuh saya yang sakit amat merindukan bulan menampakkan sinarnya serta bintang-bintang berkedipan menggoda khayalan saya seperti malam-malam biasanya.


(Bersambung)

Jumat, 04 Januari 2013

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (22)

Kondisi fisik dan mental yang prima adalah unsur utama di dalam menunjang kesembuhan para pasien kanker. Begitu yang saya rasakan selama sakit ini. Jujur saja, saya memang mudah menjadi tersinggung akhir-akhir ini ditambah perasa. Maksudnya, pikiran saya tentang kenyamanan anak-anak sungguh berat. Adalah tak mudah bagi kedua anak saya menanggung beban merawat dan mencari pengobatan untuk saya pada saat mereka belum mandiri begini. Pasalnya dana yang ada di kantung mereka terbatas, sedangkan biaya pengobatan kanker dengan metoda yang mana pun baik medis empiris maupun herbal tak ada yang murah. Sebagai perbandingan komponen biaya pengobatan ke Rumah Sakit akan terdiri dari biaya tindakan pembedahan, penyinaran dengan radioterapi yang tidak bisa dilakukan di sembarang rumah sakit serta pemberian obat kemoterapi. Katanya satu seri radiasi akan makan waktu 30 kali. Begitu juga dengan seri kemoterapi akan berkali-kali. Dengan demikian ongkosnya tidak sedikit. Tak seberapa jauh bedanya dengan pengobatan herbal Cina yang saya ikuti selama ini. Pasien harus datang membeli obat setiap minggu tanpa boleh terputus, karena akan mengganggu efektivitas kerja obat. Obat-obat jamu tersebut jumlahnya sangat banyak dengan harga yang tidak murah karena diproses sedemikian rupa untuk menghilangkan bau serta rasa pahit-getirnya. Pasien harus tahan mengonsumsinya selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.

Keadaan seperti itulah yang membebani pikiran dan batin saya, sehingga sulit untuk saya memelihara kesehatan mental saya. Terlebih-lebih lagi, alur kehidupan keluarga saya memang tak bisa mulus-mulus amat disebabkan guncangan yang pernah menimpa keluarga kami. Tentu saja sebagai akibatnya kami kesulitan menjaga kondisi mental saya agar tetap stabil.

Tambahan lagi, ketika akhirnya penyakit saya semakin meruyak, badan saya semakin menyusahkan anak-anak saya. Bau tubuh yang sangat tidak enak karena penyakit itu ditambah emosi saya yang sering meledak-ledak, saya akui menjadi faktor pengganggu mental anak-anak saya walau sebagaimana pun juga baiknya mereka. Tak bisa dikatakan apakah mereka jengkel dan jenuh menghadapi tugas-tugas mereka merawat saya. Saya hanya bisa merasakannya sendiri dengan mengamati dan membaca tingkah mereka melalui mata batin saya.

***

Semasa baru saja terdeteksi, dokter yang pertama saya datangi menyebutkan tumor saya sebesar biji alpukat. Untuk mengetahui jenisnya tentu saja perlu diambil dan diperiksa kultur jaringannya di laboratorium pathologi klinis. Hal semacam itu sudah barang yang biasa untuk saya sehubungan dengan pembedahan pada bagian organ reproduksi saya. Hasilnya baru bisa diambil satu atau dua minggu kemudian. Kalau jinak, maka saya beruntung tak harus diterapi lebih lanjut. Berbeda halnya dengan tumor atau kista ganas yang memerlukan kemoterapi atau penyinaran (radiasi). Pasien akan jadi "sakit" karenanya. Tubuh mengurus disebabkan rasa mual dan pusing akibat efek obah-obatan yang diberikan. Belum lagi kulit menjadi hangus menanggung panas yang berkekuatan maha dahsyat. Ngeri sekali membayangkannya. Biasanya dipastikan pasien akan kehilangan mahkota di kepalanya, rambut yang indah itu.

Dari sisi pengamatan tenaga medis yang menolong pasien mereka akan sangat memperhatikan psikologis pasien itu. sebab sesungguhnya pasien 'kan baru saja kehilangan "citra keperempuanannya" baik itu berupa sepasang payudara maupun organ kandungan yang memberinya kesempatan mempersembahkan buah cinta kepada pasangan hidupnya. Pokoknya keganasan tumor merupakan momok yang mengerikan sekaligus menyedihkan.

Saat dokter menyebutkan harus dibedah, saya langsung menolak membayangkan aspek materi yang harus saya tanggung. Ongkos pembedahan dan obat-obatannya itu tidaklah murah dan harus disediakan seketika. Sebagai penganggur semacam saya tentu mengerikan. 

Karenanya waktu itu saya memilih mencari pengobatan alternatif yang menurut saya masuk akal. Pertama ada yang menganjurkan memakai parutan singkong Sao Pedro Petro/SPP yang beracun itu. Caranya konon singkong itu diparut lalu dibalurkan ke daerah yang sakit sambil ditutup supaya tidak berjatuhan. Katanya sih kandungan air di dalam singkong parut itu akan menyembuhkan tumor. Saya sendiri memang pernah melihat terjadi pada salah seorang kakak kandung saya ketika beliau sakit di tahun 1970-an. Waktu itu beliau berobat langsung ke dokter penemu pengobatan dengan SPP ini. Sayang sekarang dokter itu sudah tiada, sedangkan penemuannya tak pernah lolos uji di World Health Organization.

