Powered By Blogger

Minggu, 31 Januari 2010

AKU

Aku
sekeping do'a di senja kala
Sebersit waktu di remang malam

Aku
mengayun langkah menuju Allah
Menghimpun bekal mengarah ke rumah
Tempat berkumpul semua senandung dan puji-pujian
Lagu abadi irama maknawi
Penyejuk diri pembuka hati

Aku
bersama dzikir menghamba diri
ke ribaanmu
Tuhanku
Sampai saat kau datang mengambil
Semua apa yang aku punya
Dengan seluruh rentak kasih-Mu
Rebah tanah menyelimutiku
Agar kekal cintaku satu
Kepada-Mu dan kasih sayang itu
abadi selamanya.


(Hari pertama Februari dua ribu sepuluh di Taman)

Sabtu, 30 Januari 2010

DI BERANDA RUMAH PADA SUATU PAGI

Mencuri pandang padamu
Aku tergores ingatan
Kau adalah sebentuk kenangan
yang menjelma bayang-bayang
Melintasi khayal
Meracuni sukma

Meneguk kisah-kisah manismu
Laksana meracuni lembar-lembar buku ceritaku
Tentang cinta, cita dan kehidupan

Mencermati bentuk bayangmu
Aku pun terdiam terpana
Tak ada lagi yang tinggal
pada cangkir kopi masa laluku

Segalanya punah sudah
Dan tinggal nama
yang ku simpan di sini,
pada sela-sela ingatanku.

(Minggu berawan, bumi dipelukan hujan, hari terakhir Januari dua ribu sepuluh)

Minggu, 24 Januari 2010

SESUDAH REMBULAN NAIK DARAH

Di suatu malam
Rembulan jatuh di pangkuanku
Menimbulkan derit-derit berderak
Di atas kasurku

Aku tahu
Malam itu aku yang punya
Dengan seluruh dengus nafas dan deburan dada tertahan
Luruhlah cinta
Ke dalam kain lusuh
Sampai sirna
Sorot rembulan di pangkuanku
Dan dia naik ke atas meninggalkanku
Menjauhi tilam
Membuka sepi dan sunyinya diri
Sesudah itu.


(Minggu Malam di Taman hening, diiringi rintihan hujan yang meniris turun ke pangkuan bumi 24.01.10)

Kamis, 14 Januari 2010

DI BALIK GEMERCIK PINTU AIR MANGGARAI

Langit mendung di atas kota Jakarta tak menyurutkan langkah ibu dan anak itu menyusuri jalanan ramai di sekitar pintu air Manggarai. Ada debu yang diterbangkan angin di sekitar mereka, hinggap di baju putih perempuan separuh baya itu serta mengotori kacamata baca anaknya yang rabun sejak kecil.

"Ke mana kita harus melangkah Mak?" Pemuda itu menghentikan kaki indungnya yang dengan sigap akan mengarah ke utara. Kereta Listrik yang membawa mereka baru saja lari menuju pemberhentian berikutnya, di Cikini dan pemberhentian-pemberhentian selanjutnya.

Si ibu berhenti, diam terpaku, kerut-merut di keningnya menunjukkan dia sedang mengingat-ingat sesuatu. Bayangannya memang segera berlari ke masa mudanya, ketika dia dan ayah pemuda itu berbimbingan tangan mencari arti hidup mereka yang disebut sebagai jati diri.

Mereka mendatangi pusat keramaian Indonesia untuk sebuah memoar. Sejarah keberadaan mereka di bumi ini.

"Hm, kalau tidak salah ke arah sini, tuh ke utara...........," dia menebarkan pandang kosong seraya menunjuk ke suatu tempat di kejauhan. Dan melangkahlah terus kaki-kaki itu, hingga dia dihinggapi setitik keraguan karena kota telah berubah wajah.

