Powered By Blogger

Sabtu, 22 Desember 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (21)

Telah cukup lama saya tinggalkan laman ini. Laman yang memuat cerita mengenai kanker penyakit menakutkan yang mematikan itu. Dan malam ini saya tersadar untuk segera melanjutkannya, karena kemarin pagi selepas subuh masuk sebuah pesan pendek dari teman maya saya yang merasa kehilangan kisah saya. Ada terbersit kekhawatiran padanya, meski tentu saja kekhawatiran yang wajar. Pasalnya minggu-minggu ini keadaan fisik saya semakin memburuk. Tumor saya pecah, menimbulkan nanah yang mengucur basah menembus pakaian saya. Rasa sakitnya jangan ditanya, sehingga saya pun tak mampu lagi mengenakan pakain yang wajar.

Sebetulnya bersamaan dengan itu saya juga tiba-tiba teringat lagi akan kisah seorang diplomat wanita dari generasi terdahulu yang sudah berpulang akibat kanker payudara seperti yang saya alami. Sore itu, seminggu yang lalu, saya melihat menantunya di tayangan televisi yang ternyata juga mewarisi gen kanker dari orang tuanya sendiri. Katanya, ibundanya sudah meninggalkannya saat dia masih remaja. Di situ dia bercerita tentang dirinya, keluarga besarnya dan kesehariannya. Presenter cantik yang cerdas itu ternyata pengidap kanker ovarium, seperti mendiang ibundanya. Sedangkan, ibu mertuanya yang saya kenal, cukup lama berjuang mengenyahkan kankernya.

Diplomat karier yang cantik itu tetap sibuk menunaikan tugasnya, ketika penyakit kanker pada payudaranya sudah diketahui. Saya ingat betapa beliau masih terbiasa mengerjakan laporan-laporannya untuk dikirimkan ke Pejambon walau nyaris lewat tengah malam. Waktu itu, saya sedang menemani mantan suami saya yang merupakan diplomat muda yang baru saja belajar bekerja (magang). Kegesitan dan ketangkasan ibu yang satu itu amat menonjol membuat kami semua terkagum-kagum. Staminanya amat prima, itu pendapat kami. Dengan telaten beliau menuntun juniornya mengerjakan tugas-tugas kantor mereka.

Sampai akhirnya di periode awal tahun 1990 tibalah berita duka cita itu. Beliau menyerah meski telah menjalani pembedahan diikuti rangkaiannya berupa kemoterapi dan radiasi di kota Bonn, Jerman tempat beliau bertugas. Ada teman saya di sana yang menyaksikan sendiri rangkaian pengobatan dan perjuangan beliau. Katanya, beliau tak kenal menyerah. Di sela-sela padatnya tugas, beliau tetap berobat; sedangkan di sela-sela pengobatannya, beliau pun tetap mengerjakan tugas-tugas kantornya. Di saat itu, kata teman saya, beliau sudah sama sekali mengikuti gaya hidup vegetarian karena dokternya menganjurkan demikian. Memang memperbanyak asupan sayur-mayur dan buah-buahan yang kaya antioksidan adalah keharusan untuk penderita kanker apa pun.

Suami beliau yang merupakan sastrawan ternama, juga meninggal dunia di usia lanjut (79 tahun) karena kanker prostat. Biasanya penyakit ini memang menyerang orang-orang tua dengan gejala sulit buang air kecil atau buang air kecil terputus-putus serta merasa tidak tuntas. Pada akhirnya nanti, tulang belakang di sekitar panggulnya akan terasa sakit disebabkan penyebaran sel-sel kankernya. 

Saya sendiri tak melihat penderitaan beliau, namun mendengar dari asisten pribadi beliau yang saya kenal baik, Fitriasari. Ceritanya, beliau juga sudah menjalani operasi dan kemoterapi serta radiasi di rumah sakit di Republik Afrika Selatan yang relatif modern. Ingat saja, transplantasi (pencangkokan) jantung yang pertama di dunia berlangsung di sana puluhan tahun yang silam. Jadi kemajuan teknologi pengobatannya tak diragukan lagi, meski di belahan bumi Afrika yang diasosiasikan orang dengan keterbelakangan.

Meski begitu, kondisi pasien sepuh ini terus saja memburuk hingga akhirnya keluarganya memutuskan untuk dirawat jalan saja agar beliau senantiasa berada dalam lingkungan yang menenteramkan, yakni kalangan keluarganya sendiri. Di akhir hayatnya beliau cuma mampu berbaring-baring tanpa bisa melakukan apa-apa lagi. Saya percaya itu, karena sesudah sekian tahun beliau berpulang, saya menemukan draft naskah novel yang sedang ditulisnya tapi tak tuntas di meja kerja yang pernah beliau gunakan selagi hidupnya. Sayang saya tak terpikir untuk menyelamatkan naskahnya. Saya biarkan saja lembar-lembar kertas itu menguning dan mulai keriting kusut di suatu rak dinding yang dingin di negeri yang jauh itu. Kini hanya ada penyesalan pada diri saya, sebab saya tak yakin ada orang yang menaruh minat menyimpan dan mengabadikan naskah itu. Sebab tak semua orang membaca sastra, bukan?

