Powered By Blogger

Minggu, 14 Juni 2009

DUA PRIBADI SATU RUPA SATU RASA

Aku dan anakku adalah bersaudara. Dia dan aku adalah satu. Demikian yang kerap kudengar dari orang-orang di sekitarku.

Anakku kedua adalah serpihan dari jiwaku. Sifatnya serupa, sa
ma-sama keras kepala, kaku sekaligus unik. Dia berani berjalan sendiri tak ubahnya diriku. Untuk mencapai suatu yang diidam-idamkannya, dia tak segan-segan melawan arus, Siapapun akan ditabraknya, sepanjang mereka tak sejalan dengan keinginan dan cita-citanya yang memang cenderung tidak pasaran.

Akupun begitu. Kuakui, aku setali tiga uang, sangat serupa dengannya. Dimana ketika orang lain sibuk mempelajari tarian poco-poco, aku justru asyik duduk menyimak d pinggir gelanggang mempelajari lagunya untuk kemudian kunyanyikan mengiringi mereka. Juga disaat orang-orang sibuk mencermati bagaimana caranya mencampur warna serta menggoreskan kuas dengan tepat untuk menghasilkan gambar-gambar indah, aku justru akan keluar ruang, duduk menepi di bawah keteduhan pohon menja
ring cericit burung di pepohonan atau desiran angin lalu untuk kutuangkan sebagai sebuah syair di "kanvas" kertasku.

Kamilah itu, dua makhluk tak sejenis, tapi sama dan sebangun.

Hampir dua puluh tiga tahun yang lalu aku menyambutnya dalam pelukanku di suatu senja musim gugur di belahan utara bumi. Hawa dingin dan kering merubah dengan sekejap hijaunya dedauan maple dengan menggoreskan warna kuning emas kemerahan layaknya tembaga di pucuk-pucuk pohon, pada setiap dedaunan yang ada. Dingin mulai menyergap kulit menyeruak ke kedalaman tulang, membuatku mendekapnya seerat mungkin untuk menyalurkan kehangatan kasih sayangku.

Anakku yang mungil. Bayi lelaki yang sangat kami rindukan setelah
sekian lama kami memintanya pada Sang Maha Empunya. Rasanya hingga kini tak berkurang syukurku pada-Nya atas karunia agung itu.

--------

Siang tadi aku mengajaknya pergi. Kami beriringan berdua menuju ke toko pakaian, sebab aku merasa perlu mendandaninya dengan sehelai kain batik klasik yang kuyakini akan menambah wibawa serta seri pada kulitnya yang terang. Dia memang sudah dewasa sekarang.

Tubuhnya lebih tinggi dariku, meski dia termasuk pendek untuk ukuran seorang lelaki sempurna. Rambutnya dibiarkan tergerai panjang seperti rambut perempuan menandakan keunikan yang sudah melekat pada dirinya. Warnanya hitam legam berkilauan ditimpa mentari khatulistiwa, meski teksturnya bergelombang alami.


Anakku selalu penuh senyum dan canda-tawa. Deretan giginya yang putih menyembul di balik kehalusan bibirnya yang kontras dengan jenggot, jambang dan tentu saja kumis di atasnya.

Di toko penjual pakaian tadi, si pemilik gerai melirik padaku. Lalu mengalihkan matanya pada anak lelakiku. Dia tersenyum sangat manis. Kulit putih bersihnya nyata sekali bersinar ketika dia menyodorkan sebuah batik klasik coklat kemerahan berpadu sedikti emas prada pada anakku. Anakku menolaknya, seraya terus meneliti deretan kemeja itu satu-persatu.

Pilihan anakku jatuh pada motif yang lebih klasik dengan desain sangat sederhana. Tapi hatiku langsung mengatakan bagus dan ingin dia memilikinya. Dia memperlihatkannya padaku tanpa bicara. Aku mengangguk mengamini dan mempersilahkannya mencoba terlebih dulu. Anakku segera melangkah menghilang di balik tirai.

"Adik ibu sangat mirip ya?" tiba-tiba perempuan pemilik gerai itu mengomentari kami.

Aku menengadah menghentikan tanganku yang asyik menyibak-nyibak kemeja untuk menatap padanya. "Bagaimana, ada apa?" tanyaku kepadanya.

"Ibu sangat mirip dengan si adik," katanya lagi.

Aku hampir saja terduduk, tak dapat mempercayai pendengaranku. "Siapa adik saya?" balasku bertanya lagi.

"Lha, adik tadi, wajah, bentuk tubuh dan gerak-geriknya sangat mirip dengan mbak," kini si pedagang menegaskan pernyataannya.

Aku mulai mengerti. Senyumku mengembang, seperti bolu kukus baru matang di dalam dandangku. "Itu? Dia anak saya," jawabku mantap.

Kini giliran perempuan itu terperangah. Hitam-hitam pada bola matanya yang bulat nyaris meloncat keluar. Bibirnya ikutan menganga, sebelum kemudian mengeluarkan sebentuk pernyataan, "putra mbak? Bukannya mbak baru empatpuluh tahunan?"

Hup! Aku tersedak dibuatnya. "Ibu tidak sedang main-main 'kan?" tanyaku memastikan.

Perempuan itu menggeleng pasti. "Tidak saya serius, kenapa mbak?" terlontar kesungguhan itu dari mulutnya.

"Terima kasih. Saya sudah lebih dari setengah abad," kataku menjelaskan sambil terus menatapnya sehingga nampak sekarang dia merasa jengah.

"Oh, tidak disangka. Saya baru sampai pada bilangan lima puluh," katanya malu-malu sambil merapikan barang dagangannya yang sesungguhnya sudah rapi itu.

Sebetulnya dia kelihatan begitu cantik. Kulitnya kuning terang dengan seri pada setiap lapisannya. Tak sedikitpun ada goresan atau guratan. Hanya caranya berdandan memang menampakkan bahwa dia sudah kelihatan lebih berumur dari padaku.

Aku tersenyum penuh arti, berterima kasih padanya dan tentu saja pada Tuhan yang telah mengaruniaku citra sebagai seorang perempuan awet muda.

"Alangkah nikmatnya kesehatan ya bu," kata perempuan itu padaku. "Andaikata sakit tentu orang akan jadi kelihatan cepat tua, tidak seperti ibu," sambungnya sambil membetulkan ucapannya dari mbak menjadi ibu begitu dia menyadari bahwa dia adalah juniorku.

Aku lagi-lagi cuma bisa tersenyum sambil menerima sepotong kemeja yang kata anakku pas di tubuhnya dan nampak bagus untuk kuserahkan kepada kasir di toko itu. "Ibu tidak pernah tahu, bahwa semua organ kandungan saya berikut sebagian usus saya sudah habis dibabat penyakit. Tapi saya masih tetap berdiri disini menemani anak-anak saya, sebab saya menyukurinya dengan sempurna. Syukur karena Allah masih memberi saya peringatan untuk menjaga kesehatan dengan lebih baik sebelum umur saya jadi enam puluh tahun," kataku panjang lebar.

Perempuan pedagang batik itu kini semakin terpana dan ternganga-nganga, tak bisa membenarkan pendengarannya.

"Benarkah begitu?" tanyanya ragu-ragu menyiratkan kebingungan.

Aku dan anakku sama-sama tersenyum dan hanya dapat membalas perkataannya dengan anggukan menandakan bahwa kami dua manusia yang sama rasa, sama rupa. Sama-sama makhluk Tuhan yang tak kenal berdusta. Insya Allah.
Pita Pink