Powered By Blogger

Sabtu, 31 Januari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (VII)

Kelahiran bayiku mendekatkan Ami dengan Elis kembali. Terlebih-lebih ketika Elis jadi dipacari Baskara. Ami makin sering bersama-sama Elis. Nampaknya Elis butuh waktu curhat meluapkan kegembiraan dan kebahagiaannya, sedangkan aku sibuk mengurus Hardiman bayiku.

Kemarin mereka datang bersama-sama mengantarkan Baskara yang ingin juga menengok anakku. Nampak betapa bahagianya mereka bertiga. Berulangkali Elis mengucapkan terima kasihnya padaku, yang kutahu maksudnya tentu atas upayaku mendoakan jodoh untuknya.

Taufik tak ikut serta. Walaupun demikian aku tak kecewa, sebab Taufik telah mengucapkan selamat kepada suamiku ketika mereka bertemu di kantor. Sekali pun berlainan bagian, dan kantor suamiku berada sedikit di luar gedung utama, tapi suamiku cukup sering datang ke kantor utama di mana Taufik bekerja. Dsiitulah Taufik bertemu mas Triatman dan sedikit berbasa-basi.

Menurut mas Triatman, Taufik memang sedikit tertutup. Hanya kepada orang-orang tertentulah dia bisa akrab dan bicara santai sambil tertawa-tawa. Tapi tidak kepada suamiku. Namun aku tak peduli, sebab berkat pergaulanku dengan Elis dan kemudian justru dengan Ami sendiri, aku tahu bagaimana sesungguhnya Taufik.

-ad-

Dalam ceritanya yang selalu penuh kebanggaan, Ami menyebut Taufik sebagai "the real gentleman" yang telah menyelamatkan jiwanya. Di tangan Taufik lah Ami bisa hidup normal dan bahagia.

Ami tumbuh sebagai gadis yang lemah digerogoti berbagai penyakit yang antara lain kebetulan diidap pula oleh Taufik. Bersama-sama mereka saling membantu, menolong dan menguatkan  di kala penyakit mereka kambuh. Bahkan ketika Ami tak mampu berjalan ke sekolah akibat penyakit pada kakinya, Taufik lah yang menuntunnya dengan sabar sambil menungguinya hingga kelas berakhir. Taufik akan selalu bergegas-gegas lari menjemput Ami di kelasnya sebelum Ami betul-betul bangkit dari kursinya. padahal Taufik sendiri harus kuliah di kelas yang lumayan jauh dari kelas Ami.

Tapi tak dapat disangkal, nampaknya Taufik seorang pencemburu. Setidak-tidaknya tipe lelaki yang posesif. Sejak dulu, Ami tak bebas bergaul dengan teman-temannya, sebab Taufik senantiasa menguntitnya sehingga teman-temannya pelan-pelan menjauh.

Amipun menyadari itu semua dengan kepasrahannya bahkan dia justru menganggap Taufik sebagai pelita yang menerangi hidupnya. "Dia imamku sejak dulu, Nik," demikian Ami pernah berkata. "Kemana pun aku melangkah, mas Taufik senantiasa siap mendampingiku dan menarikku kembali jika aku terkulai lemas atau bahkan terjatuh karenanya."

Namun secara lahiriah Ami nampak seperti orang sehat dan penuh gairah. Darah seninya yang kental menggelegak meluap yang dipuaskannya dengan mengikuti berbagai kegiatan kesenian di kantor suami kami. Sebetulnya dia nyaris mendapat bintang sebagai primadona di kantor kami seandainya saja Taufik merelakan itu.

Ada kecenderungan pada diri Taufik untuk melaju sendiri dengan sengaja mencari-cari kelemahan dan kesalahan istrinya sekecil apa pun. Sebab suatu hari pernah kami dapati Ami menangis diam-diam setelah suaminya mencelanya terlalu heboh sehabis dia menuntaskan musik yang diserahkan kepadanya untuk dimainkan sebagai penghibur para tetamu dinas.

Rupanya Taufik yang terbiasa hidup sebagai anak tunggal takut Ami lari ke dalam pelukan orang lain, para pemujanya di panggung hiburan. Terlebih-lebih sehabis pentas musik itu Ami mendapat kesempatan untuk belajar menari dari seorang penari yang kebetulan singgah di kota kami selama lebih dari dua bulan. Aku kasihan melihat Ami setiap dia habis mencurahkan semua perasaannya padaku. Taufik agaknya takut Ami lebih populer ketimbang dirinya seorang pegawai sungguhan yang memang pandai dan tekun. Setidaknya begitu menurutku.

-ad-

Elis jadi menikah dengan Baskara di Surabaya besok pagi. Undangan merah maroon yang kami terima menyebutkan bahwa pemberkatan nikah keduanya dilaksanakan pada pukul sembilan. Dalam suratnya yang disertakan di situ, Elis bilang, dia akan kembali segera dan mengadakan syukuran di Eropa. Dia meminta bantuanku dan Ami untuk menyelenggarakan maksudnya, yang kami setujui dengan gembira sebab kami merasa telah berhasil menautkan dua manusia yang sama-sama dilanda sepi. Rencananya Baskara akan menyewa hall di universitasnya serta memesan masakan dari kak Farida, salah seorang masyarakat Indonesia yang mengelola galeri seni bersama suami bulenya. Masakannya memang terkenal lezat. Aku dan Ami yang akan membantu menyiapkan ruangan pesta.

Dalam acara window shopping dengan mas Agung sepupu suamiku yang kebetulan singgah menengok kami, telah kurancang untuk membeli sepasang sepatu coklat keemasan sebagai padu padan kebayaku yang baru selesai dijahitkan tanteku dan dikirim lewat Yati. Aku membayangkan diriku tampil cantik dengan seri yang sama seperti seri pengantin baru yang akan kami layani malam itu. Hatiku begitu berbunga. Sophia Elisabeth Handayani melepas masa kesendiriannya di ujung angka tigapuluh dua!

-ad-

Pesta syukuran Elis dengan Baskara amat meriah. Diantara masyarakat Indonesia yang cuma segelintir, kurasa merekalah yang paling populer. Buktinya semua orang Indonesia hadir, termasuk beberapa dari luar kota. Tak seperti ketika aku sendiri mengadakan upacara cukur rambut Hardi dullu.

Elis masih terus bekerja sendiri, selagi dia berkolaborasi dengan suaminya meneliti pangsa pasar produk Indonesia di Eropa. Kesibukan kerja dan rumah tangganya semakin merenggangkan kami kembali.

Aku sendiri pun makin sibuk mengurus si kecil yang mulai belajar jalan. Hardi seorang eksplorer yang menakjubkan. Aku tak boleh lengah menjaganya agar dia tak memegang apa pun sembarangan. Tambahan usia Buyung yang terpaut cukup banyak dengan Hardi menjadikannya sedikit manja. Dia mulai mengompol lagi mencari perhatianku yang tersita untuk Hardiman. Ah, repotnya kehidupan berumah tangga dengan kedua jagoan kecil. Tapi aku senantiasa senang dan bahagia menjalankan peranku. Sebab aku berkaca pada Ami yang senantiasa ceria menghadapi kedua buah hatinya yang kebetulan juga lelaki semua. Padahal Rizqi si sulung kuketahui penderita penyakit bawaan sebagaimana kedua orang tuanya.

-ad-

Aku semakin jarang keluar rumah akhir-akhir ini selain menunaikan kewajibanku di organisasi wanita yang wajib kuikuti. Hambatanku hanya pada urusan rumah tangga yang nyaris tiada pernah selesai. Sekarang baru kami sadari bahwa tinggal di sebuah single house yang disini dinamakan bungalow tidak cocok untuk kami. Ada halaman luas yang memerlukan penanganan, serta kamar-kamar yang juga butuh setiap hari dibersihkan. Waktu kami nyaris tersita untuk urusan rumah.

Kawan-kawan kami seperti keluarga Taufik yang menyewa apartemen adalah orang-orang yang cerdas. Benar, berdasarkan pengalaman mereka, kita tak perlu rumah besar. Siapa juga yang sanggup berkunjung ke Eropa menengok kami dalam masa ekonomi negara yang sedang terpuruk sekarang ini?

Suamiku memang baru sekali ini ke luar negeri, sementara kebanyakan teman lain sudah berada di pos kedua, ketiga bahkan ada yang kelima mendekati pensiun. Tentu saja pengalaman mereka sudah banyak dan patut dijadikan pelajaran bagi kami.

-ad-

Aku baru merasakan kehilangan Ami ketika dalam rapat pengurus dia tak hadir beberapa kali. Semula kami mengira dia sakit. Bahkan suaminya pun mengatakan dia sakit di tanah air. Surat izin cutinya yang dulu, rupanya menjadi pertanda bahwa dia akan mengundurkan diri dari gelanggang tanpa alasan yang jelas.

Ibu-ibu kasak-kusuk sendiri saling bertanya-tanya. Sebab anak-anaknya ada. Hanya Mahmudah pembantunya yang tiba-tiba juga menghilang. Dari Indonesia dia mengirim surat kepada pembantu salah satu di antara kami untuk mohon maaf dan menyatakan pamit kembali ke tanah air. Tapi surat itu tak beralamat jelas, di sampul hanya tertera nama desa berikut kampungnya. Kami sulit untuk menghubunginya kembali.

Elis yang kutanya tentang Ami juga mengangkat bahu. Bahkan katanya dia sudah lama tak dimintai jasa oleh Taufik. Tepatnya sejak pernikahannya dengan Baskara tempo hari. Entah apa sebabnya. "Pak Taufik seperti memusuhiku lagi," jelas Elis padaku di telepon. Semua jadi tanda tanya bagi kami, menyisakan ruang kosong yang hampa di hatiku. Ami sayang, kemanakah kamu, aku merindukanmu  rintihku kelu..

(BERSAMBUNG)

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (VI)

Aku harus berupaya mencari jalan mendekati Ami. Itu sudah tekadku, karena setelah kudengar dan kusimak cerita Elis, aku yakin Ami sesungguhnya kesepian. Di muka umum memang nampaknya dia harmonis bersama suaminya. Juga anak-anaknya cerah ceria. Tapi sesungguhnya, mereka adalah para pemain sandiwara yang berhasil.

Di acara arisan ibu-ibu Indonesia yang dikelola bu Shinta yang diperistri seorang diplomat Malaysia, aku sengaja menjejeri Ami. Ada juga teman-teman lainnya di situ. Kami mengobrol apa adanya. Ami nampak begitu natural dan santai. Keceriaan juga tak luntur dari wajahnya yang kuning langsat. Sungguh menakjubkan.

"Bu Taufik kebagian tugas kantin hari apa?" tanyaku memancing pembicaraan.

Dia menghentikan suapan mie pada mangkuknya dan menjawab santai, "Selasa depan bu Tri, kenapa?" matanya menatap lurus padaku.

"Saya boleh ikutan bantu-bantu? Kebetulan saya santai lho hari itu," jawabku meredakan keteganganku sendiri. Padahal dadaku berdegup, harap-harap cemas.

"Oh, bu Tri kebagian kapan, sih?" tanyanya membalas.

"Sudah Kamis yang lalu dengan bu Edward," jawabku santai. "Saya tahu bu Taufik masakannya enak, nanti kalau ada sisa saya mau beli untuk anak saya di rumah," kataku memberi alasan. Padahal aku sedang mencoba untuk akrab dengannya.

"Saya berdua dengan bu Narto. Kalau bu Narto setuju boleh juga. Tapi masakan bu Tri sebetulnya kan juga enak mbok jangan gitu tho," jawabnya disertai senyum dan mata yang sengaja dikedipkan.

"Apa nyebut-nyebut nama saya?" seru bu Sunarto dari sisi meja. Dia sedang mengambil makan siangnya. Sepiring nasi dengan pepes ikan yang nampaknya white sea bass yang gurih. Dagingnya yang putih gemuk berpindah sebagian ke piring bu Narto.

"Ini ada angin segar. Tiba-tiba bu Tri menawarkan cuci piring di kantin giliran kita," jawab bu Taufik menjelaskan.

"Oke, oke boss!! Most welcome! Mimpi apa ya?" seru bu Narto setengah berteriak.

Aku terkikik tak dapat menahan geli sekaligus bersyukur, sebab bagiku pintu persahabatan bisa segera dibuka. Aku berjanji datang pada waktunya, lalu mulai makan sendiri sambil sekali-kali juga mengobrol dengannya. Bagiku Ami memang menyenangkan. Ramah dan bersahabat serta senang bergurau.

-ad-

Kami beriringan di atas bus kota yang melintasi depan kantor suami kami menuju ke rumah. Bu Narto mengambil arah yang berbeda karena rumahnya tak jauh dari kantor.

Aku mulai membuka diri dengan menceritakan keluargaku dan persahabatanku dengan Elis.

"Ya, Elis memang menyenangkan," kata Ami. "Dulu dia sering main ke rumah saya juga bahkan anak-anak akrab kepadanya. Tapi sayang sekarang dia sibuk ya?" sambungnya seakan minta pendapat.

"Betul, usahanya makin maju sekarang. Yati orang kepercayaannya yang memegang kantor di Indonesia juga bilang begitu. Dia yang dulu mengenalkan kami pada Elis.Yati teman satu kampung denganku," terangku pada Ami.

"Sayang ya, Elis orang pintar, tapi belum juga punya pacar," kata Ami lagi keluar dari konteks pembicaraan kami.

"Padahal cantik lho," imbuhku.

"Dan kenapa dia mesti bingung-bingung sih, kan ada mahasiswa karya siswa yang juga masih membujang serta kelihatannya setara dengan dia. Apalagi yang dicari. Pendidikan sama tinggi, punya pekerjaan tetap dan yang penting sama-sama seagama," kata Ami lagi sambil menatap kolam di tepi jalan yang kami lalui. Angsa-angsa di musim panas begini bebas  berenang-renang dengan merdeka.

"Siapa maksud bu Taufik?" tanyaku nyaris tak mengerti.

"Itu oom Baskara yang dosen. Kurang apa coba? Eh, jangan panggil saya ibu dong, panggil saja Ami," katanya tiba-tiba. Kelihatan sekali dia ingin lebih akrab juga denganku sehabis kubantu di kantin tadi.