***

Kanker memang amat menyakitkan dan perlu ditangani dengan tepat sekaligus hati-hati. Sewaktu menyadari bahwa penyakit mematikan ini kembali menyerang saya, yang terbayang adalah mahalnya biaya perawatan saya di rumah sakit. Akan ada komponen biaya pemeriksaan dokter, pembedahan, radiasi dan kemoterapi serta sudah barang tentu administrasi. Sepanjang pengetahuan saya, semua terapi akan memakan waktu lama yang berimbas pada mahalnya ongkos yang dikeluarkan. Celakanya, saya kini bukan istri Pegawai Negeri Sipil (PNS) lagi. Sebab perceraian yang dipaksakan sepihak tanpa izin atasan telah membuat saya terpuruk menjadi seseorang tanpa arti. Hak-hak pemenuhan hajat hidup saya tak pernah lagi saya terima, termasuk hak penggunaan Asuransi Kesehatan (Askes) yang diberikan kepada setiap PNS dan keluarganya. Padahal menurut peraturan kepegawaian pada Peraturan Pemerintah nomor 10 tahun 1983 pasal 8 ayat 2, sebagai istri yang diceraikan dan tidak menikah lagi, saya berhak memperoleh sebagian gaji mantan suami saya. Sayang nasib baik belum berpihak kepada saya.

Oleh sebab itu, saya kemudian beralih ke pengobatan alternatif yakni pengobatan herbal melalui seorang sinshe Cina. Kepadanya biaya pengobatan bisa ditekan lebih memadai untuk saya. Obat kemoterapi yang harus digunakan pun dimasukkan per oral sehingga harganya lebih murah dibandingkan kemoterapi di rumah sakit. Secara logika mengikuti penjelasan sinshe, keuntungan pengobatan ini adalah saya tak perlu disakiti namun obat kemoterapinya tetap akan masuk ke dalam tubuh bahkan bisa menjangkau seluruh bagian tubuh sebab larut di dalam aliran darah.

Satu hal yang harus saya jaga benar adalah, kondisi kejiwaan saya. Saya tak boleh banyak berpikir. Stress harus dihindari. Selain itu, kelelahan fisik pun tak boleh terjadi. Dengan kata lain, saya harus beristirahat total.

Hal-hal menyenangkan itu ternyata jauh dari jangkauan saya. Selain tak punya penata laksana rumah tangga yang bisa membantu melakukan tugas-tugas harian saya, hidup saya pun penuh dengan tekanan. Ada pihak-pihak tertentu yang sepertinya tak menghendaki hidup saya bahagia. Oleh karena itu, saya rentan terkena stress yang berimbas pada meruyaknya penyakit saya.

Kini tumor saya pecah di bagian luar, menimbulkan luka yang basah menyakitkan. Sinshe mengatasinya dengan memberikan sejenis serbuk obat luka yang terbuat dari  akar-akaran. Dengan menaburkannya di atas luka pecahan tumor saya seharusnya luka itu akan mengering. Namun entah mengapa, serbuk yang amat mahal harganya itu tetap tak mampu menolong keadaan saya. Sehingga akhirnya sinshe menganjurkan saya untuk membeli antibiotika yang amat terkenal dalam khazanah pengobatan Cina, yaitu obat Pien Tze Huang. Obat ini biasa digunakan sebagai pelawan infeksi, termasuk membantu mempercepat penyembuhan pasien yang habis menjalani operasi.

Untuk mendapatkannya, seorang pasien mesti teliti. Sebab konon sinshe mengatakan, di negara asalnya sana, obat itu hanya diproduksi oleh empu-empu tertentu yang betul-betul adidaya. Bahkan pabrik obat keluarga sinshe saya di Propinsi Guangzhou pun tidak bisa membuatnya. Itu sebabnya obat berbentuk lempengan sebesar setengah jari manusia yang kemudian akan ditumbuk terlebih dulu sebelum diserahkan kepada pembelinya, harganya pun luar biasa mahal berpatokan kepada kurs dollar yang berlaku saat itu. 

Obat yang satu ini dijual dalam kemasan karton kecil berwarna merah jingga dengan logo keperak-perakan. Di Indonesia, Pien Tze Huang yang terdaftar pada Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) Kementerian Kesehatan adalah hasil impor PT. Saras Subur Ayoe. Selain yang itu kata sinshe, adalah obat dengan kualitas nomor dua. 

