Powered By Blogger

Sabtu, 12 Juni 2010

SEKEPING RINDU UNTUK MAS WILLY

Wajah persegi empat melebar yang penuh keramahan itu selalu ada dalam benak Athilla. Dia tak pernah bisa melupakannya, karena di sudut bawah bibirnya menggantung sejumput jenggot halus melengkapi senyum pada bibirnya yang merekah untuknya.

"Mas Willy," bisik Athilla perlahan sekali supaya orang-orang di dekatnya tak ada yang bisa mendengarnya. Dia melirik ke kiri- ke kanan. Hendro suaminya ada di situ di sofa yang membentuk sudut dengan kursi yang didudukinya. Wajahnya dibenamkan dalam-dalam ke koran yang sedang dibacanya. Kakinya menjulur santai di atas sofa biru tua itu. Dan di seberangnya anak-anak mereka sedang asyik menekuni kegiatan mereka masing-masing. Yang seorang pada komputernya memainkan game, sementara seorang lagi sibuk membunyikan piano yang dipakainya untuk melantunkan lagu-lagu masa kini.

Lelaki yang disebutnya mas Willy adalah suami Devina seorang periset di lembaga perbankan nasional yang cukup punya nama. Ketika ia dulu terbaring lemah di rumah sakit, mas Willy selalu membawakannya bahan bacaan dan buah-buahan untuk menghiburnya. Dia datang seorang diri di tengah kesibukan istrinya di kantor siang hari. Biasanya menjelang makan siang supaya dia bisa menolong Athilla menyuapkan makanan ke mulutnya.

Athilla nyaris selalu seorang diri di kasur dipan mekanik rumah sakit yang lama jadi rumah keduanya. Sesekali ada pembantu rumah tangga mereka menemaninya, tapi tidak mendampinginya menjalani semua rutinitas perawatan yang melelahkannya. Sementara itu, suaminya sendiri sibuk dengan pekerjaan kantornya dan baru akan datang ke rumah sakit menjelang malam ketika dia sudah menjelang tidur.

Tak pernah ada obrolan antara Athilla dengan suaminya sendiri. Sebab Hendro sepertinya enggan bicara jika berdekatan dengannya. Entah apa sebabnya. Di sisinya pada sebuah sofa bed, dia akan menancapkan matanya ke layar televisi yang dibiarkannya mempertontonkan berita atau hiburan. Selanjutnya dia hanya akan membuka-buka berkas pekerjaan kantornya atau bahkan tidur. Athilla tahu kebiasaan itu di sela-sela tidurnya ketika dia terbangun oleh sengatan sakit yang ditimbulkan sisa-sisa pembedahan dan penyakit di perutnya. Lalu di saat itu, suaminya hanya akan menoleh padanya sekejap untuk kemudian kembali pada keasyikannya sendiri.

"Kamu mau minum?" Cuma itu yang biasa dikatakan suaminya. Nyaris dingin tanpa sentuhan tangan yang diharapkannya membelai tubuh ringkihnya yang menjerit-jerit nyeri sekali.
_________

"Bu Hendro sebaiknya tiduran lagi," tiba-tiba Athilla seperti mendengar suara Willy yang mengusik kesendiriannya di taman rumah sakit yang dilingkari kaca di suatu hari dulu.

Dia menoleh takjub mendapati Willy tahu-tahu sudah berdiri di dekatnya bersandar pada pagar jaring kawat yang membatasi ruang duduknya dengan kolam air mancur di depannya. Matanya tajam mengarah kepadanya. Bibirnya menyunggingkan senyum nakal. Tapi jelas senyum yang dirindukannya sejak senyuman Hendro tak pernah tulus lagi padanya.

"Mas Willy kapan datang? Kok saya tidak dengar langkah kaki mas Willy?" Athilla bertanya malu-malu.