Si ibu menghentikan langkahnya, menggamit lengan anaknya, terdiam sebentar, menoleh ke deretan bajaj yang mengantri menunggu muatan di muka pintu stasiun. Dan dia memutuskan untuk menukar arah, balik badan menuju ke selatan yang tidak begitu diyakininya.

Dan di selatan situ, sesuatu yang semakin asing di otaknya kembali menghentikan langkahnya untuk sekali lagi memutar kaki mengarah ke utara. "Ya. Mak tak ragu lagi. Di sana, di bawah sana, di arah sebelah barat pintu air, itu tempat yang kita tuju." Lalu keduanya melangkah pasti, menderap kaki tegap, menuju masa lalu mereka.

Deretan pedagang sepatu murahan sekaligus tukang sol menjadi pemandangan pertama yang hinggap di bola mata mereka. Kemudian lalu lalang otobis, sedan, jeep dan motor yang berbaur dengan si oranye bajaj menghadang mereka untuk mencermati arah yang pasti.

"Assalamu'alaikum bu, ma'af saya mau mengganggu. Bisakah ibu menolong saya menunjukkan arah Jalan Minangkabau? Saya hendak mencari seseorang dari masa lalu kami di situ," sapanya ketika dia menampak seorang perempuan penjual peralatan tulis-menulis duduk mencakung di kedainya di pertigaan jalan.

Ditengadahkannya wajahnya menatap si pendatang. Dibetulkannya letak kerudungnya, seraya ditunjukkannya arah di hadapannya yang katanya masih cukup jauh. "Ah, ibu harus menyeberang ke arah sana, ibu lihat lampu lalu lintas itu? Di situ banyak pedagang keramik, ibu bisa menayakan kepada mereka letak Jalan Minangkabau dengan tepat. Ma'afkan saya tidak banyak tahu," sambutnya ramah diiringi senyuman.

Maka ibu dan anak itu mengucapkan terima kasih mereka seraya beranjak pergi. "Tapi ibu boleh menumpang sembarang kendaraan umum dari sini, tempatnya masih cukup jauh," seru perempuan itu lagi dari kedainya.

Meski mengangguk, sang ibu membisikkan di telinga anaknya sebuah pengharapan yang bernada menguatkan, "naluriku benar semata. Ayo gunakan kaki-kaki kita yang menyimpan tekad. Kita akan sampai ke sana dengan segera."

Si pemuda menorehkan pandang tak percaya di hati ibundanya, yang segera diredam dengan senyum dan untaian nada kepastian, "aku ingat masa itu. Kami berbimbingan menyeberangi jalanan ini, menapaki kaki lima itu, dan kita akan segera sampai. Masih tercium bau keringat ayahmu yang sudah lekat bercampur dengan Monsieur Rochas yang dulu kubelikan di Pasar Kosambi. Ayolah melangkah lagi, dan kita ulangi kini jalan kenangan kami. Engkaulah pemuda yang kusimpan di laci mimpiku.........."

Dan pemuda itupun memaku semangatnya. Degup jantungnya berlomba dengan derak-derak langkah yang dihasilkannya dari sepasang sepatu kulit hasil kerja keras ayahnya. "Aku tekadkan tetap mengawalmu, emak. Kemanapun emak ingini, aku ada bersamamu. Dan akulah tiang penopang itu andai kau harus tumbang dihancurkan kejamnya impianmu............"

---------

Jakarta di awal duaribu sepuluh adalah kota yang pengap. Basahnya lumpur menambah kejorokan kota. Membawa kaki melangkah lebih berhati-hati menguak merah-hitamnya metropolitan yang lama ditinggalkan anak Betawi.

"Sebaiknya kita menenangkan diri dulu sejenak di dalam pertokoan megah ini anakku. Ada serpih-serpih kenangan yang harus aku tata lagi, dan kugali ulang," kata perempuan itu seraya mencoba menarik sekeping pintu kaca yang cukup tebal. Sayang, hari masih terlalu pagi untuk berdiam diri di situ. Maka dilanjutkannya lagi perjalanan itu ke titik lampu yang sudah semakin jelas di penglihatannya. Si pemuda setia mengiringkannya.