Anak-anak saya yang alhamdulillah selalu sabar serta ikhlas mengupayakan pengobatan untuk saya mencoba untuk mendapatkannya. Pada masa ini harganya berkisar enam ratus dua puluh ribu rupiah. Obat ini dibagi menjadi enam butir kapsul yang harus dimakan sehari tiga kali. Jika beruntung, dengan dua dosis atau dua belas kapsul saja, pasien sudah tertolong. Namun tak demikian halnya dengan saya, agaknya obat ini seperti tak sudi meringankan beban penderitaan saya. Sehingga akhir-akhir ini sinshe bahkan menganjurkan saya untuk pergi ke rumah sakit dan menjalani pengangkatan payudara saya.

Duh, operasi lagi. Itu keluhan saya ketika menanggapi usulannya. Sudah barang tentu saya tak mampu mendanainya. Belum lagi saya dan anak saya teringat pesan sinshe untuk menghindari operasi sedapat mungkin. Dulu, di masa awal pengobatan kepadanya, sinshe sangat senang mendapati tumor saya belum dilukai, belum pernah dioperasi. Tapi mengapa kini justru larangannya dicabutnya sendiri?

Mencermati kegelisahan dan tanda tanya kami sinshe mengatakan, larangan dioperasi hanya berlaku untuk pasien yang tumornya masuk kategori prima, yakni tumor yang belum disentuh-sentuh pisau bedah atau alat apa pun juga. Sebab dengan dilukai, sel-sel kanker seperti ceritanya dulu, akan berontak melawan menjadi semakin ganas. Itu sebabnya dulu kista pada organ reproduksi saya selalu tumbuh kembali. Tapi kini berhubung tumor saya sudah luka dengan sendirinya, tak ada cara lain untuk menghilangkan sakit yang menyiksa itu selain membuang tempat tumbuhnya. Artinya payudara saya diangkat seluruhnya. Lalu nanti bekas-bekasnya digempur dengan kemoterapi, radiasi dan juga obat-obatan herbal darinya yang tetap harus saya makan seperti sekarang. Syaratnya cuma satu, saya tak boleh menyatukan obat-obat rumah sakit dengan obat herbal itu. Jadi saya harus mengonsumsinya dua jam setelah selesai dikemoterapi atau menelan obat-obatan dokter.

Penjelasannya mudah dimengerti dan sangat masuk akal pula. Sebab, sinshe ternyata memperhitungkan juga mahalnya biaya pengobatan yang mesti saya tanggung hingga sembuh tuntas. Kata sinshe, pengobatan herbal yang diberikannya bukanlah obat yang bisa segera menyembuhkan. Diperlukan waktu bertahun-tahun untuk memperlihatkan hasilnya. Sangat berbeda dengan pengobatan empiris dari rumah sakit. Jadi, kalau saya dioperasi, maka waktu penyembuhan penyakit diharapkan lebih singkat sehingga biaya dapat ditekan.

Saya tercenung mencermati penjelasannya. Di masa kini di mana manusia kelihatannya sangat individualistis, ternyata masih ada yang sudi memikirkan manusia lainnya, meski dia bukan sanak bukan pula saudara. Dan, sinshe ini cuma salah satu di antaranya. Sebab ternyata, kabar sakit saya sudah menyebar di kalangan teman-teman saya, baik teman sekolah, teman kuliah maupun teman-teman anggota Dharma Wanita Persatuan di kementerian tempat mantan suami saya bekerja. Lalu mereka secara beramai-ramai menengok saya serta merundingkan cara terbaik untuk menyelamatkan nyawa saya. 

Di antara bibir-bibir yang mengembangkan senyum dan mata-mata indah yang memancarkan kehangatan, mereka akan berjuang bersama-sama mengusahakan pengobatan itu untuk saya. Bahkan secara tak terduga, Allah lagi-lagi telah menampakkan kuasaNya bagi saya. Minggu lalu ketika dalam perjalanan menuju kampusnya di Jakarta, anak bungsu saya bertemu secara tak sengaja dengan salah seorang dari mereka. Subhanallah! Teman saya yang satu ini menyuruh anak saya membujuk saya untuk mau berobat ke RS Kanker Dharmais. Beliau sendiri menjanjikan akan membawa saya kepada dokter kenalannya di sana, lalu teman-teman yang lain akan bergantian bersama-sama merawat saya. Ya Tuhanku! Panjang benar uluran TanganNya, KasihNya tiada henti dan tiada berbatas. Artinya, tiada pula saya dapat membalasnya. Kini saya dalam kebimbangan, bimbang menanti saat yang tepat untuk menjalani semuanya. Sebab, masih ada faktor psikologis yang mesti saya pertimbangkan sebelum saya memulai perjuangan saya yang selanjutnya. Yakni perjuangan kali ini untuk melawan penyakit mematikan ini guna meraih mahkota kebahagiaan yang akan saya persembahkan bagi anak-anak saya yang budiman. Saya cuma bisa merenunginya sekarang ini. Hidup dengan penyakit kanker benar-benar tidak mudah kiranya.

