Powered By Blogger

Kamis, 28 Februari 2008

BUAH KESABARAN

Mengalah untuk menang adalah suatu keharusan yang utama di dalam hidup ini. Ini bukan sekedar slogan semata. Aku mengalaminya di dalam realita. Bertahun-tahun aku "ditinggalkan" seorang diri oleh suamiku karena kesibukannya. Bahkan di saat sakit pun, semuanya praktis kulalui sendiri. Dia ada di belakangku, siap menolongku secara finansial karena memang aku hanya seorang ibu rumah tangga biasa  tanpa penghasilan apapun. Selepas sekolah yang tidak dapat kuselesaikan tuntas hingga mengantungi ijazah, aku hanya berkurung diri di rumah. Sibuk dengan urusan rumah tangga dan membantu-bantu di organisasi istri di kantor suami. Sekolahku hanya sampai di semester ke sepuluh. Setelah menyelesaikan mata kuliah seminar yang juga tidak kuikuti ujiannya, aku meninggalkan kampus penuh kesadaran disertai tanda tanya teman-temanku.

Tak satupun temanku yang mengira bahwa aku akan menikah. Sebab memang tak banyak yang tahu bahwa lelaki yang selama ini mendampingiku dan sibuk merawat sakitku bukanlah kakak kandungku. Sekalipun aku selalu memperkenalkannya sebagai kakakku. Kakak dalam arti yang sesungguhnya, karena hanya dialah satu-satunya yang mengerti isi hatiku dan mau memahaminya. Dia pulalah satu-satunya lelaki yang tahu semua kekurangan dan kelebihanku -seandainya ada-, tanpa mengeluh atau merasa tersaingi. Bahkan, ketika aku lulus SMA dan akan mulai dengan pendiikan tinggi di Bandung, aku sengaja dipasrahkan bapakku ke tangannya. Setiap bulan semua uang sakuku akan diserahkan kepadanya untuk dikelola, supaya cukup tidak saja untuk membayar kebutuhan harian, melainkan juga untuk ongkosku berobat rutin ke dokter. Karena itu dia menjadi bagian dari diriku sendiri, sehingga aku tidak pernah menganggap dan memperkenalkannya sebagai calon suami. Dia ada di hatiku, di tengah-tengah keluarga besarku seakan-akan dia bagian dari kami tanpa harus dipertanyakan asal-usulnya. Dan kami saling merasa ikhlas menjalaninya.

-ad-

Perubahan itu baru terasa setelah suamiku menapaki tengah-tengah jenjang kariernya. Sebagian besar teman-temannya beristri sarjana. Sebagian dari mereka malah sempat berkarier sekalipun putus-sambung. Sebagian malah melengkapi diri dengan mengikuti berbagai macam kursus yang aku tahu membutuhkan modal tidak sedikit, sehingga memaksa keluarganya untuk berbagi demi menyisihkan biaya pemenuh kebutuhan kursus dan selera hidupnya. Sedangkan aku, masih saja seperti dulu. Seorang perempuan rumahan yang sibuk dengan urusan anak semata. Sebab dalam batinku, aku harus menghasilkan anak-anak yang berbudi pekerti luhur sebagai persembahan kepada bapaknya. Yang alhamdulillah sudah tercapai. Yang ditandai dengan pergaulan lurus anak-anak kami serta pujian-pujian guru-guru atas sikap mereka.

Tapi justru suamiku kurang menghargai upayaku. Dia ingin aku tampil sebagaimana istri-istri modern yang lain, yang trendy dan bukan semata-mata ratu rumah tangga yang senang berkurung. Perubahan ini tak bisa kumengerti, sehingga kerap memunculkan 'konflik tertutup" yang semakin menjauhkan suamiku dari diriku. Sehingga dia "lari" ke pekerjaan-pekerjaan kantor yang menurutku kadang-kadang berlebihan.

-ad-

Karenanya aku justru pernah terpuruk sendiri. Marah dan menyesali sikapnya. Aku menjadi manusia yang tidak bisa mengerti dirinya. Untung aku segera sadar dan menyerahkan semua simpul kemarahanku yang membara kepada Allah, sehingga kini dia bisa kumengerti. Lalu komunikasi kamipun melancar kembali. Mengguyur jauh-jauh sumbatan masalah yang pernah tercipta. Dan melayarkannya di lautan luas.

Kini aku sangat menyukuri buah kesabaranku. Suamiku tetap melaju dalam kariernya sementara terpaan angin mulai mengguncang satu demi satu orang-orang di sekitar kami. Dan syukurku yang terutama, akulah perempuan yang berhak menjadi ratu untuk dirinya dan boleh bertahta di hatinya selama-lamanya. Siang-malamku senantiasa cerah dan menjanjikan kenikmatan karena dia.

-ad-

Di sini di balik punggung Table Mountain aku merasa bahagia bersamanya. Merasa hidup kembali sekalipun malaikat maut pernah singgah dan hampir menjemputku dalam arti yang sesungguhnya.

Kupandangi suamiku yang sibuk dengan pekerjaannya di muka komputer. Setumpuk kertas dan text books tebal bertebaran di sekitarnya. Telepon genggam juga berada dalam jangkauan. Sekarang aku mulai bisa melihat dengan jernih segala kesibukan suamiku. Aku menghargai semua "kesendiriannya" karena aku sudah merasakan manfaat kesabaranku menghadapi semua itu. Allah telah menempatkan suamiku di tempat yang baik, di rumah ini, di tanah yang sangat memukau. Aku tersenyum sendiri, dan mulai dengan kesibukanku pula, mengetik di ruang lain menyelesaikan naskah-naskah proyek pribadiku, curahan segala rasa yang mengganjal di pikiran yang sibuk berebutan minta dituangkan.

-ad-

Di muka layar komputerku terbayang semua masa lalu. Saat kami masih remaja. Ketika seragam pramuka kami membawa kami berkelana di alam terbuka. Kadang membawa kami duduk-duduk merendam kaki di derasnya Ciliwung. Di sisiku dia berkata, "air ini mengalir jauh sampai ke Jakarta. Dia memberi penghidupan pada masyarakat." Kudengarkan semua pembicaraannya yang diselingi kicau murai di pucuk kenari. Dan kelebat sayap-sayap kelelawar yang menggantung di dekatnya. "Suatu hari nanti kita juga akan pergi, mengalir jauh seperti Ciliwung ini. Kita akan memberi penghidupan pada orang lain," lanjutnya lagi. Mata itu menerawang ke kejauhan mengikuti riak-riak kecil yang mengombak berkejaran dengan ranting-ranting yang dihanyutkan angin.

Aku seperti kembali menghirup bau keringatnya, yang keluar dari semangat tinggi pantang menyerah yang dipunyainya. Nikmatnya menyentuh hati, membuka kenanganku kembali.

-ad-

Suamiku memang seorang petualang sejati. Dia selalu ingin berlari dan berlari sejauh yang dapat dikerjakannya. Dia pejuang yang pantang menyerah. Di balik keterbatasan kami, dia senantiasa punya semangat tinggi. Tiba-tiba scene di otakku berputar ke masa silam, di tahun enampuluhan.

Seorang bocah sepuluh tahun duduk sendiri di kereta tersore yang melaju dari kampung kami ke Jakarta. Niatnya cuma satu, ingin menikmati kemegahan Jakarta yang berulang tahun. Tanpa sepeser uang pun di sakunya, dia ingin menjelajah ibu kota, mencicipi pesta yang digelar di arena Djakarta Fair. Kaki kecil itu melangkah mantap, hanya berbekal sehelai karcis masuk yang sudah dibelikan orang lain terlebih dulu.

Disusurinya gang demi gang, dimasukinya bilik demi bilik untuk memuaskan keingintahuannya sampai rembulan naik penuh menyinari malam. Lelaki itu tetap pada keinginannya, menyibak pesona ulang tahun kota Jakarta sampai tiba saatnya arena ditutup dan dia tersadar bahwa tak ada tempat untuk menanti pagi.

Digesernya badannya mendekati sebuah pos polisi. Dengan segala keberaniannya untuk berdusta, dia mengatakan bahwa dia tertinggal dari rombongan wisata. Tatap mata yang polos itu begitu mudah menimbulkan iba dan jatuh hati. Malam itu dia diijinkan menunggu kereta pertama dari stasiun Gambir yang akan segera bertolak ke Bogor. Di sakunya terselip sedikit uang untuk bekal disertai pesan agar berhati-hati. Jadilah kali itu dia menonton Djakarta Fair dengan modal petualang. Yang mendebarkan hati kami di rumah. Jadilah hari itu dia sebagai buah bibir karena keberaniannya, yang membuat aku angkat topi dan menyukainya lebih dalam lagi.