Ternyata Jakarta bukanlah kampungnya. Dan titik lampu yang ditunjukkan ibu penjaga kedai yang tadi ditanyanya, hanyalah area di muka batang hidungnya. Mereka berdua tersenyum lega seraya saling menggenggam tangan dan berpandangan. "Tempatnya sudah dekat ya, mak?"

Perempuan itu mengangguk-angguk tetap dengan senyuman yang tersungging. Pagi yang mendung itu mulai dijalari kehangatan dari hati yang memancarkan harapan bahagia.

Sederetan penjual keramik keperluan rumah ada di hadapan mereka. Wastafel, bak cucian, we-se dan sejenisnya berdampingan mesra dengan kursi-kursi roda, tongkat serta berbagai keperluan orang sakit. Pedagangnya para pribumi yang ulet nampak mengelap, memoles dan membersihkan barang dagangan mereka. Agak berseberangan dengan kedai-kedai itu, air sungai yang keruh masih tetap seperti dulu rajin menggelontorkan sampah menuju laut Jawa. Di bawah jembatan yang membelah kota, pintu air setia menjalankan tugasnya, persis seperti limapuluhlima tahun yang lalu, ketika darah moyang mereka mengalir berceceran di sekitar situ.

------------

Kaki-kaki itu limbung tak tentu tapaknya. Terbaca jelas Jl. Sultan Agung di daerah yang sedang diinjaknya itu. "Ah, kemana kita harus bertanya? Ini bukan Jalan Minangkabau yang kita cari.........," sambat perempuan itu lemas.

"Ya mak," sahut anaknya. "Tapi semua petunjuk mengarah kesini, termasuk memori emak yang tajam dan kuat," katanya melanjutkan.

Mata perempuan yang mulai mengarah ke senja itu menatap nanar. Dia tak bisa mempercayai penglihatannya. Dihentikannya langkah kakinya sambil digenggamnya terus tangan pemuda yang hangat itu. "Apakah kita telah kehilangan jejak dan kehilangan harapan?" Tanyanya tak pasti entah kepada siapa.

"Belum mak," kedengaran deru dentam suara pemuda itu memecah gendang telinganya. "Kita pasti menemukannya. Emak selalu tahu caranya........" Lalu digamitnya lagi tangan sang bunda yang menggenggam harapan sempurna.

Dengan sejuta kebimbangan dia menanyakan alamat yang ditujunya kepada seorang polisi lalu lintas yang sedang berjaga di atas sepeda motornya, dan sang polisi itu menjawab dengan jelas. "Kembalilah ke ujung jalan, berbeloklah ke kanan, Disitulah letaknya Jalan Minangkabau." Ditinggalkannya seulas senyum dari bibir yang tertutup kumis rimbunnya yang dibalas dengan ucapan terima kasih serta sorot mata yang indah.

Ah, jalan itu begitu meragukan. Tak ada tanda-tanda bahwa jalan besar itu bertajuk Minangkabau. Maka, langkahnya berbelok diikuti persetujuan anaknya ke arah yang diingini kakinya. Di dalam situ, ada sebidang jalan sempit dengan deretan rumah tinggal penduduk yang masih cukup tradisional. "Jalan Pariaman," demikian bunyi yang diucapkan mulut perjakanya.

"Di sini, di sini kita akan menemukan mutiara hidup yang kita cari. Ya, di sini." Perempuan itu bergumam sendiri tanpa menghiraukan kebimbangan perjakanya. Sehingga sang perjaka turut menghimpun keyakinan untuk menelusuri gang selebar dua mobil sahaja.