Pucuk dicinta ulam tiba pikirku sambil mengingat-ingat sosok Baskara yang dimaksudkan Ami. Aku memandangnya dengan cermat, mungkin nampak olehnya dahiku berkerut. "Ya deh, terima kasih bu, eh, mbak Ami. Panggil juga saya Nonik ya, seperti kebanyakan sahabat-sahabat saya memanggil saya termasuk Elis," kataku.

"Lho bukan namanya Retno?" tanya Ami padaku.

"Ya mbak, tapi di rumah panggilan kesayangan saya Nonik. Ngomong-ngomong mas Bas yang mbak maksud yang mungil putih rambutnya disisir klimis itu bukan?"

Ami mengangguk. "Nah, itu dia. Dia 'kan masih sendirian. Kemarin dulu saya ketemu ibunya di kios mesin cuci secara nggak sengaja. Ibunya bilang baru pulang nengok adiknya mas Bas di Eddinburgh sekalian mampir kesini kasihan sama bujangan," jelas Ami.

Kini giliran aku yang mengangguk mengerti. Aku kemudian minta ijin untuk datang belajar masak di dapur mbak Ami. "Suami dan anak-anak saya suka sekali makan rendang dan gudeg mbak Ami, jadi saya kepengin diajari," alasanku.

Ami menyetujui lalu kami menyepakati waktunya sebelum bus sampai di pemberhentian rumahnya. Dia turun lebih dulu setelah sekali lagi menebar senyumnya yang ramah, yang seakan tanpa beban dan bukan sesuatu yang semu. Aku betul-betul terkagum-kagum padanya.

-ad-

Dari acara kantin dan masak-memasak itu aku bisa mengenal Ami lebih jauh seraya mencoba menjauh dari Elis. Aku takut jika terlanjur terlalu dekat dengan Elis, hubungan kami akan rusak sebagaimana hubungannya dengan Ami.

Namun sekali-sekali kami masih tetap saling berkunjung atau mengirim kabar baik melalui telepon maupun E-mail. Bagaimana pun Elis tidak punya kesalahan dan masalah apapun denganku.

"Lis," kataku suatu hari memberanikan diri. "Kenapa tak terpikir olehmu untuk berkenalan lebih dekat dengan mas Baskara sih? Menurutku dia cocok jadi pendampingmu lho."

"Apa, mas Baskara?! Yang dosen UI itu? Kok tiba-tiba kamu bicara begitu sih?" sambut Elis seperti terkejut. Alisnya dempet menyatu di tengah membentuk jembatan antara kiri dan kanan matanya.

"Ya, dia. Apa yang kurang padanya, coba? Seiman, sama-sama berpendidikan tinggi, punya pekerjaan tetap lagi," gurauku sambil mencubit pipinya di meja makan kami. Suamiku tersenyum menyaksikan kami.

"Alah, mulai deh, woman affair. Aku mau tidur siang aja ah dengan Buyung," kata suamiku seraya beranjak pergi ke kamar dengan menggandeng anak kami.

"Selamat tidur," balas kami serempak seperti dikomando. Lalu kami asyik meneruskan oborlan kami. Kujanjikan padanya untuk membantunya berjodohan dengan Baskara lewat sembahyang malam yang kurencanakan sesegera mungkin. Dan mulai minggu depan kusarankan dia berdoa di gereja dengan doa-doa novena serta rosario seperti yang dulu kerap dilakukan Astari sahabatku di SMA kalau kami mau ujian.

Buah dari doa-doa kami adalah kedekatan Elis dengan Baskara secara tidak terduga separuh ajaib. Suatu pagi, sebelum sempat makan pagi Elis telah menyambar telepon dengan memutar nomorku. "Nik, kamu sudah berdoa untukku ya?" suaranya terdengar sangat ceria.

"Ya, ada apa?" sambutku tak mengerti.

"Ya 'kan?! Katakan ya," desaknya. "Semalam aku bermimpi si mata Teddy Bear itu datang ke rumahku," celotehnya sangat riang. Aku bisa membayangkan keceriaan di pipinya yang membulat kemerahan dengan lesung yang dalam.

"Si mata Teddy Bear, siapa?" tanyaku tak mengerti. Hampir saja aku kehilangan kesabaran sebab dia kurasa mengganggu di pagi buta itu saat aku harus menyiapkan sarapan pagi suamiku dan anak kami.

Tapi tawa renyah disertai jawaban spontan itu meredamku jua. "Mas Baskara, pak dosen, percayalah dia datang di mimpiku. Apa maknanya ya?" kudengar jawaban itu terlontar ringan.

"Oh........, dia," aku terkikik geli. Terbayang mata Baskara yang kecil dan melengkung naik pada sudutnya. "Ya, sudah dong. Sudah berkali-kali, kamu juga sudah jadi baca novena dan rosario toch?" balasku senang bukan main.

"Tentu. Terima kasih ya Nik. Moga-moga ini kabar baik buatku. Doa kan lagi ya?" pintanya seraya menutup telepon disertai terima kasih serta pernyataan maaf telah menggangguku.

Aku tersenyum lega. Terbayang di mataku Baskara dengan tubuhnya yang lincah sedang berjalan menghampiri Elis seperti setengah berjingkat seakan-akan menghindari air yang menggenang di halaman gereja ketika hujan baru saja reda. Semoga Tuhan menjodohkan mereka, pintaku sekali lagi.

(BERSAMBUNG)

Kamis, 29 Januari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (V)

Ada e-mail di inboxku. Sangat panjang dari Elis. Aku menunda membacanya sebab aku harus merapikan rumah dulu. Aku bukan perempuan yang tak tahu mengurus rumah tangga dan minta semuanya beres di tangan pembantu. Kupikir Ami juga begitu, sebab sering kami bertemu di kios mesin cuci atau di super market.

Pagi ini aku hanya membaca koran Jakarta dan koran daerah kami saja dulu, sekedar menjaring info dari tanah air yang mungkin bisa digunakan sebagai bahan diskusi dengan suamiku. Malu juga rasanya kalau berhadapan dengan dia hanya bicara masalah yang ringan-ringan saja.

E-mail yang kubuka siang itu melanjutkan kisah Taufik dengan Ami dan Elis. Kisah liburan mereka yang kemarin diulang lagi.

Kelihatan di situ Taufik adalah lelaki yang otoriter. Persis cerita kemarin, apa yang diinginkan Taufik harus selalu dituruti. Sebab, jika dilawan, hasilnya hanya mulut Taufik yang terkunci rapat dan sikap Taufik yang dingin. Belum lagi jika ternyata apa yang diputuskan istrinya tidak berhasil baik, Taufik akan marah-marah menyalahkan istrinya tanpa peduli dalam hanya sekali bicara yang mantap menusuk kuping.

"Dia juga nggak sabaran lho," begitu bunyi salah satu kalimat Elis. istrinya dituntut untuk jadi co-pilot, pembaca peta yang baik. Tapi, belum lagi sampai ke tempat yang dituju, Taufik sudah menanyakan ini dan itu yang rupanya sudah dihafal di luar kepala sebelum perjalanan dimulai. "Itulah salah satu bukti dia pembelajar yang baik," kata Elis di e-mailnya.

Elis berkisah bahwa Ami harus tahu dengan tepat di mana akan keluar highway, ke mana harus belok mencapai tujuan, lewat berapa lampu merah dan sebagainya. Padahal, Ami 'kan tidak diberitahu sebelumnya untuk mempelajari peta sesuai tujuan yang dikehendaki suaminya. Duh, repot juga batinku sambil mengelus dada.

"Sepanjang jalan akhirnya Ami lebih banyak tidur atau menyimak lagu dan berdendang mengikuti lagu dari recorder yang diputar suaminya. Aku sendiri hanya kadang-kadang mengobrol dengan Taufik. Terutama kalau dia mengeluhkan istrinya yang dianggap membosankan dan penidur.  Aku sedih mendengar dan menyaksikannya. Padahal seandainya dia tahu, Ami 'kan jadi begitu sebab dia tidak mau mengajaknya mengobrol. Betul nggak sih, Nik?"

Aku menghela nafas. Akhirnya perjalanan mereka tidak memenuhi harapan Elis untuk bersenang-senang. Semua tempat ingin dikunjungi Taufik, jadi mereka tak sempat berlama-lama di suatu lokasi. Tak seperti seharusnya orang berwisata. "Pokoknya ngeselin deh," gerutu Elis.

Di malam ketiga yang akhirnya jadi malam terakhir mereka menginap, keadaannya bahkan lebih susah lagi. Digambarkan Elis, mereka terlalu banyak membuang waktu di jalan di tempat yang tidak perlu. Melewati suatu daerah dengan pantai ramai, Ami ingin belok. Taufik menurutinya karena anak-anak mereka juga mendukung. Akibatnya, mereka terlalu malam mencapai kota tujuan di mana penginapan mereka sudah juga dipesan Taufik lewat internet. Dan celakanya, itu sebuah hotel Bed and Breakfast yang tak menyediakan resepsionis selewat pukul sembilan malam. Jadi, setiap pemesan yang check in kemalaman, tak akan pernah bisa masuk ke hotel.

Dan itulah yang terjadi pada mereka. Taufik menyalahkan Ami, sedangkan Ami juga tak mau kalah menuduh Taufik tidak mau berterus terang soal peraturan di penginapan murahan itu.

"Pokoknya capek deh. Semalaman kami berkeliaran di jalanan mencari penginapan yang terdekat. Anak-anak mereka tertidur kelelahan di kiri-kananku. Sementara Ami pada akhirnya juga ikut tertidur. Atas inisiatifku aku merobek hotel directory dalam yellow pages milik hotel yang kebetulan bisa kuambil atas bantuan penghuni yang mau masuk ke kamarnya. Aku sibuk menelepon satu-satu hotel yang ada. Sayang semua fully booked. Yang ada, tempat di luar kota kira-kira empatpuluh kilometer jauhnya dari situ. Atas saranku Taufik menurut.

Kami berupaya mencarinya. Tapi, kami tak sampai-sampai juga. Di kiri-kanan kami hanya hutan lebat dan gunung besar laksana raksasa hitam akan menelan kami di kegelapan malam. Ami yang turut terbangun nampak diam membisu kepanikan di kursinya di samping Taufik. Dari belakang kuperhatikan matanya sering mengatup tapi bukan tidur. Ketika kami tiba di kota tujuan, hotel itu tak nampak juga.

Kami mencari pos polisi untuk minta penunjuk arah, tapi tak ada seorang pun di sana. Akhirnya aku menelepon resepsionis hotel itu. Dia memberikan arah yang sesungguhnya mudah dicapai. Tapi entah apa sebabnya, kami selalu kesasar dan kesasar ke luar kota lagi menuju kegelapan fana itu tadi. Tak satu pun terlewati yaitu lahan pekuburan yang sepi ditandai oleh salib tinggi menjulang di bagian muka." Aku bergidik membacanya. Terbayang olehku suasana malam mencekam yang mereka alami dalam diam dan suasana yang penuh pertentangan.

Akhirnya menurut e-mail Elis, mereka sampai di hotel menjelang pagi. Tepatnya pukul setengah empat. Taufik merencanakan istirahat hingga pukul sembilan, dan akan melanjutkan perjalanan ke suatu tempat bergengsi yang masih sangat jauh dari situ. Siapa pun kenal kota kecil yang cantik dan terkenal kaya itu.

Sebelum masuk kamar, Elis memutuskan bicara baik-baik menyatakan penolakannya untuk ikut Taufik. Dia memutuskan untuk pulang mengingat hari Senin dia harus kembali menjalankan usahanya. "Ada kereta yang disambung bus untuk sampai ke rumah," kata Elis pada Taufik. Ami ternganga mendengarnya. Ami sungguh tidak siap ditinggalkan Elis serta amat menyesal telah memaksa Elis untuk ikut serta dalam liburan itu yang  sesungguhnya memang sejak semula direncanakan Taufik tanpa dirinya.

Kata Elis, Taufik juga kecewa dan marah. Dia bersikeras untuk menahan Elis sehingga terjadilah pertengkaran yang tak perlu di gang tempat kamar mereka berada.

Percakapan pertama yang kemudian dilontarkan Elis di ruang makan adalah "saya putuskan pulang naik pesawat dari kota terdekat, pak Taufik. Saya sudah menjajagi kemungkinan itu, dan kata resepsionis di lobby tadi, mereka bisa menyediakan shuttle untuk mengantar saya ke airport pukul sebelas nanti."

Taufik terlongong-longong dibuatnya. Dia tak menyangka Elisabeth begitu keras hati. Dan keras kepala pula, menyamai dirinya. Sementara itu Ami tak mendengar sebab tengah asyik melayani anak-anaknya mengambil sarapan. Lobby hotel masih penuh meskipun sudah mendekati pukul sembilan. Maklum musim liburan musim semi di Eropa.

Begitu Ami dan anak-anaknya duduk, Elis mengutarkan keinginannya secara terbuka.  Nampak jelas dari raut wajah Ami, ia sedang berupaya memahami perasaan Elis. Karenanya dia tidak bicara apa pun. Kepalanya ditundukkan menghadapi sepiring orak-arik telur serta roti. Akhirnya Taufik mengerti keinginan Elis dan memutuskan untuk pulang hari itu juga dengan akibat kebisuan yang makin menjadi-jadi sepanjang perjalanan beribu-ribu kilometer jauhnya itu.

-ad-

Sesudah itu hubungan mereka merenggang. Bahkan semua barang pemberian Taufik berupa majalah, buku-buku dan kepingan-kepingan CD yang dibayari Taufik sewaktu mereka masih sering berbelanja berdua dikembalikannya dengan sempurna tanpa sisa.

Tak ada lagi waktu yang dihabiskan bersama keluarga Ami. Namun kata Elis, dia sempat "menyidangkan" Taufik di apartemennya supaya kelak tak ada rasa dendam yang mengakibatkan permusuhan di antara mereka.

Taufik mengaku sekali lagi lelah menghadapi istrinya yang kurang inisiatif, tidak pernah bergaul ke luar rumah dan jorok. Tapi kini da sudah mencabut tuduhan pemalasnya. Taufik mengaku menyesal telah menikahi Ami. Mata lelaki itu basah sebelum Elis menanyainya macam-macam hal.