Kini aku tersenyum mengenangkan itu semua. Heroku yang membanggakanku ternyata memang unik. Dan aku harus berusaha mengerti sepenuh hati. Lalu aku sampai pada kesimpulanku sendiri, jika bukan karena keunikan dan semangatnya yang pantang menyerah, mungkinkah dia mewujudlkan cita-citanya di tepian Ciliwung itu? Pergi jauh dari kampung dengan memberi penghidupan pada orang lain? Di sini di benua lain yang sangat jauh, kami sudah mencapainya. Di belakang kami, banyak jiwa-jiwa yang menjdi tanggungjawab kami untuk menghidupinya. Tidak hanya dengan materi, melainkan dengan pengabdian yang melegakan jiwa. Keabaranku telah berbuah karena dikawinkan dengan tekad baja suamiku yang tak kenal malu dan pantang menyerah. Di rumah ini, di tepian Atlantik kami telah menjadi sesuatu yang berguna, seandainya aku boleh mengatakan demikian. Alhamdulillah serta puji syukurku pada Tuhan Sang Pengatur. Izinkanlah ya Allah, aku selalu merunduk dan mohon belas kasih serta bimbinganMu.

 

Sabtu, 23 Februari 2008

JERITAN KAUM MATA PENA

Damar ayu mati, padam kabur kanginan
Tinggal jelaga menghadirkan saksi
Musnahnya masa terang kemilau
Langitpun mendung hati bergalau

Kaki tak tahu kemana harus melangkah
Matapun buram akan dinding pembatas
Di situ jua kehidupan terpaku
Nun di suatu bilik sempit tanpa celah sekedar surya mengintai

Teralis tua mengejek congkak
Mendera hati yang dipaksa hancur
Membela kenyataan kebenaran yang sejati
Yang direnggutkan dengan paksa

Dari balik kekusaman beton kokoh
Memerah luka karena pena tak lagi punya makna
meluapkan rasa terhina yang sangat
Atas kemewahan tegalan rumput
Yang terjadi di atas tanah harapan bangsaku
yang dialiri keringat putra pertiwi
Di Cibeureum


(Bangku taman Werthemstein Park, Wina jadi saksi isak tangisku enam juni sembilan tiga)

Jumat, 22 Februari 2008

CIBEUREUM, 1993

Sampaikan salamku lewat rembulan yang mengangkasa

Kepada sumber penghidupan nun di tanah kelahiran

Adakah kau tangkap gemanya

di kemersik angin sejuk pegunungan

yang menari gemulai di pucuk-pucuk rumpun teh?

 

Hari-hariku telah binasa

Harapan cerah kini kelam semata

Siapa mampu menafkahi aku lagi

Kelak sepanjang hayatku di bumi Priangan yang juwita?

 

Hatiku luruh dalam kepahitan begitu dalam

Sebab esok kerongkonganku cukup terguyur air mata

yang mengalir bening dari bola matamu yang kuyu

Luruh tanpa harap ditelan angkara

Dan perutku menggeliat tersentuh bola

yang dipukul kaum penyandang kejayan

Koloni orang yang melarangmu menafkahi aku,

anakmu, darah dagingmu

 

Ibunda,

aku tak punya apa-apa sekedar membantu

menafkahi jutaan anak manusia terlantar

Yang bergantung padamu

Dan menjadi tanggung jawabmu

Hanya ada satu rasa

Kepedihan dalam sebentuk doa

Dan semangat serta harapan

Semoga Prianganku yang juwita

Tetap jadi tempatku menggantungkan hidup hingga akhir masa

Pun andai aku harus terlahir kembali

Seperti dulu di bumimu yang hijau dan menjanjikan

Kehidupan gemah-ripah-kerta raharja

Kembali sepnjang masa!

 

(Werthemstein Park di Wina, suatu pagi enam juni sembilan tiga dengan tempo di tanganku)

 

 

Kamis, 21 Februari 2008

KEJUTAN MANIS. KENANGAN MANIS

Multiply memang penuh kejutan. Tak henti-hentinya aku terkejut karena keberadaan multiply, "ajang gaul makhluk gaul". Dulu aku tidak mengerti apapun tentang dunia maya ini. Maklum akhu terlahir di jaman mesin ketik pun masih berupa besi besar dan berat yang dilengkapi tombol-tombol huruf sebesar kancing baju. Aku ingat, dulu waktu aku  belajar mengetik untuk pertama kalinya, banyak tombol-tombol itu yang sudah "menganga" dan kadang-kadang disumpel sekenanya dengan kancing baju sungguhan. Ah, kenangan lagi.

-ad-

Tujuanku belajar mengetik sesungguhnya adalah untuk memperlancar tugas-tugasku sebagai Kerani di kepengurusan Dewan Kerja Cabang Penegak dan Pandega Kota Bogor, di pertengahan tahun 70-an. Waktu itu calon suamiku meninggalkan jabatan juru tulis tersebut untuk melanjutkan pelajaran di Bandung. Akibatnya, dengan tanpa ampun, aku didaulat teman-teman yang jumlahnya memang tidak banyak untuk mengambil alih tugas kerani. Alasan mereka, berkas-berkas masih belum sempat diserahterimakan dari tangan pacarku kepada Pradana DKC yang sebetulnya juga sudah "mangkir" karena alasan studi di luar kota itu juga. Dengan menyerahkannya padaku, aku bisa mengambilnya dengan mudah dari kamar kerani lama yang memang bisa kumasuki setelah minta ijin terlebih dulu kepada ibundanya yang sangat sayang padaku. Maklum pacarku anak tunggal, sehingga aku seakan-akan jadi putri si ibu.

-ad-

Dari sekolah kami di Jalan Ir. H. Djuanda menuju tempat kursus mengetik "Dasakara' tidak jauh. Aku bisa berjalan kaki. Kira-kira seratus dua ratus meter saja, sampailah kami ke Jalan Kantor Batu, yang karena kematangan usianya tinggal menyisakan tulisan "Jl. ....or Ba.." sebagai penanda. Di situlah rumah oom Micky  Di sini aku memakai kata kami, sebab aku mengajak serta dua orang temanku untuk mengambil kursus mengetik.

Lina, gadis cantik yang mirip bintang film Indo bilang dia mungkin akan bekerja selepas SMA. Setidak-tidaknya bekerja jadi sekretaris junior selepas dari ASMI di Pulo Mas. Sedangkan Marlianti tegas-tegas mengatakan akan langsung cari kerja. Semua punya motivasi yang berbeda, tapi jelas semuanya punya kebutuhan untuk bisa mengetik. Maka jadilah kami setiap siang beriringan ke rumah Oom Micky, duduk-duduk sebentar di terasnya menunggu rombongan pagi menyelesaikan kursusnya. Ada kalanya para perwira muda AURI bertemu kami juga di situ. Tapi alhamdulillah, tak ada satupun yang nyangkut jadi teman karena niatan kami memang cuma kursus.

Rumah oom Micky berdekatan dengan perusahaan permadani "Java Carpet Works' yang sekarang entah kemana. Juga hampir berendengan dengan Panti Asuhan "Tjandranaja" yang mengasuh banyak teman-teman SDku. Aku ingat, mereka selalu datang beriringan dengan baju yang sama setiap hari sekalipun waktu itu di sekolah kami, Yayasan Pendidikan Kristen "Satu Bhakti" keharusan berseragam hanya ditetapkan untuk murid-murid SMP dan SMA.

Anak-anak itu semua riang gembira. Para lelaki berjumlah lebih dari lima orang. Rata-rata keturunan Tionghoa yang di "PHK" dari sekolah Cina Tjeng Tung di Gang Mantarena. Entah apa sebabnya, mereka tidak pernah nampak seperti anak-anak susah. Selalu ada tawa dan canda serta kenakalan kecil di tengah-tengah mereka. Ango yang tertinggi, nampaknya pemimpin mereka. Kami menjulukinya "burung bango" karena dia memang smart dan matanya tajam di samping posturnya yang menjulang melebihi kami semua. Saingannya yang sama cerdas hanya satu, Soen Tjai si lelaki kecil mungil dan cenderung serius. Dia pendiam, tapi punya otak cemerlang. Lain-lainnya biasa-biasa saja. Tapi tetap aku dapat mengenangkan mereka satu demi satu. Karena masing-masing mereka punya pribadi yang hangat, walau dibalut kesederhanaan yang melilit di seragam warna khakhi mereka.