"Ini rumah pertama," ujar anaknya sambil memandangi sebuah bangunan tua yang tampaknya tak lagi berpenghuni. Hanya ada secarik kertas dengan tulisan, "Dijual. Hubungi nomor telepon sekian." Pupus harapan di hadapan mata, dimakan oleh gerbangnya.

"Kita teruskan ke utara, di sana, di sebelah sana kita akan bertemu.........," ibu itu menggumam menggenggam harapannya. Lalu kaki-kaki itu melangkah lagi menderapkan kulit di bawah telapak sepatunya.

"Di mana? Pada siapa?" Sebentuk tanya bertalu-talu tak terucap di benak sang pemuda. Sebab dia tak tahu apa-apa tentang dirinya, tentang kedua orang tuanya, apalagi tentang moyangnya dahulu.

Satu-satu bangunan terlewati dengan para penghuninya bertebaran menghiasi kampung serupa gambar di kanvas pelukis jalanan Tanah Abang. Tembok-tembok tua yang diyakini ibunya tak setua nenek moyangnya, bahkan juga tak setua dirinya, seakan-akan mengejek angkuh menertawakan niatannya. Tapi hatinya telah bertekad, niatan telah membulat baja.

"Sekolah Trisula," ucap anaknya di depan sebuah bangunan sederhana bertingkat dua. Tonggak bola basket menghiasi lantainya yang terbuat dari semen. Dan sejumlah anak muda memamerkan enerjinya di situ. "Maka kita selayaknya kembali, karena ini jalan tikus tiada berujung," begitu katanya datar.

"Tidak," bantah si ibu. "Aku menyimpan tanya di ujung sana. Di selasar jalan yang tak jelas, kita menyimpan asa. Tegakkan betismu. Melangkahlah terus tegap-tegap. Tidak hanya untukmu, tapi untukku juga," perempuan itu membasahi bibirnya.

Pagi mendung di Jakarta mengirimkan semangat baru ke dadanya. Dan dia mengekor di belakang ibunda. "Jakarta hari ini adalah perkecualian. Bukan sengatan mata hari yang menguras tenaga dan emosi, ananda," demikian dengan jelas dan sadar didengarnya ibunya menggumam. Dan diapun mengangguk setuju.

----------

Lelaki tua itu dijumpai mata anaknya, sedang mencakung di teras rumah betonnya yang sempit di balik serangkaian besi baja yang membentuk pagar. "Dia ada di situ, mengapa emak tidak berniat menanyainya?" Kata yang terlontar dari mulut sang bujangan menyentuh hatinya.

"Dia siapa?" Balas sang bunda. "Perempuan itukah?" Selidiknya sambil menoleh ke belakang. Seorang perempuan seusianya duduk-duduk santai di mulut gang menjemur tubuhnya yang tambun kecokelatan. Rambutnya dipangkas pendek mirip lelaki nyaris kemerahan.

Sang anak menggelengkan kepalanya. "Bukan, bapak tua di balik pagar besi itu," tunjuknya membuat sang bunda mengerti benar.

Kemudian disentuhnya lengan anaknya, dan merekapun berdiri mendekat, ke hadapan sang kakek yang masih bugar. "Assalamu'alaikum, izinkan kami mengganggu bapok," sapa perempuan itu.

"Wa alaikum salam anak muda, silahkan, ada yang bisa saya bantu?" Balas sang lelaki santun dengan kearifan lokal seorang pribumi.

"Ya, saya mencari Jalan Minangkabau, karena saya mencari masa lalu kami. Adakah bapak berkenan membantu?" Mata kuyu itu menelisik setiap kerut di wajah sang penunggu kampung yang baru saja ditunjukkan Allah kepada mereka secara menakjubkan.

Dengan mengerutkan keningnya, lelaki itu meneliti kesungguhan yang diucapkan perempuan itu. Setelahnya dia menunjuk ke arah selatan, "kalau anda tadi datang dari sebelah sana, maka anda telah menginjak Jalan Minangkabau."