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Willy. Hanya tangannya yang terjulur menjangkau jemari Athilla untuk digenggamnya. Sesaat mereka saling bersalaman dan kemudian bertautan sambil berjalan menjauhi taman rumah sakit itu menuju kasur Athilla kembali di dalam sana. Para perawat diam-diam menyaksikannya tanpa suara.

"Mas Willy ke sini sudah seizin mbak Devi?" Tanya Athilla tegas. Walau jelas ia mengharapkan Devina tak akan pernah tahu itu.

"Jeng Devi di kantor. Banyak pekerjaannya hari ini. Tak mengapa saya datang sendiri, bukan?" Jawab Willy lembut.

"Bukan begitu, maksud saya mbak Devi tahu mas Willy akan menengok saya?" Air muka Athilla menjadi masam sementara dia menyeringai menahan nyeri yang ditimbulkan luka bekas operasinya saat dia berjalan perlahan dalam bimbingan tangan lembut Willy.

"Jangan khawatir bu Hendro, Devi tidak pernah punya waktu untuk mengurusi ke mana saya pergi. Bahkan untuk menanyakan hari-hari saya di rumah pun dia tak melakukannya," kedengaran getir Willy mengatakan kesehariannya bersama sang istri.

Athilla seperti tersadarkan akan dirinya sendiri. Dia dan Hendro masing-masing juga mempunyai dunia yang berbeda. Hendro sebagai seorang kantoran yang banyak tugas dan tanggung-jawabnya, sementara dirinya pengangguran yang cuma berkarya di belakang layar, mensupport pekerjaan Hendro yang memerlukan sentuhan tangan dan empati seorang perempuan.

_________

"Jeng Devi hampir tak punya waktu luang untuk kami berdua. Itulah sebabnya saya jadi bebas merdeka," papar Willy ketika Athilla sudah kembali berbaring di ranjang rumah sakitnya.

"Saya senantiasa ada waktu untuk mas Hendro, mas. Tapi mas Hendro punya dunia sendiri yang berlainan dengan dunia dan minat saya," jawab Athilla menyambut perkataan Willy yang sebenarnya bukan pertanyaan.

Sehabis itu mereka asyik mengobrol berdua, sembari tangan Willy mengupaskan jeruk manis atau memasukkan strawberry merah darah dengan seksama ke mulut mungil Athilla. Ada getar-getar kasih di sana yang menimbulkan gelenyar ke dada Athilla yang lama kosong merindu kasih. Begitu istimewanya lelaki beranak dua itu di matanya.

Konon Willy berprofesi sebagai dosen di sebuah perguruan tinggi negeri. Namun karena kesibukan dan pekerjaan istrinya, dia harus merelakan kariernya terhambat. Devina lebih membutuhkan dia di sisinya, untuk mengurusi kedua anak mereka Citra dan Johan, selagi dirinya bersibuk diri di kantornya untuk mengejar posisi yang lebih baik demi tuntutan emansipasi wanita.

Athilla bertemu pasangan Willy dan Devina untuk yang pertama kalinya di rumah Drs. Subardja, Bankir kenamaan di kota tempat tinggalnya ketika boss Devina itu menyelenggarakan pesta akhir tahun. Hendro yang diundang, membawanya serta sebagai adab kepantasan saja. Karenanya di pesta itu Athilla jadi terasing, tersudut di pojok halaman yang digunakan sebagai area pesta kebun. Dia duduk sendiri mengamati pasangan-pasangan lain yang asyik berdansa diiringi karaoke bahkan menyaksikan Hendro dengan teman-temannya menghabiskan malam di meja persegi membantingi kartu-kartu domino hingga pagi.

Di situlah Willy dan Devina menghampirinya, dilanjutkan dengan pertemuan-pertemuan lain yang terjadi secara tak terduga di sekolah Giri anaknya yang duduk sekelas dengan Johan. "Selamat pagi bu Hendro, putra-putrinya bersekolah di sini juga?" Begitu sapaan Willy yang diingatnya ketika ia mengambilkan raport anak bungsunya itu. Tahu-tahu Willy sudah menjejerinya dan mengajaknya bicara panjang lebar.