-ad-

Kantor Batu yang senyap menyenangkan sekali untuk belajar. Terlebih-lebih jika gurunya oom Micky sendiri. Dia tidak pernah marah, tidak pernah kehilangan kesabaran, menghadapi murid yang lamban dan koppig pula. Aku tidak pernah dibentaknya karena tidak kunjung mengerti perintahnya, dan tidak mau menuruti petunjuknya. Sebab, kuakui, kalau aku sudah jenuh, maka aku akan mengetik dengan gaya sebelas jari, yaitu a la ayam mematuk jagung. Selagi oom Micky sibuk di meja murid lain tentunya.

Berlainan halnya jika tante tua alias oma ibunda oom Micky yang kebagian mengajar. Beliau akan sangat marah mendapati kami yang  mengetik semaunya. Padahal, kami sudah berusaha mencari-cari alasan dengan mengatakan belum hafal letak huruf yang dimaksud berhubung mesin tik mereka sudah terlalu tua dan tidak jelas lagi hurufnya. Oma selalu mengomel panjang lebar tanpa ampun.

-ad-

Tapi omelan oma, kini justru berbuah manis. Aku bisa mengetik seperti para pegawai kantor itu. Dan aku tidak merasa rugi telah melewatkan makan siangku di kala belajar megetik padanya. Padahal, kalau dipikir-pikir tanpa makan siang sangat bahaya bagiku, sebab sebagai seorang penderita asma ditahun 70-an obat-obat asma masih berupa obat telan yang diramu dari berbagai macam obat oleh dokternya. Dan tanpa menelan obat itu, batuk serta sesak nafasku tidak akan mereda. Jadi kesimpulannya, pada waktu itu makan siang justru merupakan kegiatan wajib bagiku.

Entah kenapa, kebiasaanku ketik-mengetik menjerumuskanku pada multiply site. Lalu aku seperti menemukan banyak nama yang aku kenali sebelumnya. Dimulai dari situs seorang ibu yang memajang foto-foto teman seangkatanku. Kemudian dari situs orang muda yang namanya sama dengan nama teman anak sulungku. Berlanjut lagi ke seorang muda lainnya yang aku yakini sebagai salah satu sahabat anak keduaku. Dan masih ada beberapa kebetulan lagi, sampai puncaknya, hari ini (21/02) aku bertaut lagi dengan sahabat karibku di SMA yang kemudian jadi guru salah satu anakku.

-ad-

Semua berawal dari kursus mengetik itu belaka. Kursus yang menggunakan mesin-mesin tua dengan merek "Royal' serta "Smith Corona'. Kursus yang belum mengenal "Brothers", "Underwood" dan sejenisnya. Dua merek yang terakhir ini merupakan generasi baru yang modern. Dilengkapi dengan tombol penghapus.

Dan mesin ketik tua itu pula yang telah menciptakan seorang pemimpin di rumahku. Suamiku lulus sekolah berkat jasa "Royal' edisi jaman sebelum perang yang gedenya sealaihim gambreng dengan jendela kaca pada sisi-sisinya. Mesin bersejarah itu kini ngendon entah dimana, karena kami kelupaan membawanya pulang setelah selesai kuliah di Bandung. Padahal dari segi jasa dan memory tentu sangat berarti. Mesin itu di jaman "jaya"nya jarang menginap di CV Argo perusahaan reparasi mesin tik di Jalan Dewi Sartika samping kantor Bank Rakyat Indonesia. Ah, tak mengapa. Yang penting kami sudah bisa mengetik dan dari ketik-megetik itu banyak keberuntungan yang kami peroleh.

Siapa menyangka, ketik-mengetik membawa teman? Siapa menyangka, multiply juga mempererat hubungan persahabatan? Saya tidak tahu, siapa ya?! Ayo yang merasa diuntungkan multiply boleh unjuk jari.

Rabu, 20 Februari 2008

"POHON PUN BERBUAH LEBAT"

Aku duduk di muka komputer, asyik membaca postingan teman-teman mayaku yang justru berumur jauh di bawahku. Aku baru menyadari setelah ada yang tidak sengaja membuka jati dirinya. Ternyata dia satu-dua tahun saja di atas umur anak-anakku. Masya Allah, aku benar-benar lupa bahwa diriku kini sudah menjadi tua. Bukan aku yang ada di dinding sana. Yang berdiri bersama keluargaku. Juga bukan yang ada di pas foto yang kuletakkan bersandar berendengan dengan pas foto suamiku di meja rias kami. Aku betul-betul bukan perempuan itu.

-ad-

Umurku sudah setengah abad, Mesin-mesin tubuhku dan tulang-belulangnyapun sudah kerap mogok kerja. Bahkan pekerjaan "reparasi" sudah jadi kegiatan rutinku ketika aku tinggal di Singapura sana. Bagian dalam perutku sudah berkali-kali dibuang, menyisakan hanya organ-organ maha penting saja. Itupun kini kadang-kadang "menjerit" minta "pensiun". Ah, betapa waktu cepat berlalu.

Keempat anak kami (aku lebih suka menghitungnya empat, sekalipun yang dua milik kakakku), masing-masing sudah punya dunianya sendiri-sendiri. Si sulung asyik dengan pekerjaannya menghitung uang orang di sebuah pabrik benang, yang walaupun jauh dan tidak memberi banyak hasil, tapi mampu menjadikannya mandiri. Gula-kopi-susu-teh di rumah kami adalah hasil keringatnya, tanpa kuminta. Dia yang membawanya ke lemari dengan keinginannya sendiri. Begitu juga dengan honor penata laksana rumah tangga kami, adiknya lah yang memberi. Itupun datang dari keinginannya, sebab dia masih menitipkan cucu kami satu-satunya di rumahku. Dia sendiri sibuk meniti karier di sebuah perusahaan furniture setelah lelah mengabdikan diri di sebuah SMA sebagai guru Bimbingan dan Penyuluhan. Anak kandungku sendiri baru menginjak tahun kedua di sebuah perguruan tinggi negeri di Sumedang, sehingga menyebabkan kami bepisah. Kini hanya tinggal si bungsu yang mendampingi kami sambil bersekolah di SMA milik pemerintah Amerika Serikat disini. Dia pergi pagi, dan pulang di waktu shalat ashar hampir mulai. Alangkah sepinya dunia, cuma aku dan komputer ini saja.

Maka tak salah jika aku melarikan diri ke depan layar komputer dengan sadar sekalipun aku tahu ada bahaya mengancam di balik teknologi canggih ini. Dengan berselancar begini waktuku habis pelan-pelan, ilmukupun terus bertambah. Anak-anak muda itu banyak memberiku pengetahuan dan inspirasi. Tak apa, semoga sakit yang bisa ditimbulkannya mendapat teman yang imbang.

-ad-

Aku mulai merasakan nyeri di bahu dan tangan kiriku. Semula aku menumpukannya pada kesalahan posisi ketika tidur. Tapi kemudian timbul tanda tanya juga, apakah bukan karena kegiatanku berselancar di dunia maya ini kah penyebabnya? Maka kupututskan untuk menghentikan sejenak kegiatan ini. Lalu meregangkan tubuh yang terasa bertambah sakit, hingga kuputuskan untuk berbaring saja. Angin musim panas menyapaku lembut lewat celah-celah pintu kamar yang sengaja kubuka ke arah halaman depan kami yang dipenuhi tanaman bunga. Aku menikmatinya. Kali ini sambil membaca : "The Slave Book" karya Rayda Jacob yang menceritakan berakhirnya masa perbudakan di abad ke sembilan belas di seputar Tanjung Harapan ini. Aku asyik mencermati tokoh Sangora seorang budak Melayu yang kental keagamannya dan putri tirinya Somiela hasil perkawinan campuran yang cantik, namun bernasib buruk. Budak. Ya budak. Tak lebih dari sekedar "keset kaki" yang dipakai seenaknya untuk membersihkan diri majikan. Maka mataku terus terpaku pada deretan huruf-huruf itu sambil otakku  membayangkan nuansa jaman dulu...........