"Ada yang anda cari di Jalan Minangkabau itu?" Mata tua itu menelisik lagi menjabarkan semua tanya di kepalanya.

Sang perempuan bergumam, "ummmm......... saya mencari masa lalu kami. Apakah anda penduduk lama di sini?"

Lelaki itu tak menjawab, tapi sorot matanya sangat meyakinkan.

"Saya ingin mengetahui mengenai seorang Habib yang berprofessi sebagai Tabib di situ pada kurun waktu Indonesia baru merdeka..........," perkataan itu menggantung begitu saja dari mulutnya yang kering,

Serta merta dengan bahasa tubuhnya yang halus, lelaki itu bermaksud membukakan pintu pagarnya, yang disongsong dengan permohonan sang tetamu agar diizinkan duduk bersamanya di teras. Pagi menuntaskan air di langit lewat gerimis yang turun rintik-rintik di bumi Jakarta.

"Silahkan," katanya dengan suara tuanya yang masih cukup merdu sambil menarik sebuah kursi lagi untuk dirinya agar muat untuk mereka mengobrol bertiga.

Mata tua itu mengawasi kedua tetamunya dengan tajam ganti berganti tanpa bantuan kacamata. Gigi-giginya yang putih rapi berderetan memamerkan keperkasaannya lahir dan batin sejak usia muda hingga tibanya senjakala.

"Apa yang ingin anda ketahui dari Habib itu?" Sang kakek bertanya tegas.

"Banyak. Apakah bapak penduduk asli disini?" Sahut sang perempuan mendesak lagi.

"Ya dan tidak. Saya bekerja untuk SS di kala republik ini baru berdiri......." Jawab sang kakek.

"Staat Spoor?" Mulut perempuan itu berusaha membunyikan kata Belanda yang asing di telinga sang anak.

"Ya, di Balai Yasa Manggarai. Istri saya penduduk sini, sedangkan saya datang dari daerah Jatinegara," lanjut sang kakek menjelaskan. "Pada tahun 50-an daerah ini belum seramai sekarang. Saya mengajari anak-anak mengaji di kala senggang. Dan salah seorang murid saya adalah keluarga dari Habib keturunan Arab di Jalan Minangkabau. Hussin namanya," dia menuntaskan ceritanya.

Dan perempuan itu tersangkut kembali pada ingatannya sendiri. Mulutnya menganga lebar, dengan senyum yang sempurna dibenarkannya perkataan sang Kyai. "Ya betul, kalau tidak salah Habib itu berdarah Arab dan mempunyai sifat penolong. Ibu mertua saya telah mendapat seorang anak darinya, karena beliau memang dapat membantu persalinan di rumahnya itu," ujarnya.

"Oh ya. Betul, Habib itu juga bekerja sebagai Tabib. Dan karena pekerjaannya ini pula, Habib itu tiba-tiba menghilang di awal tahun enampuluhan. Saya tak tahu lagi kemana dia pergi. Tak ada jejaknya yang tertinggal, tak ada rekam miliknya yang nampak di daerah sini lagi. Saya dengar Habib itu telah dibawa polisi." urai sang kakek dengan jelas.

Perempuan itu membuka telinganya lebar-lebar dan menegakkannya tinggi-tinggi selayaknya anjing mewaspadai sesuatu. "Maksud bapak bagaimana?" Tanyanya bingung. "Saya tidak mengerti."

"Saya mendengar kisah bahwa sang Tabib gemar berbuat hal yang kurang pada tempatnya terhadap orang-orang yang ditolongnya, dan salah seorang di antaranya adalah keluarga dari orang ternama di negeri ini. Sebagai akibatnya dia harus menanggung beban diamankan oleh kepolisian serta menghilang tanpa jejak dan tak berbatas," jawab lelaki tua itu.

Perempuan itu terkejut mendengarnya. Nampak kebingungan campur kekecewaan dan keterkejutan muncul di rona wajahnya. Dia saling berpandangan dengan anaknya.