Taufik meminta maaf atas keterbatasannya berkomunikasi dengan istrinya. Dia merasa tak sanggup menyampaikan semua perasaannya karena dia tahu istrinya sangat lemah dan tak bisa mandiri. Dia takut pernyataannya akan membuat penyakit istrinya semakin sering kambuh sehingga menyusahkan semuanya.

Lelaki itu minta maaf pada istrinya melalui Elis. Katanya, dia senantiasa teringat ibunda Ami yang mewanti-wanti menitipkan anaknya ke tangannya dulu dengan pesan untuk menerimanya apa adanya jika dia memang mencintai Ami setulusnya. Cinta seorang remaja sesungguhnya, yang kemudian tumbuh menjadi keterpaksaan karena dia sendiri tiba-tiba merasa bangga menikmati peran barunya sebagai lelaki jantan perkasa dan berwibawa, pelindung dewi cilik yang tiba-tiba dihadiahkan Allah ke tangannya. Semuanya serba tiba-tiba dan tak terencana. 

-ad-

Aku kini tiba-tiba merasa kasihan kepada Taufik. Ah, lelaki. Mengapa demikian garis nasibmu? Kurang kasih sayang orang tua, kemudian terperosok ke dalam lubang penyangga kehidupan orang lain pula? Aku menyesal telah membenci Taufik pada mulanya.

Tapi aku juga sekaligus kasihan kepada Ami yang tak tahu bagaimana sesungguhnya perasaan Taufik. Maka aku bertekad mulai besok akan mencoba mendekati Ami dan menjalin hubungan lebih baik lagi dengannya. Barangkali Ami kelak membutuhkan jasa seseorang sahabat, seperti dia pernah membutuhkan jasa Elis sebelum Elis mengalihkan hubungannya kepada kami si pendatang baru. Kututup jendela e-mailku. Lalu aku melanjutkan pengembaraanku berselancar di dunia maya.

(BERSAMBUNG)

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (IV)

Hari ini aku janjian mau ketemu Elis lagi. SMSnya mengabarkan dia akan datang berakhir pekan di rumah kami. "Tapi aku ke gereja dulu ya, Nik" pesan Elis. Aku mengiyakan dengan tak sabar. Kebetulan hari ini suamiku ada turnamen melawan olahragawan tuan rumah, pemilik hall yang disewa orang-orang Indonesia setiap minggu. Dengan begitu aku punya waktu berdua-dua dengan Elis sampai sore. Alangkah bebasnya kami mengobrol nanti, pikirku. Aku tahu suamiku paling benci kepada perempuan banyak cakap yang suka membicarakan orang lain. Anti ngrasani, begitu kalau orang Jawa bilang. Kurasa hampir setiap lelaki juga bersikap begitu.

-ad-

Sepiring pisang goreng hasil karyaku yang lembut namun menggembung besar-besar sudah kusiapkan untuk menemani obrolan kami. Balitaku juga tampaknya tak sabar lagi menunggu kedatangan Elis dengan cerita-ceritanya serta pelukannya yang senantiasa hangat. "Tante Lis jadi datang  ya bu?" tanyanya dengan mulut monyong membulat. Aku mengangguk sambil menyuapinya makan yoghurt Danone rasa strawberry yang sangat disukainya.

Maka ketika tengah hari bell pintu berbunyi si kecil langsung berlari menghambur menyongsong tetamu kami. "Tante Lis, tante Lis datang," teriaknya berapi-api.

Aku meletakkan perabotan masak yang baru saja kucuci di rak piring dan segera membukakan pintu untuknya. Lis sudah masuk dipersilahkan oleh Kurniasih pembantuku.

Kami berpelukan sejenak kemudian duduk d ruang tamu. Balitaku sibuk naik ke pangkuan Elis sambil menebarkan buku ceritanya yang baru. "Tante Lis, aku kemarin beli buku ini. Tante bisa bacanya nggak?" kata anakku sambil menyandarkan kepalanya yang ditumbuhi rambut lebat di dada Elis. Matanya yang sayu menatap Elis penuh harap.

"Ayo mas, nanti dulu dong. Tante Lis kan baru datang," sergahku yang segera disanggah Elis dengan sikapnya yang senantiasa manis kepada siapa saja.

"Iya mas, bisa. Nanti tante baca ya.Tapi tante boleh minta minum dulu nggak?"

Anakku mengangguk sementara aku langsung beranjak mengambilkan minum untuk kami semua. Anakku mendapat jatahnya dalam gelas Bobo yang kudapat di sebuah toko di Amsterdam ketika kami berwisata ke sana. Mereka menerimanya dengan senang.

Elis segera hanyut dalam upacara baca cerita dengan anakku. Aku sendiri ke dapur membantu Nia menyiapkan makan siang kami. Sebentar lagi setengah satu siang. Waktunya mengumpan cacing-cacing Melayu di perut kami dengan makanan assembling Eropa.

-ad-

Anakku ditaklukkan Elis dengan setumpuk kertas dan sekotak crayon. "Mas menggambar yang bagus ya? Satu untuk ibu, satu untuk bapak, satu untuk tante Lis," bujuk Elis supaya kami bisa leluasa mengobrol. Aku minta diri sebentar untuk menunaikan shalat dhuhur.

"Ini gambar matahari, yang ini kucing nenek Ingrid, itu kolam ikannya,' kudengar anakku menjelaskan apa yang digambarnya pada Elis.

"Hati-hati ikannya dimakan kucing lho mas," timpal Elis.

Anakku berhenti menggores-goreskan carayonnya lalu berganti menatap Elis. "Eh, iya tante. Aku ganti aja gambarnya ya?" Kudengar tawa renyah Elis, lalu anakku sibuk minta kertas baru dari Kurnia. Memberi kami kesempatan untuk mengobrol. Kami berpindah ruang ke ruang keluarga.

-ad-

"Kau ingat 'kan ceritaku mengenai perjalanan long week-end dengan Ami yang membosankan itu? Atau haruskah aku mengulanginya lagi?" tanya Elis memulai.

Aku mengangguk dan mengulang inti cerita Elis yang dibenarkan olehnya. Bahkan kali ini diungkapkan seluruhnya tanpa tedeng aling-aling.

Suatu hari sepulang mengantar Elis berbelanja mingguan, Taufik menceritakan rencana liburan long week-end nya ke bagian selatan negeri tempat tinggal kami. "Kita berangkat Kamis siang, pulang hari Senin malam, dijamin banyak tempat yang bisa kita lihat. Aku bosan dengan rutinitas di sini," begitu Taufik menawarkan.

Mengingat Elis sendiri belum pernah berkelana ke sana, dia sangat setuju bahkan segera menghubungi Ami keesokan harinya untuk minta ijin ikut. Apa daya Ami merasa belum tahu, sehingga Ami mengatakan tidak akan ke mana-mana di week-end yang direncanakan suaminya itu.

Elis merasa tak enak hati, dan semakin yakin bahwa antara Taufik dan Ami ada sumbatan komunikasi yang mengganggu seluruh sendi-sendi kehidupan perkawinan mereka, yang kini bahkan melibatkannya sendiri ke dalam posisi serba salah. Elis cuma menggigit bibirnya, kemudian berbalik menyuruh Ami untuk menanyakan rencana itu kepada Taufik sendiri. Sekaligus di dalam hatinya sudah bertekad untuk tidak ikut serta. Bahkan dia berencana untuk memperbaiki hubungan kedua sahabatnya ini dengan meminta mereka pergi sekeluarga saja. Tanpa dirinya di antara mereka.

"Bu Ami, menurut saya mungkin pak Taufik lupa belum menyampaikan kepada bu Ami. Atau memang maaf, ini jadi pembuktian kepada bu Ami bahwa apa yang saya katakan tempo hari bahwa antara bapak dan ibu kurang komunikasi itu betul," begitu kata Elis mengulang pembicaraannya pada Ami. "Ada semburat wajah kaget pada Ami. Tapi dia mengucapkan terima kasih juga, sih," jelas Elis padaku.

"Ya lah Lis. Kaget tentunya dia tahu bahwa suaminya mengajak perempuan lain pergi liburan sementara dia tidak pernah diajak bicara,' sahutku cepat.

"Dalam rencananya apa kekasih gelap pak Taufik mau dihadirkan juga?" tanyaku.

"Oh nggak, perempuan itu sudah dipulangkan ke Indonesia sebab dia juga wanita karier. Dan tinggal di sini 'kan tidak bisa lama-lama. Dia masuk dengan tourist visa nampaknya," jawab Elis. "Rasanya dia cuma tiga bulan disini." Elis meneguk teh panas yang disajikan Nia.

"Perempuan itu kerja di mana?" tanyaku penasaran.

"Di sebuah pemerintahan daerah. Kata Taufik mereka bertemu di daerah waktu Taufik mengantar investor ke sana," jawab Elis.

"Dari mana kamu tahu?" selidikku penasaran. "Elis tahu sama orangnya, ya?"

"Nggak, tapi kami pernah berkenalan waktu kami berpapasan di jalanan. Aku mau pulang, dan Taufik keluar dari penginapan perempuan itu bersamanya. Biasa, mau JJS."

"Apa reaksi mereka waktu kepergok?" tanyaku makin penasaran.

"Biasa aja tuh, sudah mengantisipasi mungkin," jawab Elis. "Tapi sehabis itu, kalau jalan denganku kukorek keterangan darinya dan keluarlah pengakuan itu. Entah benar entah tidak, mereka dulu bertemu karena pekerjaan waktu perempuan itu mengurus tetamu asing bawaannya dari Jakarta. Sejak itulah mereka berdua akab."

Perkataan Elis seakan-akan menggantung di langit-langit rumahku dan siap untuk menimpaku seandainya aku kurang waspada atau ada angin kencang mengguncangnya. Bergidik aku dibuatnya. Kubayangkan kejadian itu menimpa rumah tanggaku. Duh, amit-amit, jauhkanlah Tuhanku, batinku meminta pada-Nya.

-ad-

Dan perjalanan itu jadi sesuatu yang dipaksakan baik bagi Elis maupun Ami serta anak-anaknya sendiri. Taufik mengaku belum sempat bicara pada keluarganya waktu Ami menanyakan rencana itu atas suruhan Elis.

Rizqi anak sulung mereka protes keras pergi pada hari Kamis, karena sekolah baru libur hari Jumat. "Sekolah setengah hari aja kang, kita berangkat habis makan siang, biar bisa banyak yang dilihat kesesokan paginya," kata Taufik pada anaknya seakan memerintah. Semenrara itu Ridho si bungsu sudah kelihatan sangat gembira. "Iya kang, kita senang-senang. Apalagi tante Elis mau ikut kata mama," begitu kira-kira penggambarannya.

Di mata kanak-kanak Ridho, Elis tak lain pengasuh anak yang baik dan sabar. Begitu juga bagi Ami, Elis akan jadi penengah kebisuan antara dirinya dengan Taufik yang kini mulai disadarinya ada benarnya. Walau ketika itu menurut Elis, Ami belum tahu keberadaan perempuan selingkuhan itu beberapa waktu lyang lalu plus intensitas hubungan gelap jarak jauh suaminya. Elis belum hendak membukanya pada Ami, sebab dia masih ingin mengupayakan pendekatan yang positif untuk merukunkan kedua sahabatnya kembali.

Ternyata menurut Elis, Taufik termasuk tipe pria keras kepala. Apa yang dikatakannya semacam sabda. Dan apa yang diinginkannya adalah sesuatu yang harus dicapai. Tak heran dalam pekerjaannya Taufik senantiasa menghasilkan pemikiran yang gemilang. Dan dalam sekolahnya dia selalu jadi siswa yang menonjol meski pun belum tentu yang terbaik.

Pendek kata Taufik adalah pekerja keras. Suamikupun pernah mengatakan itu. Walaupun bukan teman sekantor, tapi suamiku sering juga berhubungan kerja dengan Taufik.

Perjalanan itu jadi juga dilaksanakan hari Kamis siang. Rizqi memberengut di jok belakang mengapit adiknya yang duduk di tengah dengan santai. Suasana sangat tegang. Elis tak banyak bicara, kecuali mengobrol dengan Ridho. Ami sendiri juga cuma menimpali pembicaraan di belakang, sebab Taufik seakan menatap lurus ke depan berkonsentrasi pada jalanan yang lebar dan menjemukan.

Mereka tiba di tujuan pertama pada jam makan malam. Setelah check out di hotel kecil yang dipesan Taufik lewat internet, mereka bergegas mencari makan malam. Kali ini nampak Ami yang memaksakan kehendaknya untuk mencari restoran Cina supaya anak-anak mereka dapat nasi, begitu alasannya. Padahal Taufik mengindikasikan makan di restoran terdekat.

Keesokan paginya Elis mendapati Taufik dan Ami beserta kedua anaknya sudah duduk manis di ruang makan. Mereka menyantap makanan dalam diam. Taufik nampak berkonsentrasi pada leaflets yang dipungutinya dari rak di dekat meja resepsionis. Anak-anak mereka ikut menyumbang saran, selagi Ami mengobrol dengannya. Pengalaman malam pertama di jalan yang senyap, katanya. Maksudnya, Taufik langsung tertidur kelelahan sampai pagi sekali pun mereka hanya sekamar berdua di ruangan yang sempit. Elis mencoba tersenyum tapi kecut.

-ad-

"Tante, gambaranku sudah selesai. Hadiahnya apa?" seru anakku sambil menyorongkan beberapa lembar kertas berisi coretan-coretan tak jelas ke hadapan Elis.

"Ini untuk siapa? Dan gambarnya apa?" tanya Elis.

"Itu mobil bapak, terus ada polisi mengejar-ngejar bapakku karena nggak pake belt," jawab anakku lucu. Elis tersenyum seraya membelai rambutnya.

"Untuk ibu mana?" tanyaku tak mau kalah, "yang bagus itu ya?" kuambil selembar dari tangannya.

"Eh, semua juga bagus bu," puji Elis.

Anakku menyodorkan helaian bergambar ikan di dalam kolam, yang kali ini tanpa kucing. "Ini, tapi kucingnya sudah pergi. Ini bunga mawar yang kemarin ibu tanam," kata anakku sambil menunjuk hasil goresannya yang coreng moreng. Tapi aku bangga padanya.