(Bersambung)

Senin, 03 Desember 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (20)

Ada yang menyentuh hati saya di akhir pekan kemarin. Anak saya Andrie yang baru mulai bekerja untuk pertama kalinya, menyatakan diri akan pulang ke rumah menengok saya. Meski di hari Sabtu siang dia mengatakan masih sibuk mengerjakan pekerjaan kantornya yang belum terselesaikan, tetapi dia tetap bersikeras pulang barang semalam. "Pokoknya aku harus melihat sendiri bagaimana sesungguhnya keadaan ibu, sebab sekarang ibu 'kan sudah jadi tanggung jawabku," katanya beralasan waktu saya menyarankan agar dia terus saja mengerjakan lemburannya demi pembelajaran akan tugas-tugasnya.

Benar saja, lepas maghrib ketika saya baru saja menyudahi dzikir saya, anak saya masuk ke dalam kamarnya yang kini saya okupasi sejak sakit. Suaranya yang khas membuat telinga saya langsung mengangkat kepala tegak memandang ke arah pintu kamar. Dengan wajah tenangnya yang terkesan lugu, dia mengembangkan senyum lalu meletakkan tasnya di sisi saya. Diambilnya tangan saya ke dalam genggamannya lalu diciumnya dengan santun. "Assalamu'alaikum, ibu bagaimana?" Itu kalimat yang dilontarkannya langsung mengarah kepada saya.

"Ah, kamu terlalu mengkhawatirkan ibu. Semua masih seperti kemarin kok, tapi ibu sudah terbiasa mengatasinya. Kamu sehat-sehat 'kan?" Jawab saya berbalik arah meneliti keadaannya seraya menajwab salamnya. Dengan berpakaian celana pendek dan kaus oblong merah cabai, kelihatan benar bahwa anak saya sangat santai. Dia mengangguk menjawab pertanyaan saya itu, lalu mulai memperhatikan saya, selagi adiknya asyik menuturkan kejadian kemarin dulu yang membuat dirinya panik. "Oh, jadi sampai hari ini sinshe nggak ngasih tambahan obat lagi?" Simpul anak saya begitu adiknya selesai bertutur.

"Ya, nanti atau besok akan ibu coba menghubunginya lagi lewat SMS," jawab saya. "Tapi kamu jangan kuatir, ibu baik-baik saja, cuma sekarang kau lihat, ibu berpakaian begini longgar. Dan lagi kalau kau lihat dada ibu basah, itu artinya luka ibu menyemburkan cairan yang bau itu, insya Allah dengan doa-doa dan ketekunan ibu makan obat serta diet semua akan lekas membaik," saya kemudian bangkit dari duduk saya lalu melipat pakaian sembahyang saya. Sudah lama memang saya bersembahyang sambil duduk saja, sebab, untuk membungkukkan tubuh, rasanya dada saya nyeri sekali.

Anak saya beralih mengarahkan pandangannya ke dada saya yang mulai saya lucuti dari pakaian sembahyang. Ada noda basah kekuningan di sekitar tempat tumbuhnya tumor saya. Sejenak dia terdiam, kemudian menarik nafas dan meminta saya untuk bersabar. "Begini lho, sinshe bukannya menyerah mengatasi penyakit ibu, cuma sedang berupaya mencarikan obat lain lagi," ucapnya berupaya berpikiran baik menenangkan saya.

"Ya, betul begitu. Kemarin dulu waktu aku telepon, sinshe 'kan bilangnya nanti waktu treatment berikutnya diusahakan akan membawakan solusi lain. Dia akan carikan obat lagi yang sekarang belum diketahuinya, ibu jangan panik," timpal adiknya menjelaskan.

Malam itu jadi malam Minggu paling mengesankan untuk saya. Sebab itu malam Minggu pertama saya menyaksikan anak saya beristirahat dari rutinitasnya yang baru, menjadi pegawai. Lalu kami mengobrol panjang-lebar mengenai pekerjaannya. Katanya dia masih belum terbiasa, namun mulai mengerti dan menyukainya. Bahkan karena kantornya sangat kecil, dia akan diberi seorang teman lagi dalam waktu sangat dekat ini untuk mengurangi bebannya. Sebab banyak klien besar yang menggunakan jasa konsultan di kantornya, tetapi belum tertangani dengan baik. Saya biarkan anak-anak saya mengobrol dengan ramainya. Bahkan kemenakan saya yang memang selalu pulang ke rumah di akhir pekan, kebetulan kali ini juga bekerja lembur hingga tiba lebih malam dibandingkan adiknya tadi. Dengan pengalamannya dia mengajari anak saya untuk bersabar dan bertahan, karena mencari pekerjaan yang sesuai dengan minat bukanlah hal mudah. Bahagianya saya mendengarkan bincang-bincang mereka yang diiringi suara hiburan dari televisi yang dinyalakan. Rumah kami kembali ceria.

