Powered By Blogger

Minggu, 21 Maret 2010

PERJAMUAN SEMU

Menghabiskan sepi
Aku menari
Dibawa mimpi
ke jauh hari

: Buat Haryo

(Taman, 21 Maret 2010 malam 19.59)

Sabtu, 20 Maret 2010

PULANG DARI BRONX

Aku pernah memimpikan tidur di Bronx
Dan membaur bersama pekerja-pekerja kelas hitam
Membaui asap rokok
dan menjilati sisa-sisa alkohol mereka
sampai ke isapan yang terakhir

Aku pernah ingin menggumuli mereka
Dan menyisiri jaring-jaring kehidupannya
Barangkali pada sela-sela itu
Aku bisa bertemu kembali
anak rambutku
dan mata cincin yang jatuh terlontar jauh
ke kedalaman samudera hitam

Aku pernah ingin mengukir diriku
Biar terpapar luka, panas pedih peri
Lalu sesudah itu
kuterima ijazah
tanda aku sudah lulus
menantang kehidupan
yang lurus tanpa putus

Aku pernah bermimpi tentang Bronx
Di kota penuh gemerlap meski ternista hitam
Dan kini aku telah pulang
Melenggang dari New York
Kembali padamu
Rumah kehidupanku
yang abadi itu

(Menjelang selesai pertapaanku, di Bogor, 21 Maret 2010)

Sabtu, 06 Maret 2010

LAGU KEHIDUPAN

Aku melihat kejujuran di bening bola matanya yang menyala terang. Bola mata seorang perempuan yang dulu kupanggil sebagai ibu.

Juga kucermati keindahan cinta di senyumnya yang manis. Yang terlahir dari setangkup bibir merekah delima. Aku pernah sangat mengaguminya.

Sama kagumnya dengan perasaanku pada kelembutan suara merdu yang dihadirkannya ketika beliau membuaiku dengan sepasang tangan berjemari halus lagi lentik. Ah, perempuan itu begitu memukauku.

-----------

Dulu, dulu sekali ketika umurku belum genap sejumlah jari pada dua belah tangan, perempuan itu pergi meninggalkanku. Dengan tetesan air matanya dia menyampaikan pesannya, "selamat tinggal anakku," lalu menghilanglah bayangnya terbawa pusaran roda kereta yang konon kata nenekku berlari menuju ke Jakarta. Ke sebuah tempat yang bayangannya saja belum pernah mampir ke benakku. Apalagi sampai aku menghirup hawanya yang konon panas dan berbau penguk. Namun jelas tempat itulah yang mengusir ibuku dari sisiku, genap dua puluh tujuh tahun yang lalu.

Lalu sekarang, tiba-tiba semuanya seperti menjelma kenyataan. Aku berdiri di atas tanah kering yang retak oleh sengatan garang matahari. Di sekelilingku bangunan-bangunan menjulang tinggi menenggelamkan badan dan jiwaku yang memang kerdil. Selagi di luaran sana deru dentam kehidupan terasa, lewat motor-motor yang terpasang di tubuh besi kendaraan beraneka rupa, mulai dari yang kecil hingga yang panjang menyerupai gerbong sebuah kereta api.

_____

Dan perempuan yang kusebut ibu, kini ada di dekatku. Tapi raut wajahnya sudah menjelma keangkeran ibu kota. Bola mata itu tak lagi bening. Selapis rona merah menyelaputinya tipis-tipis, selagi gumpalan daging bertonjolan biru kehitam-hitaman di bawah kelopaknya.

Namun suara ibuku masih saja merdu, meski bau arak menyengat keras ketika dilantunkannya suara itu untuk mengajariku menyanyi. "Nadamu terlalu tinggi," koreksinya. "Ambil nafas dulu, dan buang pelan-pelan bersama lagumu," lontarnya lagi lain waktu. "Buka mulutmu lebar-lebar, dan perhatikan artikulasimu," beliau mengajariku lagi. Lagi dan lagi-lagi demi menjadikanku sebagai seorang penyanyi professional.