"Ini untuk tante Elis," dia menggambarkan payung berbunga-bunga dengan tetets-tetes hujan.

"Lho kok payung sih?" tanya Elis berpura-pura tak suka.

"Iya, kan kalau nanti hujan tante ke stasiun bawa payung aja," jawabnya lucu.

"Oh ya, sudah sore," tiba-tiba Elis seakan diingatkan anakku untuk minta diri. Waktu sudah menunjukkan pukul setengah empat. Sebentar lagi tentu suamiku sampai di rumah.

"Tante pulang dulu ya?" kata Elis. "Nonik, permisi ya, besok kuteruskan lagi kalau ada waktu," pamitnya padaku.

"Hadiahnya mana tante?" todong anakku.

Elis pura-pura kaget, membelalakkan matanya yang sipit. Tapi tak urung dia merogoh tasnya mengeluarkan sekotak coklat yang rupanya sudah disiapkan sebagai oleh-oleh untuk anakku. "Oh ya lupa, ini mas. Jangan lupa nanti malam sikat gigi baik-baik ya biar gigimu nggak busuk dimakan ulat yang juga suka gigi busuk, apalagi gigi manis bekas permen."

Anakku menerimanya dengan senang hati. Ia mengucapkan terima kasih sambil mengikutiku membuka pintu rumah. Dari dalam Nia menyusuli Elis dengan sekantung pisang goreng di dalam plastik. "Ini untuk bu Elis minum kopi di rumah, ibu buat banyak kok," katanya. Elis menerimanya dengan tersenyum, "terimakasih bik, terimakasih ya Nik."

Senja itupun berlalu dalam balutan rasa pansaranku juga. Entah sampai kapan akan terjawab.

(BERSAMBUNG)

Rabu, 28 Januari 2009

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (III)

Telepon di dalam saku celana panjangku bergetar ketika aku baru melangkah keluar dari Taman Kanak-Kanak tempat aku menyekolahkan anakku. Elis di seberang sana menanyakan keberadaanku. Mendengar jawabanku Elis mengatakan ingin mengajakku minum kopi pagi itu di sebuah pusat pertokoan di stasiun kereta bawah tanah tak begitu jauh dari daerah tempat tinggalku. "Aku ada di sini sedang menunggu klien-ku," alasannya.

Aku sepakat dengannya. Segera kuayunkan langkah menuju stasiun kereta kira-kira satu kilo meter dari sekolah anakku. Kurasakan bunga-bunga musim semi bermekaran begitu indah menyemarakkan suasana hatiku yang senang mendapat kabar bahwa Elis akan segera menuntaskan ceritanya yang membuatku penasaran. Sesungguhnya aku hanya ingin mencontoh apa yang bisa kujadikan pelajaran dari kehidupan perkawinan Ami dan Taufik.

-ad-

Elis ada di pojokan, dengan pakaian kerja biru muda. Segar sekali ia di pagi itu. Matanya yang kecil didandaninya sedemikian rupa dengan bingkai perona mata yang tegas, sehingga membuatnya lebih membelalak. Diam-diam aku mengaguminya.

Dia menarikkan kursi untukku di sebelahnya serta memesankan sepiring croisant dengan segelas coklat susu panas kegemaranku. Di hadapannya, sepiring croisant juga menghampar bertemankan capuchino yang mulai dingin. "Silahkan minum duluan Lis," kataku sambil mencari posisi yang nyaman.

Elis mengangguk seraya mempermainkan sendok kopi di cangkir demi tasse yang masih penuh itu. Stasiun pagi itu agak sedikit lengang. Mungkin para pegawai banyak yang belum kembali dari cuti paskahnya. Tukang bunga di muka kedai kopipun baru saja tiba menggelar dagangannya. Kuntum-kuntum lily putih serta cassablanca yang jadi kegemaranku berseri disana memadati ember-ember plastik merah.

"Suamimu sudah ke kantor?" tanya Elis membuka percakapan.

Aku mengangguk mengiyakan. "Terus gimana ceritanya, Lis?" serbuku tak sabar.

"Eh, kemarin sampai di mana, ya?" Elis balik bertanya.

"Hmmm, Taufik bersama perempuan lain," jawabku yakin.

"Oh ya, bukan bersama, membawa perempuan itu tepatnya. Dia mengundangnya dari Indonesia," jawab Elis mengoreksi ucapanku. Maksudnya tentu dia ingin menekankan bahwa keberadaan perempuan itu adalah atas permintaan Taufik.

"Aku kemudian mengundang Taufik ke rumahku dan menanyainya. Aku sangat kasihan kepada Ami. Perempuan itu terlalu lugu dan tak pernah punya bayangan buruk sedikitpun akan suaminya. Padahal, aku sudah berkali-kali pergi hanya berdua dengan Taufik, bahkan hampir setiap minggu Taufik justru mengajakku berbelanja untuk kebutuhanku sehari-hari. Padahal lagi, kulihat Ami selalu berjalan sendiri memenuhi kebutuhan keluarganya baik ke toko maupun ke pasar," papar Elis. Matanya menerawang jauh selagi tangannya diletakkan pasrah di sisi kiri dan kanan cangkirnya.

Aku meneguk coklat susuku yang baru saja diantarkan pelayan. Croisant kami masih terbiarkan begitu saja, padahal asap mengepul-ngepul dari atasnya pertanda baru dikeluarkan dari mesin penghangat.

"Jadi dasarnya kau cemburu kepada Taufik yang mendatangkan perempuan itu dari Indonesia?" sindirku dalam gurauan.

"Hey, common! Bukan begitu ya........" sahut Elis seru sambil mencubit lenganku. Tak urung ia tertawa memperlihatkan putih mutiara di giginya yang besar-besar.

"Ups! Maaf! Terus kenapa dong?" berondongku.

Menurut Elis, antara dia dengan Taufik tak ada rasa apapun. Dia hanya suka dengan cara kerja Tufik yang efisien dan menunjukkan kecerdasan sehingga semua urusan kantornya dengan Taufik tak perlu makan waktu lama. Selain itu Taufik pria yang lembut dan penuh perhatian. Itulah sebabnya dia merasa betah bergaul dengan Taufik, dan juga Ami, tegasnya.

"Ami itu lho, hatinya suci. Dia bukan tipe perempuan pencemburu. Sekaligus dia tipe ibu rumah tangga yang baik. Dia mengalahkan semua keinginan pribadinya untuk seluruh keluarganya, bahkan jika perlu untuk orang-orang lain yang disayanginya. Kau lihat, Ami tidak pernah outing dengan ibu-ibu yang lain dan menghabiskan waktu keluar-masuk toko di down-town. Baginya itu pemborosan belaka. Ami bilang, dia menyisihkan gaji suaminya untuk memenuhi uang kuliah suaminya karena dia tahu suaminya pembelajar yang baik dan dia ingin suaminya punya masa depan yang lebih gemilang. Belum lagi kau tahu, Ami tak pernah ikut kursus ini-itu, karena dia menganggap kursus bahasa kedua anaknya lebih penting untuk menunjang keberhasilan mereka di sekolah. Kursus bahasa 'kan mahal ya?" kata Elis seperti tak minta jawaban. Aku mengangguk setuju. Ya, di negeri tempat tinggal kami ini tak ada apapun yang murah. Termasuk biaya pendidikan tentunya.

"Kalau begitu kau betah bergaul denganku juga kerena suamiku menyenangkan untukmu dan mau diminta menemanimu?" ledekku sambil tertawa.

"Sembarangan!" semprot Elis pura-pura marah. "Bukan itu, karena aku merasa betah bergaul dengan keluargamu," protesnya. "Lain 'kan?!"

Aku mengangguk mengiyakan sambil mulai mengunyah croisant yang kulumuri butter kesukaanku. Di emplasemen stasiun, kereta bawah tanah datang dan pergi berganti-ganti menyuarakan deritan rem dari rangkaian gerbong-gerbongnya meningkahi pembicaraan kami.

"Lis, kau sudah mencoba menyadarkan Ami akan kebutaannya?" tanyaku.

Elis membuang pandangannya jauh ke kerumunan penumpang yang naik-turun eskalator di dekat kedai kopi kami. "Secara terang-terangan sih tidak. Aku tak akan melakukannya. Aku takut memperuncing masalah. Cuma pernah kukatakan kepadanya bahwa antara dirinya dengan Taufik kurang berinteraksi. Dan komunikasi adalah kunci yang pas untuk menumbuhkan hubungan yang sehat."

"Apa rekasinya?" potongku tak sabar.

"Kata Ami, dia sudah terlalu biasa didiamkan suaminya. Dan dia tidak menuntut apa-apa sepanjang suaminya tidak mengabaikan anak-anak mereka serta masih menafkahinya setiap hari. Kau tau Nik, tiap hari Taufik pasti pulang ke rumah sekali  pun sudah terlalu malam untuk ukuran orang pulang kantor. Dan untuk Ami itu bukan masalah. Sebab Ami menduga Taufik sibuk dengan sekolah dan pekerjaannya. Padahal Taufik hanya sekolah seminggu dua kali Selasa dan Jum'at malam." Kata Elis panjang-lebar.

"Jadi Ami tidak merasa ada yang salah dalam pola interaksi mereka?" tanyaku lagi sambil menilai pola hubunganku dengan suamiku sendiri. Ya, suamiku juga termasuk tipe lelaki pendiam dan pekerja keras yang giat . Dalam hatiku mulai timbul rasa was-was. jangan-jangan suamiku juga "sealiran" dengan Taufik, batinku. Tapi, ah, tidak mungkin. Suamiku masih menggauliku dengan baik, dan perhatiannya tak juga berkurang. Buktinya, dia masih mau membantuku mengasuh anak serta menemaninya bermain. Bahkan kehamilanku kali ini juga senantiasa dalam pengawasannya.

Elis menggelengkan kepalanya sambil terus menatap kejauhan itu. "Nggak, menurut Ami sejak mereka pacaran memang Taufik sudah pendiam, dan sekalinya marah, dia akan mengurung diri berlama-lama di kamarnya tanpa bicara. jadi dia sudah terbiasa dibegitukan," jawab Elis.

Menurut pengakuannya, asal setiap malam suaminya pulang ke rumah dan memberi mereka semua biaya kebutuhan rumah tangga, sudah cukup.

Aku menggeleng tak habis pikir. Ternyata, ada manusia sesederhana itu. Tapi kemudian senyumku mengembang sendiri, ah ya, aku juga tak jauh dari sifat Ami, batinku, Asal suamiku masih menafkahi dan pulang tiap hari, cukup sudah.

Terbayang di benakku anak-anak Ami yang kesepian dan merindukan bapaknya setiap malam. Pasti di saat Taufik pulang, anak-anak itu sudah tertidur kelelahan menunggu di muka televisi.

Seakan mengerti isi pikiranku, Elis segera berkata, "tapi aku salut terhadap Taufik lho. Dia tetap mengupayakan pulang tiap malam pada pukul delapan sebab anak-anak mereka senantiasa dibiasakan ibunya menunggu untuk makan malam bersama. Sekalipun makan malam yang sepi itu. Yang tak ada keributan orang mengobrol seperti di keluargamu," Elis menyunggingkan senyumnya. Hatiku berbunga-bunga dipujinya. Keluarga kami memang senang membicarakan apa saja sambil makan.

"Ya, tapi kau selayaknya bicara pada Ami. Juga pada Taufik untuk mengakhiri semua affairnya demi anak-anak tak berdosa itu," desakku. "Apa sih yang diungkapkan Tufik padamu mengenai Ami?" tanyaku kembali ke pokok masalah soal pembicaraan pribadi antara Elis dan Taufik di kamar apartemennya yang hampir terlupa kutangkap.

"Oh, ya, kamu masih butuh tahu itu?" ledek Elis. Tanpa menunggu jawabku dia melanjutkan. "Kata Taufik, dia bosan dan lelah menghadapi Ami. Sejak dulu Ami tidak berubah. Ami tetap perempuan desa yang lugu tak mengenal dandan dan tak mau berkembang. Ami dinilainya juga pemalas."

Aku terperangah mendengarnya. Luar biasa, Ami yang selama ini kelihatan manis dan menawan apa adanya, ternyata dinilai terlalu kampungan oleh suaminya sendiri yang menikahinya sekian lama tanpa paksaan siapapun. Tak percaya aku mendegarnya. Apalagi setahuku Ami termasuk ibu-ibu yang aktif mengurusi segala kegiatan sosial kemasyarakatan di kantor suaminya sekaligus disukai orang banyak.

"Masya Allah Lis! Sebegitu kah? Menyakitkan sekali. Ami tahu tuduhan itu?" tanyaku.

Elis kembali menggeleng. "Tapi aku sudah mengatakannya sehabis kami libur bersama suatu hari, yang menjeratku ke dalam keadaan yang serba menyiksa."

Aku segera ingat Elis pernah bercerita bahwa dia pernah berkeliling ke bagian selatan negeri ini bersama keluarga Ami ketika aku mencari tahu tentang sebuah tempat wisata di daerah selatan sana. Elis bisa menceritakannya dengan detail.

Tiba-tiba HP di meja kami berdering. Elis cepat mengangkatnya dan bicara dengan seseorang yang menunggunya, "Oke, Nonik, klienku sudah kembali. Aku harus kerja dulu. Sampai jumpa lagi ya?!" katanya sambil mengelap mulutnya sebelum menjabat tanganku dan melangkah ke meja kasir akan sekalian keluar.

Aku mengangguk dan mengiringkannya dari belakang masih dengan sejuta tanya dan galau yang sama. "Terima kasih Lis, selamat kerja. Kalau ada waktu lanjutkan lagi ya, aku penasaran," ucapku sambil keluar stasiun menuju ke rumah. Di luar sana matahari hangat menyembul terang, mengisap embun yang disisakan dingin malam di taman-taman kota.

(BERSAMBUNG)

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (II)

Suamiku baru saja tiba di rumah, bersamaan dengan pembantuku membukakan pintu untukku dan Elis. Elis mengangguk menyapa suamiku yang masih lengket berpeluh. "Silahkan masuk Lis," kataku sambil langsung menuju dapur. Nia pembantuku sibuk menerima belanjaan dari tangan kami.