-ad-

Roman sejarah ini bukan satu-satunya yang mengasyikkan. Ada beberapa buku yang sama mengasyikkannya waktu dibaca. Tapi buku inilah yang membantuku memahami jati diri dan sifat orang-orang Cape Malay, penduduk di negeri tempatku berada sekarang. Sama dan sebangun dengan para pembantu di rumah-rumah orang kaya jaman dulu. Mereka ada di rumah-rumah itu atas nama nasib. Karena keterpaksaan. Mereka dibawa (dalam hal ini ke Afrika Selatan) oleh Belanda. Sebagai pelayan VOC dalam persinggahannya dari Belanda menuju ke bumi nusantara dan sebaliknya. Atas nama keterpaksaan, mereka harus kehilangan harga diri dan tunduk begitu saja menjadi hamba sahaya.

Banyak orang-orang pintar di situ. Tidak hanya dari segi keterampilan, otak cemerlangpun sangat banyak. Yaitu para pemuka agama Islam. Maka tak heran jika Syech Yusuf yang dianggap pemberontak juga turut digabungkan bersama para budak itu. Aku larut dalam keasyikan membaca dan memainkan sendiri wajah-wajah para tokohnya dalam benak khayalku, sebagaimana yang biasa aku lakukan. Itulah sebabnya aku sangat tidak suka menonton film.

-ad-

Mungkin tidak ada orang yang percaya. Seumur hidup belum pernah aku sengaja mennton di bioskop atas keinginanku sendiri. Masa mudaku habis untuk membaca dan karenanya mengunjungi toko-toko buku merupakan satu kebiasaanku dengan mas Dj pacarku yang kemudian jadi bapaknya anak-anak. Karena itu kalau ada orang yang bertanya soal bioskop atau film, aku banyak tidak tahu.

Dengan menonton film, menurutku, kita tinggal mengikuti saja lakon yang terhidang di layar. Pemerannya sudah dipilihkan produser, sehingga kita tinggal menikmati. Berbeda dengan membaca, kita bisa mereka-reka sendiri wajah para pemain sesuai dengan karakter yang diciptakan sang pengarang. Kadang-kadang aku "menempelkan" wajah musuhku dalam tokoh yang paling menyebalkan; tapi adakalanya justru wajah-wajah cantik dan tampan bisa kumasukkan dengan senang. Soal alasan apa yang membuat suamiku juga tidak hobby nonton, aku tidak tahu dan tidak kepengin tahu.

-ad-

Angin sejuk di siang terik itulah yang telah membuat "film" sendiri di otakku. Bayangannya menari-nari gencar di mataku. Ada sebuah gedung tua, wujudnya besar memanjang dengan kamar-kamar berderet beberapa saf. Letaknya persis di depan pasar. Segera aku tahu, itu bangunan sekolah. Jelas terbaca dari papan namanya Sekolah Rakjat Pabrik Gas Nomor 1. Seorang perempuan tua yang sangat keibuan berdiri di situ, pada salah satu pintunya. Rambutnya yang diikat ke atas menjadi gelung menandakan kematangan pribadinya. Ibu Wasilah namanya. Tangan beliau tak henti-hentinya menerima salam dari para murid, anak-anak kecil dari berbagai golongan. Satu di antaranya, anak lelaki tujuh tahun berkemeja yang dilengkapi oto sebagai penutup tubuh. Sorot matanya penuh percaya diri, cemerlang. Dia tidak menangis ketika perempuan berkebaya yang mengantarnya melepaskan pegangan dan menyerahkannya kepada ibu Wasilah. Lalu dengan berbimbingan, mereka masuk kelas untuk menemui anak-anak lain yang juga baru datang. "Selamat pagi anak-anak, ini kelasmu yang baru. Selamat belajar bersama ibu," seru bu Wasilah tegas tapi lembut. Lalu pagi itupun jadi awal dari segala-galanya yang melandasi semangat belajar dan bekerja suamiku, si murid kecil tadi.

-ad-

Di samping kiri sekolah, tepatnya di belakang,  menghadap Jalan Dewi Sartika ratusan murid juga menimba ilmu di SR Dewi Sartika. Dan SR itu juga telah membuahkan orang-orang pandai yang juga sanggup menjadi guru, antara lain di SMA 4 sekarang. Temanku yang kutemukan di halaman sekolah anakku dulu.

Sekolah-sekolah di sekitar Pasar Anyar memang bukan SD teladan, kecuali yang disebut sebagai Sekolah Rakyat Latihan di Jalan Pengadilan yang kini menjadi SD Pengadilan. Memang predikatnya bukan SD Teladan seperti SR Polisi dan SR Sempur. Tapi orang tua murid di situ umumnya orang-orang terpandang dan berpendidikan. Berlainan degan komunitas di SR Pabrik Gas dan SR Dewi Sartika yang sebagian justru masyarakat yang bekerja di sektor informal semacam sais delman, tukang beca, pedagang kecil dan semacamnya. Walaupun ada juga anak-anak tentara atau pegawai negeri serta pengusaha. Bapak mertuaku sendiri pegawai negeri di Dewan Pengawas Keuangan yang bertukar nama jadi Badan Pengawas Keuangan. Yang ketika itu kantor pusatnya memang di Bogor, di ujung Jalan Ir. H. Djuanda berdekatan dengan Asrama Mahasiswa IPB "Wisma Raya" dan "Ong's Cafetaria"  milik keluarga Ong yang salah satu putrinya teman mbakyuku di SMP 1. Konon kisahnya, semua makanan di kedai itu "ajaib" rasanya alias lezat. Aku menelan liur membayangkannya.

-ad-

Di kelas suamiku ada sekitar empat puluh anak. Kini sebagian terlacak kembali. Rupanya tangan dan tutur kata manis bu Wasilah berhasil mengantarkan merke ke berbagai posisi. Ada yang pegawai negeri di Lembaga Penelitian milik Departemen Pertanian, ada juga yang bekerja sebagai pedagang peralatan pertukangan di Pasar Kebon Kembang, di bawah pohon rindang samping Masjid Agung. Suamiku kerap mengunjunginya kesana sekedar melepas rindu. Tak ada kecanggungan yang tercipta di antara mereka. Tentu semua berkat "suntkan" semangat ibu Wasilah yang mengajarkan bahwa berusaha sendiri adalah lebih terhormat daripada menganggur atau menyandarkan nasib di bahu orang lain.

-ad-

Tepat di samping SR Dewi Sartika berdiri gedung Kantor Kawedanaan. Wedana adalah salah satu jabatan pamong praja warisan Belanda. Aku sendiri tidak dapat membayangkan kira-kira di posisi mana wedana itu berada jika disandingkan dalam struktur kepemimpinan sekarang. Sebab, dijaman aku masih kecil pun, jabatan wedana sudah bubar. Bahkan atasan wedana yang disebut Residen dengan luas wilayah sampai ke Sukabumi dan Tjiandjur pun sudah tidak ada. Hanya tinggal kantornya yang sampai sekarang masih asri berdiri di samping kantor Kejaksaan Negeri menghadap pojokan Istana Bogor di Jl. Ir. H. Djuanda.

Mungkin dulu banyak juga anak-anak-anak sekolah di sekitar situ yang terinspirasi ingin menjadi pegawai negeri. Sebab seingatku, kantor kawedanaan kemudian berubah jadi kantor pemerintah juga, yang kalau tidak salah ingat namanya Koramil. Singkatan dari Korps Komando Rayon Militer. Kalau hal ini kutanyakan pada suamiku dia menggeleng. Cita-citanya jadi tentara. Tapi tentu saja tak kesampaian sebab persyaratan masuk Akabri adalah tinggi tubuh yang minimal sekian, lebih tinggi dari tubuh suamiku. Namun, jauh dlam hatiku kuyakini, dia juga menyimpan cita-cita jadi pegawai negeri yang tidak usah bergulat dengan beceknya Pasar Anyar atau debu jalanan karena pekerjaan.

-ad-

Ibu Wasilah, terima kasih atas tuntunan ibu. Kini kami telah menerima hasilnya. Pohon yang dulu ibu tanamkan telah berbuah lebat. Suamiku berhasil jadi pegawai negeri. Semangat kerjanya cukup baik. Dedikasinya pun ada. Dia bisa jadi begini, tentu karena ibu Wasilah yang menyuntikkan semangat kepadanya. Kepada seluruh murid-murid ibu dimanapun berada. Tiba-tiba, ingin rasanya aku mendapati bu Wasilah, mencium ujung jarinya, dan juga lututnya menyampaikan penghargaan serta baktiku pada beliau. Karena bu Wasilah lah kini aku dapat melihat luar negeri mengikuti suamiku hasil didikan beliau. Dan karena bu Wasilah jualah kini anak-anak kami siap mandiri. Terima kasih bu guru.