Ibuku memang menghidupi diri dari menyanyi. Beliau menghabiskan malamnya di sepanjang jejeran kelab malam yang memanjang di Jakarta Kota. Dan dari situ aku bisa menamatkan sekolahku yang tidak tinggi-tinggi amat. Tapi aku sudah cukup puas dan berterima kasih atas kerja keras ibuku, Sutini yang kini telah berganti menjadi Tien Aryati.

Itulah nama yang berhasil menautkanku kembali dengan ibunda, ketika aku datang ke Jakarta tiga tahun lalu. Aku sudah hampir lima hari menyusuri jalanan berdebu melawan ganasnya arus lalu lintas dan sengatan matahari. Tapi tak seorangpun bisa menunjukkan di mana Sutini, ibundaku berada.

Jalanan lebar, padat dan bising itu sudah kuhabiskan semuanya, sampai akhirnya aku tersuruk ke lorong-lorong memanjang bercabang-cabang yang sempit, gelap lagi berbau. Di situ aku merebahkan tubuhku. Pada sehelai karpet hijau tua yang sudah pudar warnanya dan tak lagi nyaman diduduki. Tapi justru di situlah aku menemukan kenyamananku sepanjang aku menghabiskan masa di Jakarta.

Aku diizinkan Engkong Ijong tidur bersamanya sambil membantu-bantu pekerjaannya membersihkan masjid dan menjaganya. Kurapikan kitab-kitab suci yang tak lagi beraturan, serta kucuci pakaian-pakaian sembahyang yang berbau dan kotor dengan kedua tanganku. Di sumur tua, pada sisi belakang masjid yang kemudian mempertemukanku dengan seseorang yang kucintai.

Gadis itu tak lebih tua dariku. Tapi kesengsaraannya menjadi warga ibu kota kelas pinggiran menjadikannya lebih matang dariku. Ceritanya, dia beribukan seorang pekerja malam.

"Di bilangan Tanah Abang, bang," dia menyebutkan lokasi pekerjaan ibunya. "Mama baru akan sampai di rumah selepas jam dua malam. Karena itu semua pekerjaan terpanggul di bahuku........" Getir diceritakannya kerasnya kehidupan Jakarta padaku.

"Bagaimana dengan ayahmu?" Tanyaku tak bisa mengerti. Yang ada di pikiranku, lelaki yang disebutnya ayah seharusnya menanggung beban kerja luar rumah yang dilakoni ibunda Mariati, gadis itu.

"Ayahku ikut kerja sebagai TKI di negeri tetangga. Sudah sangat lama, ketika lahan parkiran di seputar pasar Tanah Abang jadi keroyokan banyak orang. Ya, hasilnya memang tak juga seberapa, tambahan lagi ayah jarang-jarang pulang," gadis itu menggigit bibirnya sambil meneruskan mencuci baju-baju mereka diterangi bulan di langit sana.

"Apa saja kegiatanmu di waktu siang, dik?" Tanyaku penuh selidik.

"Mengurus kelima adikku sambil mencucikan baju-baju orang di sekitar sini," dia berkata lagi separuh sambat. Ada sebersit kepahitan di suaranya yang datar. Katanya dia cuma tammatan SMP. Dan di Jakarta, itu artinya tak ada perusahaan apapun yang mau menerimanya sebagai pegawai kecuali mungkin sebagai tukang sapu. "Klining servis, bahasa kerennya, bang," dia menjelaskannya padaku yang turut prihatin akan nasibnya.

Maka mulai malam itu aku duduk-duduk di bangku kayu di sumur masjid itu bersamanya, turut membantunya mencuci baju keluarganya sendiri. Dua washkom plastik besar diisinya penuh-penuh dengan air yang ditimbanya dengan pompa tangan. Ah, kasihan benar nasibnya.

"Boleh aku ikut mencucikannya?" Tawarku ketika dia datang lagi sambil membawakanku semangkuk plastik nasi putih dengan sekeping kerupuk, tempe goreng dan kuah sayur.