Aku membuka koelkast dan menuangkan dua gelas jus apel untukku dan Elis sambil mengajaknya ke ruang tamu. Suamiku pergi mandi mengusir ketidak-nyamanan yang didapatnya dari olah raga tadi.

Kami teruskan mengobrol seraya menunggu suamiku siap bergabung. Biasanya sehabis olah raga, suamiku akan sangat lama di kamar mandi.

"Ya, kamu bersalah," kataku pada akhirnya tanpa bermaksud menghakimi Elis. "Kamu tahu bahwa antara Taufik dan Ami tidak lagi harmonis, kenapa kamu turut menyumbang kebekuan itu? Taufik bukan lelaki untukmu. Maaf Elis, dalam agama kami, tak dibenarkan sepasang lelaki dan perempuan berdua-dua saja. Meski pun tanpa berbuat apa-apa. Sebab, kitab suci  kami mengatakan, di antara yang sepasang itu ada setan mengganggu di tengahnya," ucapku sambil tersenyum meredakan ketegangan yang muncul sejak di kereta tadi.

Aku tak memberi kesempatan Elis untuk menyela. Maka selepas bicara sepanjang itu segera kuteguk minumanku sekalian mempersilahkan Elis juga.

Elis bereaksi dengan menundukkan kepalanya, lalu dia berucap pelan, "ya, aku tahu Nik. Itulah sebabnya aku mendoakan mereka berdua. Ditelannya ludahnya sendiri sehingga kusodorkan gelas jus itu ke tangannya. Elis menerimanya dengan baik, mencoba tersenyum lalu meneguknya sedikit.

-ad-

Dalam cerita Elis, Ami sama sekali tak menyadari kebekuan suaminya. Dituturkannya bahwa Ami tak merasa aneh. "Dari dulu mas Opik memang pendiam Lis," papar Ami. "Dia cuma bicara kalau ketemu orang yang cocok atau topik yang menarik."

Ami mengira beban pekerjaan Taufik yang beratlah penyebab semakin diamnya Taufik. "Mas Opk pekerja keras, dari dulu dia nyaris selalu pulang malam. Tak heran kalau sekarang dia ada pada posisi yang baik ini," cerita Ami pada Elis dengan kebanggaan seorang istri yang tulus.

Kudengar Taufik memang punya posisi cukup penting di kantornya sehingga banyak orang yang iri kepadanya. Bahkan kudengar di kantornya yang sekarang, Taufik punya posisi kunci mendampingi pimpinan kantornya.

Taufik nyaris selalu pulang dalam kelelahan. Hanya anggukan kepala yang diperoleh Ami setiap dia mempersilahkan makan malam. Juga hubungan mereka yang dingin di ruang pribadi mereka, dianggap Ami sebagai akibat kelelahan fisik Taufik semata.

Ami perempuan ceria itu selalu punya permakluman untuk suaminya seluas samudera. Hatinya tulus, bening sebening birunya lautan. Semua pekerjaan rumah tangga dilakukannya berdua dengan pembantunya tanpa mengeluh. Juga ketika dia harus berpayah-payah ke pasar dengan belanjaan berat bahkan menjemput anak-anaknya sendiri berjalan kaki dari sekolah menembus dinginnya es yang beku di rerumputan jalanan.

Bagi Ami kehidupan semacam itu adalah konsekuensinya menikah dengan seorang Taufik yang terlalu baik dan santun di masa lalu. "Mas Opik sangat perhatian dan sayang padaku. Dulu, tanpa mas Opik mungkin aku tak ada yang mau," cerita Ami pada Elis.

Ami terlahir sebagai anak bungsu dari keluarga besar yang hangat. Kasih sayang melimpah padanya sehingga dia tumbuh jadi gadis manja. Apalagi kondisi kesehatannya kurang baik. Sehingga Ami selalu saja hidup dalam pengawasan ketat keluarganya, termasuk dalam pengawasan Taufik waktu itu. "Ayahnya begitu mempercayaiku, dia diserahkan sepenuhnya dalam genggamanku sebelum kami resmi menikah," papar Taufik.

"Sedemikan eratkah hubungan mereka sebelum menikah?" selidikku meski aku tak yakin Elis mempunyai jawabnya. Dan Elis mengangguk, "ya, orang tua mereka bersaudara jauh, kerabat tepatnya."

"Jadi pernikahan itu terjadi atas perjodohan yang dipaksakan orang tua mereka?" selidikku lagi lebih dalam. Kali ini Elis menggeleng, "bukan. Katanya sih orang tua mereka mulanya malah tak tahu mereka telah berpacaran, cinta monyet gitu lho."

Aku mengangguk menarik nafas panjang sambil mencoba memahami situasi awal pernikahan kedua sahabat dari sahabatku itu.

Orang tua mereka begitu surprise begitu mengendus hubungan cinta mereka. Maka jadilah mereka sepasang pengantin yang ditahbiskan orang tua mereka sebelum masanya. Orang tua Taufik begitu bahagia mendapati calon besannya, selagi orang tua Ami juga tak kalah senang menemukan Taufik yang terkenal santun dan baik budi sebagai kekasih Ami. Bahkan Ami dititpkan orang tuanya ke tangan Taufik dengan bayaran amanah, dimana mereka menikah dalam keadaan masih suci beberapa tahun kemudian.

Di mata ibu Taufik, Ami adalah perempuan terpelajar yang sopan dan rendah hati tak sebanding dengan kedudukan orang tuanya yang menyolok di mata masyarakat. Ami tak segan-segan bertandang dan membantu-bantu di dapur rumah keluarga Taufik yang menjorok di dalam gang sempit berdesak-desakan jendela bertemu jendela, pintu beradu pintu.

-ad-

Suamiku selesai membersihkan diri lalu ikut mengobrol bersama kami. Balita kami asyik menyusun puzzle tak jauh dari kami di play pen-nya.

Pembicaraan kami beralih ke masalah-masalah umum sampai tiba saatnya makan siang yang kami lanjutkan dengan bermain scrabble bersama. Anak kami tertidur lelap di pangkuan Elis sahabatku yang pandai bercerita. Tapi sejujurnya pikiranku tidak ada di papan scrabble itu. Sambil bersila di lantai aku terus terkenang akan cerita Elis tentang Ami sampai mengacaukan permainanku.

Ketika akhirnya Elis minta diri, kami mengantarkannya sekalian. Sebab anak kami ingin sekali keluar rumah sore itu. Elis melambaikan tangannya dari pintu building tinggi tempatnya bermukim. Satu-dua penghuni di situ tampak duduk-duduk di cafe di lantai dasar sambil mengobrol santai. Senja yang hangat membawa kebersamaan yang erat di hati manusia-manusia itu. Tidak seperti cerita Elis tentang Ami dan Taufik. Aku menelan ludah merasakan kepahitan yang tiba-tiba meracuni jiwa dan pikirankku.

Kami mengasuh buah hati kami di taman di dekat kantor suamiku. Papan luncur tinggi padat dikerumuni barisan anak-anak kecil. Si kecil segera berlari menghampiri angsa kayu yang berdiri berdampingan dengan kuda di sisi kiri taman. Aku mengikutinya dan menaikkannya ke atasnya. Dia berayun-ayun senang di sana terangguk-angguk ke depan ke belakang. Suamiku sibuk merekam keceriaan anakku dengan kamera yang tak pernah lepas disandangnya setiap kami keluar dengan anak kami. Di perutku, janin kecil menendang-nendang senang.

-ad-

Pagi sekali kukirim e-mail kepada Elis untuk memintanya melanjutkan kisah Ami yang membuatku penasaran. Aku tahu, setiap pagi acara pertama Elis adalah membuka e-mailnya mengecek pekerjaan yang masuk untuknya hari itu serta laporan dari Yati di Jakarta.

Semalaman aku nyaris tak dapat tidur, pensaran akan kisah Ami. Sebab selama ini di mataku hubungan Ami dengan suaminya baik-baik adanya. Entahlah di belakang itu, aku tak tahu sebab aku jarang sekali bergaul dengan ibu-ibu Indonesia yang jumlahnya cuma segelintir di kota tempat tinggal kami.

"Nonik, maaf aku baru sempat menjawab rasa penasaranmu," kudengar suara Elis di seberang sana dari telepon kantornya. Hari sudah sore, pertanda dia sudah hampir menuntaskan semua pekerjaannya hari itu.

"Nggak 'pa'pa," balasku ringan meski hatiku penuh harap. "Aku tahu kamu sibuk, 'kan wantia karier," sambungku sambil memperdengarkan tawa. Elis membalasnya dengan tawa juga. Seketika tergambar di rongga mataku lesung pipit yang molek itu.

Taufik sekarang sedang menyelesaikan sekolahnya, dia belajar lagi untuk mengejar gelar master sesuai tuntutan jaman. Maklum pekerjaannya memerlukan ilmu yang mutakhir dengan persaingan personal yang ketat. Tapi Ami tidak pernah tahu hari-hari apa saja dia di kampus, maklum Ami tipe perempuan kuno yang tabu memaksa suaminya bicara seperti diajarkan ibunya. "Biarkan suamimu punya waktu dan rahasia untuk dirinya sendiri," pesan ibunya dulu. "Kamu jangan kelihatan terlalu mengejar-ngejar lelaki dan ingin mendominasinya." Petuah yang termakan dalam-dalam di ingatan Ami dan menjadi patokannya di dalam menjalin hubungan dengan Taufik hingga mereka beranak dua.

"Kami kerap pergi bersama seperti aku denganmu akhir-akhir ini. Tapi Taufik tidak pernah ikut, dan Ami selalu mengira suaminya sibuk dengan pekerjaan serta tugas-tugas kuliahnya sekalipun di hari libur atau akhir pekan," urai Elis.

"Padahal dia di mana?" tanyaku ingin tahu.

"Dia di suatu tempat dengan perempuan lain. Akulah saksi kuncinya, karena perempuan itu selalu datang dari luar kota dan diinapkan Taufik di dekat tempat tinggalku."

"Kau tega membiarkan Taufik mengkhianati istrinya?" tuduhku sembarangan.

"Hm, dengar Nonik, ya, tidak Nonik. Aku bukan tipe perempuan seperti itu. Karenanya pernah kuminta Ami untuk menelepon Taufik menanyakan keberadaannya. Tapi memang kasihan, HP-nya dimatikan, membuat Ami yang lugu semakin yakin bahwa Taufik berada di ruang kuliah dan bukan ruang-ruang lain."

"Siapa perempuan itu, kau kenal?" tanyaku lagi.

"Tidak. Konon bekas mitra kerjanya di Indonesia dulu. Tapi aku sama sekali tidak mengenalnya. Percayalah. Aku bahkan pernah menanyakan hal ini pada Taufik sendiri. Menurutnya, Ami sudah tahu dan tidak cemburu."

Semakin pusing aku mencernanya, Dalam jaman modern seperti ini ternyata masih ada perempuan lugu yang mudah dibodohi lelaki. Walau dalam hatiku aku tidak yakin akan pengakuan Taufik. Terbayang wajah Ami yang selalu ceria, tentu akan terlipat lesu kalau saja dia tahu pengakuan suaminya kepada perempuan lain yang bukan apa-apanya tentang hubungannya dengan perempuan lain lagi. Sungguh suatu cinta yang pelik, yang membutuhkan tangan-tangan kesabaran untuk menguraikan kekusutannya.

Bersamaan dengan itu kudengar suara mobil suamiku di garasi kami. Kututup segera telepon Elis dengan rasa penasaran yang semakin memuncak. Insya Alalh besok sore giliran aku yang akan meghubungi Elis lagi untuk kelanjutan kisah unik ini.

Kudapati suamiku masuk disambut si kecil di tangga garasi. Aku mengucapkan salam sambil membawakan segelas air putih di gelas bir yang kami sulap sebagai gelas untuk suamiku. Rumah tanggaku terasa damai. Semoga selamanya begini.

 

(BERSAMBUNG)

BIRU ITU TAK SEBENING LAUTAN (I)

"Sahabatku Elis, ijinkan aku mengenangmu dalam senyap, dalam kegundahan yang dalam, waktu kuterima e-mail dalam milis berantai yang persis sama dengan postingan salah satu kontakku di Multiply kemarin dulu. Ada bayanganmu disana. Ada lesung pipitmu yang manis menggoda. Juga ada tutur katamu yang lembut. Aku ingat masa-masa itu. Saat kita berdua-dua menyusuri pusat kota dan aku menemanimu masuk ke gereja tua disana. Kau katakan, kau mau berdoa untuk sahabatmu, seorang perempuan yang ditinggalkan suaminya. Elis, betapa mulianya hatimu. Kau hidup tak hanya untuk dirimu sendiri, melainkan juga untuk menyinari orang-orang di dekatmu. Semoga di sisi Tuhanmu kini kau reguk nikmat kebahagiaanmu, sebagai balas atas kebaikanmu di dunia."

Sejak kemarin betapa ingin rasanya aku menuliskan ini. Sebuah memori yang tercerabut tiba-tiba dari dasar hatiku. Tentang sahabat karibku yang mati muda ketika dia harus melahirkan anak pertamanya ke dunia.

-ad-

Elis perempuan itu kukenal baik melalui temanku Yati. Yati bekerja padanya di Jakarta, selagi Elis mengelola usahanya di luar negeri.

Elis perempuan cerdas dengan pendidikan tinggi tempaan salah satu universitas papan atas di Eropa, memanfaatkan harta kekayaan orang tuanya untuk membuka usaha jasa. Dan Yatilah tangan kanan Elis di Jakarta.

Nasib mempertemukan ku dengan Elis di negeri orang. Waktu itu Yati mengirimkan bingkisan untuk Elis lewat aku yang baru untuk pertama kalinya akan berangkat ke luar negeri. Aku tahu maksud baik Yati, dia ingin memudahkan proses adaptasiku dengan menggunakan jasa Elis yang sudah lama menetap di negeri tempat tinggal baruku.

Kebetulan Elis mempunyai minat yang sama dengan keluarga kami, sehingga kami menjadi cepat akrab. Bahkan Elis sering bertandang dan pergi bersama kami sekeluarga. Bagi kami, Elis yang hidup membujang seakan-akan bagian dari keluarga kami, sebab seluruh kelurgaku pun menyukainya. Betapa tidak, Elis sangat ramah dan gemar menolong siapa saja. Terlebih-lebih orang baru seperti kami.