Kamis, 14 Februari 2008

TERPAUT KEMBALI

Mimpi indah itu pernah jadi kenyataan. Dulu, duluuuu sekali. Ketika anak-anakku masih remaja. Satu demi satu dua anak gadisku membawa teman-temannya ke rumah. Si sulung agak lebih lambat daripada adiknya, sekalipun dia cukup "manis". anak-anakku tidak ada yang cantik. Tapi kedua-duanya senantiasa ramah pada siapapun saja dan tidak pilih-pilih derajat dalam bergaul.

Salia, si sulung agak pendiam. Boleh dikatakan dia judes, dan tidak semanis adiknya. Tapi hatinya bersih. Dia punya sekelompok teman akrab, yang tentunya sulit kukenali satu demi satu. Tapi bagiku tidak mengapa, karena dia memang bukan anak kandungku dan lagi orang tuanya ada di sisinya. Tentu mbakyuku, ibunya, yang lebih berhak mengetahui siapa teman main anak-anakku. Lalu Lany adiknya, dengan mulut yang tak henti-hentinya senyum, sudah sejak kecil disenangi orang. Mereka bersekolah di Taman Kanak-Kanak di sebelah rumah kami, dan dialah pemimpinnya di situ. Setiap pagi serombongan anak-anak lelaki dan perempuan akan berlari menemui anakku Lany sambil meneriakkan namanya keras-keras di depan pintu, "Mbak..... mbak Lany......." Ah, lucunya kenangan itu. Kenangan tentang mulut-mulut kecil yang mengoceh lebar-lebar serta kaki-kaki penuh lumpur yang mengotori teras rumah kami. Kemana mereka sekarang pergi?

-ad-

Kedua anak gadis kakakku beribu padaku dan berayah pada suamiku sejak kecil. Ayahnya sendiri ketika itu sering meninggalkan mereka untuk urusan tugas yang kadang tak dapat diterima nalar, Sementara ibunya sibuk dengan pekerjaannya sebagai pegawai negeri. Aku selalu senang mengantar mereka kemana saja. Tidak hanya melangkah pertama kali ke sekolah mereka, melainkan juga ke toko, ke rumah teman dan ke tempat-tempat mereka beraktivitas. Tak satupun kegiatan mereka yang lolos dari pantauan kami, sehingga aku kenali satu demi satu teman akrabnya.

Begitupun ketika aku asyik "mengobrol" dengan kerabat-kerabat Mp-ku, rasanya mereka ada yang merupakan teman-teman main anakku. Sangat kuyakini, karena komunitas Mp-ers sebagian besar adalah orang-orang muda sebaya mereka. Para eksekutif muda maupun ibu-ibu rumah tangga yang gemar menghabiskan waktu di muka layar komputer. Aku pun tersenyum, mengingat akan diriku yang jauh lebih maju dibandingkan dua anak perempuanku. Setidaknya begitu menurut mereka sendiri.

Sehari-hari anak-anakku sibuk dengan kegiatan rutin mengurus rumah dan ke kantor. Si sulung harus menghabiskan waktu lebih dari dua jam mencapai tempat kerjanya di daerah kabupaten yang berbatasan dengan Bekasi. Waktunya habis di jalanan di dalam angkutan kota sebagaimana yang dibiasakan dan dicontohkan oleh suamiku, kepala rumah tangga kami. Ketika pagi merebak, dia sudah selesai mandi dan mengaji. Lalu mennghirup kopinya dari mug kesayangan yang dibelinya sendiri sambil menggigit sepotong roti. Lepas maghrib baru dia tiba kembali di rumah, nyaris berturut-turut dengan adzan isya.Tubuhnya yang kecil langsing, alhamdulillah tidak pernah mengeluh apapun. Tahan bantingan, tak surut oleh godaan. Senantiasa siap menyangga kakinya kemanapun dia bergerak. Cintaku yang satu ini adalah sumber kekuatan bagiku.

Adiknya akan sibuk dengan urusan mempersiapkan keperluan suaminya, kemudian keperluannya sendiri sebelum mengurus anak mereka satu-satunya. Lalu berturut-turut mereka akan meninggalkan rumah menuju tempat aktivitas masing-masing sampai tiba saatnya mentari jatuh ke pangkuan bumi dan burung-burung pulang kandang.

Di waktu akhir pekan, mereka akan menghabiskan masa di seputar mesin cuci dan urusan rumah tangga lainnya sehingga nyaris tak punya waktu untuk sekedar menjenguk kotak surat mereka di internet. Kusadari itu, sebab jika aku mengirimi mereka e-mail, jawabannya baru akan kuperoleh lewat akhir pekan. Begitu juga jika bapaknya minta dikirimi sesuatu, selalu dijanjikan akhir pekan yang kadang "janji tinggal janji" yang nyaris terlupakan.

Kami tidak marah pada mereka. Bahkan kami bangga, anak-anak kami punya etos kerja yang tinggi. Lagi-lagi seperti yang dicontohkan suamiku, "bapaknya", yang diadopsi dari ayahku, kakek mereka. Anak-anak itu sangat tahu pentingnya kerja keras dan hidup sederhana. Bukan munafik jika mereka jadi sederhana, sebab dalam kamus keluarga kami, "jalan" selalu harus "menunduk." Karenanya mereka punya empati terhadap masyarakat asli kampung BTN kami yang nyaris harus minggir terkalahkan oleh pendatang yang umumnya jauh lebih sejahtera dibandingkan mereka.

-ad-

Sebetulnya perkenalanku dengan Mp dimulai oleh keisenganku menggoda si bungsu yang memang sudah sangat lama jadi komunitas Mp-ers. Kalau tidak salah malah dia masih di SMP. Dan situs Mp-nya yang menurutku cukup berisi untuk anak seusianya, memicu semangatku untuk "nongol" tiap hari, hingga tiba-tiba muncul keisenganku ingin mengomentarinya. Tanpa identitas apapun aku menyusup masuk hingga menggemaskan dia. Aku baru berhenti setelah dia berhasil menguak siapa jati diri si penggoda diiringi senyum simpul dan gelengan kepala yang panjang. "Ampiyuuuuuuun......" serunya.

Cukup lama aku berhenti. Aku memang tidak berniat jadi "jurnalis" atau "sastrawan" Mp. Juga tidak berniat untuk sekedar ngobrol iseng-isengan. Aku ingin jika mengisi Mp memberikan manfaat untuk yang membacanya. Karenanya aku tidak pernah menghampiri Mpku lagi. Hingga tiba suatu saat, ketika iseng-iseng aku memasukkan suatu kata kunci di dalam mesin pencari google, mataku tertumbuk pada site seseorang yang berisi foto-foto teman-teman masa mudaku. Dan kenanganku terbangkit kembali. Iseng-iseng kukomentari gambar-gambar hidup itu satu demi satu. Ada rasa rinduku pada mereka. Pada tubuh gemuk Wilda Hindriani sahabatku dan bang Ichal suaminya. Sebab dulu kami pernah sangat akrab, melebihi akrabnya sebuah keluarga. Semua rahasia hatiku tersimpan padanya, begitupun rahasianya nyaris semua ada di kalbuku. Menghuni sudut terdalam hatiku untuk selamanya. Kami tidak pernah saling bermusuhan, bahkan sekali-kali suamiku masih mengontaknya melalui pesan-pesan singkat untuk saling bertukar kabar. Tapi tempat dan kesempatan jualah yang merenggangkan hubungan kami.

Ada lagi sosok yang sangat kukenali. Seorang lelaki yang sangat tidak berubah wajahnya. Penampilannya meyakinkan bahwa dia orang cerdas. Dan seingatku dia dulu punya prestasi luamyan bagus di kelas kami di SMP. Aku tidak akan pernah lupa nama dan wajahnya. Adi. Seorang-dua juga masih bisa kukenali. Semua menyiratkan kebahagiaan di sisa-sisa masa dewasa muda mereka. Sangat cantik, tampan, modis dan cerah-ceria.

Iseng-iseng pula kukontak sang pemilik situs. Dan kontak ini menumbuhkan pertemanan yang alhamdulillah cukup mesra. Aku patut berterima kasih padanya. Pada semangatnya mengisi Mp dan menularkanmya padaku pula, hingga aku bisa bertemu lagi dengan teman-teman anak-anakku.