"Ma'afkan saya. Kami harus menemui Tabib itu. Saya memerlukannya untuk menyempurnakan jalinan silaturahim anak-anak saya dengan moyang kami. Adakah bapak berkenan mencarikan jalan untuk kami anak beranak?" Lidahnya seperti kelu. "Saya memang tak berkepentingan langsung. Namun saya harus melakukan ini semua demi keluarga kami. Sebab bapak anak-anak saya sedang berada di persimpangan jalan menuju kesenangan duniawinya belaka," Begitu pedih kata-kata itu diluncurkan lidahnya. Tapi tak setetes jua air mata menjatuhkan diri ke pangkuannya.

Lelaki tua itu terdiam sesaat. Dia seperti mengingat-ingat sesuatu atau hanya mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkannya kepada ibu beranak itu. Di lidahnya, jutaan kata-kata berdesakan minta dibunyikan. Dan dia menarik nafasnya dalam-dalam.

"Jadi, rumah Tabib itu adalah tempat pertama anda meneguk susu ibunda?" Tanyanya penuh curiga.

Perempuan itu menggelengkan kepalanya, "tidak, tak ada yang pernah meneguk susu ibu di situ. Rumah itu adalah persinggahan kami sebelum sampai kepada buaian bunda sejati," dan dia berusaha menuntaskan kata-kata yang harus diucapkannya dengan kebenaran sejati.

Lelaki itu menatap mereka tajam.

"Ananda," sebut lelaki tua itu, "saya tak banyak tahu dan tak bisa banyak bicara. Kampung ini bukanlah 'palungan' yang menampung kehadiran ananda di bumi ini dulu. Kami telah berbenah diri, memoles wajah dan menukar rupa."

Perempuan itu dengan anaknya mendengarkan dengan seksama.

"Di ujung jalan ini dulu hanyalah padang rumput semata yang dihiasi bebungaan di tanah merah. Sekarang besi dan batu beton ditancapkan orang sedalam-dalamnya dan dipancang tinggi membentuk gedung. Tak ada lagi ruang tersisa. Bahkan sekedar untuk mendirikan sepeda yang dulu dikayuh orang sebagai kereta angin, kita tak bisa. Kampung ini sudah terbarukan suasana," mulut lelaki itu memberikan gambaran tentang dunianya yang baru.

"Anak-anak kecil tidak lagi kecil dan berguru pada saya. Mereka telah jadi diri mereka sendiri seiring pertumbuhan badan dan perkembangan jiwa, membuat mereka terpaksa keluar kampung dan menjadi guru bagi anak-anak mereka sendiri entah dimana. Tak mungkin saya mengitari seluruh kota dan menggunakan telunjuk saya untuk menandai mereka lagi satu demi satu. Karenanya ma'afkanlah saya. Saya tak dapat menjadi pelita yang membawa terang ke tempat dimana kini sang Tabib berada. Ananda, berjalanlah sendiri, melangkahlah ke depan, jangan surut dan jangan pernah ingin kembali ke masa lalu anda." Baris-baris kata yang tak ingin didengar dengan sesungguhnya oleh perempuan itu kini menjejali telinga dan otaknya yang telah mengontak lidahnya untuk terus bertanya dan melangkah.

Kini pagi beralih menjadi siang. Matahari yang telah tua mulai nampak tanpa malu-malu lagi. Sinarnya yang menyakiti kulit mengingatkan dia bahwa bukan saja hatinya yang sakit dan terluka. Jauh di balik itu, nun disana ada harapan-harapan yang memuruk tersudut hampa.

Lalu diiringi senyum dan anggukan kepala yang takzim ibu dan anak itu mohon diri, kembali melanjutkan perjalanan mereka. Sebab nyata-nyata jati diri mereka telah sirna ditelan gemuruhnya air yang mengalir turun di pintu air Manggarai. Gemerciknya menghalangi suara-suara hatinya yang pernah merintih menangiskan nasib dirinya yang sendiri. SEBATANG KARA DI DUNIA.