-ad-

Dalam bus kota yang membawa kami cuci mata, Elis sering bercerita tentang Ami kawannya yang tak begitu kukenal. Menurut Elis, Ami punya dua orang anak ABG tapi merana. Suaminya tak banyak bicara, dan membiarkan dia sendiri terkurung sepi di rumah.

Di mata Elis, ada yang salah dalam pola hubungan Ami dengan suaminya, seorang birokrat yang cenderung workaholic. "Sejak saya mengenal Taufik, saya sudah mengendus bahwa hubungan mereka berdua hambar," papar Elis padaku membuka percakapan tentang Ami ketika kami tiba di halaman sebuah gereja tua. Lonceng berdentangan keras, menyeret langkah orang-orang tua yang berdandan rapi memasukinya.

Hanya Elis satu-satunya kaum muda yang duduk menyimak khotbah pastor di gereja itu. Aku meninggalkannya ke pertokoan tak jauh dari situ sambil berjanji kembali sebelum pukul sebelas saat dia selesai dengan misa Minggu paginya. Sedangkan suamiku asyik dengan kelompok olah raganya membakar energi di tubuh mereka hingga tiba saat kami makan siang nanti.

Aku melongok ke dalam waktu jam menunjukkan pukul seebelas kurang lima menit. Barisan jemaah masih mengantri roti dan anggur suci. Elis ada pada antrian terdepan, aku mengenalinya dari gaun merah yang dipakainya pagi itu. Wajahnya segar dengan senyum sempurna. Matanya menyala-nyala bening mengingatkanku pada bola lampu mercuri di taman dekat sekolah anakku.

Dia mengisyaratkan padaku untuk duduk di pew -bangku gereja- terbelakang di dekat pintu keluar. "Tunggu sebentar ya, aku mau berdoa dulu khusus untuk Ami dan Taufik," pesannya. Kaki itu kembali memutar, meninggalkanku sendiri, melangkah ke arah deretan lilin di altar di seputar ruang gereja.

Elis melipat tangannya ke dada mengepal setelah menyalakan lilin-lilin berbentuk bunga yang indah. Satu merah, dan lainnya putih. Lalu dia berlutut di situ sambil mengatupkan matanya. Dari jauh nampak setangkup bibirnya yang lebar basah mengilat oleh ungkapan-ungkapan doa yang dilontarkan dari mulutnya, Aku tak tahu apa yang dikatakannya pada Tuhannya. Tapi kuyakin, melihat ketulusan hatinya selama ini terhadap kami, apa pun yang diucapkannya pastilah hal-hal baik yang akan dikabulkan Tuhannya.

-ad-

Kami naik kereta bawah tanah menuju ke rumahku. Keranjang belanjaan di kiri-kanan tanganku berpindah ke tangan Elis sebagian, selagi aku menyeret shopping cart kami dari kain terpal kotak-kotak cokelat muda. Ada bahan masakan untuk besok, sekaligus juga buah dan makanan segar kesukaan anakku untuk disantap sebentar siang.

"Kenapa kamu mendoakan Ami dan Taufik?" tanyaku penasaran sambil merebahkan tubuh di sisinya menempel ke jendela mengarah ke selatan, ke rumahku. "Aduh, kamu lucu," reaksi Elis sambil mengelus pipiku dengan jari-jarinya yang panjang halus. Maklum dia tidak pernah ke dapur sama sekali, mengingat dia hanya seorang diri. Karenanya di waktu akhir pekan aku senang mengundangnya ke rumah kami untuk makan siang. Jari-jari halus itu, hanya digunakannya untuk mengetik. Sebab mengetik adalah pekerjaan utamanya selama ini.

Aku terperangah, menggeser kepalaku bersandar ke dinding kereta sambil mengamatinya serius. Elis yang cantik nampak seperti pualam di meja penjual karcis museum di dekat gereja tadi. Begitu kuning langsat dan mulus. Elis begitu menawan, hingga ke lekuk di pipinya semua punya daya tarik untuk dinikmati.

-ad-

Taufik merupakan salah satu pengguna jasa kantor Elis. Dan hubungan mereka bermula dari situ. Ami yang lugu dan sederhana selalu membiarkan suaminya berdua-dua berlama-lama di telepon yang tidak hanya membicarakan masalah pekerjaan saja, melainkan juga diselingi obrolan ringan. "Ami tahu itu," kata Elis tanpa malu-malu dan tak merasa bersalah. "Bahkan kami bertiga jadi akrab.Sebelum kedatangan kalian, aku sering bertandang dan berakhir pekan di apartemen Ami," sambung Elis.

"Oh, jadi, kehadiranku merusak hubungan baik kalian ya?" tanyaku polos. Elis menggelengkan kepalanya sebelum menjawab ramah, "no...., no...., no.... bukan. Justru aku harus berterima kasih padamu. Engkau telah melepaskan aku dari jeratan hubungan tak sehat itu. aku seharusnya berterima kasih padamu Nonik." Senyum itu tersungging lagi kali ini disertai cubitan pada pipiku.

-ad-

Taufik dan Ami sudah menikah lebih dari sepuluh tahun. Bahkan kedua anak-anak mereka sudah duduk di kelas lima dan dua SD. Mereka anak-anak yang manis, tipe anak-anak rumahan yang tak merepotkan.

Menurut Elis, keduanya sama-sama cinta pertama bagi masing-masing pihak. Dua remaja yang kemudian menggabungkan diri untuk selamanya. Ami yang cenderung lincah serta ramah, menjadi mentari dalam kehidupan Taufik yang berasal dari keluarga tak bahagia. Dia sudah jadi yatim sejak kecil serta diasuh ibu dan seorang pamannya sebagai anak tunggal. Karenanya Taufik jadi pendiam dan butuh seorang Ami untuk mencerahkan hari-harinya.

"Taufik bilang, Ami begitu mengerti dirinya, dan mau menerima dia apa adanya," lanjut Elis lagi. Di luar jendela, dinding gelap terus memanjang menembus lorong menuju stasiun berikutnya.

Singkat kata, Taufik tak bisa meninggalkan Ami apa pun adanya. Sekali pun dia tahu bahwa Ami sangat lugu dan sederhana, bahkan dalam caranya berpikir, begitu menurut Taufik pada Elis.

Ami tak sempat menamatkan sekolahnya di perguruan tinggi karena terlanjur dinikahi Taufik, hamil, dan kemudian mengikuti kemana pun Taufik ditugaskan. Tapi sesungguhnya menurut Elis, Ami cukup cerdas. "Enak mengobrol dengannya, wawasannya luas dan dia pandai merangkai kata-kata," celoteh Elis tanpa kuminta.

Keadaan itu semula disetujui Taufik, namun pada akhirnya dipermasalahkan pula. "Aku malu punya istri tak berpendidikan dan tak ada keinginan untuk maju," begitu curhatan Taufik suatu hari ketika Elis berlama-lama duduk di kantor Taufik untuk urusan pekerjaan mereka. Sehabis itu, mereka jadi kerap pergi berdua-dua entah untuk menyelesaikan pekerjaan maupun hanya sekedar untuk makan siang. "Mungkin aku juga yang salah ya?" tanya Elis seperti minta penilaianku.

Tiga stasiun sudah terlewati. Masih cukup waktu untuk mengobrol sebelum sampai di rumahku pada stasiun yang terakhir. Kulihat Elis menggeser kakinya memberi kesempatan kepada orang yang lewat di depannya dengan keranjang belanjaan besar.

"Kemana saja selama ini kalian menghabiskan waktu berdua?" selidikku.

"Kadang-kadang kami duduk mengopi di down-town, Adakalanya cuma di dekat rumahku sambil Taufik mengantarku pulang,"

"Mengantarmu pulang ke rumah?" sergapku kaget. Degupan jantung ini terasa begitu tegas. Bagi agamaku, seorang yang bukan muhrim tentu tak dihalalkan berjalan bersama berdua saja, apalagi sampai mengantar ke rumah. Mataku mungkin nampak membelalak selagi mulutku menganga. Itulah sebabnya kemudian Elis segera menatapku tajam, "ya, mengantarku. Aku bersalah 'kan ya?!" tanyanya polos.

Di usianya yang naik merambat ke angka tigapuluh Elis memang belum pernah berpacaran secara serius. Dulu dia punya cinta monyet yang kemudian merenggang ketika pacar SMA-nya mendapat bea siswa di luar negeri dan menetap di sana. Setelah itu, dia cukup dekat dengan Robert lelaki Eropa mitra kerjanya di luar negeri sekaligus penyandang dana terbesar perusahaannya di tempat kami berada. Elis memang butuh jasa Robert, sebab tanpa seorang warga negara setempat sulit bagi Elis untuk membuka usahanya disini.

Namun Robert bukanlah kekasih Elis. Dia punya istri di Inggris sana yang telah melahirkan anak-anak yang cantik. Ann-Mary istrinya biasa datang sebulan sekali naik kereta bawah laut atau Robertlah yang pulang kampung. Suatu hubungan yang intens untuk kalangan bule yang dimasa ini terkenal sebagai penganut faham bebas.

"Lis," pintaku. "Jangan ulangi lagi kebodohanmu. Kaulah yang membuat Taufik dingin menghadapi Ami," tudingku tanpa ragu-ragu. Kudapati wajah pasi di depanku, yang sinar matanya tertunduk layu sehabis aku menyiraminya dengan air es yang kuguyurkan langsung dari Pegunungan Alpen di timur sana. Di luar lampu stasiun menyala terang. Saatnya kami beringsut ke pintu. Sebab sehabis stasiun ini kami harus turun. Dingin, kami berjalan dalam dingin menuju ke pintu rumahku lima ratus meter dari stasiun itu.

(BERSAMBUNG)

Senin, 26 Januari 2009

STASIUN TERAKHIR SANG PUJANGGA MALAM

Jika diibaratkan pengelana, maka kemenakanku yang satu ini adalah pengelana sejati. Satu "tempat" ke "tempat lain sudah disusurinya dengan baik.Terkadang dia singgah cukup lama di satu tempat, dan mereguk air segar serta menyecap lezatnya buah yang ditumbuhkan buminya. Namun tak jarang dia cuma mampir sebentar sekedar melihat-lihat keindahan yang ada lalu pamit tanpa isyarat.

Bulan lalu dia menemukan tempat persinggahannya yang abadi. Dan untuk itu dia telah memutuskan untuk mereguk habis semua nikmat yang ada disitu dengan satu kata, dia akan melepas masa lajang. Suatu peristiwa yang sangat kami syukuri mengingat dia memang sudah sampai pada saatnya menikah.

Perempuan impiannya, persinggahannya yang terakhir, gadis mungil yang selalu ceria dan penuh kasih sayang. Dia telah masuk ke dalam semua kehidupan kami dan jadi bagian disana. Tanpa kami minta. Perempuan bening berhati santa.

-ad-

Berdua dengan anak bungsuku aku menerbangkan diri ke ibu kota propinsi, dimana mereka melepas masa lajang mereka. Gurat-gurat bahagia terpancar di wajah jelitanya, sekalipun pernikahan itu terbilang sederhana dan nyaris tanpa gaya.

Suatu pertemuan keluarga yang tidak pernah terduga, terjadi buatku. Banyak kerabat yang lama tidak kujumpa hadir disana. Termasuk keluarga besar iparku. Berada di tengah-tengah mereka, rasanya aku seperti dikungkung oleh gelombang hangat yang dipancarkan heater yang biasa tergantung di dinding kamarku di kala winter menyergap bumi.

Salah satu kakakku juga membawa serta sahabat lamanya, walaupun kami kurang mengenalinya. Namun keakraban cepat terjalin sebab dia bersama keluarganya bisa masuk dengan nyaman ke dalam lingkungan keluarga kami yang selalu penuh canda tawa.

Aku menggodanya dengan istilah "Cinta Lama Bersemi Kembali" mengikuti salah satu mata acara di salah sebuah stasiun televisi nasional. Tapi mereka hanya tertawa mendengar gurauanku yang tak bermutu. Sebab sesungguhnya mereka betul-betul cuma teman lama yang kebetulan dipertemukan nasib sehingga menjadi akrab kembali.

Abang, demikian aku memanggil sahabat kakakku itu, dulunya adalah tetangga desa dan teman sekantor salah satu orang tua pengantin. Ah, dunia terasa sempit. Maka di pesta pernikahan itu mereka seperti berusaha mengakrabkan diri lagi seraya mengenang masa lalu yang telah hampir pudar.

Aku menggoda kakakku, apakah ini pertanda cinta itu tumbuh kembali? Kakakku lagi-lagi menggeleng dan berujar, "persahabatan tak harus dikotori dengan birahi. Kasih sayang yang murni adalah inti persahabatan yang sejati," tandasnya.

-ad-

Seusai perhelatan kakakku, aku menyempatkan diri untuk bersilaturahmi kepada para kerabat orang tuaku sebelum kembali ke rumah. Paman dan bibiku nampak sudah semakin tua, namun tak kehilangan gairahnya yang dulu.Bahkan pamanku yang dulu begitu pendiam kini nampak banyak bicara menyampaikan petuah-petuah yang entah diambil dari mana. Kuduga dari pengajian kaum lansia yang menurut mereka rajin mereka ikuti sebagai pengisi waktu luang.

Paman melepasku di pintu pagar rumahnya dengan doa yang nyaris selalu sama, semoga kami dapat menjalankan amanah negara hingga selesai dengan sempurna. Juga bibi membekaliku sekantung makanan yang dibuatnya sendiri seakan penambah semangat dan gairah kami merantau. "Kalian dulu mulai sekolah dari rumah ini, sekarang ijinkan kami mengantarmu pula ke meja kerja suamimu dengan doa selamat dari rumah ini," kata bibiku lembut meluncur dari setangkup bibirnya yang tipis dan menawan walau tanpa seulas lipstickpun. Aku mengangguk seraya mencium kedua punggung tangannya sebagaimana dulu diajarkan suamiku, lalu menghilang dengan membawa kenangan manis kami akan beliau. Sebab disitu dulu aku sering menginap dan minta perlindungan ketika baru mulai sekolah di perguruan tinggi.