-ad-

Pertama aku mengenali nama seorang lelaki yang sangat popular untuk suku kami. Bagdja. Bayanganku langsung tertuju pada teman masa kecil anak sulungku. Apalagi dia berasal dari kampung halaman kami dan bersekolah di sekolah yang sama dengan anak-anakku. Iseng-iseng juga kutanyakan barangkali dia teman anak-anakku. Ternyata dia menyebut tahun yang berbeda. Dia berada satu tingkat di atasnya. Lalu ingatanku segera melayang ke satu sosok yang sangat kurindukan. Sahabat karib anakku.

Kami menjulukinya dengan panggilan khusus. Sebab pemuda itu begitu sederhana sebagaimana impianku. Aku selalu bermimpi anakku punya teman-teman pergaulan yang sederhana, yang tidak materialistis dan menjerumuskan anak-anakku kepada kehidupan yang penuh nafsu konsumerisme semata. Rumahnya di daerah "kulon", di sebelah barat kota. Konon orang tuanya merupakan orang terpandang, namun dia tidak sombong. Sebagaimana halnya anakku dia selalu menggunakan kedua kakinya untuk berjalan kemana-mana dan menikmati hidup yang apa adanya. Sekalipun nenek-kakek yang mengasuhnya terbilang cukup berada di kampung mereka. Pemuda yang santun dan sangat kusayangi.

Aku tidak pernah mengharapkan dia jadi calon menantuku. Aku hanya suka dia memperlakukan anak gadisku dengan sopan. Dan aku lebih suka lagi karena dia tidak membawa anakku ke pergaulan yang penuh hura-hura dan dunia gemerlapan. Aku bersyukur ketika anakku rela menjadi sahabatnya. Sahabat dalam artian yang sesungguhnya, yang tulus ikhlas tanpa didasari nafsu birahi.



Seiring berjalannya waktu pemuda itu menemukan pelabuhan hatinya, dan menepi, menjauhi "kolam cinta" keluarga kami. Undangan pernikahan itu kami terima dengan penuh syukur dan bahagia sekalipun kami tidak mungkin menghadirinya, sebab dia menikah di ujung sana, di perbatasan dengan propinsi tetangga yang makan waktu setengah hari perjalanan dari kampung kami. Hanya uluran senyum dan doa bahagia yang kami kirimkan kepadanya, menutup lembaran kebersamaan kami.

-ad-

Anak gadisku tidak terpengaruh. Dia teguh pada komitmennya menggauli pemuda itu sebagai sahabat karibnya belaka. Dan anakku tetap terbuka, dia tetap punya banyak teman baik sejenis maupun lain jenis. Sampai satu demi satu juga meninggalkannya menuju jenjang kehidupan baru. Berkeluarga.

Kadang terlintas juga dalam benakku, kapan saatnya anakku akan memperkenalkan calon suaminya. Terlebih-lebih ketika adiknya sudah membawa calon dan minta pertimbangan untuk segera menikah. Lalu dengan restu ibu kandungnya dan suamiku dia melangkah mantap ke pelaminan serta menghadiahi kami seorang bidadari kecil yang cerdas dan lincah.



Sampai saat ini sulungku tetap menyendiri. Tapi dari pengamatanku, dia bahagia dalam kesendiriannya. Maka aku tidak menetapkan harga mati. Kubiarkan dia menimbang-nimbang sendiri bagaimana baiknya masa depannya akan diatur. Aku hanya ingin yang terbaik baginya. Ingin kejujuran hati seroang lelaki dan bulatnya cinta untuk anakku semata. Aku ingin kelak berpulang meninggalkan dia dengan segala kedamaian. Bagiku, dia hidup melajang pun tidak mengapa. Asal dia yakin bahwa itu kebahagian utama untuknya. Aku tidak ingin menyiksanya dengan ikatan pernikahan yang terpaksa dan dipaksakan. Yang akan menyakiti batinnya sepanjang masa. Kebahagiaan anakku bagiku ada di atas segala-galanya. Maka kusuntikkan kepadanya kesabaran dan waktu yang banyak untuk merenung dan memilih.

-ad-

Pertemuanku dengan Bagdja menjalin kembali hubunganku dengan sahabat karib anakku. Pemuda itu tidak berubah sejak kami berpisah sepuluh tahun yang lalu. Dia tetap lelaki yang dulu, yang sorot matanya cerdas dan penampilannya tidak berlebihan. Hanya kini, tubuhnya agak menggemuk serta didampingi "biji-biji matanya". Seorang perempuan manis, langsing, dengan sorot mata tajam. Nyaris mirip anakku -walaupun bapaknya mengatakan tidak-. Di pangkuannya seorang bocah lelaki cilik tersenyum manis, sangat mirip bapaknya. Dan dua lagi berada dekat ibu mereka. Alangkah bahagianya. Keluarga sakinah.

Rinduku padanya tak tertahankan lagi. Aku harus menjalin kembali "hubungan di belakang layar". Sekedar ingin minta maaf barangkali dulu anakku ada berbuat kesalahan padanya. Aku ingin minta maaf untuk anakku. Aku ingin dia terlepas dari semua beban -seandainya ada- yang menimpa akibat perbuatannya sendiri.



Alhamdulillah dia masih mengenaliku, dan memanggilku seperti dulu ketika dia sering menghabiskan hari-harinya di rumah kami. Dan lebih alhamdulillah dia menyatakan bahwa antara dia dan anakku tidak ada apapun, tidak juga perselisihan, apalagi permusuhan. Dia bahkan minta maaf telah memutus silaturahmi dengan tiba-tiba. Kini hatiku terasa lega. Lapang, seperti hutan kota di dekat rumah baruku. Semua terasa sejuk, tapi asri berkat bunga-bunga yang bernekaran, bertebaran di setiap sisinya. Di setiap sudut hati kami, yang dipenuhi oleh persahabatan yang tulus. Terima kasih Tuhanku. Engkau Maha Pengampun. Dan Engkau pula Maha Tahu. Bahwa di balik bilik-bilik hatiku masih ada satu niatan, menyaksikan anakku hidup bahagia selama-lamanya bersama orang yang dicintainya. Yang tidak kupilihkan untuknya. Yang datang dari rahimMu yang agung.



 

 

Jumat, 01 Februari 2008

PERMAINAN CINTA

Kata orang-orang, janganlah mudah percaya pada sesuatu. Tidak juga terhadap penampilan seseorang. Di mata keluargaku, aku selalu tampil hangat dan penuh ceria. Begitu pula anak-anak kami, semua bisa seperti pelakon dalam panggung sandiwara keluarga Pak Awal dan ibu Marlia Hardi di TVRI pada tahun 70-an dulu. Aku tampil sebagai ibu yang sempurna, dikaruniai kesabaran dan konon "talenta" di dalam membesarkan dan mengasuh putra-putriku sehingga semua jadi anak baik-baik yang tidak pernah mendatangkan masalah. Bapaknya pun demikian, imam yang sempurna di dalam rumah tangga kami. Selalu giat bekerja menafkahi kami dengan semangat pengabdian ynag tinggi, sekaligus mendampingi anak-anak di saat mereka memerlukan bimbingan ayahnya.

-ad-

Nyaris sempurna tanpa cacat. Bahkan sekalipun hanya bisa melahirkan sederetan anak-anak lelaki, tetapi kami toch dikaruniai anak-anak perempuan juga. Aku lebih suka menyebutnya sebagai perempuan, bukan wanita. Karena aku tahu anak-anakku sudah kami tata dengan baik sehingga tidak perlu menjadi "wani ditata' lagi. Mereka sudah bisa menampilkan diri sebagai "empu" alias "ibu-ibu bangsa" pelahir generasi baru yang baik.

Dari mana datangnya dua anak perempuan kami? Sering orang bertanya demikian. Yang biasanya kujawab dengan senyum dan ucapan ringan "dari hati Allah". Beliau. dzat Yang Kuasa dan Maha Sempurna itu memberikan kedua perempuan cintaku dengan caraNya sendiri yang ajaib.