"Ini untuk abang," katanya malu-malu sebelum menolak tawaranku dengan halus. Pipi itu menunjukkan lesungnya, walau dia tidak tambun. Dia tahu dari Pak Ijong bahwa aku sedang mengelana menyusuri ibu kota untuk mencari perempuan yang melahirkanku tanpa bekal yang cukup.

"Terima kasih," kataku senang pada akhirnya. "Biarkan tanganku yang mengerjakan baju-baju kalian, selagi kau menyetrika hasil cucianmu kemarin," bujukku merengek-rengek.

Dia menatapku tajam-tajam sebelum kemudian mengangguk setuju dan tersenyum lagi. Lalu dia melangkah masuk ke bagian belakang masjid dan menggelar selimut-selimutnya di lantai sebelum mencolokkan kabel setrika listriknya di situ. "Di rumah kami tak ada tempat bang, adik-adikku bergeletakan nyaris di seputar ruang rumah kami," penjelasannya tanpa kuminta seraya menggambarkan keluasan rumahnya yang sempit dengan gerakan tangannya.

----------

Dan di salah satu saku celana panjang perempuan itu, aku menemukan sehelai foto. Seorang wanita paruh baya yang wajahnya mirip topeng. tapi aku seperti sangat mengenalinya. Ada sepenggal ingatanku di balik baluran bedak tebalnya dan lipstik merah menyala yang tergambar di foto itu.

"Ini, kutemukan foto ini di saku celana panjang coklat tua itu," ungkapku seraya menyerahkan foto itu kembali ke tangannya. Untung belum basah kena siraman air yang nyaris saja kukucurkan dari tabung pompa.

"Aduh, terima kasih. Itu ibu saya," jawab si gadis. "Kemarin ibu ke kelurahan mau buat KTP baru," dia menjelaskan padaku asal-mula foto itu menghuni saku celana panjang sang ibu.

Dan sejak itu, bermalam-malam lamanya kami asyik mengobrol bertiga dengan kong Ijong selagi dia menyeterika dan aku mencucikan baju-bajunya.

"Dia sudah mirip cucu saya sendiri," Kong Ijong bercerita tentang Mariati.

Sebetulnya Mariati anak cerdas, pandai mengaji dan rajin pula. Tapi nasib membuatnya tak bisa berkiprah apa-apa. Dia seperti harus mengalah demi adik-adiknya yang menurutnya wajib diutamakan.

"Abang ajari Maria Bahasa Inggris dong," pintanya ketika dia tahu aku lulusan D-1 Bahasa Inggris di kampungku.

Dan mengajari Mariati tidaklah sesulit yang kubayangkan, karena perkataan Engkong Ijong benar adanya. Dia sangat cerdas dan mudah mengerti.

Dari hari ke hari hubungan kami menjadi semakin dekat. Dia tak ubahnya kekasih bagiku, selagi kelihatannya dia juga menaruh hati padaku walau tak dikatakannya. Aku juga mengajari adik-adiknya mengaji karena aku sudah menjadi orang kepercayaan Kong Ijong untuk berbagi murid. Tidak sia-sia pelajaran yang diturunkan mbah Samad kakekku setiap malam di langgar keluarga kami di desa sana.

"Rasid, kamu harus menemui ibunya sebelum kamu berangkat ke pasar nanti. Agar kamu bisa mengenali keluarganya lebih baik. Tidak patut kamu menggauli anak gadisnya, tanpa mengenal orang tuanya," tegur Kong Ijong selepas sembahyang subuh ketika aku hendak pergi mandi. Sebab sebelum pukul setengah tujuh aku sudah harus berangkat ke perusahaan yang mempekerjakanku dan mempercayakan pengiriman barang ke para pedagang di pasar. Dan biasanya, ibunda Mariati yang katanya bernama Tien Aryati sudah terbangun untuk mengurus anak-anaknya sebelum kemudian berangkat lagi ke kapsalon milik ibu Susy di daerah Rawamangun yang mempekerjakannya sebagai penata rambut.