-ad-

Aku bahagia menyaksikan kebahagiaan pengantin baru yang berdiri lekat di pelupuk mataku. Binar-binar cemerlang itu seakan mengingatkanku bahwa hidup harus dinikmati apapun adanya. Jiwa kita perlu diisi optimisme, demikian kira-kira pesannya. Lalu Sri, permaisuri kemenakanku menyunggingkan senyumnya dan mendaratkan pipinya yang mulus di pipiku. "Terima kasih bu, kehadiran ibu dari belahan bumi yang begitu jauh menjadi nuansa berbeda yang sungguh berharga dalam acara pernikahan kami," katanya seraya menjejeriku minta berfoto bersama. Kembali hatiku membunga senang.

Bahkan dalam tidurku, impian tentang kehidupan yang indah merajai malamku yang panjang. Sampai tiba-tiba aku dikejutkan oleh getar SMS pada ponselku yang sengaja kuletakkan di sisi kepalaku.

Malam masih gulita. Di layar kaca kulihat angka tepat 00.55. Sebuah nomor yang tak kukenali menyapaku dengan berani, "Tuan putri, maafkan hamba yg telah lancang memujamu dlm mimpiku n membawamu dlm khayal indahku, memelukmu dlm dekapan rinduku, menodai bibir lembutmu dgn gairah ciuman yg membara, maaf tuk semua kelancangan dan kekurangajaranku, satu harapanku izinkan aku tuk tetap menjadikanmu bunga mimpiku...." Mataku yang masih terbalut kantuk seketika tersengat panik. Membuatku mengubah posisi tidur menjadi  duduk seketika. Tanganku sibuk menggosok mata. Muluitku menganga heboh. Anakku yang seorang masih sibuk mengerjakan tugasnya di meja belajar kami.

Dia juga tersentak lalu berbalik memandangku dengan tanya, "ada apa bu?" SMS dari bapak? Apa katanya?" Ada nada khawatir pada tiap ucapannya. Aku maklum, suamiku sedang sendiri di rantau sana.

Bapak. Duh Gusti, belum pernah ada pernyataan seberani ini untukku dari mulut ayah anak-anakku. Bahkan pun dulu ketika kami masih dilamun gelora cinta remaja. Tak akan pernah suamiku dapat mengisyaratkan cintanya dengan kalimat yang demikian menantang. Menantang rasa jengahku, tepatnya.

"Bukan. Bukan siapa-siapa, hanya seorang gila yang keliru nomor," jawabku seraya menutup layar ponselku cepat-cepat. Dorongan nafsu muak yang menjijikkan tiba-tiba menyeruak ke permukaan menghasilkan sengatan panas-dingin pada tubuhku. Dan malam itu, seketika keringat dinginku mengucur deras. Jantungku berdegupan penuh ketakutan dan ketidaknyamanan. Membiaskan kepucatan di rona wajahku.

Anakku segera menghampiri dan merebut ponsel dari tanganku. Dia membacanya dalam diam. Tapi dia tahu bahwa SMS itu begitu tak pantas ada di ponselku. "Siapa kiranya dia?" tanya anakku penuh selidik. Aku menggeleng dan menelan ludah pahit sambil mencoba mengira-ira siapa gerangan pengganggu lena tidurku dan mesranya rumah tanggaku.

Rasanya tak satupun yang patut kucurigai, kecuali Abang, sahabat kakakku, kenalan baruku kemarin dulu. Abang memang punya nomor HPku, tapi itupun sekedar dipakainya menyatakan ucapan terima kasih atas kehangatan persahabatan yang kami ulurkan, bahkan ucapan selamat jalan ketika aku akan naik pesawat dari Bandara Soekarno Hatta kemudian hari. -Ah, ma'afkan aku abang, yang telah menuduhmu sedemikan hina-

Malam itu aku tak nyenyak, terganggu oleh ucapan gila yang meremukkan kesabaranku. Setelah kubiarkan SMS itu tak berbalas, muncullah kemudian SMS berikutnya di malam berikutnya. Didahului oleh sapa selamat malam dan pertanyaan standard, dia kemudian mempertanyakan SMSnya yang tak berbalas.

Aku nyaris mengabaikannya lagi, sampai kemudian justru timbul niatanku untuk mengorek siapa "pujanggga malam" pemuja diriku. Kuketikkan serangkai kata yang menyejukkan berikut keinginanku untuk mendengarnya menyebut namaku.

Aku menunggu dalam diam. Tak ada rasa cinta, selain desakan penasaran yang sangat. Sebab tak pernah aku berniat menodai cintaku pada suami dan anak-anakku, harta bendaku paling berharga di dunia ini.

Kemudian SMS itu muncul juga tepat di hari pertama tahun baru pada pukul 17.59 sore. "Met sore tuan putri, smsmu bgt indah dan puitis, aku tak dpt menggambarkan rasa bahagia ini, berulang kubaca smsmu, seakan aku tak percaya mimpikah ini? Sekian lama SMSku tak pernah kamu bls, tapi saat ini kerinduan ini menjelma, trims tuan putri yg cantik, walau jauh dilangit sana aku dpt memadu kasih dgnmu, mimpiku akan sangat indah, dlm pelukan dan kehangatanmu, mlm2 yg sepi kan berseri penuh tawa dan canda, yg membuatku terlena menghiasi mimpi indah kita. Bidadari yang jelita tanks smsmu membuat aku terbang kelangit indah mmmmmmuah....." Serangkaian kata-kata panjang yang dicoba sepuitis mungkin walau mengabaikan tata bahasa menyeruak muncul mengusik kesbaranku.

Aku tersenyum geli. Pancinganku mengena, walau dia tak juga menyebut namaku. Aku semakin penasaran karenanya. Dengan gemas, kubalas SMS sore itu lewat rajukan maut berikutnya. Tetap kuminta dia menggambarkan wajah, diri, dan namaku selagi anak-anakku menganggapku gila telah menyahuti SMS nyasar dari seorang tak berperasaan.

SMSku baru berbalas keesokan harinya, tetap dengan bunyi yang menggairahkan menggedor-gedor bilik jantung manusia. "Yank, mlm ini trs dingin, walau gak secerah kemarin langit di atas kota msh terlihat indah gemerlap bintang menghiasi langit yg biru kelabu dan ada rindu yg menyentuh kalbu mengusik hati, wajahmu yg lembut menari dikelopak mataku menggodaku tuk meraih dirimu dalam dekapan rinduku matamu yg indah menatap penuh harap saat kurengkuh dlm pelukanku, bibir lembutmu merekah indah, ah,, jantungku berdegup mkn keras,  dinda,,, izinkan aku mengecup bibirmu yg lembut"

Aku terpana! Ternganga pada kenyataan bahwa diriku dicintai seseorang. Semua betul belaka, lelaki itu telah menyebut kota dimana aku menjejakkan kaki. Pasti ini bukan sekedar SMS nyasar. Maka otakku berputar keras mencoba menggali kesana-kemari ke kedalaman memoriku tentang siapa gerangan pemuja diriku di masa lalu?

Sepenggal awal lagu "Secret Admirer" serasa berdesingan di kedua telingaku merayapi malam yang mulai sunyi. Dengan "menggilakan diri", memenuhi rasa penasaranku kubalas juga SMS itu tetap dengan mendesakkan keinginan untuknya menyebut namaku.

Lelaki itu membalasnya seketika, "Yank.., ungkapan perasaanmu bgt indah, membuai dan menghanyutkanku dlm belenggu rindu, seribu tanya bergejolak dlm dada, menyeruak ke dlm kalbu, siapakah gerangan bidadari yg mempesonaku dgn untaian kata yg puitis, engkaukah dewi pujangga yg turun kemayapada tuk memeberi sinar kehangatan pd malam kelam yg dingin, maafkan hamba tuan putri yg tak tau dlmnya laut tingginya langit"

Setelah itu hatikupun dibiarkannya resah. Antara muak, benci dan keingintahuan yang mendalam jua. Kuhabiskan gelap malam dalam diam dan pikiran yang terus berputar tanya.

-ad-

Andai dia tahu, hatiku tak pernah mendua. Tak akan ada lelaki lain di hatiku, stasiun terakhirku sudah kumasuki, dan gerbongku tak akan mengarah kemanapun. Tetapi lelaki nekat itu betul-betul merusak pikiranku. Maka, lewat dua hari kemudian kembali kukirim SMS sejenis ke alamatnya. Alamat maya yang memang di mayapada mengingat nomornya tak pernah hidup di sembarang waktu.

SMSku tak berjawab. Sampai akhirnya dia datang duluan. Namun bukan sebagai jawaban atas rasa penasaranku. "Dewiku," tulisnya, "andai kau tau perasaanku, rinduku padamu tlah membelengu jiwaku ungkapan kasihmu bgt indah bagai petikan harpa dimalam sunyi, lembut, jernih, mengalir mesra, merasuk sukma, bidadariku adakah rinduku menyentuh hatimu?" tanyanya padaku.

Bukan main! Lelaki pengecut itu tak mau juga membuka kedoknya. Bahkan tak juga dia bersedia menyebut namaku. Kesabaranku hilang sudah. Terpaksa aku menodai kehalusan tutur kataku sendiri dengan SMS yang pedas, kukatakan padanya, bahwa dia lelaki pemimpi bukan ksatria. Tak layak dia menyodorkan tumpukan cintanya pada siapapun.

Pancinganku mengena, dia membalasnya dengan kalimat penyesalan, "Ntah kenapa ada rasa was was dan kebimbangan dlm diri saat kau memintaku tuk menyebut namamu, lidahku jadi kelu penuh ragu, adakah maaf buatku andai aku salah mengeja namamu?"

Segera kuminta dia menyudahi hubungan virtual tak senonoh itu. Lalu diapun membalasnya dalam bahasa daerah yang terhalus yang pernah kubaca dalam genggaman tanganku sebagai sebuah SMS, "Hapunten n hatur nuhun, wilujeng kantun, mugia ginanjar kawilujengan, doaku menyertaimu "lili putih yg indah"..........

Aduhai! Dia menyebut namaku! Pada akhirnya, dia menyebut namaku juga! Dia mengucapkan sepotong kata yang hanya biasa diucapkan kerabat-kerabatku belaka. Dia menyebut nama kesayangaku. Hatiku tercekat getir!

Lalu berlarianlah seribu bayang-bayang di mataku ketika aku mengatupkannya dalam kepanikan. Kuyakin dia ada di situ. Pada salah satu sisi kehidupan masa laluku. Lelaki itu, seorang yang seharusnya tahu, bahwa aku telah sampai pada stasiun terakhirku sejak dulu.

Maka pintu hatiku tertutup sudah untuk selamanya. Dan tak seorangpun penumpang tak berkarcis dapat menyusup ke dalam gerbong kehidupanku. Laju keretaku telah sampai ke titik yang penghabisan.

Jumat, 23 Januari 2009

HARUSKAH PERJALANAN WAKTU MENGUBAH MANUSIA?

Aku meluangkan waktuku di kampung dengan mengunjungi teman karibku di SMA yang kebetulan guru anakku dulu. Sebaris SMS diikuti telepon cepat mengembalikan keakraban kami. Dengan perjanjian, aku berdua anakku mengunjunginya di rumahnya -masih yang dulu- peninggalan kedua orang tuanya.

Kawanku tidak berubah. Dia masih seorang periang yang senang bergaul. Kesederhanaannya justru menjadi daya tarik untuk senantiasa dekat dengannya. Dia tak memilih-milih kawan, sekalipun tak semuanya diakrabinya. Karena itu dari mulutnya meluncur banyak info mengasyikkan tentang teman-teman lama kami. Ada yang sudah sukses menjadi orang nomor satu di perusahaannya dengan foto nyaris tiap hari terpampang di media massa, ada yang biasa-biasa saja, tapi ada yang justru sekarang jadi panutan kawan-kawan kerena statusnya berubah jadi pemuka agama. Semua itu menimbulkan kerinduanku pada mereka.

Rumah kawanku masih di dalam gang yang sebagian besar dihuni oleh kerabatnya sendiri. Dan disitu pula dia menetap nyaris seorang diri. Kesendirian yang dinikmatinya dengan sempurna tanpa mengeluh bahkan tak juga menghujat Yang Punya Kuasa  yang telah menetapkan jalan hidup manusia. Aku terkagum-kagum padanya.

-ad-

Kami bertiga, aku, dia dan anakku sepakat menjenguk sahabat anakku di SMA dulu yang kebetulan jadi murid kesayangannya. Kabar yang diterima anakku, temannya baru keluar dari perawatan di Rumah Sakit akibat kelelahan fisik mengingat selain kuliah, dia juga punya pekerjaan yang sudah ditekuninya sejak di SMA.

Dengan menumpang angkot melewati rumah orang tuaku, kami bisa mencapai rumahnya. Sebuh perkampungan di dalam jalan raya yang menghubungkan kota Bogor dengan desa-desa Kabupaten di utaranya. Temanku melirik padaku waktu angkot melintasi rumahku, katanya pada anakku, "di situ dulu ibu-bapakmu menahbiskan cintanya."

Rumah teman anakku terasa ramai penuh kehangatan, meski kami tahu dia hanya semata wayang setelah kakaknya berpulang dalam satu kecelakaan tragis di tengah kota beberapa tahun yang lalu.

Seorang perempuan cantik seumuran kami mempersilahkan kami duduk setelah mengatakan bahwa anaknya sedang bersembahyang di masjid. Nampaknya dia seorang wanita karier, pejabat di sebuah instansi pemerintah, berlainan dengan diriku yang hanya bergulat di dapur keluarga. Terpelajar, demikian kesan pertama yang kutangkap pada wanita ini. Kemudian juga pada suaminya yang datang dengan anaknya berdua dari masjid. Bahkan sang ayah begitu mempesona dengan sapaan dan uluran tangannya yang hangat. Aku bersyukur dalam hati karena anakku tidak salah memilih teman bergaul sekalipun kami meninggalkannya seorang diri di Indonesia.

-ad-

Teman anakku seorang pemuda tampan yang kelihatan enrjik, juga cukup menyenangkan. Bahkan sangat santun, sebagaimana diungkapkan sahabatku. Katanya, muridnya yang satu ini sangat menaruh perhatian terhadap para guru serta gemar menolong sekalipun dia sudah jadi public figur di kota kami.