Anak-anak itu terlahir dari kakak kandungku yang sibuk dengan urusan hidupnya sejak mereka baru lahir. Waktu itu aku dan suamiku masih di SMP. Kakakku yang tertua mempunyai pekerjaan sebagai guru, sedangkan suaminya sering bekerja di luar kota. Dengan sendirinya anak-anak itu tumbuh hanya dalam asuhan dan pengawasan ibu kami yang ketika itu sudah mulai sakit-sakitan. Akibatnya, mereka lebih banyak berada dalam tangan Yem, pembantu kami yang sedikit hilang ingatan. Dan sebagai bibi mereka, aku merasa harus turun tangan sendiri mengasuh mereka di waktu-waktu luangku. Untung pada jaman itu belum marak bermunculan bisnis bimbingan belajar dan macam-macam kursus di luar sekolah, sehingga aku punya banyak sekali waktu luang. Aku hanya perlu mengikuti les tambahan aljabar di rumah Ibu Waway guruku yang kecil mungil dan cantik khas Priangan di daerah Tanjakan Pala seminggu sekali diikuti les ilmu ukur di rumah bu Wiwiek di daerah itu juga.

Anak-anak itu sering bersamaku, menghirup wangi rambutku, menyusup di bau nya tubuhku dan menikmati segala apa yang ada padaku. Mulutku yang bawel adalah "radio" yang pertama bagi mereka. Kutidurkan mereka dengan nina bobok yang tidak "kacangan". Sehingga "Timang Si Buyung" dan "Babendi-bendi" akrab di telinga mereka, sama akrabnya dengan lagu "Taman Kanak-Kanak" sebelum mereka betul-betul menginjakkan kakinya di TK Pertiwi di sebelah rumah kami. Mulut ini juga yang menyentuhkan cerita-cerita serta pesan moral ke jiwa mereka. Dan mereka pun merasa memiliki ku, seperti halnya mereka memiliki ayah-ibu mereka sendiri.

Bersama mas Dj kami tuntun langkah-langkah kecil mereka yang masih tersuruk-suruk ke dunia yang luas. Kami perekenalkan tumbuhan dan binatang di alam terbuka dengan membawa mereka ke Kebun Raya, Kebun Binatang atau berjalan kaki menyusuri perkampungan menyeberangi Cisadane yang deras menuju desa Purbasari di Gunung Batu melewati Kebon Kopi terus ke Sindangsari. Anak-anakku yang cantik, mereka tidak pernah mengeluh lelah. Semangat mereka tetap membara sekalipun sesudahnya kami hanya mampu membelikan sepotong dua potong es mambo serta semangkuk bakso atau sepiring nasi uduk. Anak-anak kebanggaanku.

-ad-

Hingga mereka dewasa dan bisa mencari jalan hidup sendiri, mereka tetaplah selalu datang kepada kami, sekalipun kakakku yang kini sudah ditinggal ke alam baka oleh suaminya masih ada. Dari tangan ibu kandungnya dan suamikulah anak kami melangkah menempuh hidup baru, diiringi doaku. Dan mereka jualah yang menghadiahi kami 'bidadari" kecil yang di mata kami nampak sempurna. Miranda kecil kami, si gadis mata bola yang hitam dan lincah. Dahinya yang lebar tidak pernah berhenti berpikir dan minta mulutnya menanyakan apa saja yang ada di sekitarnya pada orang tuanya. Itulah sebabnya, di usianya yang kelima dia sudah lancar membaca dan selalu mengajak aku membeli setumpuk buku-buku cerita di Gunung Agung sambil minta ijin memilih yang dwi bahasa. "Aku pengin bisa bahasa Inggris seperti simbah," rajuknya ketika aku memilihkan buku-buku yang melulu berbahasa Indonesia. Dan dia pun mulai mengejanya dengan gagap, sehingga menimbulkan gelak dan menggerakkan aku untuk mengiyakan permintaannya. Rambut keriting warisan menantuku kemudian diusap-usapkannya ke dadaku yang berjongkok membungkuk di sampingnya. Meletupkan segala rasa cinta yang ada di dalam sana, di balik relung-relung dadaku.

-ad-

Dua anak lelakiku yang kulahirkan dengan susah payah setelah aku kehilangan si sulung berikut beberapa siblings mereka juga mencintai kakak-kakak mereka dan anaknya. Semua tampil menyatu dalam rumah tangga kami, sehingga anak-anak lelakiku punya pengawas saat kini aku yang sibuk dengan duniaku sendiri sebagai istri pendamping suami yang pegawai negeri. Alhamdulillah, mereka juga bisa meneladani gaya hidup rakyat yang kami tanamkan. Tidak ada rengekan minta diantar ke sekolah dengan mobil, dan semua tidak merasa malu ayah mereka jadi pelanggan setia angkot serta KRL untuk mencapai tempat tugasnya di Jakarta. Inilah nikmat dalam kehidupan kami, yang membutakan mata orang bahwa sesungguhnya akhir-akhir ini kami mulai "kering" terpengaruh oleh irama kerja suamiku yang seakan-akan tidak mengenal kata istirahat.

Hari ini akan kutinggalkan mereka berempat menuju tempat kerja suamiku yang baru di negeri singa. Telah kami atur dulu segalanya, untuk memudahkan mereka merawat rumah dan mengelola rumah tangga sepeninggal kami, sebab kali ini aku hanya pindahan berdua dengan suami. Si bungsu akan menyusul enam minggu lagi setelah selesai ujian kenaikan kelas.

"Ibu titip adik-adikmu ya mbak," pesanku di pintu rumah. "Sekarang kamulah yang mengambil alih semua peran rumah tangga kita tentu bersama ibu kandungmu," lanjutku lagi seraya menatap kakak sulungku ibu mereka yang hingga mencapai usia ke-enam puluh masih juga setia mengajar di instansinya. Mereka mengangguk mengiyakan, disertai penyataan tulus kakakku agar aku rela menyerahkan anak kandungku di bawah pengawasannya yang super sibuk. Kami tersenyum mengiyakan dan mengangguk lega. Dunia yang bulat sedang menunjukkan permainannya, sekarang giliran beliau yang mengawasi anak-anak kandungku. Dan hatiku pun lega.

-ad-

Kelegaan yang tidak seratus prosen, sebab aku masih merasakan kehambaran rumah tangga kami yang tidak nampak dari luar. Walau kami senantiasa menghadiri berbagai acara bersama-sama, tapi kualitas dan kuantitas pertemuan kami semakin ringan saja. Kami hanya bertemu di meja makan, masih yang dulu, warisan mertuaku yang terbuat dari kayu jati kukuh. Tapi, kami hanya makan dalam diam tanpa obrolan-obrolan pelepas lelah apapun. Kami juga masih pergi setidak-tidaknya berbelanja bersama, tapi sudah tanpa keinginan untuk berlama-lama di luar. Suamkiku selalu ingin segera pulang menyelesaikan berbagai pekerjaannya. Dan aku harus menarik nafas panjang, menggali kesabaranku.

Seperti kesabaran di rumah baru kami ini. Kesabaran berwujud kesetiaan akan kesibukan suamiku yang semakin menjadi-jadi. Kesabaran ketika aku harus menerima malam-malam yang dingin tanpa kehangatan tubuhnya. Kesabaran yang kutelan sendiri ketika penyakitku sedang menghebat melumpuhkan segala aktivitasku bahkan sistem pernafasanku. Dia seperti tidak mau tahu dan tidak pernah tahu, dibiarkannya aku menderita sendiri.

-ad-

Tadi pagi kami baru melakukan serah terima jabatan pekerjaan, tugas dan tanggung jawab kami masing-masing kepada dinas. Dia sebagai pejabat, dan aku sebagai Ketua Dharma Wanita, yang tidak pernah kuduga sebelumnya. Menurut tata aturan organisasai yang baru, memang aku dimungkinkan untuk menjabat Ketua. Tapi aku sangat sadar, itu tak mungkin terjadi. Sebab di mata suamiku aku bukanlah orang yang patut untuk "ditampilkan ke permukaan". Sehingga dia dalam posisinya tidak akan mengizinkan aku menjadi Ketua Dharma Wanita, masih ada istri pimpinan yang patut menduduki jabatan itu, bukan diriku seorang nyonya Dj belaka. Nyonya yang pernah dikatakannya dengan sadar sebagai "bukan pendamping suami yang baik."

Tapi entah apa yang terjadi, permainan nasib mengayunkanku ke atas, menjadikan aku sebagai seorang Ketua Dharma Wanita -organisasi istri yang memegang peranan penting di garis belakang sebuah kantor pemerintah-. Istri pimpinan suamiku menempelkan pipinya ke pipiku sambil mendekap aku erat. Tangan itu terasa begitu tulus menyampaikan rasa syukur dan doanya untukku di dalam menjalankan tugas Ketua yang akan segera kuemban. Kemudian ibu-ibu lain juga mengekor dengan gaya serupa. Semua terasa membebani alam pikiranku. Maka mataku berkaca-kaca ketika mulutku harus membuka dengan salam perkenalan kepada mereka. Suara bergetar tercekat di kerongkonganku, campuran antara manis dan pahit, haru-birunya perasaan hatiku.