Kedua ada yang menginfokan mengenai pengobatan dengan obat herbal oleh seorang dokter umum dari Fakultas Kedokteran sebuah Universitas swasta di Bandung yang mendatangkan gelar Profesor pada si penemunya itu dari ITB. Sesungguhnya pengobatan ini menurut saya amat masuk akal sebab berupa jamu. Tapi sayang terlalu jauh dari tempat tinggal saya sehingga saya pun menolaknya. Yang jadi alasan tentu saja kerepotan menjangkau tempat pengobatan itu. 

Ketiga masih menggunakan metode herbal juga yang dilakukan oleh sinshe yaitu seorang juru pengobatan Cina. Yang ini mudah dijangkau dari rumah karena berada di dalam kota. Apalagi ada teman lama saya yang mengakui dirinya sudah berobat tujuh tahun lamanya dan kini nyaris sembuh sama sekali. Cara bicaranya yang amat meyakinkan sewaktu kami berhubungan telepon membuat saya percaya lalu memutuskan untuk ikut-ikutan berobat. Inilah yang saya pakai hingga saat ini ketika dia belum "mengusir" saya secara halus ke rumah sakit. Sebab saya pun cocok dengan semua teorinya yang mengatakan bahwa gaya hidup tidak sehat adalah pemicu kanker. Selain itu pikiran yang tidak tenteram merupakan racun yang merangsang kanker untuk tumbuh cepat serta ganas. Ditambah satu lagi teori yang menyebutkan bahwa kanker harus dibasmi dengan cara menelan obat-obatan bukan menyinarinya dengan radiasi karena radiasi hanya tertuju kepada salah satu bagian tubuh pasien yang sakit, sedangkan obat-obatan yang ditelan bisa menjangkau seluruh tubuh lewat aliran darah. Radiasi menurut teori sinshe justru seringkali merusak jaringan sehat di sekitar yang sakit tanpa disengaja.

Keempat ada satu metoda lagi, yakni penggunaan sebuah alat temuan ilmuwan di Badan Penerapan dan Pengkajian Teknologi (BPPT) yang berisi radiasi listrik statis. Harga pengobatan ini sangatlah murah. Hasilnya pun banyak diceritakan media massa. Hanya saja saya tak berminat sebab bertentangan dengan prinsip pengobatan di sinshe yang melarang tumor ditekan-tekan dengan menggunakan alat apapun.

Sayang saya tak bisa mengikuti syarat sinshe saya untuk tak berpikir yang berat-berat dan tak menggunakan tenaga saya. Soalnya kehidupan saya sehari-hari di dunia nyata memang berat. Ini mengakibatkan tumor saya pada akhirnya justru semakin membesar dan mengganas. Sehingga mau tak mau saya menyerah berobat ke dokter yang melalui serangkaian alat pemeriksaan yang canggih mendiagnosa tumor saya sudah mencapai stadium III-B yang entah bagaimana bisa sama persis dengan deteksi sinshe saya.

Akibatnya setelah saya kehilangan uang dalam jumlah yang tak sedikit dan memboroskan waktu percuma, saya harus bersiap-siap mencari dana lagi guna pengobatan saya di dokter. Sebab serentetan tindakan medis harus saya lakukan dengan dana yang tak sedikit. Ada ongkos pembedahan sekitar 20-35 juta rupiah, ongkos perawatan pasca operasi 5 juta, ongkos obat dan perawatan dari luar RS sebanyak 5 juta juga, ditambah dengan ongkos kemoterapi yang tak bisa disebutkan sebab tergantung obat yang dibutuhkan. Ini pun sangat mahal, sehingga secara kasar kurang lebih pengobatan itu menghabiskan dana sekitar seratus juta. Belum-belum saya sudah berkecil hati memikirkannya. Namun tak bisa tidak, saya tetap harus menjalaninya yang untungnya selalu terjadi keajaiban anugerah Tuhan. Saya tak harus menanggungnya sendiri. Ada saja tangan terulur bagi saya yang tak berdaya. Subhanallah! Tak terkira sayangnya Allah kepada saya dan keluarga. Alhamdulillah!

***

Untung kami keluarga PNS di Kementerian Luar Negeri merupakan satu kesatuan yang amat kokoh. Dalam kesulitan begini, teman-teman kedinasan mantan suami saya yang menggunakan tangan-tangan istri mereka menolong saya. Termasuk para istri purnakaryawan. 

Saya dihubungkan dengan istri seorang purnakaryawan Duta Besar yang kebetulan merupakan mantan penderita kanker lalu mengabdikan dirinya di Yayasan Kanker Indonesia (YKI). Beliau mengatakan untuk para pasien tidak mampu yang dibuktikan dengan surat keterangan dari pengurus RT dan RW di tempat tinggalnya tersedia bantuan keuangan yang lumayan. Pasien itu akan diberi potongan harga obat 50% ditambah tunjangan pembelian obat kemoterapi lima juta rupiah sebulan. 

Senang sekali saya mendengar ini meski saya pesimis untuk mendapatkan surat keterangan sebagai warga tidak mampu ini mengingat saya tinggal di sebuah rumah layak huni dengan anak-anak saya. Tapi ibu yang terhormat itu menegaskan, berhubung status rumah kami adalah milik anak-anak saya yang berasal dari pemberian ayah mereka maka saya adalah orang tidak mampu. Di rumah itu saya hanya menumpang tinggal sekaligus menumpang makan dari penghasilan anak-anak yang tak menentu. Beliau benar. Harus saya akui saya memang menumpang makan dan hidup dari anak-anak saya yang belum cukup mandiri. Maka kini saya seakan-akan melihat segores sinar menembus kegelapan hidup saya. Lalu saya akan mengikutinya, insya Allah menuju kesembuhan yang disediakan Allah nantinya. Semogalah!

(Bersambung)

Pita Pink