***

Keesokan paginya anak-anak mengajak saya membeli pakaian sehari-hari yang longgar, selagi saya kembali mengirimkan SMS keluhan kepada sinshe saya. Jujur saja, selapis kain tipis yang menyentuh daerah payudara saya yang meradang, mampu membuat saya meringis bahkan menjerit tanpa kendali. Karenanya mereka begitu berniat untuk mengganti baju-baju saya yang tak memadai lagi itu. Padahal saya tahu, sebagai pegawai baru anak saya sendiri mempunyai banyak kebutuhan untuk dirinya memulai rutinitas sebagai orang kantoran.

Kami menuju ke pusat pertokoan kuno di dekat rumah orang tua saya dulu. Di situ saya yakin akan menemukan yang saya butuhkan, sekaligus membeli strawberry organik. Strawberry yang kaya akan antioksidan biasa saya konsumsi bergantian dengan buah naga berdaging merah sesuai saran sinshe. Saya kemudian juga tertarik membeli sepasang sandal karet kulit di toko tua yang kini keadaannya sungguh serupa gudang. Dengan mengenakan sandal seperti itu yang tanpa hak, saya bebas bergerak di dalam rumah saya, sekaligus cukup pantas jika tiba-tiba ada tetamu datang menengok. Terus terang saja, sejak saya sakit ini banyak orang yang tanpa diduga sengaja datang menengok. 

Pasangan tua pemilik toko itu menyambut kami dengan ramah. Lagak bicara dan gaya bahasanya mengingatkan saya akan tokoh-tokoh pada boneka jari. Saya tersenyum sendiri karenanya. Ketika akan berpamitan, saya didoakan supaya senantiasa sehat walafiat, yang tentu saja saya jawab dengan kata amin. Saya bilang, saat ini justru saya sedang sakit kanker payudara seperti tetangga di sebelah rumah merangkap toko mereka. Entah mengapa, tiba-tiba saya jadi ingat ibu teman SD saya yang berprofesi sebagai penjahit yang meninggal akibat kanker payudara lebih dari dua puluh tahun yang lalu. Sakitnya tidak lama, tahu-tahu kami semua sudah kehilangan penjahit pakaian kesayangan kami, seorang Cina berumur sekitar lima puluh tahunan yang gemuk.

Demi mendengar penuturan saya, nyonya dan tuan pemilik toko itu terperangah. Mereka membenarkan bahwa tetangganya dulu meninggal karena kanker payudara yang tak terselamatkan lagi. Dari mulut pasangan tua itu saya baru tahu bahwa setelah dioperasi di rumah sakit besar di Jakarta, ibu teman saya ini justru memburuk. Tumornya sama seperti tumor saya, pecah bahkan menyebar hingga ke bagian lain tubuhnya yang sehat. Jiwanya terenggut begitu saja, meninggalkan anak-anaknya, yang di antaranya seorang gadis pelajar SMA.

Saya sampaikan kepada pemilik toko sandal itu bahwa karena saya sudah sering dioperasi namun masih juga menyimpan sel-sel tumor, maka saya lebih memilih untuk berobat kepada sinshe saja. Tak dinyana, pasangan tua itu mendukung upaya saya. Katanya, itu lebih baik daripada berobat ke dokter, sudahlah mahal, disakiti, tak tertolong juga. Sebagai masyarakat keturunan Cina tentu saja beliau berdua amat percaya akan keampuhan pengobatan jamu Cina begini. Hanya saja mereka berpesan untuk bersabar dalam berobat, karena sesungguhnya iklan sinshe yang dulu kerap tayang di televisi banyak yang menyesatkan. Menurut mereka, tak akan mungkin suatu penyakit serius bisa ditaklukkan jamu hanya dalam waktu lima kali terapi saja. Dan saya pun menjadi semakin yakin untuk melanjutkan pengobatan ke sinshe. Sebab, sinshe pun berpendapat demikian. Di sana, di kuil Shaolin tempatnya menimba ilmu dan ditempa keluarganya, para sinshe dan ahli obat-obatan Cina diberitahu bahwa mengobati pasien itu tak bisa tergesa-gesa, ingin segera menyembuhkan. Sebab, sinshe dan herbalis itu hanyalah manusia yang ilmu serta kepandaiannya terbatas. Jadi kuncinya adalah pada kata sabar dan tekun telaten. Maka terkembanglah senyum di bibir saya mengenangkan itu semua. Senyum terima kasih karena sudah dibantu diingatkan untuk pantang menyerah menjalani pengobatan saya.