Selasa, 05 Januari 2010

PEREMPUAN ULAT SUTERA

Kita pantas bicara
waktu diri kita dinisbikan
dan harga diri kita dilucuti
Sebab kita punya mulut
dan hati yang mengerti kepatutan

Ayo bulatkan kepal
Tekadkan niat
Melangkahlah
Menuju keniscayaan

Kita ini seuntai pita
Yang melingkar kencang di sanggul-sanggul rambut
Namun lembut
Sebab kita ini punya serat-serat sutera

Ayo tunjukkan kini
Bahwa kita bisa mencengkeram
menggenggam petaka
yang ditebarkan nasib kita

Melangkahlah, ya melangkahlah terus
Sebab kini telah sampai saatnya
Kita jadi pahlawan
untuk diri sendiri
Lalu mengikat mereka erat-erat
supaya tak lagi tergerai-gerai
melambai keletah
Sengajanya menisbikan kita
dan harga diri kita ke titik terendah

Seuntai pita
Adalah kita
Ulat sutera yang berharga
Dan perempuan yang punya makna.

(Puspa Bangsa disoroti surya pagi, enam Januari dua ribu sepuluh)

Minggu, 03 Januari 2010

RENJANA PULANG PETANG

Aku seperti mencium asap nikotin dari sela-sela gigimu
Dan mendengar batukmu yang berkepanjangan di rongga dada
Dia racun yang telah mematikan cintamu
dan membunuhku mengikuti bayang-bayang waktu

"Dia sudah uzur," serapahnya
dengan telunjuk mengarah ke jantungku
Pandang itu, bukan kelu dan bukan juga jemu
Cuma cibiran bibir perempuan murahan
yang dibalut lipstick merah darah

Aku seperti mencermati dusta di kepalamu
yang kau sodorkan lewat mulutmu
Tapi kuyakinkan diri
Di suatu senja nanti kau cari arahmu pulang
Ke sarang bergelung kencang
Hanya pada kami :
Rumah sejati sayangmu.

(Penggalan renungan di sepertiga pagi ketika sajadah kutebar di lantai dingin, 4 Januari 2010)

USAI SUDAH

Perjalanan hidup telah sampai ke penghujungnya, anakku
Sebab cinta telah menimbulkan luka
Dan derap langkah menaburkan duka
Tanpa asmara yang tersisa

Bukan karenamu
Bukan padamu
Bukan salahmu
Jika kehancuran melantunkan tangis di hatimu

Hujatlah cinta
Yang berbau syahwat belaka
Karena di situlah
Cinta kami telah kandas
terkubur dan mati

(Kota Hujan yang pengap oleh debu serta rintik gerimis Januari 1983-2010)

Sabtu, 02 Januari 2010

PENUTUPAN

Aku tahu kini apa yang kau mau
Di balik dinding dingin hatimu yang kau pahat dengan senyummu itu
Warna warni bebatuan itu
Adalah kilatan cahaya yang menghunjam nyawa

Ketika kubuka jendela cerita cinta
Dan kuhitung ulang detak-detak hati
Aku tahu kini apa yang kau mau

Kusudahi saja
Satu buku yang selesai kita tulis
Dan kutorehkan nama di balik sebuah kisah

Lalu kusimpan rapi
Apapun yang pernah merangkum jiwa kita dulu
Dan aku tahu
Kelak kau pasti akan merinduinya kembali
merindui cumbuku
di pagi itu
Waktu prenjak ribut melonjak-lonjak senang di jendelaku
kau ada di situ mengerlingkan matamu

Assalamu'alaikum. Allah mengawanimu sekarang.


(Kota Hujan di serpihan kenanganku, Januari 1983-2010)
Pita Pink