Berawal dari situ pertemanan mereka pun terus berlanjut. Sebab adakalanya Giri pulang sekolah diantar Willy setelah ia mempersilahkannya ikut sebelum sempat mencegat kendaraan umum yang senantiasa dinaikinya. Biasanya Willy akan turun di rumah mereka untuk menyerahkan Giri ke tangan ibunya, sebab dia tahu Athilla senantiasa punya kudapan lezat yang bisa dicicipinya. Dia ikhlas melakukannya, karena ternyata Johan juga senang bisa bermain-main dulu dengan Giri.

Nampaknya Hendro tidak tahu, atau setidak-tidaknya meskipun tahu, tak berkebaratan menerima kenyataan bahwa ada seseorang lelaki yang suka menjadi tetamu istrinya di waktu siang. Siapa yang peduli dengannya lagi? Hanya itu yang terasa di batin Athilla yang bukan seorang perawan kencur lagi setelah kedua anaknya bertumbuh besar dan dewasa.

------------

Di atas meja di hadapannya Athilla menghidangkan pisang goreng dari kebun Willy dan Devina. Hendro dan kedua anaknya tak tahu itu. Mereka makan dengan lahap disertai teh panas yang harum melati.

Tapi Athilla sangat sadar bahwa pisang goreng itu punya kenikmatan tersendiri. Yaitu legit yang dihasilkan oleh tangan Willy ketika dia mencangkuli lahan kebunnya. Juga harumnya yang istimewa adalah berkat cucuran keringat lelaki itu, bukan lelakinya sendiri. Maka Athilla tersenyum sendiri sambil menikmati kunyahannya dan mendengarkan anak lelakinya memainkan lagu-lagu melankolis dengan pianonya.

Hari itu baru saja dia ke luar lagi dari rumah sakit. Dan sekejap setelah Hendro kembali ke kantornya sehabis mengantarkannya pulang ke rumah, Willy sudah mengunjunginya di rumah sambil menjinjing sekeranjang pisang kepok yang tua kekuningan gemuk semua. "Semoga bu Hendro sehat untuk selanjutnya, tak perlu masuk rumah sakit lagi bu," do'a tulus Willy ketika dia duduk di ruang tamu keluarga Hendroyono. Pembicaraan itu terus berkembang sebagaimana hari-hari sebelumnya yang sudah lalu.

Di potongan pisang-pisang goreng do'a itu tertambat. Tapi terus terang ada rasa sesak menyeruak di dadanya. Athilla sangat ingin menikmati sakitnya. Sebab, dengan menjadi sakit, maka dia memperoleh pengganti kasih sayang dan perhatian suaminya.

Semuanya ada pada Mas Willy dan pisang-pisang serta serangkai cerita yang memberinya arti kehidupan. Bahwasannya lelaki dan wanita yang telah dipersatukan Tuhan dalam ikatan suci pernikahan tak selamanya bisa seiring sejalan.

Mereka ada di situ, sebagai contoh yang tepat. Willy sang Kepala Keluarga dengan terpaksa tersisih oleh kemajuan yang dicapai istrinya sendiri sebagai bentuk dari tercapainya kesetaraan hak lelaki dan perempuan. Di sisi lain, Hendro seperti tak rela jika istrinya banyak tahu dan banyak berperan membantunya mengatasi dampak ikutan dari pekerjaannya sebagai abdi negara. Athilla yang kemudian memperoleh popularitas tersendiri, haruslah dikucilkannya.

Maka dinafikan lah keberadaan Athilla dan direduksinya peran perempuan itu hanya sebatas perannya di dalam rumah saja. Ah, tiba-tiba Athilla jadi seperti sangat menikmati sakitnya. Di sakitnya itu dia serasa mendapat rahmat. Dan malam itu dia lupa bahwa Hendrojono suaminya sendiri ada di sampingnya.

- Taman Cimanggu, pertengahan Juni dua ribu sepuluh -
Pita Pink