***

Sepulangnya berbelanja pakaian saya, sebetulnya hati saya menjadi semakin sedih. Sebab, lagi-lagi tiba-tiba saya mesti mengingat sebuah kasus kematian akibat kanker. Padahal jauh di dalam hati ada keinginan saya untuk melupakannya.

Sehabis makan siang dan menelan semua obat yang diharuskan, saya minta diri untuk beristirahat. Saya tunaikan dulu shalat dhuhur saya yang tertunda, sebelum akhirnya saya naik ke atas kasur. Sedangkan anak-anak saya sibuk berdua-dua mempersiapkan kebutuhan Andrie yang akan dibawa ke Jakarta sambil menuntaskan rancangan kegiatan yang harus dilakukan minggu ini.

Diam-diam saya memasang telinga saya. Dan dalam tidur-tidur ayam saya merasa menjadi orang yang sangat beruntung. Betapa tidak, anak-anak itu, kini mereka telah pandai mengambil alih peran orang tua. Mengelola rumah tangga sambil menata masa depan mereka. Ah, beruntungnya saya.

Saya mencoba bangkit dari pembaringan ketika, tangan anak saya menyentuh lembut pipi saya, akan minta diri berangkat ke Jakarta lagi. "Doakan aku ya bu, semoga pekerjaanku terpakai, dan aku bisa cepat mandiri seutuhnya. Ibu nggak boleh mikir macam-macam, percaya saja bahwa takdir kita adalah takdir yang baik adanya............," begitu ucap anak saya. Lalu tangan saya diraihnya dibawa ke hidungnya. Saya pun membalasnya dengan kecupan di pucuk rambutnya. Ah, wangi rambut dan tubuhnya itu masih sama seperti dulu. Wewangian lelaki yang sejati. Percampuran antara keringat dan harumnya parfum pejantan. Saya menebar senyum termanis untuknya. Sampai jumpa minggu depan ya nak..............

(Bersambung)

Minggu, 02 Desember 2012

SERENADA DALAM LEMBAH BIRU (19)

Air mata adalah sekresi langka yang terpaksa saya keluarkan dalam minggu ini. Pertama di awal minggu. Wujudnya berupa linangan karena buncahan rasa syukur di dalam hati. Sebabnya, anak lelaki saya, Andrie pada akhirnya diterima bekerja di sebuah lembaga konsultan di Jakarta yang dulu pernah menyatakan diri menolak lamaran yang diajukannya.

Awalnya anak saya yang sudah setengah tahun lulus kuliah, berniat mencari pekerjaan tak jauh-jauh dari rumah dengan maksud agar bisa tinggal di rumah merawat saya. Kebetulan sekali sahabat baiknya semenjak kuliah sudah bekerja lebih dulu, dan mendapati kekurangan staf di kantornya. Dia kemudian berinisiatif mengajak anak saya ikut melamar. Sayang lamaran anak saya tidak kunjung dibalas, sehingga terkesan anak saya tidak bisa bekerja di sana. Namun tanpa diduga, setelah anak saya juga sibuk mengikuti test penerimaan pegawai di sejumlah tempat, hari Jumat seminggu yang lalu sahabatnya memintanya datang menghadap kepala bagian kepegawaian kantornya itu keesokan harinya. Dalam pesan singkatnya, tiba-tiba anak saya diminta datang untuk diwawancarai tanpa perlu membawa surat lamaran.

Alangkah gembiranya kami, tapi tentu saja dicampuri rasa tak percaya sebab tanpa bersusah payah menulis surat lamaran. Janji mereka, anak saya cuma diminta menggandakan ijazah serta kartu identitas dirinya saja. Tak lebih tak kurang. Kejadian ini berlangsung ketika saya baru saja selama lima hari melaksanakan sembahyang tahajjud saya kembali, dengan melawan segala rasa yang mengganggu saya mengikuti saran dari sinshe yang merawat saya. Pesannya dalam kunjungan-kunjungan saya yang terakhir ke tempat prakteknya, saya diminta melaksanakan meditasi malam hari, sebab itu merupakan jalan untuk meminta segala hal, termasuk kesembuhan saya. Dia sendiri berjanji akan mendoakan saya sebaik-baiknya melalui meditasi yang dilakukannya. Lalu saya pun mengerjakannya. Meski banyak kendala, di antaranya adalah rasa sakit yang membuat saya ingin terus berbaring tapi saya tekadkan untuk mulai beribadah malam kembali.