"Terima kasih dan puji syukur atas kepercayaan yang dibebankan ke pundak saya untuk mengemban tugas berat dan penting ini," ucapku membuka salam. Semua mata tertuju padaku yang menatap lantai dingin yang nyaris menggigilkanku tanpa sebab di udara Singapura yang terik. "Sungguh tak pernah terbayangkan diri saya masih bisa berdiri di tengah-tengah teman-teman semua sebagai salah seorang istri dari pegawai disini," lanjutku lagi. Kuhirup dalam-dalam bersihnya hawa pagi sekedar meredakan keteganganku. Aku tidak tahu, kenapa aku begitu bodoh mengucapkan itu semua. Tapi di sisi lain aku begitu sadar, aku harus mengucapkannya sebagai ungkapan ketidakpercayaanku akan statusku sebagai pendamping suamiku. Sudah lama aku tidak merasakan lagi kebutuhan dirinya untuk ku dampingi. Seperti yang sudah kusampaikan, dia asyik dengan dirinya sendiri dan dengan dunia luar yang tidak kuketahui pasti apa isinya. Maka berguliranlah air mataku mengaliri pipiku yang lembut.

Dia tidak pernah tahu aku telah mengucapkan itu semua. Dan aku pun tidak pernah bisa berterus terang padanya mengungkapkan semua perasaanku. Aku merasa selalu terganjal oleh keinginan untuk memosisikan diri di bawah dirinya, di belakang bayang-bayangnya. Menjadi bayang-bayang dari bayang-bayang dirinya. Menjadi sesuatu yang sangat ruwet dan sangat maya untuk tampil di alam nyata.

Pagi itu semua mata menghunjam padaku. Dengan beribu tanya, seperti tanyaku pada diriku sendiri, apakah jawabanku jika mereka menuntut penjelasan dariku. Tapi aku tidak bingung, sebab tubuhku yang kian lemah didera sakitku selalu bisa tampil menolongku. Maka akupun tersenyum sendiri, menghapus galau, risau dan sejuta tanya.

-ad-

Dan kuhabiskan juga hari-hari pertamaku di Singapura dalam sepi. Tanpa dia menemani malam-malamku. Kalaupun ada, tangannya disibukkan dengan mengetik sesuatu yang tidak kutahu seberapa pentingnya. Bahkan ketika sakit di perutku mulai menggigit lagi. Mencubitiku di dalam tidur. Dia tidak pernah menanyaiku. Seakan-akan dia sudah kebal terhadap sakitku yang dulu dianggap mengganggu nikmat tidurnya. Sekarang sepertinya semua sudah jadi bagian dari keberadaanku yang tidak perlu dirisaukan lagi. Maka, temanku pun hanyalah ayat-ayat Tuhanku yang kulantunkan dalam diam.

Seperti malam itu ketika kurundukkan mukaku ke tanah, Ke haribaan Allah semata. Aku tiba-tiba terjaga dari tidurku karena rasa sakit itu. Baik sakit pada perutku maupun pada paru-paruku. Di sekitar paru-paruku ada jantung yang tertusuk. Oleh "bisikan tengah malam" yang secara ghaib kini sering mengganggu ketenanganku. Maka kuluapkan dalam puji-pujianku yang mengarah ke sorga, ke taman Illahi yang penuh nikmat.

-ad-

Entah siapa di luar sana, di balik dinding yang mengurungku, yang menjadi pemisahku dengan suamiku. Dia datang tanpa mengucap salam. Serunya yang halus mendayu-dayu, membisikkan padaku bahwa "rumah kami akan terbelah". Aku terjaga, terpaku merenunginya. Akankah pohon yang kutanam sendiri bibitnya dan kusiram dengan air kaldu yang lezat serta susu murni berwujud cinta daunnya berguguran satu demi satu? Lalu kemana anak-anak kami akan berteduh? Melawan sengatan panas? Memayungi diri dari hujannya badai kehidupan? Kukembalikan semuanya pada Mu ya Allah. Sebab kutahu dan kuyakini Engkaulah di balik semua ini.

Air mata itu terus saja tumpah tak terbendung. Membasahi telekungku dan tikar sembahyang yang dibelikan suamiku dengan cucuran keringat serta ridhanya. Tikar merah berwujud permadani yang sangat kusukai. Bulu-bulunya walaupun kasar, tapi menghangatkan tubuhku, terutama di Eropa sana di saat-saat winter. Aku betah berlama-lama di atasnya, memasrahkan nasib pada Sang Maha Kuasa.

-ad-

Saat itu menjelang winter. Angin musim gugur mulai menerbangkan dedaunan kering ke segenap penjuru bumi. Dan kota Wina yang bersih pun berubah kotor. Aku baru pulang dari Algemeene Kranken Haus di Spitalgasse. Rumah Sakit Pemerintah yang telah merawatku tujuh hari lamanya karena kasus pada kandunganku. Calon anakku yang ke-empat menolak untuk kukandung, menyakitkanku dan hampir saja mencabut nyawaku. Darah mengalir deras tanpa terbendung ketika aku harus "dilarikan" ke kamar bedah untuk yang kesekian kalinya. Padahal di saat yang sama suamiku juga sedang bergulat melawan asmanya yang tiba-tiba kambuh kembali. Untunglah Tuhan masih sayang kepadaku. Dan suamiku pun belum terlalu disibukkan oleh berbagai hal yang mengganggu kebersamaan kami. Maka dia pun sangat bersyukur dan mendorongku untuk segera mengucap syukur beralaskan permadani merah tebal dengan hiasan gambar masjid yang klasik. Permadani Turki yang kami beli di sebuah toko di daerah Guertel. Permadani inilah yang menemani sujudku malam ini di Singapura.

Sayang suamiku sangat lena. Sikapnya menyayat hatiku. Tapi sekaligus membuka mataku bahwa cinta adalah semacam permainan belaka. Tepatnya bagaikan sebilah papan ayunan. Di satu saat kita terayun ke atas, mengangkat diri dalam kenikmatan. Tapi di lain waktu, kita nyaris berada di titk nadir tanpa perasaan apa-apa. Tidak nikmat, bukan pula senang.

-ad-

Isakan ku yang panjang pada akhirnya memaksa dia untuk terjaga. Tepatnya "menjagakan diri". Dia menatap padaku dengan pandangannya yang dingin. Lalu bibir yang pernah sangat hangat mengecupku ketika aku muda dulu merekah dengan sepotong tanya, "kenapa?" Tak sanggup aku mengatakannya. Kutahan semua air mataku. Kutelan semua perasaanku. Kutajamkan pikiranku untuk mengasah lidahku menyampaikan apa yang perlu kubunyikan. Lalu semuanya mengalir begitu saja, menciprati hatinya yang mulai beku.

Entah malaikat mana yang mendengar puji-pujian dan doaku tadi. Tiba-tiba suamiku yang telah kukenal luar dalam, menatapku lembut. Dihampirinya aku dengan tangan kokoh yang dulu setia membimbing setiap langkah kami anak-beranak. Lalu dibaringkannya aku kembali di sisinya. Tangan itu juga yang menarikkan selimut untuk menutupi tubuhku. Tangan itu juga yang kemudian mengelus anak rambutku, menyibakkannya menjauhi dahi. Lalu dia berkata lewat matanya, perkataan jujur yang kusadari setulusnya, dia minta maaf. Perlahan-lahan hidung itu mampir di dahiku. Berhenti di sana cukup lama, menghabiskan semua aroma keringatku. Di telingaku dia berhenti, dikatakannya dengan lembut, "maafkan aku sayang, engkau tak pernah lepas dari hatiku. Aku ingin pengertianmu. Di sini, di dada ini, masih ada engkau, bunga cintaku." Lalu malam pun kian larut, memagut cinta kasih sayang kami sampai jauh menenggelamkannya dalam kemesraan yang kini jadi kemewahan istimewa buat kami berdua.


 

Seperti ketika malam itu perutku seperti teriris. Hanya ada air mata dan desah dari bibirku yang nyaris tertahan. Di sampingku dia tergolek, pulas, dengan mata yang mengatup rapat, menyungging senyum yang tak kutahu entah untuk siapa.

Pita Pink