Aku mengangguk, mengiyakan Kong Ijong. Maka selepas menghirup teh panas dengan singkong rebus yang disiapkan Nyak Jaenab istri beliau di dapur bilik gubug mereka yang merapat ke tepi Ciliwung, aku memberanikan diri mengunjungi rumah petak keluarga Mariati. Di pintu rumah mereka yang gelap serta pengap, Mariati menyunggingkan senyumannya kepadaku.

Kuutarakan maksudku kepadanya. Disambut oleh seraut wajah kuyu yang menurutku sangat kukenali, aku melangkah masuk. "Oh, ini nak Rasid yang kata si Mar sudah setengah tahun lebih tidur di masjid?" Semburnya tanpa basa-basi.

"Yuk, sini duduk deh. Ada perlu apa?" Sambungnya ketus.

Hanya ada sebuah sofa tua di situ dan tiga kursi plastik yang masing-masing berlainan warna. Aku menempati salah satunya, selagi si ibu duduk di sofa agak menjauhiku.

Kuungkapkan maksudku untuk memperkenalkan diri, sebab aku merasa juga bahwa aku sudah terlalu akrab dengan anak gadisnya. Lalu perempuan tua itu menyambungnya dengan cerita tentang mereka sendiri.

Suaminya pergi bekerja sebagai pekerja di lahan kelapa sawit di Kalimantan Utara tapi tanpa pernah pulang ke rumah. Hanya sesekali dia mengirimkan uangnya dengan dititipkan kepada orang yang kebetulan bisa dititipi. Selagi ibu itu sendiri, yang katanya tak pernah berani pulang ke kampung halamannya, bekerja keras siang-malam demi menghidupi selusin anggota keluarganya.

"Ayahku seorang guru di Madrasah. Dulu sebelum meninggalkan desa, aku berpamitan akan mencari suamiku, yang meninggalkan aku dengan anak sulungku lelaki ke Jakarta untuk mengadu nasib. Tapi dia tak pernah kutemukan di rimba raya Jakarta ini. Sedangkan bekalku habis tak bersisa walau sekedar untuk ongkos pembeli karcis kereta malam," cerita bu Tien kepadaku.

Setelah itu dalam keputusasaan aku mau saja menjajakan diriku ke tangan siapapun orang yang bersedia memakai tenagaku sekedar untuk mencukupi kebutuhanku serta mengirim biaya hidup anak lelakiku di kampung.

"Mas Warjo transmigran asal Lampung itulah yang mula-mula memakaiku sebagai temannya mengamen di jalanan ibu kota. Kami biasa naik-turun bus dan keluar-masuk kampung. Dia juga yang pertama-tama memberiku rumah tumpangan di belakang warung nasi milik bibinya yang asal Tegal. Kami membayar murah di situ. Tapi uang kami tak pernah cukup untuk ditabungkan dan dibawa pulang ke desa. Akhirnya kami menggelandang di sini dari satu kampung ke kampung, dengan membuahkan Mariati dan adik-adiknya. Lalu mas Warjo berpamitan mengadu nasib ke luar negeri, sedang aku terpaksa bergelut sendiri demi menafkahi anak-anak kami yang terlahir tanpa surat kelahiran. Sebab kami hanya menikah di bawah tangan," ungkapnya getir. Katanya beliau tak pernah punya biaya untuk mengurus pernikahan mereka.

---------

Nasib baik berpihak kepada bu Tien. Suaranya yang lumayan merdu terdengar oleh seorang pemilik kelab malam. Lalu dia dipekerjakan padanya. Sebagai penyanyi sekaligus wanita penghibur. Setelah itu, seorang waria temannya di kelab malam itu membawanya bekerja di kapsalon milik temannya ibu Susy, sebagai penata rambut partner kerja dirinya yang ahli merawat dan merias wajah. Itulah yang ditekuni dan tetap dilakoninya hingga kini agar Mariati dan kelima adik-adiknya tetap dapat makan walau tak seberapa.