Kenyataannya, setelah datang menghadap ke kantor yang memanggilnya di hari Sabtu, Minggu malamnya anak saya sudah mulai menginap di Jakarta karena kantor itu mengharapkannya mulai bekerja hari Senin pada pukul tujuh pagi. Padahal dari rumah kami agak sulit mendapatkan jadwal yang pas untuk berangkat dengan kereta listrik. Akhirnya, sahabat anak saya mengundangnya untuk menginap di tempat kostnya sambil mencari rumah kost sendiri.

Semudah itu semuanya terjadi, di hari Rabu malam, tiba-tiba dia mengabarkan bahwa rumah kost di daerah itu penuh semua. Ada tempat yang bagus, tapi harganya tak terjangkau. Sehingga saya menyarankannya untuk menghubungi kakaknya, yakni kemenakan yang saya asuh sedari kecil yang juga kost di Jakarta Selatan di daerah kantor anak saya Andrie. Seingat saya, kemenakan saya ini mengatakan rumah tetangganya yang menerima kost lelaki masih punya kamar kosong. Andaikata anak saya mau, dia akan mengajak untuk menyewa penatu pencuci pakaian mereka berdua. Dengan begitu ongkosnya akan lebih murah.

Mendengar saran saya, anak saya mengatakan akan menimbang-nimbang terlebih dulu karena dia masih ingin mencari kemungkinan tinggal bertetangga dengan sahabatnya agar bisa mengerjakan lembur mereka bersama-sama. Katanya lembur sering ada tiap hari, meski upahnya tak pernah dibayar. Saya hanya diam saja. Di dalam hati saya cuma mendoakan supaya keinginannya tercapai. Tak perlu kiranya saat sekarang memperhitungkan upah kerja. Sebab memperoleh pekerjaan secara tak diduga pun sudah membahagiakan benar. Maklum saya dalam keadaan sakit, dan anak-anak adalah penopang hidup saya. Lalu tak disangka-sangka lagi, dalam satu jam ke depan anak saya melaporkan bahwa dia sudah mendapat rumah kost yang lebih baik keadaannya dibandingkan dengan rumah kost temannya. Letaknya cuma di balik dinding rumah itu. Ongkos sewanya nyaris sama, bahkan ada kelebihan-kelebihan yang tak dimiliki di tempat sahabatnya. Katanya, saat itu dia menelepon sambil berjalan menuju ke rumah kostnya akan mulai tidur di sana. Subhanallah, semuanya begitu dimudahkan Tuhan.

***

Kali kedua saya menangis lagi, bukan disebabkan terharu atau bersyukur. Melainkan kesakitan. Sakit yang saya tak pernah membayangkannya sebelum ini. 

Hari itu saya sudah bertemu dengan sinshe. Obat taburan untuk tumor saya yang pecah menganga bernanah sudah di tangan saya. Isinya sangat sedikit, meski harganya tentu saja mahal. Sebab katanya, obat itu terbuat dari akar-akaran yang cuma tumbuh di daratan Cina. Baunya pun menegaskan itu. Sangat tajam, tidak ada enak-enaknya sama sekali. Obat itu harus dipakai secara cermat namun sering sehingga cepat sekali habis.

Ketika obat itu tinggal sedikit sekali, saya semakin berhati-hati menggunakannya. Sehingga luka saya tak kunjung membaik. Bahkan di hari itu, pagi-pagi saya sudah menahan tangis. Bayangkan saja, saya seperti merasakan luka bekas operasi besar di sekitar perut saya yang kehabisan obat pemati rasa. Sehingga saya amat merindukan narkotika dalam dosis yang tertinggi yang dulu kerap menjadi pelawan rasa nyeri saya. Demerol, saya mencoba mengeja namanya mengikuti saat pertama saya berurusan dengan rasa sakit akibat pembedahan.

Semakin siang saya tak kuasa lagi menyembunyikan perasaan saya. Perlahan-lahan saya pindah kamar menghindari kebersamaan dengan anak bungsu saya yang karena kesetiaannya mengorbankan waktu kuliahnya demi saya. Dia mengikuti dengan tatap matanya, tapi tanpa tanya. Kemudian saya melantunkan dzikir dan doa memohon agar saya diberi kekuatan kepada Allah dari balik selimut yang saya sengaja menutupi tubuh hingga wajah saya.

Saya tak tahan lagi. Tapi saya pun belum ingin mati. Saya masih mengharapkan dapat menyaksikan anak-anak saya benar-benar mandiri. Lalu bertemu gadis shalehah, dan meminangkan untuk mereka. Terakhir, saya ingin menyaksikan kelahiran anak-anak mereka yang akan saya asuh dengan cara yang sama seperti saya mengasuh anak-anak saya dulu. Dengan dongengan, gita kidung asmara serta obrolan-obrolan ringan dari hati ke hati. Saya ingin mengajari mereka mengucap doa ketika mereka menerima rizki mereka di meja makan setiap kali ibu mereka menghidangkan makanan, juga kesyukuran ketika mereka dibangunkan oleh matahari pagi kiriman Allah. Pokoknya, saya ingin mengajari caranya bersyukur lewat komunikasi sederhana dengan Sang Maha Pencipta.