Sahabatku sangat terkesan ketika suatu hari dia diantarkan dan ditemani ke toko sepatu sampai mendapat sepatu yang cocok. "Saya dibimbingnya untuk menyusuri pusat perbelanjaan yang ramai dan dia rela mengambilkan sepatu yang ingin saya coba sambil melepaskan sepatu di kaki saya," cerita temanku terkagum-kagum sebab temanku sudah sangat butuh pertolongan setelah tubuhnya digerogoti penyakit. Subhanallah, batinku, ternyata masih banyak orang tua yang berhasil menjadikan manusia santun berbudi. Semakin kagum aku pada pemuda satu ini yang berkulit bersih, berwajah tampan sebulat rembulan empat belas yang bening bersinar di langit fajar. Kulirik anakku, dia sedang asyik memperhatikan sahabatnya seakan melepas rindu.

Kami tak lama bertandang, karena kami ingin memberinya kesempatan istirahat. Tapi ibunya tak bersedia keluar rumah waktu kami hendak minta diri selagi ayahnya pergi menemani tetamu mereka yang banyak menyemarakkan rumah mereka tadi. Kami hanya titip salam sebelum melangkah keluar halaman dengan pikiran masing-masing. "Ah, begitu sibuk si ibu di dalam merapikan bekas menjamu tetamu nampaknya," bisikku pada sahabatku. Dia tersenyum penuh arti, "perempuan itu terasa dingin," jawabnya tak jelas. Aku menangkap maksudnya lalu mencamkannya dalam hati. Dingin jugakah diriku terhadap tetamu? Batinku mawas diri. Aku merasa bersyukur atas pelajaran hari itu, bahwasannya aku harus berkaca dari cermin yang tak sengaja dihamparkan Allah di hadapan kami. Lalu kaki kami naik ke atas angkot yang membawa kami ke jurusan berbeda siang itu.

-ad-

"Lie, besok pagi anak-anak kelas PasPal akan dibawa Tono ke Talaga Warna. Aku dan Noni akan ikut atas ajakan Tono sendiri. Bahkan begitu dia tahu kamu ada di rumah, dia bilang kamu diminta ikut, kami tunggu pukul enam pagi di muka pintu utama KRB" begitu bunyi SMS di layar ponselku dari sahabatku itu.

Segera kuputar otakku untuk mengingat-ingat sosok Tono. Kami memang berbeda jurusan, karenanya wajar saja aku tak begitu ingat dia. Tapi SMS Mia yang menjanjikan persahabatan abadi sangat menggoda.

Tanpa ragu aku menyetujui maksudnya lalu bergegas menuju ke kios buah di dekat rumah untuk memperoleh bekal persahabatan besok. Juga kupersiapkan pakaian senyaman dan sebaik mungkin untuk menimbulkan kesan yang mendalam pada teman-temanku. Aku tersenyum sendiri. Rasanya seperti gadis yang akan berangkat kencan pertama. Semua diatur rapi agar jadi landasan untuk membina hubungan yang tak lekang oleh jaman.

Menunggu pagi aku nyaris tak dapat tidur. Berulang kali kupesankan pada anakku untuk membunyikan alarm pada ponselnya supaya aku tak kesiangan. Sungguh suatu perbuatan yang menggelikan. Namun itulah justru awal dari kebahagiaanku.

Aku jadi bertemu dengan mereka yang tak seberapa banyak jumlahnya. Hanya sektar lima belas orang, kawan-kawan akrab Tono semua. Tapi tentu saja ada yang juga pernah sangat dekat denganku. Tame, karibku sejak SMP yang juga adik guruku dulu.

Tame datang dengan istrinya perempuan Priangan yang lembut dengan kulit putih semulus hatinya. Kami cepat menjadi akrab kembali setelah kutanyakan kabar keluarga Tame satu persatu mulai dari kakak-kakaknya hingga dik Rini, adik bungsunya yang dulu tak kenal malu-malu. Lega rasanya hatiku mendengar mereka semua baik-baik saja, bahkan Rini telah jadi mutiara berharga bagi kaum ibu di Nusa Tenggara berkat pendidikan kebidanan yang dipimpinnya disana. Adapun Tame sendiri menurut pengakuannya hanyalah pegawai di bank pemerintah yang dipimpin oleh teman sekelasku lainnya. Inilah perjalanan waktu.

-ad-

Tono dan istrinya seorang perempuan ibu kota yang terpelajar ternyata sangat menyenangkan. Dia tak menganggap aku sebagai pendatang baru sekalipun aku datang dari kelas SasSos. Tugas dan kewajiban Tono sebagai salah satu tenaga ahli di Departemen Kehutanan kali ini dimanfaatkannya untuk mengenalkan alam dan mengajak keluarga kami berpartisipasi dalam program penghijuan.

Anak-anak kami diajaknya serta, dan diajarinya menanam sengon di area hutan lindung Talaga Warna setelah mereka dibiarkan beraktifitas dengan permaianan alam yang tersedia disana. Dalam pada itu, kami duduk-duduk menikmati sunyi sambil mengenangkan masa lalu. Sepiring ubi bakar, jagung, oncom goreng dan lontong yang entah disediakan oleh siapa menemani kami. Bagiku serasa di surga, mengingat di perantauan aku tak akan mungkin menemukan sebagian besar makanan khas kegemaranku ini. Teman-teman sengaja menyodoriku banyak-banyak sambil mengurut dada dan tersenyum, "oh kasihan........kasihan si bule dari negeri hitam........." Maka kucubiti setiap tangan yang menggodaku dengan kemesraan yang hangat. Pagi berembun itu jadi merebak cuaca dengan sinar mentari yang tiba-tiba mengintai di puncak pepohonan rindang.

Menurut Mia, dan juga teman-teman yang lain, aku adalah diriku. Makhluk "aneh" yang dari dulu gemar "berjalan sendiri". Maksudnya, walau telah panjang kaki melangkah, tapi aku tak terbawa arus, aku tetaplah diriku yang dulu yang selalu ingin tampil apa adanya. Dan itu kuakui kebenarannya. Haruskah aku tampil beda hanya karena aku telah mendunia? Aku tak butuh jawabannya. Sebab apapun yang akan dijawabkan orang untukku, aku telah bertekad untuk tetap menjadi diriku. Perempuan desa yang apa adanya. Ya, inilah aku. Boleh bukan?!

Sabtu, 17 Januari 2009

MEMBERI DAN MENERIMA (catatan seputar alur kehidupan)

Rumahku senyap. Lelaki itu tak banyak bicara. Namun kupahami jua apa maunya, segala sifat-sifatnya.

Lelakiku, pusat selutuh hidupku satu-satunya sejak dulu memang apa adanya. Tapi dia keras hati, tak patah semangat dalam mencapai idamannya. Itulah yang membuatku terkagum-kagum kepadanya.

Lebih dari duapuluhlima tahun aku bersamanya. Bahkan ketika aku belum lagi layak untuk dimiliki. Tak malu-malu selalu kami pamerkan kehadapan khalayak bahwa kami berniat untuk bersatu selamanya. Maka Allahpun menjatuhkan kodrat itu pada kami.

Sejak kembali dari tanah kelahiranku, kudapati suasana muram. Sekalipun kehangatan dan sinar musim panas menyengat Afrika Selatan, tapi rumah kami temaram. Suamiku lebih banyak sibuk dengan pekerjaannya, selagi anakku kembali ke sekolah. Aku sendiri belum mulai berkatifitas, karena aku harus menyesuaikan diri dengan irama hidup masyarakat yang belum sepenuhnya bangun, demi mengikuti libur sekolah setempat. Hanya sekolah Amerikalah yang sudah mulai dengan proses belajar-mengajar. Aku terdiam sendiri di sudut ruang kehidupanku, menyimak dan menikmati keheningan yang terasa jadi suatu kemewahan sehabis aku pulang kampung ke Bogor tempo hari.

-ad-

Derum mobil yang melintas cepat senantiasa mengoyak gendang telingaku, menerbangkan debu-debu yang kemudian hinggap sesukanya di kusen-kusen jendela rumahku. Tak ada lagi kokok ayam seperti dulu biasa kudengar. Hingar-bingar yang ada kini, jauh berbeda.

Rumah ini kami peroleh berkat cucuran deras keringat suamiku. Lelaki yang penuh tanggungjawab itu. Ketika meninjau lokasi untuk pertama kalinya, aku masih mendorong anak bungsuku yang belum mampu berjalan dalam kereta bayinya. Sepetak tanah yang luas terlihat menjanjikan untuk kehidupan kami selanjutnya.

Suamiku segera jatuh hati mengingat tanah sisa bangunan masih cukup luas untuk menambah ruang serta memberi lahan bermain anak-anak kami. Walaupun letaknya di ujung jalan, tapi aku kurang tertarik. Aku lebih suka mengambil dua bidang lahan di tengah-tengah perumahan itu. Maksudku, kelak kedua lahan dan bangunan itu bisa digabungkan sehingga luasnya pun memadai.

Tapi suamiku berpandangan lain. Lebih baik membangun ruang tambahan sendiri daripada menyatukan dua bangunan jadi tanpa halaman sama sekali. "Anak-anak kita tidak akan punya lahan bermain," alasan suamiku sambil menggandeng salah satu anakku. "Aku ingin semua yang baik, nyaman dan pasti aman untuk mereka," tegasnya lagi memaksaku.

Aku berhenti sejenak dan memutar pandangan mengelilingi calon rumah kami. Luasnya memang tak terkira, bahkan dibandingkan dengan dua lahan di tengah-tengah yang kami tinjau sebelumnya. Lalu tergambar kaki-kaki kecil itu berlarian kesana-kemari dengan bebas, selagi aku memasak di sudut sana. "Ya, aku sepakat dengan bapak," jawabku tegas menyetujui ketepatan pikiran suamiku. Dan dari situlah kehidupan kami bermula.

-ad-

Angkutan kota senantiasa siap menjemput kami kapanpun, nyaris duapuluh empat jam, memudahkan mobilitas kami keluar rumah. Sebagaimana kesepakatan kami, kami memilih untuk tidak menyumbang keruwetan di jalanan dengan menumpang angkot kemanapun kami pergi. Bahkan dari rumah kami ke kantor suamiku di pusat kota Jakarta, kami hanya memerlukan waktu satu setengah jam saja. Sungguh kenikmatan yang istimewa, mengingat suamiku tak perlu mengendarai sendiri tunggangannya, bahkan bisa melanjutkan sosialisasinya dengan teman-teman lamanya dulu di atas Kereta Listrik.

Tarkim, tukang sayur langganan ibu-ibu di kompleks kami juga selalu berhenti tepat di muka pagar rumahku, sekalipun dia tahu aku lebih suka berbelanja di pasar yang menjadi ajangku bersosialisasi. Maklum sebagian besar pedagang Pasar Anyar telah kukenal sejak kecil karena ibuku memberiku tugas berbelanja.

Begitulah adanya, rumah ini terasa begitu nyaman. Terlebih-lebih lahan jagung dan singkong milik Haji Hamid tertebar menghampar di seberang rumah. Apalagi yang kurang pada kehidupan kami? Aku tersenyum lega, dan senantiasa menyukuri nikmat yang dipilihkan suamiku untuk kami.

-ad-

Pagi di Cape Town merebak. Gunung gemunung menjalarkan kabutnya menyentuh permukaan tanah, menyapa mukaku yang mengerut kena sejuknya air tanah diwaktu mengambil wudhu.

Tak ada suara apapun. Mobil-mobil disini tak pernah lewat sepagi ini, terlebih-lebih di akhir pekan. Tapi kokok ayam itu sayup-sayup sampai ke kamarku. Aku ingat, pemiliknya sepasang penduduk kulit putih yang ramah memperkenalkan diinya kepada kami di suatu pesta hampir setahun yang lalu. "Jika anda mendengar celoteh hewan piaraan kami, maafkanlah. Kami memang senang memelihara ayam dan sekawanan burung," cerita mereka. "Semua ini pelepas ketegangan jiwa kami," sambung sang istri seraya menyunggingkan senyum. Lalu jemarinya yang kurus panjang menunjuk arah rumahnya tepat di seberang ruamh kami, di sebelah dinding tetangga yang mengundang kami malam itu. Maka pagi ini aku tersenyum juga, inilah kenikmatan yang didambakan suamiku, pikirku.

Maka, akupun sampai kesuatu titik perenungan, dimana hidup tidak selamanya sesuai keinginan. Ada masa-masa indah yang patut disyukuri, tapi, tak boleh lupa kita diintai pula oleh goncangan-goncangan yang tak diharapkan.

Ibarat roda, begitu kata penyanyi keroncong Annie Landouw kegemaran nenekku dulu, hidup akan senantiasa berputar. Sekali di atas, lalu menerima jatahnya di bawah.

Begitupun hidup dan kehidupan kami. Dulu penuh keindahan, kenyamanan dan nikmat, tapi kini semua berubah drastis. Lahan kebun pak Haji telah berubah jadi deretan warung dan tempat usaha lain. Angkot-angkot itu berebut jalan dengan segala kendaraan yang menyusup masuk mencari jalan pintas termasuk truk-truk pengangkut sayur ke pasar induk. Inilah dunia baru!

Aku menghela nafas. Lalu tersenyum sendiri sambil mematut diri di kaca rias. Wajah tuaku nampak disitu. Tidak lagi dengan kilatan yang dulu. Maka layaklah jika kini aku merasa "ditinggalkan" keluargaku. Suamiku sibuk dengan pekerjaannya, dan anak-anakku sibuk dengan urusan hidup mereka masing-masing.

Dunia memang sudah tua rupanya. Semua orang sibuk mencari bekalnya masing-masing agar dapat menikmati kehidupan dengan bertengger di bagian atas roda. Ya, dulu mereka sudah memberiku kebahagiaan teramat banyak. Sekarang saatnyalah aku menerima semua kesepiaan ini ditemani musik-musik alam yang datang dari desir angin di pegunungan seputar Cape Town maupun unggas-unggas yang bertengger di pohon kami serta kokok ayam jantan di kejauhan, yang baru sedetik yang lalu lewat lagi di telingaku. Inilah hidup yang penuh syukur. Sekali senang, lain kali bersiap-siaplah untuk bersusah.


Pita Pink