"Keinginanku hanya satu Rasid," sambatnya kemudian. "Bertemu kembali dengan anakku sendiri yang mungkin sekarang sudah bujangan dan punya keluarga juga," ia kelihatan memendam rindu di suaranya yang parau. Ada setitik cairan bening meleleh mengaliri kedua belah pipinya. Ah, keinginan yang sama denganku yang tengah menelusuri keberadaan ibu Sutini, ibundaku.

"Di mana kampung ibu?" Tanyaku ragu-ragu namun sesungguhnya sangat ingin memperoleh kepastian darinya.

"Di sana, di Jawa.......," dia tak menuntaskan kata-katanya.

"Aku sangat rindu padanya. Terlebih-lebih ketika aku mencermati lekuk-liku wajahmu yang tampan. Kau sangat mirip dengannya. Nasarudin, lelakiku yang tak pernah kutahu lagi keberadaannya." Kini air mata itu mulai mengalir semakin deras.

Seketika hatiku tercekat! Nasarudin. Nama lelaki yang sangat mirip dengan nama yang pernah kudengar keluar dari mulut kakek-nenekku ketika mereka berbincang-bincang suatu hari di masa kecilku dulu. Kalau tak salah tangkap, itulah lelaki yang harus kusebut sebagai bapak.

Wajahku menjadi pucat pasi. Padahal terangnya matahari mulai menembusi kaca nako di ruangan sempit itu. Mariati yang kini kusebut sebagai gadisku menatapku dari ruang dalam yang tanpa sekat sambil menyapu lantainya bekas guguran butir-butir nasi goreng adik-adiknya. Aku jadi malu karenanya.

"Di mana tepatnya kampung ibu?" Tanyaku dengan bibir bergetar hebat.

Kini perempuan tua itu yang kebingungan menatapku. "Ada apa gerangan?" Dia balik bertanya.

"Hm....., saya juga datang dari Jawa," kataku ragu-ragu.

Dia tak menjawab cuma mengatupkan bibirnya. Aku tak dapat menerka apa yang ada di pikirannya. Bagiku, ibu ini penuh tanda tanya. Serumit perjalananku menyusuri ibu kota guna mencari ibu yang telah melahirkanku.

Akhirnya kamipun terdiam sangat lama. Sampai suatu saat dia memulai pembicaraan ketika aku akan melangkah berpamitan.

"Nak Rasid, besok kembali lagi ya," ibu masih mau bicara kepadamu.

-----------

Pagi itu, di sudut dapur sempit mereka, aku ikut duduk menyantap nasi goreng buatannya atas permintaannya. "Apakah kau berasal dari Jawa Tengah?" Tanyanya mula-mula. Kemudian beliau menyebutkan sebuah daerah yang aduhai, tak lain dan tak bukan adalah tanah kelahiranku jua.

Setelah itu semuanya berakhir dalam pelukan dan tangis yang memecah kesunyian diri. Sunyi dari rasa cinta dan kasih sayang yang lama tak tersalurkan. Ibuku Sutini kini menjelma menjadi Tien Aryati. Dan dia memelukku sambil menghabiskan semua rindunya padaku.

Lalu berakhirlah sudah kisah asmaraku melumat bibir perawan Mariati di sumur tua masjid yang kutinggali. Sebab, dia adalah adikku sendiri.

Dan, malam ini ketika audisi pencari bakat penyanyi baru tengah berlangsung, yang tergambar di mataku hanyalah kisah masa laluku dan lecutan ibundaku yang mengajariku melantunkan lagu-lagu sebagai modal mencari nafkah. Sebab, aku sadari, aku harus mengambil alih beban berat yang selama ini dipanggul seorang diri di bahu adik cantikku : Mariati sang perawan yang belum sempat kunodai. Alhamdulillah, imanku masih kuat. Semua karena Allah Lillahi Ta'ala.

(Bogor, sembilan Maret dua ribu sepuluh)


Pita Pink