Tiba-tiba saya teringat buku yang baru saja dibelikan Andrie anak saya. Tentang ibadah bagi orang sakit. Di sana ada pesan untuk tidak meninggalkan shalat dengan mengerjakannya sesuai kemampuan kita. Tak tertinggal ada doa-doa yang berkaitan dengan permintaan bagi orang sakit. Dari buku itu juga saya tergerak benar mengerjakan kembali shalat tahajjud saya, karena katanya, tahajjud itu amat disenangi Allah. Lalu permintaan orang sakit dikatakan dikabulkan olehNya karena shalat-shalat itu termasuk tahajjud.

Saya raih buku yang tergeletak persis di sisi tempat tidur anak saya itu. Karena selama sakit ini, saya memang sengaja memilih tidur bersama anak bungsu saya yang amat telaten merawat saya. Sambil menangis saya lantunkan doa yang diajarkan di situ. Terus berulang-ulang hingga tak terasa, saya mulai bisa menguasai diri. Setelah itu saya kembali ke ruang bawah menggabungkan diri dengan anak saya yang tengah asyik menyetrika pakaian sebab saya tak sanggup lagi melakukannya.

Dia menoleh ke arah pintu begitu mendengar saya membukanya. Tatapannya penuh curiga mengarah ke wajah saya. "Ibu kenapa?" Tanyanya amat lembut. Dia menghentikan setrikanya.

Saya menggelengkan kepala, tak urung saya jawab juga, "sakit dik, tapi apa yang bisa kita lakukan lagi?" Ujar saya seraya membaringkan diri di kasur saya sendiri yang sudah sangat lama tak lagi saya tiduri. Tiba-tiba sakit itu menyengat lagi membuat saya menjerit tak tertahankan mengakibatkan anak saya benar-benar kepanikan. Dalam situasi itu, mulut saya terus saja berdzikir dan berdoa mohon kebaikan, kesembuhan dan kekuatan untuk panjang umur.

Dengan bimbang anak saya mengambil telepon genggam saya. Lalu dia menghubungi sinshe menanyakan apa yang sebaiknya kami lakukan. Agaknya dia tak peduli lagi apakah saat itu sinshe tengah bekerja mengobati pasiennya. Untungnya sinshe segera menjawab. Kata sinshe dia tak bisa melakukan apa-apa lagi. Hanya menyarankan anak saya menaburi luka saya lebih banyak lagi dengan obat bubuknya. Menurutnya, obat bubuk itu sudah yang terkuat yang dipunyai farmasi keluarganya. 

Anak saya bergegas membuka pakaian saya untuk mengamati luka saya. Dengan cemas dia melaporkan keadaannya sangat buruk. Pecahannya amat lebar, sedangkan daerah di sekitarnya sangat membengkak merah kehitam-hitaman. Tapi saya puji, anak saya amat tenang di dalam melakukan semua tindakannya. Atas laporan pandangan mata anak saya, sinshe menyuruh anak saya untuk melucuti pakaian dalam saya, agar tak ada yang bisa menyentuh kulit saya. Lalu pakaian saya pun diharuskan diganti dengan segala yang serba longgar. Itu artinya, saya perlu punya persediaan pakaian tidur, daster yang sangat banyak. Maklum, tiap sebentar pakaian saya akan lengket dengan kulit saya yang senantiasa basah menyakitkan itu.

Hari itu alhamdulillah ada pelipur lara lagi yang datang juga tanpa terduga. Salah seorang teman sekolah kemenakan saya di SMP dulu yang sekarang menjadi anak maya saya di sini, datang bertandang ke rumah untuk kedua kalinya. Kali pertama dia mengantarkan buah-buahan segar yang menjadi menu harian saya. Dan kali ini dia kembali lima menit saja untuk membawakan saya sekeping Cakram Digital yang berisi musik-musik serta bahan perenungan yang bisa digunakan untuk menenangkan pikiran (relaksasi). Cakram istimewa itu, khusus dibuat oleh suaminya untuk saya. Bukan main, Maha Suci Allah yang Maha Agung. Dengan segala KasihNya telah dilimpahkan sejuta kebaikan yang tak terkira bagi saya sekeluarga.

Saat itu sakit yang saya rasakan seperti mendapat penawarnya. Saya mulai berdamai dengan deraan itu lewat masa istirahat yang tenang di atas pembaringan saya. Tuhan itu Maha Penyanyang adanya.

(Bersambung)



Pita Pink